Advanced Search
Hits
22044
Tanggal Dimuat: 2009/02/22
Ringkasan Pertanyaan
Al-Qur'an adalah salah satu sumber ijtihad. Apakah seorang juris atau alim dapat bersandar kepada al-Qur'an tanpa adanya pra-supposisi? Apabila jawabannya tidak, pra-supposisi apa saja yang harus ada sebelum seorang juris (faqih) atau alim bersandar kepada al-Qur'an?
Pertanyaan
Al-Qur'an adalah salah satu sumber ijtihad. Apakah seorang juris atau alim dapat bersandar kepada al-Qur'an tanpa adanya pra-supposisi? Apabila jawabannya tidak, pra-supposisi apa saja yang harus ada sebelum seorang juris (faqih) atau alim bersandar kepada al-Qur'an?
Jawaban Global

1.       Secara global dalam menjawab pertanyaan di atas dapat dikatakan sebagai berikut bahwa al-Qur'an adalah nara sumber pertama dan utama syariat. Al-Qur'an merupakan referensi pertama untuk memperoleh pandangan agama;

2.       Mengeksplorasi al-Qur'an tidak akan memiliki konsideran (i'tibar) dan tidak bermakna, kecuali jika dua asas berikut ini ditetapkan dan dibuktikan, dan kedua asas itu adalah hujjiyat shudur dan hujjiyat dalali al-Qur'an;

3.       Asas penerimaan seorang juris dalam menginferensi al-Qur'an terbagi menjadi dua: Shuduri (keluaran) dan dalâli (denotasi);

4.       Asas keluaran (shudur) al-Qur'an adalah:

a.     Al-Qur'an berasal dari Tuhan;

b.     Al-Qur'an terjaga dari distorsi, pengurangan dan penambahan;

c.     Wahyu terjaga dari kesalahan;

d.    Nabi Muhammad Saw terjaga dan maksum dari segala bentuk kesalahan baik sengaja atau lalai dalam menerima wahyu, juga dalam menyampaikannya;

5.       Asas yang dapat ditunjukkan oleh al-Qur'an (dalali) adalah sebagai berikut:

a.    Allah Swt menghendaki makna-makna khusus atas redaksi-redaksi al-Qur'an;

b.    Dalam menjelaskan maksud Ilahi, minimal dalam hukum-hukum cabang, tidak beralih dari metode umum yang digunakan dalam proses pemahaman dan metode para uqala. Serta tidak menggunakan penjelasan analogik dan simbolik;

c.    Tersedia ruang untuk memahami makna-makna yang dihendaki oleh Tuhan bagi para uqala (orang-orang berakal) terkait ayat-ayat jurisprudensial (fiqih) pada masa turunnya ayat-ayat tersebut;

d.    Hukum-hukum Ilahi bersifat universal dan tidak terkhusus pada tempat dan kondisi tertentu kecuali hukum-hukum tersebut telah mansukh (teranulir) atau berubahnya hukum-hukum tersebut dapat dibuktikan.

Jawaban Detil

Al-Qur'an dalam perspektif seluruh mazhab dan firqah Islam dikenal sebagai sumber pertama dan utama dalam agama Islam. Dan seluruhnya mengakui perkara ini, bahwa sumber pertama syariat dan rujukan (marja' ) utama untuk memperoleh pandangan agama dalam wilayah yang beragam harus merujuk kepada al-Qur'an. Artinya adalah bahwa al-Qur'an merupakan mukjizat abadi Rasulullah Saw dan lebih superior (muhaiman) atas  kitab-kitab samawi sebelumnya.

Sejatinya dengan pandangan ini dua asas dalam wilayah inferensi al-Qur'an diterima oleh setiap kalangan:

1.    Al-Qur'an merupakan sanad Ilahi dan hujjah Tuhan bagi manusia. Dan apa yang kini disebut al-Qur'an di tangan setiap kaum Muslimin adalah al-Qur'an yang diturunkan oleh Tuhan dan tidak memiliki unsur non-Ilahi. Di dalamnya tidak terdapat kesalahan baik lalai atau sengaja. Artinya al-Qur'an yang kini di tangan kita kaum Muslimin memiliki hujjiya shuduri (dalil keluaran).

2.    Pesan al-Qur'an dapat diakses. Untuk dapat mengakses dan memperoleh pandangan agama, al-Qur'an menjadi rujukan. Artinya al-Qur'an di samping memiliki hujjiyah shuduri, ia juga memiliki sisi hujjiyah dalâli (dalil denotatif).

 

Oleh karena itu, tatkala seorang juris terjun dalam proses istinbâth (inferensi) hukum-hukum syariat ia menjadikan al-Qur'an sebagai sumber ijtihadnya dan menggunakan al-Qur'an untuk sampai pada hukum fiqih. Sebelum beranjak untuk mengeksplorasi al-Qur'an, ia menerima sekumpulan asas pada sisi keluaran (shudur) al-Qur'an dan sekumpulan lainnya pada sisi denotatif (dalâli) al-Qur'an. Karena apabila ia menerima secuil pun keraguan terkait dengan keluaran al-Qur'an sekali-kali ia tidak dapat menyandarkan pandangannya pada al-Qur'an dan wahyu serta mengatributkan hukum-hukum yang diperoleh dari proses instinbâth sebagai hukum Tuhan dan agama.

Asas-asas keluaran al-Qur'an adalah sebagai berikut:

1.       Sebelum segala sesuatunya, seorang juris memandang bahwa al-Qur'an diturunkan dari sisi Allah Swt; lantaran sekiranya al-Qur'an tidak berasal dari Tuhan, maka al-Qur'an tidak memiliki sisi keunggulan yang membuat seorang juris harus merujuk kepadanya untuk memperoleh pendapat agama. Tatkala dikatakan bahwa al-Qur'an bersumber dari Tuhan, maknanya adalah bahwa:

a.       Kandungan al-Qur'an bersumber dari Tuhan;

b.       Lafaz-lafaz dalam bentuk kosa-kata dan rangkaian kata yang terajut menjadi ayat dalam al-Qur'an bersumber dari Tuhan. Artinya bahwa rangkaian lafaz-lafaz dan ayat-ayat ini adalah wahyu;

c.       Model kodifikasi al-Qur'an yang tersusun di antara ayat-ayat yang berurutan kemudian membentuk surah-surah, dan juga urutan-urutannya yang membentuk al-Qur'an adalah wahyu;

2.       Seorang juris meyakini bahwa al-Qur'an adalah al-Qur'an yang terkumpul pada awal-awal kemunculan Islam dan seluruh ayat-ayatnya yang terhimpun menjadi al-Qur'an adalah wahyu Ilahi. Artinya tidak ada penambahan pada himpunan ayat-ayat ini dan juga tidak terdapat pengurangan. Dengan demikian, asas yang ada dapat dikaji pada pembahasan distorsi (tahrif) dan juga dapat ditelaah pada masalah tawâtur al-Qur'an.

3.       Seorang juris menerima bahwa wahyu terjaga dan terpelihara dari kesalahan. Maksudnya adalah bahwa ilmu Ilahi ini yang turun dalam bentuk wahyu sampai kepada Nabi Muhammad Saw tanpa adanya perubahan dan pergantian. Artinya tidak bermakna bahwa Nabi Saw tidak berkata-kata selain yang diwahyukan kepadanya juga tidak berarti bahwa Nabi Saw tidak melakukan dalam menerima wahyu, melainkan bermaksud bahwa pada proses transformasi wahyu dari ilmu Ilahi kepada Nabi Muhammad Saw tidak terjadi kesalahan.

4.       Juris menerima bahwa Rasulullah Saw terjaga dan terpelihara dari segala jenis kesalahan disengaja atau tidak. Artinya bahwa di samping tidak terjadi kesalahan pada wahyu itu sendiri, Nabi Saw juga tidak melakukan kesalahan, baik dalam menerima al-Qur'an atau menyampaikannya.

 

 

 

Adapun asas-asas denotatif al-Qur'an sebagai berikut:

1.       Juris merujuk kepada al-Qur'an berdasarkan pada asas bahwa Allah memiliki maksud terhadap makna-makna tertentu dari kalimat-kalimat yang digunakan dalam al-Qur'an. Asas ini kendati secara lahir sangat jelas, namun hal ini dapat menjadi sumber perdebatan sengit di antara maktab pemikiran di Barat.

Sebagian pemikir yang meyakini ilmu hermeneutika disebut sebagai relativisme. Tatkala seorang pelukis melukis sesuatu di atas kanvas, boleh jadi Anda tatkala melihatnya berkata bahwa ia tengah menjelaskan kesedihannya. Dan orang lain mungkin berkata bahwa ia sedang menerangkan kegembiraannya. Orang ketiga yang menyaksikan pelukis ini barangkali beranggapan bahwa pelukis itu sedang mengekspresikan kemarahannnya. Kini apabila diajukan pertanyaan yang mana dari ketiga pandangan ini yang benar? Harus dikatakan bahwa seluruh pernyataan ini benar adanya dan bahwa siapa saja yang menyimpulkan dari lukisan kanvas itu pemahamannya benar dan maknanya dapat diterima.

Keyakinan semacam ini sejatinya tidak bermakna bahwa lukisan kanvas tersebut tidak memiliki pesan khusus sehingga pemahaman orang lain harus dibandingkan. Pelukis yang menggoreskan lukisan di atas kanvas tersebut tidak memiliki makna pamungkas dan siapa saja dapat dengan benar mengekspresikan setiap makna yang terlintas dalam benaknya yang sesuai dengan tradisi dan kebudayaan tipikalnya.

Berdasarkan hal ini, setiap penafsiran yang dilakukan terhadap teks-teks agama  berada dalam tawanan tradisi dan budaya tertentu penafsir dan senantiasa pemahaman agama adalah pemahaman situasional dan bergantung pada pikiran para penafsir. Terkadang di antara para pemikir Muslim santer terdengar bahwa pada ayat-ayat al-Qur'an tidak terdapat makna-makna khusus, sehingga harus dijelajahi dan disingkap, melainkan maknanya luas, menjuntai dan lebar untuk setiap pemahaman sedemikian sehingga siapa pun yang memahami sesuatu darinya maka yang dipahaminya itu adalah benar.

Oleh karena itu, juris dalam menginferensi (menyimpulkan) ayat-ayat al-Qur'an menerima asas definitif ini bahwa Allah Swt menghendaki makna-makna khusus dari ayat-ayat tersebut. Karena makna inferensi dan istinbath hukum-hukum dari al-Qur'an adalah bahwa juris berusaha semaksimal mungkin menggali makna-makna yang tertimbun pada ayat-ayat Ilahi dan Tuhan berada pada tataran menjelaskan lafaz-lafaz dan redaksi ayat-ayat tersebut. Dengan demikian adagium benar dan keliru dalam memahami al-Qur'an sebagaimana yang disebutkan, "Bagi yang benar mendapatkan dua pahala dan satu pahala bagi yang keliru," menemukan maknanya.[1]

2.       Al-Qur'an dalam menjelaskan maksud Tuhan, setidaknya dalam domain hukum-hukum cabang dan bertautan dengan perbuatan para mukallaf,[2] tidak menggunakan bahasa simbol, melainkan menggunakan pendekatan umum yang dilakukan oleh orang-orang berakal. Artinya Allah Swt dalam menjelaskan maksud-maksud-Nya memilih metode orang-orang berakal.

Ihwal hujjiyah zhawair dalam ilmu Ushul disebutkan bahwa, "Bentuk-bentuk lahir lafaz-lafaz adalah hujjah." Maksudnya adalah bahwa apa yang dapat dipahami dari ucapan seorang pembicara secara lahir, orang-orang berakal menerapkan makna itu kepada pembicara.  Namun matlab ini apa hubungannya dengan Tuhan (Syâri')? Bagaimana kaidah dapat diterapkan pada penjelasan Syâri' dan atas dasar apa bentuk-bentuk lahir penjelasan Syâri' dibebankan kepada-Nya? Matlab ini berhubungan tatkala kita menerima bahwa Allah Swt dalam al-Qur'an dan Rasulullah serta para Maksum As berkata dengan menggunakan metode orang-orang berakal dan tidak mengadakan model penjelasan yang berbeda. Secara umum, berpengaruhnya hukum dialog urf (masyarakat umum) terhadap firman-firman Syâri' berdasarkan kepada penerimaan asas ini, bahwa Syar'i berfirman dengan menggunakan metode orang-orang berakal.

3.       Ruang untuk memahami makna-makna yang diutarakan dari ayat-ayat Ilahi, setidaknya pada ranah hukum fikih tersedia bagi orang-orang berakal, pada masa pewahyuannya. Artinya bahwa ayat-ayat tentang hukum (fikih) sedemikian sehingga orang-orang pada masa itu dengan satu pemahaman valid urf dapat menangkap maksud Ilahi dan menjalankan tugas (taklif) mereka. Dan apabila mereka tidak menangkap maksud tersebut maka hal itu bukan dikarenakan bahwa ruang untuk memahami tidak tersedia, dan budaya yang berkembang pada masa itu tidak mengizinkan masyarakatnya untuk mengakses maksud tersebut, serta seiring dengan berlalunya waktu, menyempurnanya ilmu pengetahuan, datangnya pemahaman baru makna-makna tesebut dapat tersingkap melainkan disebabkan oleh kekeliruan berpikir mereka yang lalai dari matlab yang ada atau salah memahami maksud-maksud Ilahi tersebut. Sebagai contoh, terkadang terjadi perawi yang menukil riwayat dari Imam As turut menyebutkan kesimpulan pribadinya. Namun juris di masa kita sekarang memahami matlab yang lain dari riwayat tersebut dan memiliki kesimpulan yang berbeda dengan perawi. Pada saat yang sama ia membenarkan pandangannya dan menyalahkan pandangan perawi. Apabila juris ini diprotes bagaimana kesimpulan perawi yang merupakan pemahaman masa dikeluarkannya riwayat dari maksum As ia tepikan dan sebagai gantinya pemahaman baru juris itu sendiri meski dengan jarak waktu yang sedemikian membentang. Ia menjawab: "Makna ini yang aku pahami dari riwayat adalah pemahaman yang dapat dipahami pada masa lampau dan maksud imam As dari riwayat ini pada masa itu adalah makna ini. Akan tetapi perawi melakukan kesalahan dan memahami makna yang berbeda.

Juris tidak berkata bahwa apa yang dipahami hari ini berhubungan dengan zaman ini, dan pada masa disampaikannya riwayat terdapat pemahaman lain pada benak orang-orang berakal. Pemahaman kekiniannya tidak ia pandang sebagai ganti dari pemahaman lampau. Ia tidak menerima pemahaman yang berubah dan berganti. Sepanjang yang berkenaan dengan pemahamannya yang berbeda dengan kesimpulan yang diambil oleh para pendahulunya, secara asasi ia menyalahkan pemahaman para pendahulu yang keliru memandang bahwa pemahamannya adalah apa yang dimaksud oleh riwayat. Juris tidak merasa harus sejalan dengan perubahan pemahaman agama dan tidak memandang bahwa setiap pemahaman itu benar dan sejalan dengan maksud Syâri'. Ia meyakini bahwa kandungan agama bersifat tetap dan apa yang dikehendaki oleh Tuhan, Nabi dan para Imam dari ayat dan hadis memiliki makna yang khusus yang boleh jadi dapat atau tidak diperoleh oleh sang juris.

Apabila juris berkata bahwa pemahaman yang ia peroleh merupakan hasil dari kemajuan ilmu pengetahuan dan pada masa pewahyuan pemahaman ini tidak mungkin diperoleh, maka inferensi (istinbath) dan pemahaman yang ia peroleh itu tidak memiliki nilai dan konsideran.

Kesimpulannya bahwa Tuhan menurunkan hukum-hukum ini kepada seluruh manusia dan menugaskan seluruh manusia untuk menunaikannya. Tidak bermakna bahwa tugas itu dibebankan pada orang-orang yang hidup tiga millennium kemudian, atau masyarakat yang hidup satu millennium yang lampau memiliki taklif yang berbeda dan Tuhan dalam sebuah penjelasan memiliki beberapa kehendak tasyri'i dari sebuah amal khusus, [3] itu pun kehendak yang pelaksanaannya diserahkan kepada sejarah dan perubahan pelbagai tradisi, kebudayaan dan perubahan pemahaman.

Sebab mengapa kita memerlukan ilmu ushul melebihi keperluan para pendahulu kita adalah karena terbentangnya jarak yang membentang antara kita dan masa pewahyuan. Orang-orang pada masa itu berada pada situasi kebudayaan masanya yang juga merupakan zaman Syâri'. Apa yang seharusnya mereka pahami, mereka pahami. Namun dewasa ini dengan memperhatikan jarak yang membentang, banyak terjadi perubahan pada ruang kebudayaan dan perubahan bahasa keseharian yang memungkinkan terwujudnya kesepahaman yang cepat dan mudah antara Syari’ dan umat dimana baik semasa dan sebahasa dan keterikatan budaya pembicara dan pendengar telah tiada.

Dengan demikian, tatkala kita ingin memahami ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang dijelaskan pada seribu tahunan yang lalu, maka mau-tak-mau kita harus bersandar pada kunci-kunci umum pemahaman lafaz-lafaz yang tidak terikat oleh masa dan waktu tertentu, sehingga dengan cara demikian dapat ditetapkan bahwa makna yang dipahami adalah makna yang mengikuti kaidah, yang dipahami pada masa lampau. Dan masalah ini adalah masalah yang mengemuka dalam pembahasan lafaz-lafaz dalam ilmu Ushul.[4]

4.       Ayat-ayat al-Qur'an tidak terkhusus pada masalah-masalah pewahyuan saja, kendati kebanyakan ayat memiliki sebab-sebab pewahyuannya (sya'n nuzul) dan terkait dengan keadaan tertentu akan tetapi juris mengeksplorasi ayat-ayat tersebut untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dimilikinya. Dan tidak memandangnya sebagai ayat-ayat yang tanggal penggunaannya telah berlalu (expired); karena ia menerima asas bahwa ayat-ayat tidak terkhusus pada kondisi tertentu dan apa yang dijelaskan dalam lintasan ayat, sepanjang belum dianulir (nasakh) bertautan dengan setiap ruang dan waktu.

Dengan kata lain, ayat-ayat al-Qur'an dan hukum-hukum yang diadopsi darinya adalah bersifat universal. Meninjaunya secara kritis dan holistik akan menyebabkan mengemukanya pembahasan "tetap (tsâbit) dan berubah (mutaghayyir)" yang dalam bahasa Imam Khomeini Ra disebut sebagai peran ruang dan waktu dalam ijtihad.

Adapun bagaimana pembahasan "tsâbit dan mutaghayyir" ini mengemuka dan terkecualikan pada sebagian kaidah teologis yang bersifat universal, tetapnya hukum-hukum dan keberadaan hukum-hukum yang bercorak partikular diterima, merupakan matlab yang memerlukan penjelasan lebih.

Secara global persoalan ini dapat dijawab bahwa hukum-hukum yang berubah dan kondisi-kondisi juga secara umum bersumber dari hukum-hukum tetap dan universal; lantaran hukum-hukum tersebut dikeluarkan berdasarkan kriteria-kriteria tetap dan dengan memperhatikan kondisi tertentu serta tipologi persoalannya.

Pembahasan "tsâbit dan mutaghayyir" juga terdapat dalam ranah pemikiran fiqih para juris masa lampau. Hukum-hukum yang berubah (mutaghayyir) secara global telah diterima, namun lantaran umumnya hukum-hukum agama dalam pandangan mereka bersifat tetap, dan mereka tidak ragu dalam berhadapan dengan hukum-hukum, apakah ia bersifat tetap atau berubah. Dan kaidah yang menjadi parameter mereka adalah "hukum-hukum agama yang bersifat tetap, kecuali yang menyelisihnya ditetapkan." [5]

 

Sumber untuk telaah lebih jauh:

Mahdi Hadavi Tehrani, Mabâni Kalâmi Ijtihâd



[1]. Lilmushib ajrân wa lilmukhti ajrun wâhid, (juris yang memperoleh makna sebenarnya dari ayat tersebut  mendapatkan dua pahala dan sekiranya melakukan kesalahan maka ia mendapatkan satu pahala).

[2] Perlu ditegaskan di sini bahwa "Setidaknya pada ranah hukum-hukum syariat" karena sebagian orang meyakini pada pembahasan yang berada di luar cakupan fikih dan hukum-hukum cabang, sebagai contoh dalam menjelaskan makrifat yang menjulang dan makna-makna dalam filsofis dan irfani dan secara asasi pada domain teologi, Tuhan memiliki bahasa tersendiri dan bercengkerama dengan para hamba-Nya dengan bahasa simbolik dan alegorik.

[3]. Harap diperhatikan bahwa pembahasan ini bukan merupakan pembahasan batin (esoterik) al-Qur'an. Karena pertama, batin al-Qur'an secara asasi bertujuan menjelaskan maarif, bukan menjelaskan ayat-ayat fikih. Kedua, makna yang beragam yang berada berurutan, baik secara vertikal atau horizontal berbeda satu dengan yang lain, dengan asumsi terjadinya, seluruhnya merupakan maksud Ilahi. Dan tidak berarti bahwa pada suatu masa bermakna sesuatu dan pada masa yang lainnya bermakna sesuatu lainnya. Atas alasan ini kesimpulan pribadi sebagian urafa dari sebagian ayat tidak bersandar pada dalil syar'i , ia tidak dapat dipandang sebagai batin dan maksud Ilahi.

[4]. Lihat, Sayid Muhammad Baqir Shadr, al-Ma'alim al-Jadidah, hal. 51-54

[5]. Hadavi Tehrani, Mabâni Kalâmi Ijtihâd, hal 31-44, Muassasah Farhang-e Khane Kherad,  Qum, cetakan pertama, 1377 S

Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar
Jumlah Komentar 0
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
contoh : Yourname@YourDomane.ext
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
<< Libatkan Saya.
Silakan masukkan jumlah yang benar dari Kode Keamanan

Klasifikasi Topik

Pertanyaan-pertanyaan Acak

  • Apakah ada perbedaan mengenai hikmah diutusnya para nabi menurut Syiah dan Ahlusunnah?
    8250 Kemestian Pengutusan Para Nabi 2017/06/08
    Tidak terdapat perbedaan yang banyak mengenai hikmah bi’tsah (pengutusan) para nabi di antara mazhab-mazhab yang ada karena hikmah ini diisyaratkan dalam al-Qur’an. 1. Dalam kitab tafsirnya ketika menafsirkan ayat: «رُسُلاً مُبَشِّرینَ وَ مُنْذِرینَ لِئَلاَّ یَکُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُل» Rasul-rasul itu adalah ...
  • Di manakah letak Saqifah Bani Sa’idah?
    10938 Sejarah Tempat-tempat Suci 2012/08/21
    Penulis buku Madina Syinasi (Mengenal Kota Madinah), terkait dengan letak geografis Saqifah Bani Sa’idah, menulis, “Apa yang pasti, tempat Saqifah Bani Sa’idah terletak di samping Masjid Bani Sa’idah dan dekat sumur Budha’i (sumur milik Bani Saidah). Masjid Bani Sa’idah – sesuai riwayat Ibnu Syubbah dan Imam Abu ...
  • Apa saja yang menjadi syarat-syarat pengenaan zakat?
    7679 Zakat dan Sedekah 2013/08/15
    Sesuai dengan fatwa para marja agung taklid, “Zakat diwajibkan pada 9 hal: Pertama: Gandum. Kedua: Bibit gandum. Ketiga: Kurma. Keempat: Kismis. Kelima: Emas. Keenam: Perak. Ketujuh, Unta. Kedelapan: Sapi. Kesembilan: Kambing. Apabila seseorang memiliki salah satu dari kesembilan obyek zakat ini, sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan ...
  • Bagaimana hukum Islam terkait dengan hubungan sehat antara muda dan mudi?
    12203 Hukum dan Yurisprudensi 2012/05/13
    Dalam pandangan Islam, pria dan wanita adalah dua entitas dan makhluk yang saling menyempurnakan. Allah Swt menciptakan mereka untuk satu sama lain untuk saling melengkapi. Salah satu kebutuhan pria dan wanita terhadap satu sama lain adalah kebutuhan seksual. Namun kebutuhan ini harus disalurkan pada aturan dan instruksi ...
  • Apa saja yang menjadi faktor-faktor kemunculan Imam Zaman Ajf.
    7202 Teologi Lama 2013/11/25
    Faktor-faktor yang menjadi sebab kemunculan adalah beberapa hal yang disebut sebagai terciptanya ruang bagi kemunculan Imam Zaman Ajf dan termasuk di antara sebab-sebab kemunculan Imam Zaman Ajf. Dalam hal ini harus dikatakan bahwa meski faktor utama kemunculan Imam Zaman Ajf adalah irâdah Ilahi (kehendak Ilahi), namun apa ...
  • Siapakah dan bagaimanakah sosok Mansur Hallaj itu?
    11408 Tafsir 2011/12/13
    Husain bin Mansur Hallaj lahir di Baidha (salah satu daerah di bilangan Syiraz) namun kemudian tumbuh besar di Irak. Hallaj merupakan sosok arif paling kontroversial dalam dunia Islam dan banyak mengungkapkan syathiyyât. Para juris banyak mengkafirkannya dan memvonis hukuman gantung bagi Hallaj pada masa kekuasaan Bani Abbasiyah. ...
  • Apa hukumnya seseorang yang berzina dengan seorang wanita yang telah bersuami atau masih berada dalam keadaan iddah?
    29216 Hukum dan Yurisprudensi 2012/11/11
    Pertanyaan Anda terdiri dari beberapa asumsi sebagaimana berikut ini: Perbuatan zina dilakukan sebelum talak Menjawab kondisi seperti ini harus dikatakan bahwa berdasarkan fatwa kebanyakan fakih (marja taklid) wanita itu menjadi haram abadi bagi pria yang menggaulinya. Dalam hal ini tidak terdapat perbedaan apakah ...
  • Mengapa Imam Ali As melakukan kerjasama dengan para khalifah?
    9715 Para Maksum 2010/07/05
    Imam Ali As pada seluruh tingkatan hidupnya berusaha untuk merealisir masalah terpenting berupa menjaga Islam dan perkembangannya. Baginda Ali As mengerahkan seluruh wujudnya untuk mewujud hal ini. Kerja sama yang dilakukannya juga untuk mewujudkan masalah ini dan mencegah pelbagai tangan-tangan kotor musuh-musuh Islam yang ingin menodai kesucian ...
  • Apakah seluruh sabda dan ucapan Nabi Saw merupakan wahyu atau tidak?
    47126 Teologi Lama 2009/05/06
    Terdapat ragam pendapat para pemikir otoritatif terkait masalah ini. Sebagian berpandangan, dengan memperhatikan kemutlakan ayat 3 dan 4 surah al-Najm,[i] bahwa seluruh ucapan, perbuatan dan perilaku Nabi Saw adalah wahyu. Sebagian lainnya berkeyakinan bahwa ayat 4 surah al-Najm terkait dengan al-Qur’an dan ayat-ayat yang diwahyukan kepada Nabi ...
  • Saya banyak salat yang tidak saya kerjakan (sebelumnya) namun saya tidak pasti berapa banyak jumlahnya. Apa yang harus saya lakukan?
    6337 Hukum dan Yurisprudensi 2011/12/19
    Masalah seperti ini disebutkan dalam Risalah-risalah Amaliah (Tuntutan Amalan Praktis Fikih) para marja sebagaimana berikut: Barang siapa yang memiliki kewajiban salat qadha namun ia tidak tahu berapa banyak jumlahnya,[1] misalnya ia tidak tahu empat atau lima, apabila ia mengerjakan dengan bilangan yang sedikit maka ...

Populer Hits

  • Ayat-ayat mana saja dalam al-Quran yang menyeru manusia untuk berpikir dan menggunakan akalnya?
    261171 Tafsir 2013/02/03
    Untuk mengkaji makna berpikir dan berasionisasi dalam al-Quran, pertama-tama, kita harus melihat secara global makna “akal” yang disebutkan dalam beberapa literatur Islam dan dengan pendekatan ini kemudian kita dapat meninjau secara lebih akurat pada ayat-ayat al-Quran terkait dengan berpikir dan menggunakan akal dalam al-Quran. Akal dan pikiran ...
  • Apakah Nabi Adam merupakan orang kedelapan yang hidup di muka bumi?
    246289 Teologi Lama 2012/09/10
    Berdasarkan ajaran-ajaran agama, baik al-Quran dan riwayat-riwayat, tidak terdapat keraguan bahwa pertama, seluruh manusia yang ada pada masa sekarang ini adalah berasal dari Nabi Adam dan dialah manusia pertama dari generasi ini. Kedua: Sebelum Nabi Adam, terdapat generasi atau beberapa generasi yang serupa dengan manusia ...
  • Apa hukumnya berzina dengan wanita bersuami? Apakah ada jalan untuk bertaubat baginya?
    230077 Hukum dan Yurisprudensi 2011/01/04
    Berzina khususnya dengan wanita yang telah bersuami (muhshana) merupakan salah satu perbuatan dosa besar dan sangat keji. Namun dengan kebesaran Tuhan dan keluasan rahmat-Nya sedemikian luas sehingga apabila seorang pendosa yang melakukan perbuatan keji dan tercela kemudian menyesali atas apa yang telah ia lakukan dan memutuskan untuk meninggalkan dosa dan ...
  • Ruh manusia setelah kematian akan berbentuk hewan atau berada pada alam barzakh?
    214949 Teologi Lama 2012/07/16
    Perpindahan ruh manusia pasca kematian yang berada dalam kondisi manusia lainnya atau hewan dan lain sebagainya adalah kepercayaan terhadap reinkarnasi. Reinkarnasi adalah sebuah kepercayaan yang batil dan tertolak dalam Islam. Ruh manusia setelah terpisah dari badan di dunia, akan mendiami badan mitsali di alam barzakh dan hingga ...
  • Dalam kondisi bagaimana doa itu pasti dikabulkan dan diijabah?
    176268 Akhlak Teoritis 2009/09/22
    Kata doa bermakna membaca dan meminta hajat serta pertolongan.Dan terkadang yang dimaksud adalah ‘membaca’ secara mutlak. Doa menurut istilah adalah: “memohon hajat atau keperluan kepada Allah Swt”. Kata doa dan kata-kata jadiannya ...
  • Apa hukum melihat gambar-gambar porno non-Muslim di internet?
    171579 Hukum dan Yurisprudensi 2010/01/03
    Pertanyaan ini tidak memiliki jawaban global. Silahkan Anda pilih jawaban detil ...
  • Apakah praktik onani merupakan dosa besar? Bagaimana jalan keluar darinya?
    168070 Hukum dan Yurisprudensi 2009/11/15
    Memuaskan hawa nafsu dengan cara yang umum disebut sebagai onani (istimna) adalah termasuk sebagai dosa besar, haram[1] dan diancam dengan hukuman berat.Jalan terbaik agar selamat dari pemuasan hawa nafsu dengan cara onani ini adalah menikah secara syar'i, baik ...
  • Siapakah Salahudin al-Ayyubi itu? Bagaimana kisahnya ia menjadi seorang pahlawan? Silsilah nasabnya merunut kemana? Mengapa dia menghancurkan pemerintahan Bani Fatimiyah?
    158106 Sejarah Para Pembesar 2012/03/14
    Salahuddin Yusuf bin Ayyub (Saladin) yang kemudian terkenal sebagai Salahuddin al-Ayyubi adalah salah seorang panglima perang dan penguasa Islam selama beberapa abad di tengah kaum Muslimin. Ia banyak melakukan penaklukan untuk kaum Muslimin dan menjaga tapal batas wilayah-wilayah Islam dalam menghadapi agresi orang-orang Kristen Eropa.
  • Kenapa Nabi Saw pertama kali berdakwah secara sembunyi-sembunyi?
    140907 Sejarah 2014/09/07
    Rasulullah melakukan dakwah diam-diam dan sembunyi-sembunyi hanya kepada kerabat, keluarga dan beberapa orang-orang pilihan dari kalangan sahabat. Adapun terkait dengan alasan mengapa melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi pada tiga tahun pertama dakwahnya, tidak disebutkan analisa tajam dan terang pada literatur-literatur standar sejarah dan riwayat. Namun apa yang segera ...
  • Kira-kira berapa usia Nabi Khidir hingga saat ini?
    134014 Sejarah Para Pembesar 2011/09/21
    Perlu ditandaskan di sini bahwa dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara tegas nama Nabi Khidir melainkan dengan redaksi, “Seorang hamba diantara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Qs. Al-Kahfi [18]:65) Ayat ini menjelaskan ...