Please Wait
27217
Memberikan pinjaman (qardh al-hasanah) dan bersedekah keduanya merupakan sunnah dan tradisi baik dalam Islam yang banyak dianjurkan dalam ajaran-ajaran agama.
Di sini kita tidak akan membahas signifikansi, kedudukan, pengaruh dan keberkahannya secara rinci, melainkan hanya menyinggung secara ringkas tentang sebagian tipologi dan beberapa keunggulan memberikan pinjaman dan perbedaannya dengan bersedekah, sehingga di samping menjawab pertanyaan Anda juga keutamaan dan keunggulan memberikan pinjaman menjadi jelas bagi Anda.
Disebutkan oleh sebagian ulama bahwa keunggulan dan keutamaan ini bergantung pada beberapa syarat. Boleh jadi dalam beberapa kondisi tertentu dengan memperhatikan situasi dan kondisi sebagian orang, bersedekah lebih prioritas ketimbang memberikan pinjaman.
Pendahuluan
Memberikan pinjaman (qardh al-hasanah) dan bersedekah keduanya merupakan sunnah dan tradisi baik dalam Islam yang banyak dianjurkan dalam ajaran-ajaran agama.
Di sini kita tidak akan membahas signifikansi, kedudukan, pengaruh dan keberkahannya secara rinci, melainkan hanya menyinggung secara ringkas tentang sebagian tipologi dan beberapa keunggulan memberikan pinjaman dan perbedaannya dengan bersedekah, sehingga di samping menjawab pertanyaan Anda juga keutamaan dan keunggulan memberikan pinjaman menjadi jelas bagi Anda.
Disebutkan oleh sebagian ulama bahwa keunggulan ini bergantung pada beberapa syarat. Boleh jadi dalam beberapa kondisi tertentu dengan memperhatikan situasi dan kondisi sebagian orang bersedekah lebih prioritas ketimbang memberikan pinjaman.
Signifikansi dan Kedudukan Memberikan Pinjaman
Salah satu amalan dan perbuatan yang dicintai Tuhan yang dengannya dapat memecahkan persoalan yang dihadapi seseorang, menggembirakan dan menyebabkan keridhaan Tuhan adalah memberikan pinjaman kepada orang lain. Sedemikian penting dan signifikannya masalah ini sehingga Allah Swt memandang memberikan pinjaman kepada orang lain adalah memberikan pinjaman kepada-Nya. Allah Swt berfirman, “Siapakah yang mau memberikan pinjaman yang baik kepada Allah (menafkahkan hartanya di jalan Allah), lalu Dia akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak? Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki), dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”[1]
“...dan berikanlah pinjaman yang baik kepada Allah..”[2]
Meski yang dimaksud dengan memberikan qardh al-hasanah pada ayat-ayat yang disebutkan di atas bukanlah pinjaman dalam artian teknis, melainkan bermakna umum dan mencakup memberikan pinjaman, berinfak, bersedekah dan lain sebagainya kepada saudara seagama. Sedangkan qardh al-hasanah merupakan salah satu obyeknya. Namun dalam sebagian riwayat, yang dimaksud dengan qardh al-hasanah adalah pinjaman dalam artian urf (tradisi keseharian masyarakat) dan riwayat-riwayat menegaskan makna ini.
Sebagian penafsir (mufassirun) menyebutkan beberapa syarat sehingga pinjaman (qardh) ini menyandang ajektif hasanah (yang baik) sebagaimana berikut ini:
1. Pinjaman harus berasal dari harta halal.
2. Tidak menuntut balas budi, tidak pamer dan menyerahkan pinjaman disertai dengan kecintaan dan pengorbanan.
3. Digunakan untuk keperluan-keperluan mendesak.
4. Orang yang memberikan pinjaman harus bersyukur kepada Allah Swt karena mendapatkan taufik karena dapat meminjamkan.[3]
Qardh al-Hasanah dalam Beberapa Riwayat
Memberikan pinjaman kepada saudara seagama bagi mereka yang memiliki kemampuan finansial merupakan tradisi Islam dan menolak memberikan pinjaman dalam keadaan mampu adalah perbuatan tidak terpuji dan mendapat celaan.
Rasulullah Saw dalam mencela orang-orang yang memiliki kemampuan finansial namun menolak memberikan pinjaman bersabda, “Barang siapa yang menolak memberikan pinjaman kepada saudara Muslim dan orang-orang membutuhkan sementara ia mampu dan tidak memenuhi permintaannya, Allah Swt akan mengharamkan surga baginya.”[4]
Rasulullah Saw pada kesempatan lain bersabda, “Barang siapa yang memberikan pinjaman kepada saudara Muslimnya, ia akan memperoleh ganjaran seukuran gunung Uhud, Ridwan dan Sina sebagai ganti setiap Dirham yang ia pinjamkan dan tatkala tiba masa pembayaran bersikap toleran dengan orang yang berhutang, ia akan melintasi jembatan sirath laksana kilat, tanpa hisab dan azab.”[5]
Imam Shadiq As juga dalam hal ini bersabda, “Memberikan pinjaman lebih aku cintai ketimbang bersedekah.” Beliau mengimbuhkan, “Barang siapa yang memberikan pinjaman dan tidak menentukan waktu (pengembaliannya) dan orang yang meminjam (maqrudh) tidak membayar pada waktunya, pahala dan ganjaran setiap hari keterlambatannya laksana ganjaran satu Dinar sedekah pada setiap harinya.”[6] Demikian juga, Imam Shadiq As bersabda, “Memberikan pinjaman dan menerima tamu adalah salah satu sunnah Islam.”[7]
Karena itu, dalam beberapa riwayat yang dinukil dari para maksum As, perbuatan dan amalan yang sangat positif, meski berhutang dan meminjam adalah perbuatan yang dianjurkan untuk dijauhi.
Namun, disebutkan dalam sebagian riwayat, meminjam tanpa adanya keperluan dipandang sebagai sebuah perbuatan tercela dan terlarang. Berdasarkan riwayat-riwayat ini, manusia dalam beberapa kondisi terpaksa harus meminjam dan berhutang; karena membuat dirinya berhutang memikul tanggung jawab dan mengambil hak-hak orang lain, tidak lain hanya membuat pikirannya masygul, risau, dan sedih. Karena itu, diriwayatkan dari Imam Ali As bahwa Rasulullah Saw senantiasa membacakan doa ini, “Allâhummâ inni a’dzubika min ghalabat al-dain.” (Ya Allah! Aku berlindung kepada-Mu dari banyaknya hutang).[8]
Dari Imam Musa Kazhim As diriwayatkan, “Man thalaba al-rizqâ min hillihi faghuliba falyastaqridh ‘alallahi wa ‘ala Rasulihi.” Barang siapa yang berusaha mencari rezeki halal namun ia tetap berkekurangan dan tidak memiliki jalan lain, maka dengan jaminan Tuhan dan Rasul-Nya ia meminjam.”[9]
Dari sekumpulan riwayat yang berkaitan dengan qardh al-hasanah dapat disimpulkan bahwa salah satu hikmah penting pensyariatan tradisi dan sunnah islami ini adalah mengatasi kebutuhan penting orang-orang yang memerlukan dalam masyarakat, bukan masalah produksi, niaga dan memperbanyak harta. Manusia dalam beberapa kondisi tertentu harus meminjam sehingga urusan kesehariannya tetap berjalan lancar dan dengan meminjam ia dapat mengatasi persoalannya.
