Please Wait
Hits
6706
6706
Tanggal Dimuat:
2017/06/14
Kode Site
id24429
Kode Pernyataan Privasi
69580
- Share
Ringkasan Pertanyaan
Salah satu ajaran-ajaran Wahabi menilai bahwa acara-acara perayaan peringatan kelahiran Nabi Muhammad Saw adalah bid’ah. Bagaimana pandangan dan pendapat Anda?
Pertanyaan
Apakah para sahabat mengadakan perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad Saw? Apakah aktivitas ini mempunyai dalil syar’i?
Jawaban Global
Mencintai dan memuliakan Nabi Muhammad Saw merupakan salah satu prinsip agama Islam dan perintah yang dianjurkan dalam agama Islam. Tidak ada seorang pun yang menolaknya. Peringatan kelahiran Nabi Muhammad Saw merupakan sikap nyata untuk memuliakan dan menghormati Nabi Muhammad Saw. Bahkan, meskipun tidak ada laporan mengenai perayaan kelahiran Nabi pada masa-masa awal Islam, namun perayaan kelahiran Nabi Muhammad Saw sebagai wujud untuk menghormati beliau tentu bukan merupakan bid’ah.
Terkait dengan hal ini sejarah mencatat bahwa pada zaman sejak dahulu, kaum Muslimin dunia mengadakan perayaan kelahiran Nabi Muhammad Saw dan para khatib menyanjung kebaikan-kebaikan dan kemuliaan-kemuliaan kepirbadian Nabi Muhammad Saw.
Terkait dengan hal ini sejarah mencatat bahwa pada zaman sejak dahulu, kaum Muslimin dunia mengadakan perayaan kelahiran Nabi Muhammad Saw dan para khatib menyanjung kebaikan-kebaikan dan kemuliaan-kemuliaan kepirbadian Nabi Muhammad Saw.
Jawaban Detil
Sebelum secara langsung membahas tentang perayaan hari lahir Nabi Muhammad Saw, perlu dicatat bahwa penghormatan dan ungkapan rasa terima kasih merupakan salah satu prinsip Islam, al-Quran telah mengakuinya dan tidak ada seorang pun yang bisa mengingkarinya:
فَالَّذینَ آمَنُوا بِهِ وَ عَزَّرُوهُ وَ نَصَرُوهُ وَ اتَّبَعُوا النُّورَ الَّذی أُنْزِلَ مَعَهُ أُولئِکَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Maka orang-orang yang beriman kepadanya, mendukungnya, menolongnya, dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung. “[1]
Ayat ini memberikan pelajaran kepada kaum Muslimin:
1. “Amanu bihi”: Berimanlah kepada Nabi Muhammad Saw
2. “‘Azzuruhu”: Dukunglah Nabi Muhammad Saw
3. “Wanasharuhu”: Tolonglah ketika beliau menghadapi kesusahan
4. “Wattaba’unnuralladzi unzila ma’ahu”: Ikutilah al-Quran yang telah diturunkan kepadamu.
Hampir sama dengan kandungan ayat ini, dalam surah Fath ayat 9 juga dianjurkan melakukan hal ini.
Mengingat bahwa dua ayat di atas menghormati dan memuliakan Nabi Muhammad Saw sebagai kewajiban, apakah acara-acara yang diadakan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Saw bukan merupakan cara untuk memenuhi perintah ke dua ayat ini? Jelaslah bahwa jawabannya iya, dan setiap orang yang melihat acara ini maka hal itu adalah bentuk-bentuk untuk mewujudkan kasih sayang, menghormati dan memperingati kelahiran Nabi Muhammad Saw. Oleh itu, amalan kaum muslimin yang memiliki dasar dalam Al-Quran dan prinsip-prinsip samawi ini, maka bukanlah bid’ah. Bid’ah adalah aktivitas-aktivitas yang baru muncul, tidak memiliki dasar dan asas.[2]
Terkait dengan hal ini, dalam firman-Nya yang lain kita membaca bahwa Allah Swt mengisyaratkan bahwa hal yang perlu diperhatikan adalah:
وَرَفَعْنا لَکَ ذِکْرَکَ
“Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu” [3]
Ayat ini menunjukkan bahwa menghormati beliau merupakan salah satu nikmat Ilahi. Oleh karena itu, salah satu sarana untuk mengenalkan Nabi Muhammad Saw adalah memuliakan kelahirannya, bergembira dan menjauhkan diri dari hal-hal yang melenakan dan mengandung dosa pada hari kelahirannya merupakan jenis-jenis untuk menghormati dan meninggikan kedudukannya.[4]
Terkait dengan permasalahan bahwa hari kelahirannya dijadikan sebagai hari raya, apa salahnya? Apakah kelahiran Nabi tidak lebih berharga dari pada turunnya maidah atas khawariyun dan mereka menjadikan hari raya pada hari itu?
“Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepadamu. Barang siapa di antara kamu yang sesudah (hidangan itu turun), maka sesungguhnya Aku akan menyiksanya dengan siksaan yang tidak pernah Aku timpakan kepada seorang pun di antara umat manusia.”[5]
Sesungguhnya apabila hari turunnya hidangan (nikmat yang terbatas dan cepat hilang) layak dijadikan sebagai hari perayaan selama bertahun-tahun, mengapa kelahiran Nabi Saw atau hari mab’atsnya yang merupakan nikmat besar dan abadi Ilahi bagi manusia tidak lebih layak untuk dihormati?
Oleh itu, setiap kali kaum Muslimin dalam setiap hari dan setiap bulan atau setiap tahun sekali mengadakan majelis-majelis yang di dalamnya berisi untuk mengingatkan kembali keutamaan-keutamaan Nabi Muhammad Saw, membacakan ayat-ayat yang berkenaan dengan beliau, membacakan syair-syair pujian kepadanya, pada hakekatnya ia telah melakukan perintah Allah Swt untuk memuliakan dan menghormati Nabi Muhammad Saw dan sebab bahwa hanya hari kelahirannya saja yang dikhususkan untuk memperingati hal ini adalah bahwa hari kelahirannya adalah nikmat yang besar, oleh itu, sangat baik jika pada hari mengadakan perayaan kelahirannya tanpa menisbatkan perayaan kepada ketentuan-ketentuan syara’, namun pemilihannya karena pilihan faktor-faktor tertentu dan tidak berkaitan dengan masalah-masalah syara’.
Ibnu Taimiyyah dan sebagian pengikutnya yang pada masa sekarang berada yang beraliran Wahabi, dengan klaim bahwa acara-acara peringatan kelahiran Nabi tidak dilakukan pada masa sahabat, menganggap bahwa peringatan kelahiran Nabi merupakan salah satu jenis bid’ah.[6]
Namunm, berdasarkan dalil-dalil yang ada dalam al-Quran tentang penghormatan Nabi Muhammad Saw, pelaksanaan perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad Saw tanpa adanya disertai kemaksiatan di dalamnya tentu merupakan contoh yang paling baik dari bentuk-bentuk pengormatan dan usaha memuliakan Nabi Muhammad Saw.
Sirah Kaum Muslimin dan Ulama
Jika dikatakan bahwa perayaan milad adalah jenis penghormatan bersumber dari al-Quran, maka hal itu telah diterima oleh sebagian besar kaum muslimin semenjak zaman dahulu dan sejarah membuktikan bahwa semenjak lama telah diadakan perayaan.
Tidak diketahui secara pasti kapan peringatan ini dimulai, para khatib membacakan kemuliaan-kemuliaan Nabi Muhammad. Sangat banyak ulama Ahlusunah yang mengakui laporan-laporan sejarah tentang diadakannya hari perayaan atas kelahiran Nabi Muhammad Saw dan menganjurkan supaya mengadakannya:
1. Ahmad bin Muhammad terkenal dengan Qasthalani (w. 923) ulama terkenal pada abad ke-9, terkait dengan perayaan-perayaan yang dilaksanakan pada bulan kelahiran Nabi Saw berkata: Kaum muslimin selalu mengadakan perayaan-perayaan pada hari kelahiran Nabi, menyediakan hidangan pada acara itu. Pada malam hari mereka memberikan sedekah, menampakkan kebahagiaan di wajah-wajah mereka dan mereka akan lebih nampak senang, membaca syair-syair berupa pujian-pujian kelahiran Nabi Muhammad Saw dan lainnya. Berkah dari Nabi Muhammad akan semakin nampak pada setiap tahunnya. Rahmat Allah akan meliputi orang-orang yang mengadakan perayaan pada kelahiran Nabi Muhammad Saw.[7]
2. Husain bin Muhamad bin Hasan terkenal dengan Diyar Bakri (w. 960) yang merupakan salah seorang qadhi Mekah, pada buku sejarah karangannya menulis: Kaum Muslimin selalu mengadakan perayaan kelahiran Nabi Muhammad Saw pada bulan kelahiran beliau, memberikan hidangan, bersedekah pada malam-malamnya, menampakkan kebahagiaan dan kesenangan, berbuat baik kepada orang-orang fakir, membaca syair-syair pujian dan menampakkan keutamaan-keutamaan Nabi Muhammad Saw.[8]
