Please Wait
18650
Redaksi ayat ini disebutkan sebanyak dua kali dalam al-Qur’an. Makna redaksi ayat, “aimmatan yahdûna biamrinâ” adalah para imam yang memberikan petunjuk (bagi manusia) sesuai dengan perintah kami.
Imam Ridha As sehubungan dengan ayat ini bersabda, “Tatkala Allah Swt meninggikan Nabi Ibrahim dari makam kenabian (nubuwwah) ke makam imâmah, kedudukan tinggi ini setelahnya, generasi demi generasi, diteruskan pada anak keturunannya hingga masa Rasulullah Saw dan Rasulullah Saw juga berdasarkan perintah Allah Swt mengkhususkan makam agung ini kepada Ali As dan anak-anaknya.”
Redaksi ayat ““aimmatan yahdûna biamrinâ”” disebutkan sebanyak dua kali dalam al-Qur’an. Sekali disebutkan pada surah al-Anbiya (21)[1] dan sekali pada surah al-Sajdah (32).[2]
Makna redaksi ayat, “aimmatan yahdûna biamrinâ” adalah para imam yang memberikan petunjuk (bagi manusia) sesuai dengan perintah kami. Ayat pertama berkisah tentang keutamaan dan perhatian Allah Swt kepada Nabi Ibrahim As, anak keturunannya dan juga tentang makam imâmah.[3] Ayat kedua turun berkenaan dengan sebagian orang dari kaum Bani Israel.[4]
Penjelasan Definisi Aimmah
Aimmah merupakan kata jamak dari kata “i-ma-m.” Imam secara leksikal bermakna qaid dan pemimpin dan imâmah berarti kepemimpinan. Namun secara teknikal dan terminologis ilmu Kalam, para teolog (mutakallim) menyebutkan definisi beragam terkait dengan kata imâmah. Mereka kebanyakan memaknai imâmah sebagai kepemimpinan umum masyarakat dalam urusan agama dan dunia. Karena itu, imam artinya pemimpin yang ucapan dan tindakannya menjadi teladan bagi orang-orang dan memikul tanggung jawab sebagai pemimpin masyarakat, apakah kepemimpinannya sebagai khalifah dari sisi Rasulullah Saw atau secara prinsipil menduduki makam ini.[5]
Penafsiran Ayat dan Hubungannya dengan Imâmah
Sehubungan dengan penafsiran redaksi ayat ini dan kaitannya dengan masalah imâmah harus dikatakan; benar bahwa imam secara leksikal bermakna pemimpin namun sebagian ahli tafsir mengkritisi terjemahan terma ini dan berkata bahwa terjemahan imam sebagai pemimpin bukanlah terjemahan yang utuh. Hal itu dapat dijelaskan, apabila kita ingin memaknai imam sebagai kepemimpinan maka hal itu berseberangan dengan ayat al-Qur’an lainnya, “inni ja’iluka linnasi imaman”[6] karena ayat ini (ayat 73 surah al-Anbiya) diturunkan pada penghujung usia Nabi Ibrahim As. Artinya tatkala beliau benar-benar merupakan seorang nabi dan imam.
Oleh itu, imâmah harus lebih tinggi kedudukannya daripada kenabian bukan kenabian itu sendiri, karena kedudukan baru harus lebih bernilai dan tinggi daripada kedudukan lama seseorang dan juga setiap karunia Ilahi tentu saja mengandung sebuah hakikat yang terpendam dan tidak semata-mata sebuah konsep literal dan sebatas firman verbal belaka.[7]
Dengan memperhatikan hal ini harus dikatakan bahwa dalam al-Qur’an tatkala disebutkan makna imâmah maka pasti disusul dengan kata hidayah (petunjuk); dari kedua ayat yang menyebutkan redaksi ayat, “aimmatan yahdûna biamrinâ” dapat disimpulkan bahwa sebuah ajektif dari kata imâmah adalah sifat ta’rif (shifat ta’rif) dan ingin memperkenalkan makam imâmah sebagai makam petunjuk (hidayah).
Dari sisi lain, setiap kata hidayah yang disebutkan dalam al-Qur’an disertai dengan kata amr dan dengan menyebutkan dua qaid ini memahamkan kepada kita bahwa imâmah bukan bermakna petunjuk secara mutlak melainkan bermakna petunjuk yang berlaku berdasarkan perintah Allah Swt dan perintah ini disebutkan pada ayat lainnya dimana Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka terjadilah ia. Maka Maha Suci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. (Qs. Yasin [36]:83-82) Dan juga berfirman, “Dan perintah Kami hanyalah satu ucapan seperti kejapan mata.” (Qs. Al-Qamar [54]:50)
Adapun sekaitan dengan hubungan antara pembahasan ini dan ayat “aimmatan yahdûna biamrinâ” dengan masalah imâmah banyak hadis yang telah disebutkan dari para Imam Maksum As; misalnya Imam Ridha As bersabda, “Allah Swt mengkhususkan makam imâmah kepada Ibrahim As setelah sebelumnya mengangkatnya menduduki makam kenabian. Makam imâmah merupakan derajat ketiga bagi Nabi Ibrahim As yang lebih tinggi dari makam-makam sebelumnya dan setelah Nabi Ibrahim As, makam tinggi ini diserahkan kepada anak keturunan Ibrahim As... makam ini berpindah dari generasi demi generasi, dari abad demi abad hingga Nabi Muhammad Saw mewarisi makam ini dan Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah pelindung semua orang-orang yang beriman.” (Qs. Ali Imran [3]:68) bahwa imâmah terkhusus pada Rasulullah Saw dan beliau sesuai dengan perintah Allah Swt – sebagaimana Allah Swt mewajibkannya – menempatkan makam ini di pundak Imam Ali As dan setelah itu dari generasi Imam Ali yang telah dipilih dan Allah Swt memberikan ilmu dan iman kepadanya. Kemudian imâmah ini berada di pundak putra-putra Ali bin Abi Thalib As hingga hari Kiamat.”[8] [iQuest]
[1]. “Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami.” (Qs. Al-Anbiya [21]:57)
[2]. “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (Qs. Al-Sajadah [32]:24)
[3]. Sayid Muhammad Husain Husaini Hamadani, Anwâr-e Derâkhsyân, jil. 11, hal. 72, Kitab Purusyi Luthfi, Teheran, Cetakan Pertama, 1404 H; Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fî Tafsir al-Qur’ân, jil. 14, hal. 314, Daftar Intisyarat Islami, Qum, Cetakan Kelima, 1417 H.
[4]. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 17, hal. 166, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Pertama, 1374 S.
[5]. Diadaptasi dari indeks, Perbedaan Imam dan Khalifah, Pertanyaan 502 (Site: 544).
[6]. al-Mizân fî Tafsir al-Qur’ân, jil. 1, hal. 271 dan 272 (dengan ringksan).
[7]. Ibid.
[8]. Muhammad bin Ali, Syaikh Shaduq, ‘Uyûn Akhbâr al-Ridhâ As, Riset dan Koreksi oleh Mahdi Lajuardi, jil. 1, hal. 216, Nasyr Jahan, Cetakan Pertama, 1378 H.