Please Wait
18384
Sebelum kami menjawab pertanyaan ini, ada beberapa penjelasan dan mukadimah yang kami anggap perlu dijelaskan di sini sebagai berikut:
1. Dengan memperhatikan tema pertanyaan di atas, tidak disebutkan makna, pembagian, dan dalil-dalil kemaksuman (kesucian dari segala bentuk dosa dan kesalahan);
2. Pendapat-pendapat yang beragam terkait dengan persoalan kemaksuman tidak dijadikan obyek pembahasan;
3. Menghindari dengan tidak menyebutkan seluruh ayat yang secara lahiriah menegaskan tentang kemaksuman para nabi As atau secara lahiriah tidak menegaskan kemaksuman para nabi.
Dengan memperhatikan tiga poin diatas, ayat-ayat yang berkaitan dengan kemaksuman akan dikaji dalam dua pembahasan, pertama adalah ayat-ayat tentang kemaksuman, kedua adalah ayat-ayat yang secara lahiriah, sesuai dengan klaim, tidak menegaskan tentang kemaksuman nabi.
Pembahasan pertama: Ayat tentang kemaksuman. Dalam kitab suci al-Quran terdapat begitu banyak ayat yang berbicara tentang kemaksuman para nabi. Pada ayat 124 surah al-Baqarah disebutkan bahwa janji dan amanah Allah (maqam kenabian dan imamah) tidak akan meliputi orang yang zalim bahkan meski hanya sesaat melakukan kezaliman dimana contoh nyata kezaliman itu adalah kekufuran, syirik, dosa, dan kesalahan-kesalahan besar dalam hidup mereka. Fakhrurazi salah seorang mufassir Ahlusunnah dalam tafsir-nya berkata, ”Bahwa ayat ini menjadi dalil bahwa imam dan nabi bukanlah seorang pendosa”.[i]
Dari sisi inilah ayat tersebut menjadi alasan kesemestian maksumnya seorang nabi, baik itu kemaksuman sebelum kenabian maupun kemaksuman setelah kenabian.[ii] Pada ayat ketujuh surah Hasyr Allah berfirman, ”Apa yang diberikan rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”.
Seperti yang telah ditegaskan oleh mayoritas mufassir bahwa ayat ini berbicara secara umum dan termasuk ketaatan mutlak terhadap seluruh perintah orang yang menduduki pos kenabian.[iii] Dan sangat jelas bahwa apabila orang-orang yang memangku jabatan kenabian tidak terjaga dan maksum dari segenap dosa dan kesalahan maka tidak ada jaminan pelaksanaan ketaatan dan perintah ini.[iv]
Pembahasan kedua: Apakah ada ayat di dalam al-Quran yang menyatakan bahwa para nabi itu berbuat salah dan dosa? Secara lahiriah sebagian ayat menujukkan seolah para nabi – khususnya sebagian tertentu dari mereka – sedemikian melakukan dosa dan kesalahan sehingga pada awalnya mereka telah meminta ampunan dari Allah ataukah mendapatkan ampunan Ilahi setelah menerima kemurkaan dan hajaran dari Allah.
Namun sejatinya sebagaimana penyebutan dan peninjauan secara selintas terhadap pelbagai hipotesa dan teori-teori ilmiah bukan merupakan perbuatan yang patut dan memahaminya dengan tidak profesional akan menyebabkan munculnya pelbagai kesulitan, apatah lagi penafsiran dan pengkajian ayat-ayat al-Quran tentu lebih memerlukan media, pelbagai syarat, dan metode-metode yang tepat dan layak.
Kendati pada kesempatan ini, kita tidak dapat mengkaji dan meneliti seluruh ayat terkait, namun kami akan menyinggung beberapa jawaban dan perkara universal dengan menggunakan terjemahan tentunya akan sangat bermanfaat menjelaskan masalah ini. Kami berharap setiap orang yang merujuk kepada al-Quran dengan mengindahkan dan memperhatikan pembahasan ini, kita menciptakan hubungan khusus antara perkara ini dan ayat-ayat yang ingin diterjemahkan dan dipahami pesannya bersama.