3. Ibnu ‘Ibad: Menurut saya, maulud nabi merupakan hari-hari bahagia bagi kaum Muslimin dan barang siapa yang berbahagia kemudian mengenakan baju baru dan menyalakan lampu-lampu, menampakkan kebahagiaan, maka ia melakukan pekerjaan mubah.[9]
4. Seeorang bertanya kepada Suyuthi (w. 911 H): Membacakan lagu-lagu pujian pada bulan Rabiul Awal merupakan hal-hal yang baik ataukah buruk? Apakah orang-orang yang melakukannya akan mendapat pahala ataukah tidak? Suyuthi dalam menjawab pertanyaan itu berkata: Jawabannya adalah bahwa sejatinya, pengucapan pujian-pujian atas kelahiran Nabi Saw adalah mengumpulkan orang-orang untuk melantunkan pujian-pujian, membaca sebagian dari al-Quran dan riwayat-riwayat serta hadis-hadis yang berkaitan dengan Nabi Muhammad Saw. Pada acara penutupan disuguhkan dan dibagikan hidangan kepada para peserta. Pekerjaan ini adalah pekerjaan yang terpuji dan bagi orang-orang yang ikut dan penyandang dana kegiatan ini akan memperoleh pahala karena dengan amalan ini, kedudukan Nabi Muhammad Saw akan nampak dan kuat.[10]
5. Syaikh Abdullah Harari (w. 1429) terkenal dengan Habasyi berkata: Mengadakan acara dan mengingat Nabi Muhammad Saw merupakan pekerjaan mulia dan tidak ada dalil untuk mengingkari pekerjaan itu, bahkan sebaliknya merupakan sunah hasanah.[11] [iQuest]
فَالَّذینَ آمَنُوا بِهِ وَ عَزَّرُوهُ وَ نَصَرُوهُ وَ اتَّبَعُوا النُّورَ الَّذی أُنْزِلَ مَعَهُ أُولئِکَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Maka orang-orang yang beriman kepadanya, mendukungnya, menolongnya, dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung. “[1]
Ayat ini memberikan pelajaran kepada kaum Muslimin:
1. “Amanu bihi”: Berimanlah kepada Nabi Muhammad Saw
2. “‘Azzuruhu”: Dukunglah Nabi Muhammad Saw
3. “Wanasharuhu”: Tolonglah ketika beliau menghadapi kesusahan
4. “Wattaba’unnuralladzi unzila ma’ahu”: Ikutilah al-Quran yang telah diturunkan kepadamu.
Hampir sama dengan kandungan ayat ini, dalam surah Fath ayat 9 juga dianjurkan melakukan hal ini.
Mengingat bahwa dua ayat di atas menghormati dan memuliakan Nabi Muhammad Saw sebagai kewajiban, apakah acara-acara yang diadakan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Saw bukan merupakan cara untuk memenuhi perintah ke dua ayat ini? Jelaslah bahwa jawabannya iya, dan setiap orang yang melihat acara ini maka hal itu adalah bentuk-bentuk untuk mewujudkan kasih sayang, menghormati dan memperingati kelahiran Nabi Muhammad Saw. Oleh itu, amalan kaum muslimin yang memiliki dasar dalam Al-Quran dan prinsip-prinsip samawi ini, maka bukanlah bid’ah. Bid’ah adalah aktivitas-aktivitas yang baru muncul, tidak memiliki dasar dan asas.[2]
Terkait dengan hal ini, dalam firman-Nya yang lain kita membaca bahwa Allah Swt mengisyaratkan bahwa hal yang perlu diperhatikan adalah:
وَرَفَعْنا لَکَ ذِکْرَکَ
“Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu” [3]
Ayat ini menunjukkan bahwa menghormati beliau merupakan salah satu nikmat Ilahi. Oleh karena itu, salah satu sarana untuk mengenalkan Nabi Muhammad Saw adalah memuliakan kelahirannya, bergembira dan menjauhkan diri dari hal-hal yang melenakan dan mengandung dosa pada hari kelahirannya merupakan jenis-jenis untuk menghormati dan meninggikan kedudukannya.[4]
Terkait dengan permasalahan bahwa hari kelahirannya dijadikan sebagai hari raya, apa salahnya? Apakah kelahiran Nabi tidak lebih berharga dari pada turunnya maidah atas khawariyun dan mereka menjadikan hari raya pada hari itu?
“Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepadamu. Barang siapa di antara kamu yang sesudah (hidangan itu turun), maka sesungguhnya Aku akan menyiksanya dengan siksaan yang tidak pernah Aku timpakan kepada seorang pun di antara umat manusia.”[5]
Sesungguhnya apabila hari turunnya hidangan (nikmat yang terbatas dan cepat hilang) layak dijadikan sebagai hari perayaan selama bertahun-tahun, mengapa kelahiran Nabi Saw atau hari mab’atsnya yang merupakan nikmat besar dan abadi Ilahi bagi manusia tidak lebih layak untuk dihormati?
Oleh itu, setiap kali kaum Muslimin dalam setiap hari dan setiap bulan atau setiap tahun sekali mengadakan majelis-majelis yang di dalamnya berisi untuk mengingatkan kembali keutamaan-keutamaan Nabi Muhammad Saw, membacakan ayat-ayat yang berkenaan dengan beliau, membacakan syair-syair pujian kepadanya, pada hakekatnya ia telah melakukan perintah Allah Swt untuk memuliakan dan menghormati Nabi Muhammad Saw dan sebab bahwa hanya hari kelahirannya saja yang dikhususkan untuk memperingati hal ini adalah bahwa hari kelahirannya adalah nikmat yang besar, oleh itu, sangat baik jika pada hari mengadakan perayaan kelahirannya tanpa menisbatkan perayaan kepada ketentuan-ketentuan syara’, namun pemilihannya karena pilihan faktor-faktor tertentu dan tidak berkaitan dengan masalah-masalah syara’.
Ibnu Taimiyyah dan sebagian pengikutnya yang pada masa sekarang berada yang beraliran Wahabi, dengan klaim bahwa acara-acara peringatan kelahiran Nabi tidak dilakukan pada masa sahabat, menganggap bahwa peringatan kelahiran Nabi merupakan salah satu jenis bid’ah.[6]
Namunm, berdasarkan dalil-dalil yang ada dalam al-Quran tentang penghormatan Nabi Muhammad Saw, pelaksanaan perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad Saw tanpa adanya disertai kemaksiatan di dalamnya tentu merupakan contoh yang paling baik dari bentuk-bentuk pengormatan dan usaha memuliakan Nabi Muhammad Saw.
Sirah Kaum Muslimin dan Ulama
Jika dikatakan bahwa perayaan milad adalah jenis penghormatan bersumber dari al-Quran, maka hal itu telah diterima oleh sebagian besar kaum muslimin semenjak zaman dahulu dan sejarah membuktikan bahwa semenjak lama telah diadakan perayaan.
Tidak diketahui secara pasti kapan peringatan ini dimulai, para khatib membacakan kemuliaan-kemuliaan Nabi Muhammad. Sangat banyak ulama Ahlusunah yang mengakui laporan-laporan sejarah tentang diadakannya hari perayaan atas kelahiran Nabi Muhammad Saw dan menganjurkan supaya mengadakannya:
1. Ahmad bin Muhammad terkenal dengan Qasthalani (w. 923) ulama terkenal pada abad ke-9, terkait dengan perayaan-perayaan yang dilaksanakan pada bulan kelahiran Nabi Saw berkata: Kaum muslimin selalu mengadakan perayaan-perayaan pada hari kelahiran Nabi, menyediakan hidangan pada acara itu. Pada malam hari mereka memberikan sedekah, menampakkan kebahagiaan di wajah-wajah mereka dan mereka akan lebih nampak senang, membaca syair-syair berupa pujian-pujian kelahiran Nabi Muhammad Saw dan lainnya. Berkah dari Nabi Muhammad akan semakin nampak pada setiap tahunnya. Rahmat Allah akan meliputi orang-orang yang mengadakan perayaan pada kelahiran Nabi Muhammad Saw.[7]
2. Husain bin Muhamad bin Hasan terkenal dengan Diyar Bakri (w. 960) yang merupakan salah seorang qadhi Mekah, pada buku sejarah karangannya menulis: Kaum Muslimin selalu mengadakan perayaan kelahiran Nabi Muhammad Saw pada bulan kelahiran beliau, memberikan hidangan, bersedekah pada malam-malamnya, menampakkan kebahagiaan dan kesenangan, berbuat baik kepada orang-orang fakir, membaca syair-syair pujian dan menampakkan keutamaan-keutamaan Nabi Muhammad Saw.[8]
3. Ibnu ‘Ibad: Menurut saya, maulud nabi merupakan hari-hari bahagia bagi kaum Muslimin dan barang siapa yang berbahagia kemudian mengenakan baju baru dan menyalakan lampu-lampu, menampakkan kebahagiaan, maka ia melakukan pekerjaan mubah.[9]
4. Seeorang bertanya kepada Suyuthi (w. 911 H): Membacakan lagu-lagu pujian pada bulan Rabiul Awal merupakan hal-hal yang baik ataukah buruk? Apakah orang-orang yang melakukannya akan mendapat pahala ataukah tidak? Suyuthi dalam menjawab pertanyaan itu berkata: Jawabannya adalah bahwa sejatinya, pengucapan pujian-pujian atas kelahiran Nabi Saw adalah mengumpulkan orang-orang untuk melantunkan pujian-pujian, membaca sebagian dari al-Quran dan riwayat-riwayat serta hadis-hadis yang berkaitan dengan Nabi Muhammad Saw. Pada acara penutupan disuguhkan dan dibagikan hidangan kepada para peserta. Pekerjaan ini adalah pekerjaan yang terpuji dan bagi orang-orang yang ikut dan penyandang dana kegiatan ini akan memperoleh pahala karena dengan amalan ini, kedudukan Nabi Muhammad Saw akan nampak dan kuat.[10]
5. Syaikh Abdullah Harari (w. 1429) terkenal dengan Habasyi berkata: Mengadakan acara dan mengingat Nabi Muhammad Saw merupakan pekerjaan mulia dan tidak ada dalil untuk mengingkari pekerjaan itu, bahkan sebaliknya merupakan sunah hasanah.[11] [iQuest]
[1] (Qs Al-A’raf [7]: 157)
[2] Subhani, Ja’far, Rahnamâi Haqiqat, hal. 183-184, Tehran, Nasyar Masy’ar, cet. 5, 1387 S.
[3] (Qs Insyirah [94]: 4)
[4] Subhani, Ja’far, Rahnamâi Haqiqat, hal. 184; Subhani, Ja’far, Buhuts fi Milal wa al-Nahl, jil. 4, hal. 170-171, Qum, Muasasah Nasyar al-Islami, Muasasah Imam Shadiq As.
[5] (Qs Al-Maidah [5], 114)
[6] Silahkan lihat: Ibnu Baz, Abdul Aziz bin Abdulah, Majmu’ah Fatawâ wa Maqalât Mutanawi’ah, jil. 1 hal. 178, Riyadh, Dar al-Qasim, cet.1 , 1420 H; Al-Fauzan, Saleh bin Fauzan, Ta’rifha, Anwâ’iha wa Ahkâmiha, hal. 31-35; Riyadh, Al-Maktab al-Ta’awani lil Dau’ah wa al-Irsyad wa Tau’iyah al-Jaliyat Basalthanah, cet. 3, 1422 H; Ibnu Taimiyyah Harani, Ahmad bin Abdul Halim, Iqtidhâ Shirâth al-Mustaqim Ashâb al-Jahim, jil. 2, hal. 121-123, Beirut, Dar Alam al-Kitab, cet. 7, hal. 1419 H.
[7] Qasthalani, Ahmad bin Muhammad, Al-Mawâhib al-Laduniyah bil Manah al-Muhammadiyah, jil.1, hal. 89, Qahirah, Al-Maktabah al-Taufqiyah, tanpa tahun.
[8] Diyar Bakri, Syaikh Husain, Târikh al-Khâmis fi Ahwâl Anfus al-Nafis, jil. 1, hal. 223, Beirut, Dar Shadir, tanpa tahun.
[9] Anshari, Ismail bin Muhammad, Al-Qaul al-Fashl fi Hukm al-Ihtifal bimaulid Khair al-Rusul, hal. 173, Riyadh, Wizarat al-Syu’un al-Islamiyah wa al-Auqaf wa al-Dau’ah wa al-Irsyad, 1416 H.
[10] Jalaluddin Suyuthi, Abdurahman bin Abi Bakar, Al-Hâwi lil Fatawâ, jil. 1, hal. 221-222, Dar al-Fikr lil Mathbu’ah wa al-Nasyar, 1424 H.
[11] Harari, Abdullah, Al-Rawâih al-Zakiyah fi Maulid Khairil Bariyyah, hal. 30, Dar al-Masyari’, Cet. 5, 1430 H.
Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar