Please Wait
11789
Uwaimar bin Malik berasal dari suku Khazraj yang lebih sering dipanggil dengan julukannya sebagai Abu Darda adalah salah seorang sahabat Rasulullah Saw. Ia adalah salah seorang dari suku Khazraj yang hidup di Madinah. Setelah beberapa bulan kehadiran Rasulullah Saw di Madinah, Abu Darda menyatakan diri masuk Islam.
Abu Darda mengakui keunggulan Imam Ali As atas Muawiyah. Ia bersama Abu Hurairah datang kepada Muawiyah dan mengajaknya untuk mematuhi Ali As, namun tatkala Muawiyah menjadikan pembunuhan Usman sebagai dalih dan menuntut pembunuh Usman dari Ali As. Ia mengutus Abu Darda dan Abu Hurairah menjumpai Ali As untuk meminta pembunuh Usman dari Ali sehingga dengan begitu api peperangan dapat segera dipadamkan.
Abu Hurairah dan Abu Darda melakukan hal itu. Mereka datang menghadap Ali As namun mereka menjumpai Malik bin Asytar yang melontarkan kecaman kepada keduanya. Abu Hurairah dan Abu Darda memutuskan untuk tidak menjumpai Ali As. Pada hari kedua, mereka mengemukakan permintaan ini di hadapan Ali As namun mereka berhadapan dengan sepuluh ribu orang yang mengaku sebagai pembunuh Usman. Karena itu, keduanya putus harapan dan kembali ke daerahnya masing-masing. Sepulang dari tempat itu, mereka mendapat kecaman dari Abdurrahman bin Usman.
Bagaimanapun, terkait dengan sikapnya terhadap pemerintahan hak dapat dikatakan bahwa Abu Darda adalah obyek sabda Imam Ali As tentang sebagian orang. Imam Ali As bersabda, “(Ia) tidak menolong hak juga tidak menghinakan batil.”
Terdapat beberapa riwayat dalam literatur-literatur hadis Sunni dan Syiah yang menyebutkan bahwa Abu Darda meriwayatkan hadis dari Rasulullah Saw.
Sebagian sejarawan berpandangan bahwa Abu Darda wafat pasca perang Shiffin[i] dan sebagian lainnya berpendapat bahwa Abu Darda wafat dua tahun sebelum terbunuhnya Usman.
[i]. Ahmad bin Ali, Ibnu Hajar ‘Asqalani, al-Ishabah fi Tamyiiz al-Shahabah, jil. 4, hal. 622, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1415 H.
Uwaimir bin Malik adalah salah satu cucu Khazraj[1] dan salah seorang sahabat Rasulullah Saw. Ia lebih sering dipanggil dengan julukannya sebagai Abu Darda.[2]
Abu Darda adalah salah seorang yang berasal dari suku Khazraj dan bermukim di Madinah. Setelah beberapa lama tinggal di Madinah akhirnya ia memutuskan untuk masuk Islam. Kisah tentang ia masuk Islam seperti ini bahwa suatu hari Abdullah bin Rawaha yang merupakan saudara angkatnya datang ke rumah Abu Darda. Di rumah Abu Darda, Abdullah bin Rawaha mengambil sebuah kapak dan mulai memukul dan menghantam patung Abu Darda sembari membaca bait syair ini, “Berlindunglah dari nama seluruh setan dan berbahagialah orang yang beribadah bersama Tuhan.”
Tatkala Abu Darda kembali ke rumah, istrinya mengabarkan tentang apa yang dilakukan Abdullah bin Rawaha di rumahnya. Abu Darda berpikir beberapa lama dan kemudian berkata, “Sekiranya patung ini mengandung kebaikan seharusnya ia dapat membela dirinya.” Pada akhirnya Abu Darda bersama Abdullah bin Rawaha datang menghadap kepada Rasulullah Saw dan menyatakan diri memeluk Islam.[3]
Akan tetapi bulan-bulan pertama kehadiran Rasulullah Saw di Madinah tidak bersamaan dengan masuknya Abu Darda ke dalam Islam; melainkan setelah berlalunya beberapa bulan, ia datang kepada Rasulullah Saw dan memeluk Islam. Lambatnya ia memeluk Islam sedemikian sehingga bahkan sebagian sejarawan menyebut kehadirannya pada perang Khandaq dan selepasnya. Mereka berkata pelbagai peperangan sebelum Khandaq, Abu Darda juga masih belum memeluk Islam.[4]
Rasulullah Saw dalam sebuah peperangan melihat Abu Darda dan bersabda, “Uwaimir, alangkah mahirnya ia menunggang kuda.”[5]
Ahlusunnah di samping nukilan ini, mengutip riwayat-riwayat lainnya dari Rasulullah Saw yang memuji Abu Darda di antaranya yang disandarkan kepada Rasulullah Saw yang menyebut Abu Darda sebagai hakim umat.[6]
Demikian juga diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw mengikat akad persaudaraan antara Abu Darda dan Salman Parsi. Keduanya adalah saudara seagama dengan adanya akad ini.[7] Hubungan antara Abu Darda dan Salman Parsi tetap berlanjut sedemikian sehingga Abu Darda setelah pulang dari perjalanan Syam (Suriah) saling surat-menyurat dengan Salman yang berada di Irak. Abu Darda menulis untuk Salman, "Di sini, Allah Swt telah menganugerahkan harta dan anak kepadaku dan aku tinggal di negeri suci.” Salman dalam menjawab surat Abu Darda, menulis, “Engkau menulis untukku bahwa engkau telah memiliki harta dan anak, ketauhilah bahwa kebahagiaan bukan pada banyaknya harta dan anak.”[8]
Abu Darda tinggal di Madinah hingga masa pemerintahan Khalifah Kedua hingga ia keluar dari Madinah menuju Suriah untuk melaksanakan tugas dari khalifah. Khalifah Kedua, menyerahkan urusan peradilan dan salat di Syam (Suriah) kepada Abu Darda.[9]
Tatkala Abu Darda melakukan aktivitas peradilan, orang-orang berkata kepadanya, bahagialah Anda. Abu Darda berkata, “Untuk peradilan kalian berkata berbahagialah sementara aku berada pada tepi jurang yang sangat dalam lebih jauh dari tempat ini hingga Aden Abyan,[10] dan apabila masyarakat mengetahui musibah apa yang terdapat di balik peradilan maka mereka akan saling bergandengan tangan (menjauhinya) karena tidak suka terjadapnya dan apabila mereka mengetahui pahalanya sama seperti ketika seseorang mengumandangkan azan maka mereka akan saling berebutan mendapatkannya.[11]
Abu Darda mengakui keunggulan Imam Ali As atas Muawiyah. Ia bersama Abu Hurairah datang kepada Muawiyah dan mengajaknya untuk mematuhi Ali As, namun ia mendapatkan Muawiyah menjadikan pembunuhan Usman sebagai dalih dan menuntut pembunuh Usman dari Ali As. Muawiyah mengutus Abu Darda dan Abu Hurairah menjumpai Ali As untuk meminta pembunuh Usman dari Ali sehingga dengan begitu api peperangan dapat segera dipadamkan.
Abu Hurairah dan Abu Darda melakukan hal itu. Mereka datang menghadap Ali As namun mereka menjumpai Malik bin Asytar yang melontarkan kecaman kepada keduanya. Abu Hurairah dan Abu Darda memutuskan untuk tidak menjumpai Ali As. Pada hari kedua, mereka mengemukakan permintaan ini di hadapan Ali As namun mereka berhadapan dengan sepuluh ribu orang yang mengaku sebagai pembunuh Usman. Karena itu, keduanya putus harapan dan kembali ke daerahnya masing-masing. Sepulangnya dari tempat itu, mereka mendapatkan kecaman dari Abdurrahman bin Usman.[12]
Namun, kisah ini, dapat diterima berdasarkan pandangan yang mengatakan bahwa Abu Darda meninggal pasca perang Shiffin. Namun apabila kita bersandar pada pendapat sebagian sejarawan lainnya, yaitu Abu Darda meninggal sebelum pemerintahan Imam Ali As maka kita tidak lagi dapat menerima kisah ini.
Bagaimanapun, terkait dengan sikapnya terhadap pemerintahan hak dapat dikatakan bahwa Abu Darda adalah obyek sabda Imam Ali As tentang sebagian orang. Imam Ali As bersabda, “(Ia) tidak menolong hak juga tidak menghinakan batil.”[13]
Abu Darda di kalangan Ahlusunnah dikenal sebagai salah satu sahabat besar Rasulllah Saw dan mereka meyakini bahwa Abu Darda memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Rasulullah Saw; karena itu mereka menukil riwayat-riwayat darinya.
Demikian juga, terdapat riwayat-riwayat yang terbatas dari Abu Darda dalam literatur-literatur hadis Syiah; sebagai contoh, Syaikh Thusi dalam al-Khilaf menukil fatwa-fatwa dan riwayat-riwayat dari Abu Darda.[14]
Sebagian sejarawan berpandangan bahwa Abu Darda wafat pasca perang Shiffin[15] dan sebagian lainnya berpendapat bahwa Abu Darda wafat dua tahun sebelum terbunuhnya Usman.[16] [iQuest]]
[1]. Uwaimir bin Malik bin Zaid bin Qais bin Umayyah bin ‘Amir bin Addi bin Ka’ab bin al-Khazraj bin al-Harits bin al-Khazraj.
[2]. Muhammad Sa’ad bin Muni’ al-Hasyimi al-Bashri, al-Thabaqat al-Kubra, jil. 7, hal. 274, Muhammad Abdul Kadir ‘Atha, Beirut, 1410/1990; Sayid Mustafa Husaini Tafresyi, Naqd al-Rijal, Muassasah Ali al-Bait As, Qum, Cetakan Pertama, 1418 H.
[3]. Namun terkait dengannya terdapat perkatan-perkataan lain: Sebagian orang memandang bahwa nama ayahnya adalah ‘Amir dan sebagian lainnya menilai bahwa ‘Amir adalah namanya sendiri dan menggunakan Uwaimir dan ‘Amir sehubungan dengan Abu Darda. Di antaranya adalah Abu Ali bin Muhammad Ibnu Atsir, Usd al-Ghabah fi Ma’rifat al-Shahabah, jil. 4, hal. 18, Beirut, Dar al-Fikr, 1409 H.
[4]. Al-Thabaqat al-Kubra, jil. 7, hal. 274-275.
[5]. Abu Umar Yusuf bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Bar, al-Isti’ab fi Ma’rifat al-Ashhab, jil. 3, hal. 1228, Dar al-Jail, Beirut, 1412-1992.
[6]. Al-Thabaqat al-Kubra, jil. 7, hal. 274-275.
[7]. Usd al-Ghabah fi Ma’rifat al-Shahabah, jil. 5, hal. 97.
[8]. Ibid, jil. 2, hal. 268.
[9]. Ibid.
[10]. Ahmad bin Yahya Baladzuri, Futuh al-Buldan, hal. 204, Penerjemah: Muhammad Tawakkul, Teheran, Nasyr Nuqrah, 1337 S; dan silahkan lihat, al-Thabaqat al-Kubra, jil. 7, hal. 275.
[11]. Salah satu kota terkenal di Yaman.
[12]. al-Thabaqat al-Kubra, jil. 7, hal. 275.
[13]. Abu Muhammad Abdullah bin Muslim Ibnu Qutaibah al-Dainawari, al-Imamah wa al-Siyasah al-Ma’ruf bi Tarikh al-Khulafah, jil. 1, hal. 128, Riset oleh: Ali Syiri, Beirut, Dar al-Adhwa, 1410 H.
[14]. Nahj al-Balagha, Imam Ali, Penyusun Sayid Radhi, Korektor: Azizullah ‘Atharadi, hal. 461, Bunyad Nahj al-Balaghah, Tanpa Tempat, Cetakan Pertama, 1372 S.
«لَمْ ینْصُرَا الْحَقَّ وَ لَمْ یخْذُلَا الْبَاطِلَ»
[15]. Ahmad bin Ali, Ibnu Hajar ‘Asqalani, al-Ishabah fi Tamyiiz al-Shahabah, jil. 4, hal. 622, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1415 H.
[16]. Usd al-Ghabah, jil. 4, hal. 20.