Pada sebagian ayat mengisahkan tentang maksiat dan pelanggaran sebagian nabi seperti kisah Nabi Adam As dimana dalam hal ini kita harus menjawabnya sebagai berikut:
1. Perintah dan larangan, tidak selamanya digunakan dalam makna yang sebenarnya (hakiki). Dalam kaitannya dengan pemberian cobaan kepada seseorang ataukah dalam bentuk usulan - untuk sampai pada tujuan pribadi- istilah ini biasa juga di gunakan. Dalam persoalan ini sama sekali tidak ada taklif yang di bebankan. Dan konsekuensinya dengan tidak melaksanakan perintah secara sempurna ini tidak akan bermakna pelanggaran atau kesalahan. Poin ini dapat kita temui pada surah surah A’raf (7) ayat 27, surah Thaha (20) ayat 115, 117 – 119, dan 121;
2. Pelaksanaan beberapa perbuatan meskipun ia tak dapat dianggap sebagai dosa akan tetapi dengan memperhatikan derajat, kedudukan ataukah posisi keilmuwan dari orang yang melakukan perbuatan tadi tetap akan dianggap sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan oleh orang tersebut. Boleh jadi, pekerjaan tersebut dilakukan oleh orang lain akan tampak sebagai pekerjaan biasa saja atau bahkan akan dianggap sebagai pekerjaan yang utama. Dari sisi lain kata “maksiat” memiliki makna yang luas dan tidak hanya bermakna meninggalkan kewajiban atau melaksanakan pekerjaan haram. Karena apabila seseorang meninggalkan perbuatan mustahab maka ia telah berbuat maksiat (meninggalkan yang utama).[v] Ayat-ayat yang menyoroti persoalan ini adalah Qs. Qhasas (28): 25, Qs. Syuara (26): 39 dan 82, Qs. Fath (48): 2;
3. Kata ”dhalâlat“ secara leksikal bermakna menyimpang dari jalan yang lurus, namun memiliki makna yang luas dan tidak hanya berarti “ tersesat dari agama yang benar”, akan tetapi kata ini juga berarti “terjatuh di jalan yang sedikit berbahaya dan sedikit bermasalah.” Ayat-ayat ke 20 surah Syuara (26) dan ayat 6-8 surah Al-Dhuha (93) dapat kita jadikan obyek kajian dan penafsiran yang sesuai dengan matlab di atas;
4. Terkadang manusia bercakap-cakap dengan sesamanya – khususnya pada tataran berargumentasi, membela (sebuah pendapat) dan memuaskan (pendengar) - memberikan sebuah atribut kepada dirinya akan tetapi ia tidak menggunakan makna hakikinya dan semata-mata bersikap toleran dengan yang lain. Dalam hal ini kita dapat menyimak Qs. Syuara (26): 20, Qs. Qashas (28): 15, Qs. Al-An’am (6): 76 & 78;
5. Pada sebagian ayat laininya, secara lahiriah disebutkan hukuman dan redaksi keras yang dilayangkan kepada para nabi semisal penggunaan peribahasa yang mengatakan, “Saya berkata kepada pintu tapi yang mendengarkan adalah dinding” dimana sejatinya ayat-ayat ini dialamatkan kepada masyarakat umum. Ayat-ayat yang terkait dengan persoalan ini dapat kita jumpai pada surah seperti Qs. Al-An’am (6): 68, Qs. Hud (11): 37, Qs. Yunus (10): 94, Qs. Al-Baqarah (2): 147, Qs. Ali-Imran (3): 60, Qs. Hud (11): 17 dan Qs. Al-Sajadah (32): 23;
6. Jalan lain yang digunakan untuk mengagungkan atau merendahkan orang lain adalah penggunaan bahasa kiasan sebagaimana yang kita jumpai pada Qs. Fath (48):2. Dengan penjelasan bahwa bagi kaum musyrik tidak ada orang yang lebih berdosa dari Nabi Islam dan setelah kemenangan Nabi Saw dosa-dosa yang disandarkan kaum musyrikin kepada Nabi Saw tidak dipandang dan tidak lagi memandang Nabi Saw sebagai pendosa;
7. Pada sebagian ayat-ayat Quran, pada saat Nabi Muhammad Saw memberikan penisbahan kepada dirinya atau orang lain, beliau menyajikannya dalam bahasa syarat dengan menggunakan kata “jika.“ Model bahasa yang seperti ini tentunya tidaklah menjadi dalil atas terjadinya kandungan proposisi syarat tersebut. Sebagaimana yang tertuang pada ayat 62 dan 63 surah Al-Anbiya :(21) .
8. Terbunuhnya seorang pengikut Fira’un di tangan Nabi Musa As adalah bagian dari qisas karena telah membunuh banyak bayi
9. Imam Ali As memandang bahwa kesalahan yang dinisbahkan kepada para Nabi di dalam al-Quran adalah lantaran Allah Swt ingin menyampaikan bahwa para Nabi tidaklah memiliki seluruh dan secara mutlak sifat-sifat kesempurnaan Tuhan sehingga tidak seorang pun yang berpikir bahwa mereka (nabi-nabi) tidaklah memiliki sifat uluhiyat (yang mengharuskan disembah).
[i] Fakhrurazi , Tafsir Kabir jilid10 hal 193
[ii]. Tafsir Ruh al-Bayân, jil. 1, hal. 338
[iii]. Terjemahan Al-Quran, Ayatullah Makarim Syirazi, Tafsir Amtsal, Tafsir Nur, Al-Mizan, dan Payâm-e Qurân.
[iv]. Untuk keterangan lebih jauh tentang ayat-ayat yang berbicara tentang kemaksuman nabi silahkan lihat, Qs. al-Nisa (4):65, Qs. al-Ahzab (33):21 & 33; Qs. al-An’am (8): 90; Qs. al-Najm ():3 & 4;, Qs. Yasin (36) ayat 62, Qs. Shad ayat 45-47,dan ayat 82-83, Qs. Jin ayat 26-28, Qs. al-Zumar ayat 37.Untuk tafsiran ayat ayat yang disebutkan dapat merujuk kepada tafsir al-Mizân, Tafsir Amtsal, Tafsir Nur dan yang lainnya.
[v]. Tafsri Nur al-Tsaqalain, jil. 3,
Sebelum kami memberikan jawaban secara rinci, beberapa poin penting mesti di perhatikan di sini:
1. Karena pertanyaan yang disebutkan terkait dengan persoalan kemaksuman atau ketidakmaksuman para nabi-nabi Allah, karena itu kami menghindari pembahasan seperti makna, pembagian serta dalil-dalil kemaksuman (dalil rasional dan referensial) meskipun dengan meneliti ayat-ayat ini akan memberikan manfaat yang banyak.
2. Terdapat perbedaan pendapat dan pandangan terkait dengan kemaksuman dan tidak menjadi obyek pembahasan di sini.
3. Menghindar dengan tidak menyebutkan seluruh ayat yang secara lahir menegaskan tentang kemaksuman para nabi As atau secara lahir tidak menegaskan kemaksuman para nabi.
Dengan demikian, jawaban dari pertanyaan akan dijelaskan dalam dua bagian:
A. Ayat-ayat tentang kemaksuman.
B. Mengkaji dan meniliti ayat-ayat yang menegaskan secara lahiriah tentang tiadanya kemaksuman para nabi.
A. Ayat-ayat tentang kemaksuman
Meski ada klaim tentang adanya ayat-ayat menunjukkan tentang kemaksuman, namun terdapat banyak ayat yang menjelaskan bahwa para nabi itu harus maksum. Sebagian ayat-ayat tersebut akan disebutkan di bawah ini:
1. “Sesungguhnya Aku menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.” Ibrahim berkata, “Dan dari keturunanku (juga)?” Allah berfirman, “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim.” (Qs. Al-Baqarah [2]:124)[1]
Meski banyak poin dan pelajaran yang dapat dipetik dari ayat ini namun perkara ini harus disebutkan bahwa ketika Nabi Ibrahim As mampu menghadapi pelbagai ujian penting ini maka Tuhan menganugerahkan makam “imamah” kepadanya sebagai ganjaran.
Kemudian Nabi Ibrahim As Memohon kepada Tuhannya supaya menganugerahkan maqam ini kepada keturunan beliau. Dan Allah Swt berfirman bahwa orang-orang zalim tidak akan pernah mencapai kedudukan ini.
Satu hal yang jelas bahwa orang-orang yang melakukan kezaliman atau mereka yang pernah melakukan amal perbuatan yang tidak benar meskipun hanya sesaat di dalam hidupnya akan termasuk orang yang zalim.
Dari sisi inilah mufassir Fakhrurazi dalam tafsiran ayat ini menyatakan bahwa para nabi adalah sekaligus imam dan imam tidak boleh dari orang yang fasik dan pendosa. Maka dengan demikian, dari kaidah ini juga akan menyatakan bahwa para nabi bukanlah pendosa dan bukanlah orang yang fasik. [2]
Pada ayat ini juga digunakan kata “ahdy” yang berarti “janji “ akan tetapi ahdy yang di maksudkan di sini adalah kenabian atau ke imamahan, akan tetapi meskipun kedua maksud di sini adalah keimamahan atau kenabian keduanya-duanya tidak akan pernah dicapai oleh orang yang berbuat kemakziatan atau berbuat zalim.[3]
Namun demikian, pernyataan yang seperti ini akan terasa kurang atau tidak sempurna karena kalau kita menyatakan bahwa setiap nabi itu adalah seorang Imam dimana Imam memiliki kedudukan yang lebih luas dari dari posisi kenabian, hal ini akan membutuhkah pembahasan pada kesempatan lain .
Tapi satu hal yag mesti di perhatikan dari pernyataan Fakhrurazi di sini adalah pengakuan dia bahwa seorang nabi mestilah harus maksum (suci) baik pada saat ia telah terpilih sebagai seorang nabi ataupun sebelum terpilih sebagai seorang nabi.[4]
1. Ayat Al-Quran yang berbunyi, “Apa yang diberikan rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya [5]
Dengan memperhatikan secara seksama ayat yang di sebutkan diatas maksud dari kalimat “Wa ma atakumur Rasul (dan apa-apa yang diberikan oleh Nabi Saw)”, karena point yang dibahas selanjutnya adalah “Wa ma nahakum anhu fantahu (dan apa-apa yang kalian dilarang darinya maka jauhilah)”.[6]
Dengan alasan ini, begitu banyak mufassir yang memberikan penjelasan bahwa Ayat ini berbicara secara umum.11 Sesuai dengan ayat ini segenap perintah dan larangan yang di berikan oleh Nabi harus dipatuhi dan ditaati karena ketaatan di sini adalah ketaatan mutlak tanpa ada syarat. Dengan demikian, kemaksuman adalah jaminan yang di mestikan dari ayat ini. Kalau kemudian bukan kemaksuman yang dimaksudkan di sini maka perintah akan dosa atau perbuatan makziat akan melazimkan adanya pelarangan dan peringatan.
2. Ayat Quran yang berbunyi, “Barang siapa yang menaati rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”. [7]
Ayat ini memberikan pahaman yang hampir sama dengan ayat sebelumnya dimana Fakhrurazi di dalam tafsirannya ia mengatakan bahwa ayat ini adalah dalil atau alasan yang paling kuat akan kemaksuman Nabi Islam saw dimana segenap perintah yang diberikan oleh nabi baik perintah atau larangan adalah penyampaian wahyu ilahi.[8]
Ayat lain yang berbicara tentang kemaksuman Nabi dari sisi kebagaimanaan kemaksuman seorang Nabi memerlukan pembahasan tersendiri, namum kami tidak sempatkan membahasnya di sini melainkan hanya dengan memberikan beberapa isyarah akan ayat-ayat yang berbicara tentang itu
3. Surah al-Nisa ayat 65, Surah al-Ahzab ayat 21, surah al-An’am ayat 90,Surah al-Najm ayat ke 34 Surah al-Zumar ayat ke 37, surah Yasin ayat 62, surah Shad ayat 45 – 47 dan ayat 80, surah al-Jin ayat 26-28.
Kesimpulan, kita akan menjumpai dalil-dalil akal akan kemaksuman nabi yang akan dituangkan dalam tulisan ini begitupun dengan ayat-ayat al-Quran serta riwayat para Imam Maksum Ahlulbait.
B. Mengkaji ayat-ayat yang menegaskan secara lahiriah tentang tiadanya kemaksuman para nabi
Pembahasan tentang ayat-ayat yang secara lahiriah menyatakan atau memberikan keterangan akan ketidakmaksuman seorang nabi, sebagaimana yang telah kami berikan isyarah pada pembahasan sebelumnya.
Sebahagian ayat-ayat Quran secara lahiriah mengungkap perbuatan dosa atau kesalahan yang dilakukan oleh para nabi seperti kesalahan atau dosa yang di lakukan oleh Nabi Adam As. [9]
Atau ayat lain yang mengatakan bahwa Nabi Adam As lalai akan janji yang telah diikrarkan dihadapan Tuhannya.[10] Atau permohonan ampun dari Nabi Nuh As [11] atau ayat tentang berbohongnya Nabi Ibrahim As.[12] Pernyataan akan kondisi sakitnya Nabi Ibrahim As pada saat dia lagi sehat dan ia tidak mau mengikuti kaum kafir yang hendak melaksanakan pesta penyembahan patung.[13] Dan ayat yang lainnya..
Dari sisi ini, sebuah pertanyaan menarik dapat kita utarakan terkait dengan ayat ayat yang kami sebutkan di atas, pertama adalah apakah dengan ayat ayat tadi kita dapat menerima bahwa
Jawaban akan soal ini akan kita teliti dengan memperhatikan ayat-ayat yang ada tadi dengan mengumpulkan nama-nama Nabi yang disebutkan.[14]
Pembagian yang pertama: Ayat yang berbicara tentang pelanggaran nabi Adam As yang karena termakan fitnah setan, kelupaan yang dinisbahkan kepada nabi-nabi yang lainnya. Surah Al-A’raaf ayat 27, Surah Thaha ayat 115,117-119, dan ayat 121.
Dari kumpulan tafsir yang berbicara tentang ayat-ayat ini kami dapat memberikan tiga jawaban secara umum.
Jawaban pertama: Pelarangan yang di berikan kepada Nabi Adam As adalah bersifat ujian. Dengan memperhatikan bahwa Nabi Adam As diciptakan oleh Allah Swt untuk dijadikan khalifah atau wakil Allah di muka bumi dan bukanlah untuk keabadian di dalam surga, dan surga tentunya tidaklah memiliki tanggung jawab (taklif) dan maksiat yang dilakukan oleh Nabi Adam As adalah di surga dan bukan di bumi, dan takkalah beliau dikirim ke bumi ia dijadikan sebagai khalifah Allah di muka bumi kemudian beliau mencapai maqam kemaksuman.
Dari riwayat lain juga di isyarahkan dari Imam Ridha As.[15] Kesimpulannya adalah bahwa segenap perintah dan larangan Allah adalah semata-mata untuk memperkenalkan Nabi Adam As dengan masalah-masalah yang akan ia hadapi di muka bumi nanti dalam kaitannya dengan persoalan wajib dan haram. Dan Nabi Adam As hanya tidak melaksanakan sebuah perintah yang sifatnya ujian dan bukanlah sebuah perintah yang sifatnya wajib.
Jawaban kedua: Larangan Nabi Adam As adalah larangan yang sifatnya Irsyadi sebuah larangan dan perintah yang dipahami oleh para Nabi termasuk Nabi Adam AS. Seperti perintah dan larangan yang di berikan oleh seorang Dokter, misalnya seorang dokter memerintahkan kepada pasiennya untuk tidak memakan makanan tertentu karena makana tersebut mungkin berbahaya bagi si pasien.
Perintah dan larangan di sini kalau si pasien tidak menaati maka akan berbahaya bagi kesehatannya atau bahkan akan mengancam jiwanya dan ini tidak berarti ia telah melanggar perintah dokter dan menyebapkan dokter tadi marah. Oleh karena itu, meskipun Nabi Adam As dikatakan melanggar perintah tapi bukan perintah yang jika tidak dikerjakan bermakna menentang atau melanggar.
Ada beberapa bukti yang bisa kita lihat terkait dengan argumen ini surah Thaha ayat 117-119, “Maka kami berkata, “Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu jatuh dalam kesengsaraan hidup. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalam surga dan tidak akan telanjang dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya.”
Dari sisi ini sekiranya Nabi Adam As tidak melawan perintah Irsyadi maka ia akan tinggal lebih lama di surga dan salah satu makna dari “Ghawaayat “ yang ada pada ayat sebelumnya adalah untuk menghalangi manusia untuk sampai pada tujuan dan terjauhkan dari nikmat ilahi.
Jawaban ketiga: Ketidaktaatan Nabi Adam As bermakna meninggalkan amal yang lebih baik (at-tarkul awla). Jawaban ini memiliki paling banyak pengikut untuk membuktikan kemaksuman nabi dari segenap dosa. Kami membagi dosa menjadi dua bagian; bagian pertama adalah dosa yang sifatnya mutlak dan yang kedua dosa yang sifatnya nisbi.
Dosa mutlak di sini adalah dosa yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud untuk menentang perintah ilahi dan sama sekali tidak ada pengecualian di dalamnya. Seperti dosa memakan harta haram, mengghibah orang lain, berbuat zalim, dan semacamnya. Sementara yang dimaksud dengan dosa nisbi di sini adalah perbuatan yang dinilai kurang bagus atau bahkan tidak benar dikarenakan posisi atau kedudukan seseorang baik dari sisi keilmuwan maupun dari sisi jabatan kerja. Amal-amal perbuatan yang seperti ini tidak hanya dilihat sebagai aib bahkan terkadang dinilai sebagai keutamaan.[16] (hasanatul abrar sayyiatul muqarrabin).
Dari sisi ini, maksiat sebagaimana pengertian dan defenisi-definisi yang telah kami utarakan diatas pada posisi dosa nisbi ini maksiat dalam pengertian meninggalkan perbuatan yang sunnah atau mustahab. Sebagai contoh sabda Imam Baqir As, ”Adalah satu hal yang mustahab dan bukanlah satu hal yang wajib kalau seseorang tidak melaksanakan salat sunnah harian, tapi orang yang meninggalkan salat wajib adalah kafir, tapi orang yang meninggalkah salat sunnah tidaklah kafir tapi ia telah lalai” [17]. Akan tetapi, dari sisi bahasa ‘ishyân bermakna setiap perbuatan yang keluar dari lingkaran ketaatan baik itu pekejaan wajib maupun mustahab.[18]
Kesimpulan pembahasan, segenap perumpamaan atau peristilahan akan ‘ishyân atau maksiat, dosa, atau pelanggaran dalam kaitannya dengan perbuatan yang di lakukan oleh para Nabi adalah dari sisi at-tarkul awla (meninggalkan pekerjaan yang lebih baik ).[19]
Contoh pertama surah Qasas ayat 15 tentang Nabi Musa As.
Nabi Musa As setelah menyaksikan kezaliman yang dilakukan oleh seorang pengikut Firaun terhadap seorang bani israil dan reaksi yang di timbulkan dari hubungan keduanya. Beliau bersabda, “ini adalah dari pekerjaan setan.”
Point penting yang ada pada riwayat ini adalah bahwa asli persoalan yang ada adalah pertengkaran antara qibti dan sabti, pertengkaran dari dua orang ini adalah pekerjaan setan.[20]
Ayat yang memberikan penisbahan kesesatan (dhalâlah), contoh surah syuara ayat 20 tentang Nabi Musa As .[21]
Kata “dhâlîn” membutuhkan kepada pengenalan pahaman bahasa yang tepat. Kata ini berasal dari kata dasar “dhilâl” yang makna aslinya adalah melepaskan jalan yang lurus dan makna yang lebih meluas tidak hanya berarti tersesat dari agama yang benar.
Pengungkapan riwayat kepada nabi Musa As dalam ayat ini begitu juga dengan penisbahan yang di berikan kepada sebagian nabi-nabi Allah yang lain adalah dari sisi at-tarkul awla. Nabi Musa As dengan membunuh pengikut Firaun menyebabkan jiwanya terancam dan ia melepaskan jalan keselamatan. Dan setelah kejadian itu Nabi Musa As Beliau tidak dapat lagi tinggal di mesir dan ia pergi ke gurun hingga akhirnya bertemu dengan Nabi Syuaib As dan mendapatkan pendidikan beliau untuk dipersiapkan mengemban risalah kenabian.,[22]
Kata dhalâlah dalam ayat ini bermakna menjauh dari pengetahuan akan takdir dari kejadian yang menimpa Nabi Musa As. Tidak tahunya Nabi Musa As bahwa pukulan yang ia berikan kepada pengikut Firaun ini akan menyebabkan kematian orang tersebut dan kematian ini bukanlah kematian yang dikarenakan karena maksud untuk membunuh dengan sengaja, bahwa saya (Nabi Musa As) sama sekali tidak mengetahui akibat dari perbuatan yang ia lakukan.[23].-[24]
Jawaban lain yang dapat di berikan di sini adalah kalimat yang menyatakan “wa Ana minal dhâlîn (aku dari golongan yang sesat), adalah dari sisi persinggungan antara Nabi Musa As dengan pengikut Firaun tadi. Banyangan masalah yang muncul adalah bahwa “aku (Nabi Musa As) dulu adalah tersesat dan saat ini aku telah diberikan hidayah oleh Tuhanku oleh karena itu aku di kirimkan kepada kalian.”[25]
Penekanan akan jawaban ini dapat kita temukan pada ayat 19 dan 21 pada surah yang sama. Firaun pada ayat yang pertama berbicara tentang kekuatan dan kekuasaan yang ia miliki kemudian ia berkata kepada Nabi Musa As “wa anta minal kafirin”, dan pada ayat yang kedua Nabi Musa As mengatakan kepada Firaun … Apa yang engkau katakan? Pada saat itu beliau mengatakan, “Maka Tuhanku menganugerahkan kepadaku hukum dan menjadikanku sebagai rasul.” Saat ini aku adalah utusan Tuhan dan pada waktu itu engkau berpikir aku di dalam kesesatan.
Contoh kedua surah Adhuha ayat 6-8 tentang Nabi Muhammad saw
Yang di maksudkan dengan “dhâllun” pada ayat ini adalah hilangnya kepribadian atau kehormatan seseorang di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Sebuah contoh dari riwayat Imam Ali ridha As dimana beliau dalam sebuah riwayat mengatakan, “dan ia menemukanmu dalam keadaaan sesat, yakni keutamaanmu tidak dikenal oleh orang-orang kemudian Tuhan memperkenalkan mereka kepadamu.”[26]
Contoh ketiga adalah ayat-ayat yang menyatakan bahwa para Nabi juga bisa lupa, seperti surah An-Aam ayat 68 tentang Nabi Muhammad saw.
Meskipun secara lahiriah ayat ini menisbahkan kepada Nabi Muhammad, namun pada kenyataanya ayat ini berbicara kepada para pengikut nabi, sekiranya para pengikut nabi ini terlupa dan mereka ikut pada sebuah majelis yang tercampur dengan dosa, kaum kafir menisbahkan kepada mereka yang ikut dalam majelis adalah orang yang bersih, sekiranya mereka (pengikut nabi) ini mengetahui kondisi yang sedang terjadi di tempat itu maka mereka mestinya segera meninggalkan tempat itu; karena pada ayat yang datang selanjutnya “kalau mereka yang hadir di dalam majelis tersebut adalh orang yang lupa atau di karenakan keterpaksaan,,atau karena untuk mendapatkan kesenangan, maka tiada dosa buat mereka, akan tetapi ikut hadir di dalam majelis ini adalah untuk memberi peringatan kepada mereka yang hadir didalam majelis tadi akan Tuhan, utusannya dan hari akhir, itupun dengan harapan bahwa mereka itu akan menjadi orang yang bertaqwa.”[27]
Kesimpulannya, berbicara kepada orang-orang yang bertaqwa dan sekelompok muslim dan bukan pribadi Nabi, pada hakikatnya ta’bir ini adalah dari sisi pribahasa yang mengatakan, ”Kuberbicara pada pintu namun sayang dinding yang mendengarkan.”[28]
Contoh keempat. Ayat yang berbicara tentang dosa nabi dan permohonan ampunannya. Contoh ayat 82 surah Syuara tentang Nabi Ibrahim As.
Jawaban: Yang dimaksud dengan kata “khathiaty” adalah at-tarkul awla. Meskipun kata ini berasala dari kata dasar “khata” yang berarti kesalahan, kemudian kata ini mengalami perluasan makna yakni mutlak setiap kesalahan baik yang disengaja maupun tidak disengaja, begitu juga dengan at-tarkul awla. Secara umum makna di sini adalah perbuatan salah yang dilakukan dengan tidak sengaja.[29]
Begitu juga dengan Nabi Ibrahim As at-tarkul awla juga meliputi segenap kondisi dan keadaan yang menimpa Nabi Ibrahim As dimana manusia lalai dari Tuhannya. Seperti perbuatan yang dilakukan untuk melanjutkan hidupnya semisal kegiatan makan dan minum, tidur dan istirahat, dan yang lainnya. Perbuatan yang seperti inilah yang terkadang membuat orang lalai dari Tuhan-Nya baik para Nabi maupun para wali Allah, keadaan yang seperti inilah yang dinilai sebagai perbuatan yang tidak kurang dari nilai dosa.[30] (Hasanatul abrar sisstul muqarrabin)
Contoh kelima Surah At-Taubah ayat ke 43 tentang Nabi Muhammad Saw
Jawaban: Pada ayat ini bahasa pertama yang dikeluarkan adalah “Allah telah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang jujur dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?”
Kalau dalam isi ayat kita perhatikan secara seksama maka kata “al-‘afw” dan “’itâb” adalah untuk menegaskan kepada Nabi betapa jeleknya pekerjaan yang di lakukan oleh para munafik. Sebagai contoh seseorang terkadang ingin berada pada posisi tengah dalam kondisi pertengkaran dimana kepadanya dikatakan kenapa engkau memegang tangannya dan tidak membiarkanku untuk menamparnya hingga semua orang memahami bahwa orang ini adalah orang munafik.
Adalah hal yang jelas bahwa perkataan semacam ini adalah bahasa yang sifatnya tidak langsung untuk membahasakan pekerjaan atau kelakuan jelek dari sesesorang.[31] Imam Ridha As dalam sebuah tafsir mengatakan bahwa ayat ini ibaratnya sebuah pribahasa terkenal dalam bahasa arab yang mengatakan, “engkau yang mengatakan, tapi tetangga yang mendengarkan.”[32] Allah Swt menggunakan bahasa yang sama untuk berbicara kepada Nabi-Nya namun yang di maksudkan adalah umatnya.
Contoh keenam adalah ayat yang berbicara bahwa dalam diri seorang nabi juga terdapat keragu-raguan. Contoh surah Yunus ayat 94, al-Baqarah 147, Ali-Imran ayat 60, Hud ayat 17 tentang Nabi Muhammad saw.
Jawaban: Meskipun secara lahiriah ayat ini mengatakan, ”Kalau Engkau ragu akan al-Quran dan wahyu maka janganlah engkau menjadi orang yang meragu”. Namun demikian, tidak ada ayat yang begitu jelas membahasakan bahwa dalam diri seorang nabi juga terdapat keraguan seperti yang diberitakan dalah surah Yunus ayat 94 yang berbunyi, “Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka…” dimana pada ayat ini kata “kalau” di gunakan.
Begitu juuga seseorang yang berbicara dengan teman dekatnya yang dia mengatakan karena aku ingin dia lebih yakin tanpa ada pernyataan akan keyakinan diri dan keraguan, ia mengtakan, “kalau engkau ragu aku akan memberikanmu dalil atau argumentasi”, dan adalah hal yang jelas bahwa perumpamaan ini sebelum adanya keraguan dalam diri seseorang, bahkan menunjukkan akan jelas dan kuatnya tema yang ada dan siap untuk memberikan penjelasan akan tema tersebut.
Contoh ketujuh ialah ayat yang berbicara tentang maghfirah dan ampunan akan dosa nabi, seperti dalam surah Fath ayat 2. [33]
Jawaban: Meskipun ayat ini menjadi alasan akan diampunkannya dosa nabi (dosa-dosa nabi yang terdahulu maupun yang akan datang), akan tetapi yang dimaksud dengan dosa di sini adalah:
1. At-tarkul awla;
2. Dalam sebuah riwayat dari imam Ridha As dalam menjawab pertanyaan dari Makmun yang menanyakan tentang bagaimana kemaksuman seorang nabi terkait dengan ayat ini. Dalam jawaban yang diberikan oleh imam Ridha As, “Tidak ada orang di sisi kaum musyrik mekkah yang memliki dosa yang lebih besar dari Nabi Saw! Dikarenakan mereka ini telah menyembah 360 patung, dan ketika Nabi menyeru mereka kepada ketauhidan kebanyakan mereka tidak menerima dan mereka dengan terkejut mengatakan apakah dia (Muhammad saw) telah menjadikan semua Tuhan kami menjadi satu? Ini adalah satu hal yang aneh! Namun ketika Tuhan memenangkan Nabi Saw atas Mekkah, Tuhan berfirman kepada beliau, ”Wahai Muhammad, Kami telah memberikan kemenangan yang jelas kepadamu supaya kami maafkan dosa-dosamu yang dulu dan yang akan datang tentang seruan tauhidmu kepada kaum musyrik Arab. Karena sebagian kaum musyrik telah beriman dan sebagian lain telah keluar dari Mekkah, dan mereka yang tinggal tidak dapat mengingkari tauhid itu ketika engkau menyeru masyrakat kepada-Nya. Dari sisi inilah kaum musyrikin menisbahkan dosa-dosa itu kepada Nabi dan sama sekali tidak memandang kemenangan Mekkah, mereka ini (kaum musyrik) tetap menganggap beliau sebagai pendosa.”[34]
Contoh kedelapan adalah ayat-ayat yang menyatakan bahwa para nabi itu berbohong dan mengungkap jenis jenis-jenis kebohongan mereka, seperti ayat 62 dan 63 surah An-Biyaa tentang Nabi Ibrahim As.
Jawaban: Meskipun Nabi Ibrahim As dengan menunjuk pada bintang, rembulan, dan matahari lantas beliau mengatakan, “apakah ini Tuhanku”, kemudian beliau menjelaskan itu dengan bahasa ketuhanan. Namun demikian, dengan memperhatikan ayat sebelum dan setelahnya akan jelas bahwa perkataan ini adalah untuk berargumentasi dan bukanlah untuk menyatakan keyakinannya.
Beliau dengan meletakkan masalah yang ada dengan kelompoknya masing-masing ia menyatakan bahwa contoh-contoh seperti rembulan atau matahari adalah pandangan yang sifatnya perumpamaan. Pada saat beliau berargumentasi, semua pandangan yang bersifat perumpamaan tadi itu ia gugurkan. Pada kenyataannya ini adalah salah satu cara untuk menggugurkan pandangan-pandangan kelompok yang menentang beliau, dengan demikian beliau mencobah untuk menggugurkan bentuk-bentuk fanatisme yang ada pada kelompok tadi (kaum musrik).
Di ayat selanjutnya beliau mengatakan, “Wahai umat, saya menerima apa yang engkau jadikan persekutuan bagi Tuhan”.[35]
Contoh kesembilan adalah surah al-Ahzab ayat 37 tentang Nabi Muhammad Saw.
Jawaban: Dengan memperhatikan tambahan akan ungkapan yang diberikan oleh Quran, coba kita perhatikan sebuah riwayat dari Iman Ali Zainal Abidin As. Hadis ini di riwayatkan oleh seorang Mufassir terkenal, Qurthubi, ia mengatakan, “Telah diturunkan wahyu kepada Nabi Saw bahwa istri Zaid yang bernama Zainab akan ia ceraikan dan pada akhirnya Nabi dikarenakan untuk menjaga kasih sayang sesama manusia dengan beberapa hikmah yang lainnya akan menikahnya.[36]
Dari sisi inilah, ketika Zaid mengunjungi nabi saw ia menyatakan tentang akhlak Zainab yang tidak taat, karenanya ia ingin menceraikannya. Nabi saw memberikan nasehat kepadanya dan bersabda, “Janganlah engkau berkata demikian dan tetaplah bersama dengan istrimu.” Namun pada saat yang sama Rasulullah saw yakin bahwa keduanya pada akhirnya akan berpisah dan sesuai dengan wahyu yang diturunkan kepada Nabi beliau akan menikah dengan putri bibi nabi tadi.
Dengan alasan inilah, informasi ini tidak lain adalah bahasa wahyu yang disimpan dalam hati Sang Nabi, akan tetapi beliau juga tidak ingin memberikan perintah kepada Zaid untuk menceraikan istrinya, karena beliau tidak ingin masyarakat akan mencelanya, bagaimana beliau bisa ridha bahwa Zaid yang sebelumnya adalah budaknya dan kemudian ia jadikan sebagai anak angkatnya dan kemudian beliau akan menikahi istri yang telah di ceraikannya.
Dan dari sisi lain beliau menyetujui perceraian yang dilakukan oleh Zaid, ini adalah sebagian dari gosip dan berita bohong yang dilimpahkan kepada Nabi. [37]
Bagiamana Nabi bisa menikah dengan Zainab dan menjadikannya sebagai istri, tapi Allah Swt memerintahkan kepada Nabi untuk tidak takut menikah dengan putri bibinya karena ini adalah hal yang dibolehkan oleh agama ( yakni menikah dengan istri anak angkat). Karena Allah Swt memberitahukan kepada Nabi-Nya bahwa yang layak ditakuti hanyalah Allah Yang Maha Suci.
Poin lain yang mesti diperhatikan dari perkataan Qurthubi adalah pendapat ini sebagai penafsiran yang paling baik terkait dengan ayat-ayat itu dan semua mufassir menerima pendapat yang di kemukakan ini. Kemudian Tirmidzi dalam kitab Nawadirul wushul mengatakan bahwa Imam Ali Zainal Abidin As bersabda bahwa perkataan ini adalah bagian dari harta karun pengetahuan dan ini adalah mutiara dari permata yang paling mahal.[38]
Falsafah dan hikmah dari ayat dan sabda-sabda ilahi memiliki makna bahwa penggunaan kata dosa atau pelanggaran yang ada dalam Al-Quran memiliki makna yang banyak, akan tetapi apa hikmah dari semua ini hingga Allah Swt mengulang-ulang hal yang sama kepada para nabi-Nya?
Jawaban soal ini dapat dilihat dalam sebuah hadis, “Datanglah seorang Sindik kepada Imam Ali As dan bertanya, “Mengapa Tuhan menampakkan dosa-dosa dan kesalahan para nabinya seperti ayat yang mengatakan, “Dan Adam bermaksiat kepada Tuhannya..? Beliau mengatakan bahwa Tuhan menyebutkan dosa dan kesalahan para nabi-Nya dalam kitab-kitab yang diturunkan dengan dasar hikmah Tuhan dan kekuatan lahiriahnya, karena Dia mengetahui bahwa mukjizat Nabi-Nya begitu merasuki setiap umatnya hingga sebagian mereka berpikir bahwa Nabi adalah Tuhan sebagaimana persangkaan umat Nabi Isa As kepada beliau, dari sisi inilah Tuhan menampakkan kesalahan-kesalahan para nabi-Nya hingga semua mengetahui bahwa para nabi tidaklah mutlak menerima kesempurnaan ilahiah yang tidak terbatas hingga mereka (kaum kafir) tidak pernah berpikir bahwa mereka adalah Tuhan.[39] []
[1]. Tafsir Payam-e Qur’an, jil. 7, hal. 82-83. 7Surah Al-Baqarah ayat 124, Tafsir Payam-e Quran jilid 7 hal 82-83. 89Tafsir Ruhul bayan jilid 1 hal 338 10Surah Hasyr ayat 7. 11Seperti Thabarsi dalam kitab Majma al-Bayan, Abul Fathu Radhi dalam kitab Ruhul Jinan, Qhurthubi dalam tafsirnya dan fakhrurzi dalam Tafsir al-Kabir.
[3] Tafsir Ruhul-Bayan jilid 10 hal 193.
[4] Tafsir Ruhul bayan jilid 1 hal 338
[5] Surah Hasyr ayat 7.
[6] Seperti Marhum Thabarsi dalam kitam Majma al-Bayan, abul fathu radhi dalam kitab Ruhul
[7] Surah An-nisa ayat 80
[8] Fakhrurazi dalam Tafsir Kabir, jil. 10 hal 193
[9] Thaha ;121
[10] Thaha ;115
[11] Hud;47
[12] Anbiyaa ; 62-63
[13] as-Zhafat;89
[14] Silahkan lihat terjemahan Quran Ayatullah Makarem Syirasi dan Muhammad Mahdi Fuladwan.
[15] Allamah Majlisi, Bihârul Anwâr, jilid 11, hal. 72
[16] Kalau Tark awla diartikan sebagai perbuatan dosa maka yang dimaksud dengan dosa di sini adalah dosa nisbi dan bukanlah dosa dalam artian yang mutlak. Perbuatan yang ditinggal bias jadi dari perbuatan yang mubah, makruh atau bahkan mustahab.
[17] Tafsir Nur Tsaqalain, jilid 3 hal 165 dan
[18] Rahgeb Esfahani, Mufradhat
[19] Tafsir Payome Quran, jilid7 hal 107-108
[20] Tafsir Payome Quran, jilid 7 hal 124
[21] Tafsir Payome quran, jilid 7 hal 125
[22] Sayyid Murthada, Tanzihil Anbiya, hal 69
[23] Ibid.
[24] Ayatullah Mizbah yazdi, Amuzesy Aqaid, hal 256. Sayyid Murthada, Tanzihil Anbiyaa hal 69
[25] Amuzesy Aqaid hal 256
[26] Majma al-Bayan jilid 10 hal hal 506, Nur Tsaqalain jilid 5 jal 596.
[27] Qs. Al-An’am; 69.
[28] Tafsir Payame Quran, jilid 7hal 159
[29] Tafsir Payame Quran, jilid7 hal 115-116
[30] Terkait dengan Tark awla pembahasan awal telah di jelaskan.
[31] Tafsir Payam Quran jilid 7 hal 152
[32] Tafsir Burhan jilid 2 hal 130.
[33]. Tafsir Payome Quran jilid 7 hal 149, Tafsir Nur Tsaqalain jilid 5 hal18 dan 56
[34] Nur Tsaqalain jilid 3 hal 84 dan 434, Kitab Biharul Anwar jilid 11 hal 4 dan 76 bab Izmatul anbiyaa.
[35] Tafsir Payome Quran jilid 7 hal 123
[36] Tafsir payome Quran jilid 7 hal 187.
[37] Zaid , anak angkat Nabi Saw
[38] Tafsir Qhurthubi jilid 8 hal 5272.
[39] Tafsir NurTsaqalain jilid 3 hal 404 dan 143.