Please Wait
12174
Mahabbah bermakna kecintaan dan kesukaan yang mengakar pada hati. Dalam al-Qur’an terkadang diungkapkan dengan redaksi mawaddah dan sebagai lawan katanya adalah ‘adâwah dan permusuhan.
Mahabbah memiliki tingkatan dan derajat serta membutuhkan efek praktis dalam tataran visual. Kecintaan yang bertitik tolak dari hati apabila tidak berujung pada amalan praktis merupakan tingkatan terendah dan terlemah derajat mahabbah. Tingkatan tertinggi yang berefek pada amalan manusia merupakan derajat tertinggi mahabbah. Amalan ini akan merajut hubungan intens dan mesra antara subyek yang mencinta dan obyek yang dicinta. Pada tingkatan ini, segala keinginan kinasihnya akan diupayakan terealisir pada tataran praktis.[1]
Banyak riwayat yang dinukil dari para Imam Maksum As bahwa agama tidak lain kecuali mahabbah. Di antara literatur yang mengutip riwayat ini adalah al-Khishâl dan al-Kâfi. Dalam literatur tersebut, diriwayatkan dari Imam Shadiq As dalam menjawab hubungan antara cinta dan benci dengan agama, bersabda, “Adakah agama adalah sesuatu selain kecintaan.” Kemudian Imam Shadiq As melantunkan ayat, “Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti (kemauan)mu dalam banyak urusan, benar-benarlah kamu akan mendapat kesusahan. Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus” (Qs. Al-Hujurat [49]:7)[2]
Yang dimaksud dari riwayat ini bahwa ruh dan hakikat agama adalah iman dan kecintaan kepada Tuhan. Iman dan kecintaan akan menyinari keberadaan manusia dan seluruh anggota badan dan panca indranya berada di bahwa pancaran sinar iman dan kecintaan ini. Dan efek praktis nampak nyata dalam perilaku dan perbuatannya yang mengikuti titah dan perintah Tuhan.[3]
Kecintaan terbagi menjadi dua bagian. Kecintaan yang terpuji (mamduh) dan kecintaan yang tercela (madzmum). Kecintaan yang terpuji bermakna bahwa segala sesuatu dilakukan untuk Allah Swt dan tujuan pamungkas dari kecintaan tersebut adalah sampai kepada Allah Swt. Kecintaan yang tercela adalah bahwa tujuan pamungkasnya untuk sampai kepada musuh-musuh Allah Swt dan keridhaan mereka.[4]
Pembahasan mahabbah (kecintaan) merupakan salah satu pembahasan disiplin ilmu Akhlak (Ethics) dan diuraikan secara rinci dalam buku-buku Akhlak dan Tafsir. Sebagai contoh kami akan menyebutkan beberapa buku akhlak yang membahas masalah kecintaan sebagaimana berikut:
1. Mi’râj al-Sa’âdah karya Mulla Ahmad Naraqi.
2. Jâmi’ al-Sa’âdah karya Mulla Ahmad Naraqi.
3. Mahajjat al-Baidhâ karya Allamah Faidh Kasyani.
4. Ain-e Dusti az Didgâh-e Qur’ân wa Hadits, karya Sayid Mahdi Alawi (tanpa tahun), 1413 H – 1372, Qum, Capkhane ‘Ilmiyah).
5. Dusti Qur’ân wa Hadits, karya Ayatullah Muhammad Muhammadi Rei Syahri, Muassasah Dar al-Hadits.
6. Tafsir Nemune, pada ayat-ayat Surah Yusuf (12).
[1]. Diadaptasi dari Tafsir Nemune, jil.2, hal. 513.
[2] . Al-Kafi, jil. 2, hal. 125.
عَنْ فُضَیْلِ بْنِ یَسَارٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ع عَنِ الْحُبِّ وَ الْبُغْض أَ مِنَ الْإِیمَانِ هُوَ فَقَالَ وَ هَلِ الْإِیمَانُ إِلَّا الْحُبُّ وَ الْبُغْضُ ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآیَةَ حَبَّبَ إِلَیْکُمُ الْإِیمانَ وَ زَیَّنَهُ فِی قُلُوبِکُمْ وَ کَرَّهَ إِلَیْکُمُ الْکُفْرَ وَ الْفُسُوقَ وَ الْعِصْیانَ أُولئِکَ هُمُ الرَّاشِدُونَ
[3]. Tafsir Nemune, jil.2, hal. 513.
4] . Terkait dengan tercelanya kecintaan kepada selain Tuhan kita dapat bersandar pada ayat, “(Tidak), tetapi hanya Dia-lah yang kamu seru, maka Dia akan menghilangkan bahaya yang karenanya kamu berdoa kepada-Nya, jika Dia menghendaki, dan (pada hari kiamat) kamu akan tinggalkan sembahan-sembahan yang kamu sekutukan (dengan Allah).” (Qs. Al-An’am [6]:41). Jika kita menerima terjemahan Qumsyei, Ayati dan Muizzi terkait dengan akhlak tercela kita dapat memanfaatkan ayat “Wala taj’alu ma’aLlahi ilahan akhar” (Dan janganlah kamu mengadakan tuhan yang lain di samping Allah, al-Dzariyat [51]:51) dengan pendahuluan bahwa seseorang menempatkan kecintaan dan kesukaan di samping Allah Swt sebagai ilah.” Dan terkait dengan tercelanya kecintaan yang melebihi kecintaan kepada Tuhan, kita dapat bersandar pada ayat, “Katakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu peroleh, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan (siksa)-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (Qs. Al-Taubah [9]:24)