Please Wait
22357
1. Yang dimaksud dengan “nur” (cahaya) pada ayat “Allahu nur al-Samawat wa al-Ardh” (Allah adalah cahaya langit dan bumi) tentu saja bukan cahaya indrawi dan empirik. Karena cahaya empirik dan indrawi merupakan tipologi dan kualitas materi yang melekat pada benda. Dan terdapat dalil-dalil rasional yang menafikan kejasmanian Tuhan, sehingga menjadi penghalang bagi kita untuk menyebut cahaya tersebut sebagai cahaya empirik material.
Di samping itu, banyak ayat-ayat Ilahi yang mengingkari pencerapan indrawi dan keserupaan segala sesuatu bagi Allah Swt, yang menegaskan sebuah dalil Qur’ani yang menafikan kejasmanian Tuhan. Dengan demikian, apabila dikatakan bahwa “Allah Swt adalah cahaya langit dan bumi” tentu saja yang dimaksud bukan cahaya empirik atau indrawi.
2. “Cahaya” adalah sesuatu yang secara esensial benderang dan menerangi yang lain. Artinya ia sendiri adalah terang dan sekaligus menerangi. Nyata dan menyatakan.Nampak dan menampakkan. Apakah cahaya itu adalah cahaya empirik, seperti cahaya mentari, bintang-gemintang, dan pelita, atau cahaya non-empirik seperti ilmu dan iman.
Akan tetapi makna cahaya yang pertama kali melintas dalam benak adalah cahaya empirik. Namun dengan menelisik pada makna “nur” yaitu “zhahir bidzat wa muzhir lighairi” (terang secara esensial dan menerangi yang lain). Dan dengan menganalisa “cahaya” ini, maka yang benar adalah menyebut cahaya sebagai urusan maknawi yang menerangi jiwa dan batin manusia. Sebagaimana al-Qur’an menyebut “iman” sebagai cahaya yang diberikan kepada kaum beriman. Adapun kaum urafa menyebut “cinta” sebagai cahaya.
3. Mengingat Dzat Allah Swt adalah terang dan nyata yang menjadi penyebab benderang dan nyatanya segala sesuatu yang lain karena Dia adalah Sang Pencipta dan Pengada segala sesuatu. Penyebutan redaksi “Nur” bagi Tuhan merupakan penyebutan yang benar. Karena wujud segala sesuatu menjadi penyebab munculnya sesuatu yang lain maka harus dikatakan bahwa obyek sempurna cahaya adalah “Wujud”. Oleh itu, Allah Swt adalah obyek paling sempurna “Cahaya” dan yang terang secara esensial dan menerangi yang lain. Dengan demikian harus diakui bahwa Dia adalah Cahaya yang dengan perantara-Nya langit dan bumi menjadi benderang dan mengada.
4. Penyebutan langit-langit dan bumi merupakan kiasan dari seluruh semesta dan seluruh makhluk yang tinggi (‘ulya) dan rendah (sufla), dunia ghaib dan alam syahadah (dunia), bukan semata-mata langit yang berada di atas kepala kita. Karena itu, makna “Allah nur al-Samawat wa al-Ardh” adalah bahwa Allah Swt adalah Cahaya seluruh semesta.
Adapun pada ayat disebut sebagai “cahaya” dan bukan “pencipta” adalah untuk mengingatkan pada satu poin dan poin itu adalah bahwa “cahaya” adalah terang dan tidak memerlukan sesuatu yang meneranginya. Allah Swt juga adalah jelas, terang dan benderang. Dan untuk mengenal-Nya tidak diperlukan adanya media yang menerangkan atau menjelaskan-Nya. Sebagaimana para urafa, mengikut para Imam Maksum, berkata bahwa seluruh makhluk harus dikenal melalui pancaran Wujud dan Cahaya Tuhan bukan mengenal Tuhan melalui perantara makhluk. Bagi para wali Allah, segala sesuatu dalam pancaran Wujud Tuhan adalah jelas dan benderang. Dan tiada sesuatu yang terlihat dan terang selain Cahaya-Nya. Dan apabila Cahaya Ilahi tiada, segala sesuatu dalam kegelapan. Karena itu, yang dapat disimpulkan dari ayat ini adalah: Allah Swt bukanlah Entitas yang tidak dapat dikenal oleh siapa pun, lantaran wujudnya segala sesuatu bersumber dari Wujud dan ekspresi Wujud-Nya. Allah Swt tidak tersembunyi sehingga harus disingkap oleh makhluk-makhluk-Nya. Sebaliknya, Dia menjelma dengan seluruh jelmaan dan tersembunyi-Nya Dia dari pandangan para pemilik makrifat, boleh jadi lantaran intensitas Cahaya-Nya, “Yaa Man Huwa Ikhtafâ Lifirt Nurihi, al-Zhâhir al-Bâtin fii Zhuruhi.” (Wahai Yang Menghilang lantaran gemerlapnya cahaya-Nya, lahir dan batin pada penampakan-Nya)
5. Poin yang lain dari ayat ini yang dapat kita simpulkan adalah bahwa kita menyebut Tuhan sebagai “Cahaya” akan tetapi kita tidak menyebutnya sebagai “Nur A’zham”. Dan demikianlah keyakinan puak Manikeanisme (Manicheanism) yang memandang Tuhan sebagai “Cahaya Terbesar” (Nur A’zham), artinya adalah bahwa satu cahaya empirik di samping cahaya-cahaya yang lain namun cahaya ini adalah cahaya yang paling besar dan agung. Tentu saja keyakinan seperti ini adalah keyakinan yang keliru dan tidak benar. Tuhan dalam pandangan al-Qur’an adalah “Cahaya murni” (Nur Mahdh) dan non-empirik, yaitu Dialah satu-satunya Cahaya di alam semesta, dan segala sesuatu selain-Nya adalah kegelapan “Zhulmat”. Sesuai dengan redaksi doa, Cahaya Tuhan adalah “Nur al-Nur” yang berarti bahwa Dia adalah Cahaya sejati dan sekiranya ada cahaya yang lain maka cahaya itu berkat Wujud dan Cahaya Tuhan.
6. Dalam tafsir, takwil dan tatbiq ayat ini, terdapat ragam pendapat dan pandangan dimana untuk mengetahui hal tersebut lebih jeluk Anda dapat merujuk pada kitab-kitab tafsir dan hadis terkait.
Tanpa ragu, bahwa tatkala al-Qur’an menyebut Allah Swt sebagai “Nur” sebagaimana dalam ayat “Allah Nur al-Samawat wa al-Ardh” (Qs. Al-Nur [24]:35) maka yang dimaksud bukanlah cahaya empirik dan kasat mata. Cahaya empirik dan kasat mata adalah salah satu makhluk dari makhluk-makhluk Tuhan, sebagaimana Al-Qur’an menyebutnya demikian pada surah al-An’am (6), ayat pertama, “Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, dan mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka.”
Para filosof, teolog dan penafsir al-Qur’an masing-masing mengemukakan pelbagai dalil yang kuat yang menafikan kejasmanian Tuhan.[1] Dari sini, penyebutan “Cahaya” bagi Tuhan tidak dapat bermakna cahaya empirik dengan title benda atau dari tipologi benda dan melekat pada benda.
Di antara para mufassir-teolog, boleh jadi “Fakhrurazi” melebihi yang lain dalam mengupas masalah ini. Terkait dengan penafsiran “Allah nur al-Samawati wa al-Ardh”, ia mengemukakan enam burhan (argumen) yang menafikan kejasmanian dan kebendaan Tuhan. Fakhrurazi menyebutkan bahwa cahaya yang disebutkan pada ayat ini tidak dapat dimaknai sebagai cahaya empirik dan material.[2] Yang lebih penting, terdapat banyak ayat dalam al-Qur’an yang mengingkari kejasmanian Tuhan. Di samping yang telah dijelaskan, ayat “laisa kamitslihi syai” disebutkan berulang kali dalam al-Qur’an, yang menafikan segala jenis keserupaan dan kemiripan bagi Tuhan. Karena itu, Cahaya Tuhan bukan jenis cahaya empirik lantaran cahaya ini banyak yang menyerupai dan mirip dengannya.
Makna Cahaya
Allamah Thabathabai dalam mengurai makna redaksi “Nur” berkata, “Redaksi cahaya memiliki makna yang popular. Adapun makna cahaya adalah sesuatu yang menyala tatkala kita memandang sesuatu dan segala sesuatu menjadi benderang dan nampak karenanya. Akan tetapi cahaya itu sendiri secara esensial tersingkap dan nampak bagi kita dan tiada sesuatu yang lain yang menampakkannya; oleh itu cahaya adalah “nyata dan terang dengan sendirinya (secara esensial) dan menerangi yang lain (al-zhahir bidzatihi al-muzhir lighairih).”[3]
Karena itu, pertama-tama yang dapat dipahami pada redaksi “Nur” (Cahaya) adalah cahaya empirik yang memendar dari benda yang bercahaya seperti matahari, bintang-gemintang, pelita dan lampu-lampu yang diciptakan manusia, dimana apabila cahayanya tiada maka semesta akan mengalami kegelapan dan dengan keberadaannya suasana semesta menjadi benderang.
Akan tetapi hakikat dan definisi akurat tentang cahaya dalam pandangan fisikawan merupakan sesuatu yang lain. Dan boleh jadi menurut mereka bahwa hakikat cahaya sama sekali belum ditemukan atau mereka berbeda pandangan terkait hakikat cahaya. Apa yang pasti bahwa di alam materi ini terdapat sesuatu yang bernama “cahaya” yang memendar dari benda-benda nurani dan umumnya benda-benda ini disebut sebagai “sumber cahaya.” Akan tetapi penyebutan redaksi “nur” cahaya tidak terbatas pada cahaya empirik, akan tetapi terkait dengan segala sesuatu yang “terang dan menerangi” atau dengan redaksi lain “nampak dan menampakkan”. Misalnya tentang ilmu kita berkata, “Ilmu adalah cahaya” lantaran pada esensialnya[4] terdapat penerangan dan menerangi pelbagai realitas.
Sebagaimana al-Qur’an menuturkan terkait kaum beriman, “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar darinya?” (Qs. Al-An’am [6]:122) Karena itu, dalam budaya al-Qur’an, iman disebut sebagai cahaya. Lantaran iman memberikan penerangan pada hati dan batin seorang mukmin. Menunjukkan tujuan dan obyek kepadanya serta membimbingnya kepada kebahagiaan. Penyebutan cahaya dalam hal ini adalah benar adanya. Sebagaimana kaum urafa menyebut cinta (isyq) sebagai “cahaya”. Rumi bersenandung dengan syair indah:
Isyq adalah sang jawara dan aku takluk di hadapan cinta
Lantaran aku benderang bak purnama yang berasal dari cinta.[5]
Penyebutan Cahaya bagi Tuhan
Penyebutan cahaya bagi Tuhan adalah benar adanya karena dalam al-Qur’an dan riwayat, tercatat penyebutan sedemikian.[6] Akan tetapi harus diperhatikan bahwa apabila kita berkata “Tuhan adalah Cahaya” maka yang dimaksud cahaya di sini bukanlah cahaya empirik dan materi. Yang dimaksud cahaya di sini adalah bahwa Dzat Ilahi, adalah dzat yang Nampak dan menampakkah, terang dan menerangi, tampak dan terangnya segala sesuatu bersumber dari pancaran Dzat-Nya akan tetapi Dia sendiri adalah tampak dan benderang, tiada sesuatu yang membuatnya nampak dan benderang. Dengan demikian, kita dapat berkata, “Tuhan adalah cahaya.”
Allamah Thabathabai berkata, “Lantaran wujud dan keberadaan segala sesuatu menjadi sebab penampakan segala sesuatu yang lain maka obyek sempurna cahaya adalah Wujud itu sendiri. Dan dari sisi lain, lantaran eksisten dan entitas kontingen diadakan oleh Allah Swt maka Allah Swt merupakan obyek sempurna (mishdâq akmal) cahaya. Dia Tampak dengan sendirinya dan segala sesuatu yang lain, dan segala entitas nampak dan mewujud melalui perantara-Nya. Karena itu, Allah Swt adalah cahaya yang melalui-Nya langit-langit dan bumi menjadi nampak, dan demikianlah yang dimaksud dengan ayat “Allah nur al-Samawat wa al-Ardh.”[7]
Makna Allah Cahaya Langit dan Bumi
Dari apa yang telah disebutkan menjadi jelas bahwa apabila kita berkata “Allah Cahaya langit dan bumi” maka hal itu bermakna bahwa Allah itu terang dan menerangi. Pencipta langit dan bumi. Redaksi langit-langit dan bumi menandaskan seluruh semesta, keberadaan, seluruh makhluk yang tinggi dan rendah, alam ghaib dan alam dunia.[8] Tidak semata-mata bermakna semata langit-langit yang berada di atas kepala kita ini atau bumi yang kita jejak ini. Karena itu, makna ayat adalah bahwa “Allah adalah cahaya seluruh semesta.” Redaksi yang digunakan di sini adalah “cahaya” bukan “pencipta” maksudnya adalah untuk menarik perhatian terhadap masalah ini bahwa sebagaimana cahaya itu adalah terang secara esensial dan tidak membutuhkan pada sesuatu yang lain untuk meneranginya, ia juga menerangi (muzhir) dan memberikan cahaya kepada yang lain, demikian juga adanya dengan Allah Swt yang tidak memerlukan sesuatu untuk menampakkan atau menerangi-Nya. Dia adalah Entitas dan Eksisten yang Nampak, Terang, Jelas dan Gamblang. Penalaran untuk menetapkan Wujud-Nya tidak memerlukan media. Dan Dialah Penampak dan Pengada seluruh entitas dan eksiten di alam semesta. Menukil Haji Sabzawari, “Yaa Man Huwa ikhtafa lifirthi Nurihi.”[9] (Wahai yang menghilang lantaran gemerlapnya cahaya-Nya).
Dengan demikian, sebagaimana urafa (mengikuti irfan para nabi dan imam As) menjelaskan Tuhan menjelma dalam artian dan penerangan sempurna. Dan untuk memusatkan perhatian dan peringatan kepada-Nya, tidak diperlukan media makhluk-makhluk-Nya. Dengan kata lain, untuk menalar wujud Tuhan maka yang harus digunakan adalah burhan limmi bukan burhan inni.[10] Pertama-tama Tuhan yang harus dikenal dan berangkat dari pengenalan terhadap-Nya manusia dapat memahami seluruh makhluk-Nya. Bukan sebaliknya. Pertama-tama mengenal makhluk-Nya kemudian dengan mengenal makhluk-Nya maka Tuhan dapat dikenal.
Sebagaimana dalam doa Arafah Imam Husain As disebutkan, “Ilahi turaddidu fii al-atsar yujibu ba’da al-mizar” Tuhanku! Perhatian kepada karya dan seluruh makhluk-Mu telah membuatku jauh dari persuaan dan ziarah kepada-Mu.” Amirul Mukminin dalam doa Kumail lamat-lamat merintih dalam doa, “Binur Wajhika alladzi Adha’ lahu Kullu Syai.“ (Dengan (perantara) cahaya wajah-Mu yang menerangi segala sesuatu)”[11]
Apabila bukan karena cahaya wajah-Mu dan Dzat-Mu maka seluruhnya dalam kegelapan. Artinya segala sesuatu tiada dan segala sesuatu pada kegepalan ketiadaan. Apabila bukan karena cahaya Dzat-Mu segala sesuatu dalam kegelapan “ketiadaan.” Bukan segala sesuatu berada pada kegelapan seperti kegelapan malam. Oleh itu, harus dikatakan bahwa: Allah Swt adalah murni cahaya. Dan di hadapan-Nya tiada satu pun yang bercahaya dan segala cahaya di hadapan-Nya adalah kegelapan (zhulmat), lantaran hanya pada Entitas yang pada Dzat-Nya nampak dan menampakkan. Terang dan menerangi hanyalah Tuhan; segala sesuatu yang lain apabila ia nampak dan menampakkan, terang dan menerangi maka sesungguhnya pada dzat mereka adalah “kegelapan,” dan Tuhanlah yang menjadikan mereka “nampak” dan “menampakkan.”[12]
Dari sini, Allamah Thabathabai sangat indah menyimpulkan ayat ini, “Karena itu dapat disimpulkan bahwa Allah Swt tidak majhul (misterius) bagi segala entitas dan eksisten, karena nampaknya segala sesuatu bagi diri mereka atau bagi yang lain bersumber dari penampakan Tuhan, apabila Tuhan tidak menampakkan dan mewujudkan sesuatu maka mereka tidak akan nampak; dengan demikian sebelum segala sesuatu, Allah nampak dan terang secara esensial. Maka kesimpulan yang dapat diambil dari apa yang dimaksud dengan “Cahaya” pada redaksi ayat “Allah cahaya langit dan bumi” cahaya Tuhan yang menjadi sumber penciptaan semesta. Sebuah cahaya yang dengan perantaranya segala sesuatu tercahayai dan benderang, dan “wujud” segala sesuatu sama, dan inilah rahmat Ilahi yang berlaku secara umum.”[13]
Karena itu, menurut kosa kata al-Qur’an, Allah Swt bukanlah sosok yang ghaib dan tersembunyi secara esensial sehingga Dia nampak dan tersingkap melalui seluruh makhluk dan alam penciptaan, langit dan bumi. Melainkan makrifat sedemikian adalah makrifat yang lemah dan tidak sempurna. Makrifat sejati adalah bahwa alam semesta dikenal melalui perantara Tuhan, bukan Tuhan dikenal melalui perantara semesta. Dan ayat ini menegaskan bahwa Allah Swt berada pada kesempurnaan penyingkapan, penerangan dan kegamblangan.
Cahaya atau Cahaya Terbesar
Poin lainnya yang dapat disimpulkan dari ayat adalah bahwa kita berkata cahaya kepada Tuhan namun kita tidak berkata cahaya terbesar yang bermakna bahwa kita memiliki banyak cahaya dimana di antara cahaya tersebut ada yang lebih besar dan ada yang lebih kecil. Di antara cahaya-cahaya ini, cahaya Tuhan yang terbesar.
Pandangan al-Qur’an di sini menegaskan bahwa hanya ada satu cahaya dan cahaya tersebut adalah Tuhan dan lainnya adalah kegelapan dan ketiadaan. Dalam membandingkan segala sesuatu dengan yang lain satu adalah cahaya dan yang lainnya adalah non-cahaya. Misalnya ilmu, iman dan akal adalah cahaya. Akan tetapi ketiganya mendulang cahaya dari Tuhan. Karena itu, di hadapan Tuhan, ketiganya bukanlah cahaya. Atau dengan kata lain, Allah Swt adalah “Nur al-Nur”,[14] artinya cahaya segala cahaya bukan cahaya terbesar. Dengan demikian, keyakinan yang disandarkan kepada Manikanisme yang menyebut Tuhan sebagai “cahaya terbesar” sejatinya memandang Tuhan sebagai cahaya empirik, akan tetapi cahaya Tuhan adalah cahaya teragung dan terbesar di alam semesta. Bagaimanapun, siapa saja yang menerima keyakinan ini, maka sesungguhnya keyakinan ini adalah keyakinan yang salah dan batil.[15]
Akhir kata, kami akan menyinggung sebuah riwayat yang dinukil dari Imam Ridha As dalam menjawab pertanyaan Abbas bin Hilal terkait “Allah Nur al-Samawat wa al-Ardh”, beliau bersabda: “Petunjuk bagi penduduk langit dan petunjuk bagi penghuni bumi.”[16][]
Beberapa referensi untuk telaah lebih jauh:
1. Tafsir Maudhui Qur’an Karim, Abdullah Jawadi Amuli, jil. 12, Fitrat dar Qur’an, hal. 291-297 dan Wahy wa Nubuwwat dar Qur’an, jil. 3, hal. 138-140.
2. Tauhid Shaduq.
3. Tafsir al-Mizan, jil. 15, Surah Nur, Muhammad Husain Thabathabai.
4. Tafsir al-Kabir, jil. 23, Fakhrurazi, tafsir ayat “Allah Nur al-Samawat wa al-Ardh.”
5.