Please Wait
12040
Apa yang dapat disimpulkan dari ajaran-ajaran agama adalah bahwa berharap kepada rahmat Ilahi dan takut (khauf) kepada azab kiamat merupakan dua tipologi penting dan keduanya saling melengkapi satu sama lain. Dua hal ini harus terdapat secara seimbang dalam diri seorang hamba beriman; artinya manusia beriman harus menunaikan seluruh kewajibannya dan meninggalkan seluruh yang diharamkan Allah Swt serta berharap kepada Allah Swt supaya memperoleh kesudahan dan akhir yang baik baginya.
Demikian juga ia seukuran yang sama harus takut kepada azab Ilahi; karena tiadanya rasa takut terharap azab Ilahi akan menyebabkan manusia berbuat lancang melakukan perbuatan maksiat. Takut berlebihan juga akan menyebabkan hilangnya harapan pada diri manusia terhadap rahmat Ilahi yang Mahaluas.
Sejatinya ayat-ayat dan riwayat-riwayat, harapan (raja) terhadap rahmat Ilahi diletakkan berdampingan dengan rasa takut (khauf) terhadap azab Ilahi. Dua perkara eksistensial ini diperkenalkan sebagai dua cahaya yang tersimpan dalam diri manusia dan dua sayap bagi manusia untuk terbang melesak tinggi menuju kesempurnaan; karena takut terhadap akhirat dan harapan terhadap rahmat Ilahi akan menggiring manusia menaati dan beribadah kepada Allah Swt dan sebagai hasilnya akan berbuah keselamatan baginya.
Para guru akhlak dan irfan seperti Imam Khomeini memandang khauf dan raja sebagai dua hal yang senantiasa saling melengkapi. Imam Khomeini menyatakan bahwa harapan memberikan kebaikan kepada manusia seluruh media yang dimiliki manusia yang digunakan untuk sampai pada kebahagiaan dan setelah itu berharap supaya Allah Swt menyediakan segala sesuatu yang tadinya tidak berada dalam kekuasaannya dan menyingkirkan segala halangan sehingga mencapai kebahagiaan ukhrawi; artinya apabila seseorang membersihkan dirinya dari segala duri-duri akhlak dan onak-onak maksiat serta menumbuhkan benih-benih kebaikan, ketaatan dan penghambaan di dalamnya kemudian menyirami dengan air suci keikhlasan kemudian setelah itu semua menambatkan hati berharap kepada rahmat dan kemurahan Tuhan supaya kesudahannya berakhir dengan baik dan bahagia maka asa dan harapan (raja) orang seperti ini adalah tergolong sebagai perbuatan baik.[1] Sebagaimana al-Quran menyinggung masalah ini, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka dapat mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Baqarah [2]:218)
Allah Swt pada ayat ini menempatkan harapan terhadap rahmat-Nya setelah iman dan berjihad di jalan Allah Swt dan urutan ini, yaitu manusia beriman harus mengerjakan segala yang menjadi kewajibannya dan meninggalkan segala yang diharamkan serta mengerahkan segala usaha dan upayanya kemudian ia berharap kepada rahmat Ilahi yang Mahaluas.
Khauf yang baik adalah bahwa manusia harus tahu di hadapan Ilahi adalah fakir murni dan tidak memiliki apa pun. Seluruh makhluk, entitas dan kontingen berhajat dan fakir kepada-Nya yang merupakan Zat Mahapemberi emanasi secara mutlak. Karena itu manusia apa pun yang diinginkannya harus menginginkan kepada seseorang yang memiliki kekuasaan mutlak dan segala akhir berujung kepada-Nya dan Dia adalah sumber segala kebaikan.[2]
Hal ini sebagaimana yang diungkapkan dalam al-Quran, “.....Katakanlah, “Semuanya (berasal) dari sisi Allah.......” (Qs. Al-Nisa [4]:78)
Khauf (takut) dan raja (harap) harus terdapat pada diri seorang hamba beriman secara seimbang; artinya manusia harus sedemikian takut kepada Allah Swt, azab kubur dan kiamat namun jangan sampai takut ini menyebabkan manusia putus asa dari rahmat Ilahi. Demikian juga sedemikian manusia harus berharap kepada rahmat Allah Swt namun jangan sampai membuat manusia lancang untuk berbuat kesalahan di hadapan Allah Swt. Beberapa riwayat berikut ini juga menyokong kondisi seperti ini:
- Imam Shadiq As bersabda, “Sedemikian engkau harus takut kepada Allah Swt sehingga meski apabila engkau membawa kebaikan jin dan manusia maka engkau (akan tetap) diazab. Dan sedemikian engkau harus berharap kepada-Nya sehingga Dia mengasihimu meski apabila engkau membawa dosa seluruh jin dan manusia.”[3]
- Imam Ali As bersabda, “Sebaik-baik amalan adalah keseimbangan antara takut dan harapan. Artinya antara takutnya (khauf) kepada hukuman Allah Swt dan harapan terhadap rahmat Allah Swt akan melahirkan sikap proporsional. Takut kepada Allah Swt seukuran tertentu dan harapan kepada rahmat dan ampunan seukuran tertentu; tidak terlalu berlebihan putus asa dari rahmat juga tidak terlalu berharap yang melahirkan banyak kesombongan dan kelalaian.”[4]
- Imam Shadiq As bersabda, “Takut (kepada hukuman Allah) adalah pengawas dan penjaga hati (sehingga tidak terjerembab pada kelalaian dan dosa). Harapan (terhadap rahmat Ilahi) adalah media dan wahana bagi manusia (sehingga tidak putus asa dan tidak lari dari Allah Swt). Barang siapa yang mengenal Allah Swt, ia takut kepada-Nya juga berharap kepada-Nya. Dan dua kondisi ini (khauf dan raja) merupakan dua sayap iman yang menerbangkan hamba ke hadapan ridwan Ilahi; dan merupakan dua mata akal yang membuatnya menyusun janji dan ancaman. Takut adalah tanda nyata keadilan Tuhan dan penahan dari hukuman-Nya. Harapan adalah seruan terhadap keutamaan dan rahmat Ilahi. Raja (harapan terhadap rahmat Ilahi yang tidak terbatas) akan menghidupkan hati. Khauf (takut kepada hukuman-Nya) akan mematikan nafsu (dan pelbagai kecendrungan nafsu).[5]
Di antara beberapa poin yang disampaikan di atas dapat disimpulkan bahwa harapan untuk dapat terbebas dari azab kiamat dengan menjalankan pelbagai kewajiban dan meninggalkan segala yang haram merupakan salah satu dua sayap iman untuk melesak terbang kehadapan Kesempurnaan Mutlak dan tipologi ini (harapan terhadap rahmat Ilahi) di samping takut terhadap azab Ilahi harus ada dalam diri manusia; artinya manusia harus sedemikian berharap pada rahmat Ilahi sehingga harapannya ini tidak berujung pada kemaksiatan terhadap Allah Swt dan cahaya takut juga harus ada dalam diri manusia sehingga tidak menyebabkan manusia putus asa dari rahmat Ilahi. [iQuest]
[1]. Imam Khomeini, Cihil Hadits, hal. 229, Cetakan Keenam Belas, Muassasah Tanzhim wa Nasyr Atsar Imam Khomeini, Teheran, 1376 S.
[2]. Imam Khomeini, Cihil Hadits, hal. 222.
[3]. Kulaini, Ushul Kafi, Terjemahan Mustafawi, jil. 3, hal. 109, Cetakan Pertama, Kitabpurusyi Ilmiyah Islamiyah, Teheran.
[4]. Ghurar al-Hikam, Terjemahan Anshari Qummi, jil. 1, hal. 395, Cetakan Kedelapan, Teheran.
[5]. Mishbâh al-Syariah, Terjemahan Mustafawi, hal. 398, Cetakan Pertama, Anjuman Islami Hikmat wa Falsafe-ye Iran, Teheran, 1360 S.