Please Wait
Hits
5563
5563
Tanggal Dimuat:
2013/05/20
Ringkasan Pertanyaan
Apakah hukum khitan bagi perempuan? Apakah hukum ini tidak bertentangan dengan ilmu-ilmu yang ada pada zaman sekarang?
Pertanyaan
Mengapa khitan pada perempuan menyebabkan kurangnya kenikmatan dalam hubungan seksual, namun khitan laki-laki dikatakan justru sebaliknya? Apakah khitan bagi laki-laki juga akan menyebabkan berkurangnya kenikmatan dalam hubungan seksual?
Jawaban Global
Khitan bagi perempuan, dapat dilakukan dengan beragam model. Terdapat beberapa riwayat yang menunjukkan tentang bentuk khusus bagi khitan perempuan. Dengan meneliti riwayat ini, kita memahami bahwa dalam Islam, harus diperhatikan supaya dalam melakukan khitan terhadap kaum perempuan dengan mempertimbangkan luka yang paling minimal bagi mereka. Yang dapat disimpulkan dari beberapa riwayat yang terkait dengan hal ini, sebab yang dijelaskan adalah bahwa khitan bagi perempuan bukan saja tidak akan menurunkan syahwat, tapi justru akan menambah kenikmatan seksual sehingga suami dan istri akan sama-sama menikmati hubungan seksual mereka. Riwayat-riwayat tentang masalah ini berbeda, dimana dengan menyatukan antara riwayat-riwayat yang ada, dapat disimpulkan hukum tentang anjuran (mustahab) melakukan hal ini.
Namun kemustahaban ini tidak seperti kemustahaban yang ada pada hukum-hukum mustahab yang lain, tapi hanya lebih baik dilakukan dan tidak pula dianjurkan secara khusus untuk melakukannya. Oleh itu, pada komunitas Muslim, tidak ada budaya bahwa khitan bagi kaum perempuan sebagai bentuk amalan ajaran agama. Hanya pada zaman dahulu demi suatu kemaslahatan, terdapat budaya khitan pada kaum perempuan dan Islam juga tidak terlalu menegaskan hal itu.
Namun kemustahaban ini tidak seperti kemustahaban yang ada pada hukum-hukum mustahab yang lain, tapi hanya lebih baik dilakukan dan tidak pula dianjurkan secara khusus untuk melakukannya. Oleh itu, pada komunitas Muslim, tidak ada budaya bahwa khitan bagi kaum perempuan sebagai bentuk amalan ajaran agama. Hanya pada zaman dahulu demi suatu kemaslahatan, terdapat budaya khitan pada kaum perempuan dan Islam juga tidak terlalu menegaskan hal itu.
Jawaban Detil
Khitan adalah termasuk hal-hal yang diwajibkan bagi seorang laki-laki Muslim. Agama Yahudi juga meyakini adanya kewajiban khitan setiap laki-laki. Namun agama Kristen, membebaskan penganutnya untuk melakukan khitan. Tentu saja, dengan ditemukannya manfaat-manfaat dari sisi medis dan non medis, pada masa sekarang, di dunia Barat dan di antara penganut Kristen, khitan juga sudah berkembang, dimana khitan bagi mereka lebih banyak memiliki sisi medis, bukan agama.[1] Manfaat khitan bagi laki-laki di antaranya adalah demi kepuasan seksual secara lebih.[2]
Adapun terkait dengan khitan perempuan, pembahasannya berbeda. Khitan bagi perempuan mempunyai model dan dapat dikerjakan dengan cara yang beragam. WHO menulis ragam yang bisa ditempuh dalam khitan perempuan.[3] Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh WHO, alasan paling penting menurut mereka yang melakukan khitan bagi perempuan adalah: Keselamatan yang lebih, menambah kesempurnaan perempuan, menyiapkan mereka untuk menikah, mengontrol syahwat perempuan sebelum menikah, untuk mempertahankan perempuan dalam menghadapi pelbagai penyimpangan seksual, mendatangkan kesucian dan keindahan (dengan keyakinan bahwa seorang perempuan akan nampak suci dan indah dengan cara mengambil sebagian dari badan mereka yang tidak suci dan jelek), dan menjaga adat dan kebiasaan yang terjadi pada masa lalu.[4]
Terdapat perbedaan pandangan antara pemimpin-pemimpin agama baik agama-agama Samawi maupun non Samawi sehubungan dengan khitan perempuan. Sebagian dari mereka mendukung dan memerintahkan untuk melakukannya, sebagian yang lainnya, memandang bahwa khitan bagi perempuan tidak ada hubungannya dengan agama, dan sekelompok lainnya mereka berpartisipasi untuk menghilangkan khitan perempuan. [5]
Dengan pengantar di atas, kita akan membaca beberapa riwayat yang menjelaskan tentang khitan perempuan. Sebagian dari riwayat-riwayat itu mempunyai tinjauan dari sisi historis dan merupakan kebudayaan masyarakat Arab pada zaman itu. Riwayat-riwayat ini dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian: Sekelompok riwayat itu membolehkan (mubah) hukum khitan perempuan. Riwayat-riwayat yang lain menjelaskan ketidakmubahan khitan perempuan dan sebagian yang lainnya lagi menunjukkan kemustahaban hal itu.
Kelompok pertama, riwayat-riwayat yang memubahkan hukum khitan bagi perempuan:
Imam Shadiq As bersabda, “Ketika para perempuan hijrah ke Madinah bersama Nabi Muhammad Saw, di antara mereka terdapat seorang perempuan bernama Ummu Habib yang pekerjaannya mengkhitan perempuan. Ketika Nabi Saw melihatnya, bersabda, “Wahai Ummu Habib! Apakah Anda masih mempunyai pekerjaan sebagaimana yang kau lakukan di Mekah? Ia menjawab, “Iya, wahai Rasulullah! Apabila pekerjaan itu haram dan Anda melarangnya, maka aku akan meninggalkannya. Nabi bersabda, “Tidak, pekerjaan itu halal, mendekatlah kemari sehingga aku akan mengajari sesuatu. Ummu Habib pun mendekat ke arah Nabi, Nabi bersabda, “Ketika kamu sedang mengkhitan, janganlah berlebihan dan ambillah sedikit saja sehingga mukanya akan kelihatan berseri-seri dan suaminya juga akan lebih menikmati dalam berhubungan seksual.”[6]
Berdasarkan penjelasan ini, isyarat terhadap hal ini penting bahwa pada zaman itu, laki-laki mempunyai banyak istri sehingga bisa dikatakan bahwa perempuan-perempuan harus berlomba untuk memperoleh hati dan kasih sayang suaminya. Melalui cara ini, seorang istri akan berlomba dengan sesama istri-istrinya yang lain. Nabi Muhammad Saw tidak melarang khitan dengan model tertentu, hanya memerintahkan supaya sedikit saja dalam memotong/mengambil bagian dari kemaluan perempuan ketika mengkhitan perempuan. Dari sini diketahui bahwa khitan dimaksudkan untuk memperindah perempuan-perempuan dan mengambil hati suaminya. Di samping itu, dari riwayat ini bisa ditarik kesimpulan bahwa khitan perempuan dalam Islam adalah satu jenis dan hal itu adalah pengguntingan/pemotongan bibir sebagian kemaluan perempuan yang merupakan bentuk yang paling mudah. Oleh itu, pada hal-hal yang menyebabkan bahaya yang pasti, yang merupakan jenis-jenis lain dari khitan pada manusia, tidak diterima dalam ajaran agama Islam. Riwayat dengan kandungan sama namun dengan ungkapan yang berbeda terdapat juga dalam hadis-hadis lain.[7]
Imam Ali As bersabda, “Tidak ada masalah pada khitan bagi anak perempuan, tapi khitan bagi laki-laki adalah wajib.”[8] Percepatlah mengkhitan anak-anak kalian karena hal ini akan lebih bersih bagi mereka, tapi anak perempuan jangan kurang dari 7 tahun untuk mengkhitannya.”[9]
Kelompok kedua, riwayat-riwayat yang secara tersurat tidak menyatakan kemustahaban bagi khitan bagi perempuan:
Imam Shadiq As bersabda, “Khitan bagi anak laki-laki adalah sunnah tapi bagi anak perempuan bukan sunnah.” [10]
Seseorang bertanya kepada Imam Baqir As, “Aku mengambil budak yang diambil dari negara kafir namun ketika Aku mencari seseorang untuk mengkhitannya, Aku tidak menemukan seorang perempuan pun untuk mengkhitannya. Aku harus bagaimana? Imam Baqir As menjawab, “Sunnah khitan itu ada pada laki-laki, tapi tidak demikian pada perempuan.” [11]
Kelompok ketiga, riwayat-riwayat dengan ungkapan “makramatun nisa” yang secara tersurat (zhahir) bermakna mustahab, seperti: Imam Ridha As bersabda, Khitan adalah sunnah yang wajib bagi laki-laki dan harus dilakukan, sementara bagi perempuan adalah kemuliaan. [12]
Imam Shadiq As bersabda, “Khitan bagi anak perempuan adalah sebuah tradisi yang mulia, tapi bukan merupakan hal yang mustahab, dan juga bukan kewajiban, perbuatan mana lagi yang lebih baik dari tradisi yang mulia? [13]
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa khitan bagi perempuan adalah mustahab, tapi tidak wajib. Kemustahaban khitan bagi perempuan tidak seperti pada khitan bagi laki-laki yang diwajibkan baginya.[14]
Penggabungan antara Riwayat-riwayat
Sebagaimana yang kami lihat, sebagian riwayat tidak secara jelas menunjukkan tentang dianjurkannya khitan bagi perempuan, bahkan secara tersurat riwayat ditulis: “laisat minas sunnah” dan atau “laisa ‘ala nisa” yang menunjukkan penolakan atas hukum mustahab pada khitan perempuan.[15] Namun para fakih dengan memperhatikan riwayat-riwayat yang ada pada kelompok ketiga, ungkapan ”laisat minas sunnah” tidak dimaknai sesuai dengan makna tersuratnya, sehingga dengan demikian hukum kemustahabannya masih tetap dipelihara.[16] Jika demikian, maksud “laisat minas sunnah” bukan berarti khitan tidak mustahab bagi perempuan, namun maksudnya adalah bahwa khitan tidak wajib bagi anak perempuan dan bukan pula merupakan hal yang mustahab untuk dianjurkan.
Pada akhirnya, perlu kami ingatkan bahwa tradisi masyarakat yang melakukan khitan bagi perempuan, hanya karena mengikuti adat dan kebiasaan kabilah atau suku dan tidak memiliki tinjaun agama dan kepercayaan.
Kesimpulan
Dari sekumpulan riwayat yang telah disebutkan di atas dan riwyat-riwayat lain, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
Adapun terkait dengan khitan perempuan, pembahasannya berbeda. Khitan bagi perempuan mempunyai model dan dapat dikerjakan dengan cara yang beragam. WHO menulis ragam yang bisa ditempuh dalam khitan perempuan.[3] Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh WHO, alasan paling penting menurut mereka yang melakukan khitan bagi perempuan adalah: Keselamatan yang lebih, menambah kesempurnaan perempuan, menyiapkan mereka untuk menikah, mengontrol syahwat perempuan sebelum menikah, untuk mempertahankan perempuan dalam menghadapi pelbagai penyimpangan seksual, mendatangkan kesucian dan keindahan (dengan keyakinan bahwa seorang perempuan akan nampak suci dan indah dengan cara mengambil sebagian dari badan mereka yang tidak suci dan jelek), dan menjaga adat dan kebiasaan yang terjadi pada masa lalu.[4]
Terdapat perbedaan pandangan antara pemimpin-pemimpin agama baik agama-agama Samawi maupun non Samawi sehubungan dengan khitan perempuan. Sebagian dari mereka mendukung dan memerintahkan untuk melakukannya, sebagian yang lainnya, memandang bahwa khitan bagi perempuan tidak ada hubungannya dengan agama, dan sekelompok lainnya mereka berpartisipasi untuk menghilangkan khitan perempuan. [5]
Dengan pengantar di atas, kita akan membaca beberapa riwayat yang menjelaskan tentang khitan perempuan. Sebagian dari riwayat-riwayat itu mempunyai tinjauan dari sisi historis dan merupakan kebudayaan masyarakat Arab pada zaman itu. Riwayat-riwayat ini dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian: Sekelompok riwayat itu membolehkan (mubah) hukum khitan perempuan. Riwayat-riwayat yang lain menjelaskan ketidakmubahan khitan perempuan dan sebagian yang lainnya lagi menunjukkan kemustahaban hal itu.
Kelompok pertama, riwayat-riwayat yang memubahkan hukum khitan bagi perempuan:
Imam Shadiq As bersabda, “Ketika para perempuan hijrah ke Madinah bersama Nabi Muhammad Saw, di antara mereka terdapat seorang perempuan bernama Ummu Habib yang pekerjaannya mengkhitan perempuan. Ketika Nabi Saw melihatnya, bersabda, “Wahai Ummu Habib! Apakah Anda masih mempunyai pekerjaan sebagaimana yang kau lakukan di Mekah? Ia menjawab, “Iya, wahai Rasulullah! Apabila pekerjaan itu haram dan Anda melarangnya, maka aku akan meninggalkannya. Nabi bersabda, “Tidak, pekerjaan itu halal, mendekatlah kemari sehingga aku akan mengajari sesuatu. Ummu Habib pun mendekat ke arah Nabi, Nabi bersabda, “Ketika kamu sedang mengkhitan, janganlah berlebihan dan ambillah sedikit saja sehingga mukanya akan kelihatan berseri-seri dan suaminya juga akan lebih menikmati dalam berhubungan seksual.”[6]
Berdasarkan penjelasan ini, isyarat terhadap hal ini penting bahwa pada zaman itu, laki-laki mempunyai banyak istri sehingga bisa dikatakan bahwa perempuan-perempuan harus berlomba untuk memperoleh hati dan kasih sayang suaminya. Melalui cara ini, seorang istri akan berlomba dengan sesama istri-istrinya yang lain. Nabi Muhammad Saw tidak melarang khitan dengan model tertentu, hanya memerintahkan supaya sedikit saja dalam memotong/mengambil bagian dari kemaluan perempuan ketika mengkhitan perempuan. Dari sini diketahui bahwa khitan dimaksudkan untuk memperindah perempuan-perempuan dan mengambil hati suaminya. Di samping itu, dari riwayat ini bisa ditarik kesimpulan bahwa khitan perempuan dalam Islam adalah satu jenis dan hal itu adalah pengguntingan/pemotongan bibir sebagian kemaluan perempuan yang merupakan bentuk yang paling mudah. Oleh itu, pada hal-hal yang menyebabkan bahaya yang pasti, yang merupakan jenis-jenis lain dari khitan pada manusia, tidak diterima dalam ajaran agama Islam. Riwayat dengan kandungan sama namun dengan ungkapan yang berbeda terdapat juga dalam hadis-hadis lain.[7]
Imam Ali As bersabda, “Tidak ada masalah pada khitan bagi anak perempuan, tapi khitan bagi laki-laki adalah wajib.”[8] Percepatlah mengkhitan anak-anak kalian karena hal ini akan lebih bersih bagi mereka, tapi anak perempuan jangan kurang dari 7 tahun untuk mengkhitannya.”[9]
Kelompok kedua, riwayat-riwayat yang secara tersurat tidak menyatakan kemustahaban bagi khitan bagi perempuan:
Imam Shadiq As bersabda, “Khitan bagi anak laki-laki adalah sunnah tapi bagi anak perempuan bukan sunnah.” [10]
Seseorang bertanya kepada Imam Baqir As, “Aku mengambil budak yang diambil dari negara kafir namun ketika Aku mencari seseorang untuk mengkhitannya, Aku tidak menemukan seorang perempuan pun untuk mengkhitannya. Aku harus bagaimana? Imam Baqir As menjawab, “Sunnah khitan itu ada pada laki-laki, tapi tidak demikian pada perempuan.” [11]
Kelompok ketiga, riwayat-riwayat dengan ungkapan “makramatun nisa” yang secara tersurat (zhahir) bermakna mustahab, seperti: Imam Ridha As bersabda, Khitan adalah sunnah yang wajib bagi laki-laki dan harus dilakukan, sementara bagi perempuan adalah kemuliaan. [12]
Imam Shadiq As bersabda, “Khitan bagi anak perempuan adalah sebuah tradisi yang mulia, tapi bukan merupakan hal yang mustahab, dan juga bukan kewajiban, perbuatan mana lagi yang lebih baik dari tradisi yang mulia? [13]
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa khitan bagi perempuan adalah mustahab, tapi tidak wajib. Kemustahaban khitan bagi perempuan tidak seperti pada khitan bagi laki-laki yang diwajibkan baginya.[14]
Penggabungan antara Riwayat-riwayat
Sebagaimana yang kami lihat, sebagian riwayat tidak secara jelas menunjukkan tentang dianjurkannya khitan bagi perempuan, bahkan secara tersurat riwayat ditulis: “laisat minas sunnah” dan atau “laisa ‘ala nisa” yang menunjukkan penolakan atas hukum mustahab pada khitan perempuan.[15] Namun para fakih dengan memperhatikan riwayat-riwayat yang ada pada kelompok ketiga, ungkapan ”laisat minas sunnah” tidak dimaknai sesuai dengan makna tersuratnya, sehingga dengan demikian hukum kemustahabannya masih tetap dipelihara.[16] Jika demikian, maksud “laisat minas sunnah” bukan berarti khitan tidak mustahab bagi perempuan, namun maksudnya adalah bahwa khitan tidak wajib bagi anak perempuan dan bukan pula merupakan hal yang mustahab untuk dianjurkan.
Pada akhirnya, perlu kami ingatkan bahwa tradisi masyarakat yang melakukan khitan bagi perempuan, hanya karena mengikuti adat dan kebiasaan kabilah atau suku dan tidak memiliki tinjaun agama dan kepercayaan.
Kesimpulan
Dari sekumpulan riwayat yang telah disebutkan di atas dan riwyat-riwayat lain, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
- Khitan perempuan terdapat di antara perempuan-perempuan Hijaz. Sebagian mereka melakukannya, namun hal ini bukan merupakan tradisi yang cukup terkenal bagi mereka. Islam juga tidak begitu memperhatikan akan masalah ini, dan hanya pada riwayat yang jumlahnya terbatas yang memberi kebolehan untuk melakukan hal tersebut.
- Sebagaimana yang telah dikatakan, bahwa riwayat-riwayat yang terkait dengan hal ini adalah berbeda dan hukum kemustahabannya diperoleh dengan cara menggabungkan riwayat-riwayat yang ada. Namun kemustahaban ini tidak seperti kemustahaban-kemustahaban hukum-hukum mustahab yang lain, tapi hanya merupakan hal yang lebih baik jika dilaksanaan dan tidak ada anjuran khusus sedikit pun untuk melakukannya. [iQuest]
[1] Silahkan lihat: Samaneh Itthila’ Rasani Syabakeh Pezyeski Kisywar (Pusat Informasi Dunia Kedokteran Irān), Makalah “Negāhi Ilmi wa Madzhabi be Masaleh Khatneh.”
[2] Silahkan lihat: “Sejarah Khitan dan Falsafah Kewajibannya”, pertanyaan 28981.
[3] Silahkan lihat: Pasyayi, Thahirah, Syuyu’ Khitnah wa ‘Awāmili Murthabith bā Ān dar Zanān Murā’je’eh be Marākeze Behdāsyti Darmāni Syahrestān Rawānsar, Majalah Danesykadeh Behdasyte wa Anistitu Tahqiqat Behdasyti, hal. 58, tahun ke-9, no, 4, Zemestan 1390.
[4] Syuyu Khitnah wa ‘Awāmil Murthabith bā On dar Zanān Murā’je’eh be Marākiz Behdāsyt Darmāni Syahrestān Rawānsar, hal. 58-59.
[5] Ibid, hal. 59.
[6] Al-Kāfi, jil. 6, hal. 38.
[7] Ibid, jil, 5, hal. 660.
[8] Isfahani, (Majlisi Awal), Muhammad Taqi, Raudhah al-Muttaqin fi Syarh Man Lā Yahdhuruhu al-Faqih, Riset: Musawi Kermani, Sayid Husain, Isytihardi, Ali Panoh, Thabathabai, Sayid Fadhlullah, jil. 8, hal. 618, Muasasah Farhanggi Islami Lusyanipur, Qum, cet. 2, 1406.
[9] Ibnu Hayun, Nu’man bin Muhammad Maghribi, Da’āim al-Islām wa Dzikr al-Halāl wa al-Harām wa al-Qadzāyā wa al-Ahkām, Riset: Faizi, Ashif, jil. 1, hal. 124, Muasasah Ali al-Bayt Alaihi Salam, Qum, Cet. 2, 1385.
[10] Majlisi, Muhammad Baqir, Mir’at al-Uqul fi Syarh Akhbār Ali al-Rasul, Riset: Rasuli Mahalati, Hasyim, jil. 21, hal. 66, Dar al-Kitab al-Islamiyah, Tehran, Cet. 2, hal. 66.
«خِتَانُ الْغُلَامِ مِنَ السُّنَّةِ وَ خَفْضُ الْجَوَارِي لَيْسَ مِنَ السُّنَّة»
[11] Mir’at al-Uqul fi Syarh Akhbar Ali al-Rasul, jil. 21, Hal. 66.
«أَمَّا السُّنَّةُ فِي الْخِتَانِ عَلَى الرِّجَالِ وَ لَيْسَ عَلَى النِّسَاء»
[12] Syaikh Shaduq, ‘Uyun al-Akhbār al-Ridha As, Riset: Lajurdi, Mahdi, jil. 2, hal. 125, Nasyar Jahan, Tehran, Cet. 1, 1378.
«الْخِتَانُ سُنَّةٌ وَاجِبَةٌ لِلرِّجَالِ وَ مَكْرُمَةٌ لِلنِّسَاء»
[13] Kāfi, jil. 6, hal. 37.
«خَفْضُ الْجَارِيَةِ مَكْرُمَةٌ وَ لَيْسَتْ مِنَ السُّنَّةِ وَ لَا شَيْئاً وَاجِباً وَ أَيُّ شَيْءٍ أَفْضَلُ مِنَ الْمَكْرُمَةِ»
[14] Raudhah al-Muttaqin fi Syarh Man La Yahdhuruhu al-Faqih, jil. 8, hal. 616.
«الختان مكرمة فی النساء»
[15] Mirza Qumi, Abul Qasim bin Muhammad Hsan, Jami’ al-Syitāt fi Ajwabah al-Soālāt, Riset: Radzawi, Murtadha, jil. 4, hal. 614, Muasasah Keihan, Tehran, Cet. 1, 1413.
[16] Ibid, Raudhah al-Muttaqin fi Syarh Man La Yahdhuruhu al-Faqih, jil. 8, hal. 616.
Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar