Please Wait
8971
Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa secara asasi urutan surah-surah yang terdapat dalam al-Qur'an tidak memiliki peran yang berarti dalam praktik ijtihad. Dan tidak terdapat objek atau kasus (dalam al-Qur'an) sehingga poin jurisprudensial dapat diinferensi dan disimpulkan dari urutan surah-surah ini. Demikian juga komposisi ayat-ayat yang tidak memiliki hubungan makna antara satu dengan yang lain tidak memiliki pengaruh dalam praktik ijtihad seorang juris (faqih). Oleh karena itu, seorang juris dalam asas teologisnya (mabâni kalâmi) tidak perlu menetapkan dua masalah ini.[1]
Apa yang mesti dilakukan oleh seorang juris adalah menetapkan bahwa kandungan al-Qur'an, lafaz kosa-kata, rangkaian lafaz-lafaz yang merajut ayat dan kumpulan-kumpulan ayat yang berhubungan satu dengan yang lain bercorak Ilahi dan merupakan wahyu.[2] Dan hal ini dapat ditetapkan melalui mukjizat kefasihan al-Qur'an, lantaran kefasihan bukan semata pada lafaz, namun pada keduanya, pada lafaz dan makna, keduanya memiliki pengaruh terhadap kefasihan al-Qur'an. Secara asasi, kefasihan dan elokuensi al-Qur'an tidak akan memiliki makna jika tidak memiliki kandungan yang valid, sistemiknya makna dan keterjalinan ruh ucapan.
Dari sisi lain, kemungkinan adanya kasus atau objek dalam al-Qur'an dimana dalam membedakan dan bertukar-tempatnya ayat-ayat, sebagian maknanya hilang. Sebagai perumpamaan, satu indikasi struktural yang menujukkan pada satu makna khusus dan lantaran bertukar-tempatnya ayat-ayat sehingga hilang- dari sudut pandang mujtahid hal ini tidak terjadi; karena berdasarkan dalil-dalil yang ada – yang dibahas pada pembahasan terkait – al-Qur'an terjaga dari segala jenis distorsi dan penyimpangan.
Dalam pada itu, apabila seorang juris memberikan kemungkinan adanya kelebihan atau kekurangan ayat, dan perubahan ini juga berpengaruh pada makna, maka ia tidak lagi dapat berkata bahwa saya memiliki tugas untuk menghukumi secara lahir, karena kemungkinan seperti ini bermakna bahwa ia secara keseluruhan telah meragukan argumen lahiriya al-Qur'an.
Dengan demikian, akal memandang jika kemungkinan ini (adanya penambahan atau pengurangan) bahwa lafaz-lafaz al-Qur'an atau rangkaian lafaz-lafaznya yang membentuk ayat-ayat, atau kumpulan dari ayat-ayat yang memiliki struktur tunggal dan berhubungan dengan satu matlab, bersumber dari selain Tuhan, maka perkara ini merupakan perkara yang meniscayakan adanya distorsi pada al-Qur'an dan sebagai kesimpulannya al-Qur'an tertolak.
Dengan karakteristik seperti ini, akal dapat dijadikan sandaran dalam menetapkan turunnya al-Qur'an dari sisi Tuhan, kendati perkara ini menyebabkan asas (mabnâ) yang kini digunakan berbentuk cabang dari cabang asas yang lain terkait keterjagaan al-Qur'an dari distorsi.
Oleh karena itu, jika menerima kemungkinan yang beranggapan bahwa lafaz-lafaz atau komposisi-komposisi dan bahkan kumpulan konteks al-Qur'an datang dari selain Tuhan, maka konsekuensinya adalah gugurnya al-Qur'an sebagai hujjah. Boleh jadi, salah satu dalil kaum Akhbariyun yang berpandangan bahwa lahiriya al-Qur'an tidak dapat dijadikan sebagai hujjah adalah keyakinan mereka terhadap terjadinya pengurangan atau bertukar-tempatnya ayat-ayat dalam al-Qur'an. Kesalahan besar mereka terdapat pada cara mereka berpikir bahwa apabila al-Qur'an ditepikan maka hal ini bermakna bahwa mereka telah menjaga agama; namun dengan perbuatan ini, sandaran utama agama dan sejatinya seluruh agama mereka ragukan.[3]
Referensi untuk telaah lebih jeluk:
Mahdi Hadavi Tehrani, Mabâni Kalâmi Ijtihâd, Muassase-ye Farhang-e Khane-ye Kherad,
[1]. Arti dari ucapan ini tidak bermakna bahwa al-Qur'an telah dikumpulkan di masa Rasulullah Saw tidak dapat dibuktikan dan ditetapkan. Namun bermakna bahwa matlab ini, tidak memiliki peran signifikan dalam praktik seorang juris dan bukan bagian dari paradigma teologi ijtihad. Sebagaimana pada masa-masa yang lalu, kebanyakan ulama Syiah berpandangan bahwa dalil-dalil historis memberikan kesaksian bahwa al-Qur'an telah disusun pada masa Rasulullah Saw. Di samping itu, apabila kita mampu menemukan poin-poin dalam urutan surah-surah dan ayat-ayat, apabila urutan ini saling berbenturan, maka poin-poin tersebut akan sirna- seperti hubungan angka-angka di antara surah-surah dan ayat-ayat, dan atau pada sekumpulan al-Qur'an yang ada kita peroleh keterjalinan tipikal, untuk menetapkan masalah ini, kita tidak memerlukan dalil-dalil historis, namun bersandar pada akal yang menghukumi bahwa Tuhan yang menyusun dan mengurut surah-surah serta ayat-ayat tersebut.
[2]. Pengaruh revelasionalnya kumpulan ayat-ayat yang berkaitan satu dengan yang lain yang disebut sebagai "indikasi kontekstual" dimana dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di dalamnya.
[3]. Mahdi Hadavi Tehrani, Mabâni Kalâmi Ijtihâd, hal. 56-57