Perbedaan Memberikan Pinjaman dan Bersedekah
Mengingat bahwa Islam menentang segala bentuk tindakan mengemis dan Nabinya mencium tangan seorang pekerja yang berusaha bekerja sekuat tenaga dan bercucuran keringat untuk memenuhi kebutuhan kesehariannya.[10] Demikian juga dengan meninjau beberapa riwayat yang menyebutkan tentang pinjaman dan sedekah, keunggulan memberikan pinjaman atau sedekah sangat jelas. Karena itu, pada kesempatan ini kami akan menjelaskan beberap contoh riwayat ini sebagaimana berikut ini:
Rasulullah Saw bersabda, “Pada malam sewaktu saya dibawa mikraj, saya melihat tulisan ini di gerbang surga: “(Memberi) Sedekah memiliki sepuluh kali lipat ganjaran dan memberikan pinjaman memilliki delapan belas kali pahala.”[11]
Demikian juga Rasulullah Saw bersabda, “Saya lebih mencintai sekiranya saya meminjamkan sebanyak seribu Dirham dua kali ketimbang saya harus bersedekah sekali dengan uang (sebanyak) itu.”[12]
Imam Shadiq As bersabda, “Saya lebih mencintai meminjamkan sejumlah uang daripada harus menyedekahkan sejumlah yang sama.”[13]
Karena itu, sesuai dengan hadis-hadis ini, memberikan pinjaman lebih baik dan lebih utama ketimbang memberikan sedekah. Sebagian keutamaan ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Ketika memberikan pinjaman, sejumlah uang akan sampai di tangan seseorang yang memerlukannya; karena orang yang tidak membutuhkan tidak akan mau berhutang. Berbeda dengan memberikan sedekah yang boleh jadi diserahkan kepada seseorang yang benar-benar tidak memerlukannya. Imam Shadiq As dalam hal ini bersabda, “Ganjaran memberikan pinjaman lebih besar pahalanya dari memberikan sedekah karena orang yang berhutang tidak meminjam uang atau barang kecuali ia dalam kondisi membutuhkan. Namun orang yang menerima sedekah boleh jadi tidak berada dalam kondisi membutuhkan.”[14]
2. Ketika memberikan pinjaman, kemuliaan jiwa orang yang meminjam tidak akan hilang. Namun orang yang mengambil sedekah, dengan mengambil sedekah, secara perlahan, kemuliaan jiwanya akan sirna dan jiwanya akan cenderung rendah.
3. Ketika memberikan pinjaman, menjadi sebab orang yang meminjam terkondisi untuk menggunakan pelbagai upaya dan aktivitas untuk dapat membayar hutangnya dimana perbuatan ini menyebabkan rotasi perekonomian berputar dan membuat pelbagai kreativitas dan potensi bermunculan. Namun bagi orang yang menerima sedekah, karena tidak memiliki motivasi untuk mengembalikan uang yang diterimanya, tidak ada upaya dan aktivitas seperti ini yang dapat disaksikan.
4. Dalam urusan meminjam, seseorang yang menyerahkan sejumlah uang kepada orang lain, setelah beberapa lama, akan menerima kembali uangnya dan wajib bagi orang yang meminjam, sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dan disepakati, mengembalikan uang yang dipinjamnya kepada pemilikinya. Namun dalam urusan sedekah tidak demikian. Artinya sesuatu yang telah disedekahkan tidak akan dikembalikan kepada pemiliknya, karena harta atau uang yang disedekahkan adalah tanpa imbalan, oleh karena itu orang yang menerima sedekah tidak wajib mengembalikan sedekah yang diterimanya dan sebagai imbalannya ia juga harus bersedekah.
5. Dalam masalah pahala yang diterima juga terdapat perbedaan di antara keduanya; karena pahala sedekah di sisi Allah Swt adalah sepuluh kali lipat, namun ganjaran orang memberikan pinjaman adalah sebanyak delapan belas kali lipat. Dalam sebuah riwayat dari Imam Shadiq As kita membaca, “Di gerbang surga tertulis bahwa ganjaran sedekah sepuluh kali lipat namun ganjaran orang yang memberi pinjaman adalah delapan belas kali lipat.”[15]
Namun hal ini dan hal-hal lainnya, hanya dapat menetapkan keutamaan memberikan pinjaman dalam kondisi normal. Kalau tidak demikian, untuk menghilangkan pelbagai problematika sosial, terkadang hanya terbatas pada memberikan infak dan sedekah dan kita tidak dapat bersandar semata-mata pada pemberian pinjaman untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh orang-orang susah. Dalam kondisi seperti ini memberikan sedekah menjadi prioritas.
Kesimpulan:
Sesuai dengan ajaran-ajaran agama, baik menurut ayat-ayat dan riwayat-riwayat, umumnya memberikan pinjaman lebih utama dan lebih unggul dibandingkan dengan infak-infak harta seperti sedekah dan lain sebagainya. [iQuest]
[1]. (Qs. Al-Baqarah [2]: 245)
"مَّن ذَا الَّذِی یُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَیُضَـَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا کَثِیرَةً وَاللَّهُ یَقْبِضُ وَیَبْصُـطُ وَ إِلَیْهِ تُرْجَعُونَ"
[2]. (Qs. Al-Muzammil [73]:20)
... وَ أَقْرِضُوا اللّهَ قَرْضَاً حَسَناً ..."
[3]. Silahkan lihat, Thabarsi, Majma’ al-Bayân, jil. 9, hal. 390, Nasir Khusruw, Teheran, Cetakan Ketiga, 1372 S. Muhsin Qira’ati, Tafsir Nûr, jil. 1, hal. 482-483, Markaz Farhanggi Darsha-ye az Qur’an, Cetakan Kesebelas, 1383 S.
[4]. Hurr Amili, Wasâil al-Syiah, jil. 16, hal. 389, Muassasah Alu al-Bait, Qum, 1409 H.
"مَنِ احْتاجَ اِلَیْهِ اَخُوهُ الْمُسْلِمُ فى قَرْضٍ وَ هُوَ یَقْدِرُ عَلَیْه فَلَمْ یَفْعَلْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَیْهِ ریحَ الْجَنَّةِ".
[5]. Syaikh Shaduq, Tsawâb al-A’mâl wa Iqâbuhâ, hal. 414, edisi satu jilid, Intisyarat Syarif Ridha, Qum, 1364 S.
[6]. Wasâil al-Syiah, jil. 18, hal. 330.
"مُحَمَّدُ بْنُ عَلِیِّ بْنِ الْحُسَیْنِ … قَالَ سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ (ع) یَقُولُ لَأَنْ أُقْرِضَ قَرْضاً أَحَبُّ إِلَیَّ مِنْ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِمِثْلِهِ وَ کَانَ یَقُولُ مَنْ أَقْرَضَ قَرْضاً وَ ضَرَبَ لَهُ أَجَلًا فَلَمْ یُؤْتَ بِهِ عِنْدَ ذَلِکَ الْأَجَلِ کَانَ لَهُ مِنَ الثَّوَابِ فِی کُلِّ یَوْمٍ یَتَأَخَّرُ عَنْ ذَلِکَ الْأَجَلِ بِمِثْلِ صَدَقَةِ دِینَارٍ وَاحِدٍ فِی کُلِّ یَوْمٍ".
[7]. Muhammad Nuri, Mustadrak al-Wasâil, jil. 13, hal. 395, Muassasah Alu al-Bait, Qum, 1408 H.
"اَلْقَرْضُ وَالْعارِیَةُ وَ قِرَى الضَّیْفِ مِنَ السُّنَّةِ".
[8]. Mustadrak al-Wasâil, jil. 13, hal. 387.
[9]. Wasâil al-Syiah, jil. 18, hal. 321.
[10]. Usd al-Ghabah, jil. 2, hal. 72.
[11]. Ibid, jil. 16, hal. 318.
[12]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 103, hal. 139, Muassasah al-Wafa, Beirut, 1404 H.
[13]. Ibid.
[14]. Wasâil al-Syiah, jil. 16, hal. 318. Kulaini, al-Kâfi, jil. 4, hal. 411, Bab al-Shadaqah ‘ala al-Quraba, Nasyr Muassasat Alu al-Bait.
[15]. Ibid.