Please Wait
10710
Kemurtadan (irtidâd) para sahabat banyak dan dikemukakan secara mutawatir dalam pelbagai riwayat sahih dan standar Ahlusunnah. Sementara pada literatur dan sumber Syiah yang menjelaskan kemurtadan sahabat tidak lebih dari tiga riwayat. Itu pun, dalam terma ilmu hadis, termasuk khabar wahid (tunggal). Dan riwayat-riwayat lainnya memiliki masalah dari sisi sanad yang tidak dapat dijadikan sandaran.
Karena itu, saudara-saudara Ahlusnnah harus memberikan jawaban terkait dengan kemurtadan para sahabat dalam riwayat-riwayat mutawatir ini apa maksudnya? Adapun ulama Syiah meyakini bahwa kemurtadan yang disebutkan pada sebagian riwayat disandarkan pada sebagian sahabat dan tidak bermakna kafir dan kembali menyembah berhala; karena makna ini bertentangan dengan teks ayat al-Qur’an tentang para sahabat dan catatan-catatan sejarah. Dengan demikian, umumnya ulama Syiah memaknai kemurtadan (irtidâd) ini sebagai melanggar ikrar mereka terkait masalah wilayah dan membangkang Nabi Saw dalam masalah khilafah Imam Ali As; lantaran hanya berapa orang yang siap membela Baginda Ali As hingga harus berkorban jiwa dan sesuai dengan permintaan beliau sendiri, dengan kepala-kepala gundul dan pedang-pedang terhunus untuk datang membela beliau. Padahal orang lain sesuai dengan kesaksian sumber-sumber periwayatan yang kemudian berbagung dengan kelompok ini di antaranya adalah Ammar.
Adapun Ahlulbait sesuai dengan literatur sejarah dalam masalah khilafah seluruhnya membela Baginda Ali As dan apabila ada di antara mereka yang memilih diam, alasannya adalah mengikut Baginda Ali As sendiri dan menjaga kemaslahatan Islam. Namun jika ada seseorang dari kalangan Bani Hasyim maka hal itu tidak berarti bahwa ia adalah dari kalangan Syiah, atau pada setiap masa berjalan di atas rel kebenaran.
Untuk menjawab pertanyaan ini kiranya kita harus memperhatikan beberapa poin di bawah ini:
Pertama, kemurtadan para sahabat dalam riwayat-riwayat Ahlusunnah sangat banyak dan dikemukakan secara mutawatir dimana kami hanya mencukupkan diri dengan menyebut referensinya saja:
1. Syarh Shahîh Muslim, Nawawi, jil. 15-16, hal. 5 dan 59
2. ‘Umdat al-Qâri, 23/135.
3. Syarh Shahîh Bukhâri, Kermani, 23/63.
4. Al-Tamhid, Ibn ‘Abdilbarr, 2910/2.
5. Shahîh Bukhâri, Kitâb Riqâq, bab 53, hadis-hadis 6212; 2114.
6. Shahîh Muslim, Kitâb Fadhâil, bab 9.
7. Mishbâh al-Sunnah, 5370/3.
8. Al-Targhib wa al-Tarhib, Mindzari, 4/422.
9. Al-Nihâyat fii Gharib al-Hadits, Ibnu Atsir, 5/274.
10. Fath al-Bâri, Ibnu Hajar, 11/475.
11. Umdat al-Qâri, ‘Aini, 23/142.
12. Irsyâd al-Sâri, Qasthalani, 9/342.
Di sini kami hanya akan menyebutkan satu riwayat sebagai contoh di antara beberapa riwayat yang terdapat pada literatur-literatur Ahlusunnah dan kami persilahkan kepada ahli makrifat untuk merujuk pada literatur dan referensi yang lain:[1] Abu Hurairah menukil dari Rasulullah Saw yang bersabda: “Aku berdiri di atas telaga Kautsar. Pada saat itu, sekelompok orang yang aku kenal datang. (salah seorang petugas dari petugas-petugas Allah yang menjagai mereka) keluar dan berkata kepada mereka: Marilah! Aku bertanya, “Kemana?” Jawabnya, “Demi Allah! Ke neraka. Aku bertanya, “Apa dosa mereka?” Jawabnya, “Mereka kembali kepada pikiran dan keyakinan mereka sebelumnya (jahiliyah). Kemudian ia membawa sekelompok orang lainnya yang aku kenal. (salah seorang petugas dari petugas-petugas Allah yang menjagai mereka) keluar dan berkata kepada mereka, “Marilah kita pergi!” Aku bertanya, “Kemana?” Jawabnya, “Ke neraka.” Aku bertanya, “Apa dosa mereka?” Jawabnya, “Mereka kembali kepada pikiran dan keyakinan mereka sebelumnya (jahiliyah). Aku pikir tidak ada yang dapat menyelamatkan mereka kecuali bilangan kecil unta yang terpisah dari kelompoknya lantaran tiadanya penggembala, hilang dan tak-terurus.[2] (kiasan bahwa orang-orang yang selamat jumlahnya sangat sedikit). [3]
Adapun dalam literatur dan referensi Syiah hanya disebutkan beberapa riwayat pada dua kitab, Syaikh Mufid dan Rijal Kasysyi dimana mayoritas riwayat tersebut lemah dari sisi sanad. Hanya riwayat yang sanadnya berasal dari Ali bin Hasan Fadhal yang dapat dipercaya (muatssaq) dan tiga riwayat sahih lainnya.[4]
Bagaimanapun keempat riwayat ini, katakanlah, tidak bermasalah dari sisi sanad dan dalam terma ilmu hadis “khabar wahid” dimana terdapat perbedaan pendapat terkait dengan hujjiyah khabar wahid (boleh tidaknya ia dijadikan sebagai argumen) ini. Namun dengan asumsi hujjyah khabar wahid maka harus dilihat apa yang dimaksud dengan irtidâd dalam riwayat ini? Dengan memperhatikan banyak dan mutawatir-nya hadis-hadis tentang kemurtadan dalam literatur-literatur Ahlusunnah maka saudara-saudara Ahlusnnah harus memberikan jawaban terkait dengan kemurtadan para sahabat dalam riwayat-riwayat mutawatir ini apa maksudnya? Apa pun makna yang mereka sodorkan dan terima maka makna itu pun yang akan kita terima.
Kedua, riwayat-riwayat ini tidak sejalan dengan catatan-catatan sejarah. Bagaimana dapat dikatakan bahwa hanya tiga orang ini yang menolong Ali bin Abi Thalib; sementara Ibnu Qutaibah dan Thabari berkata sekelompok orang dari Bani Hasyim dan yang lain sebagai tanda protes terhadap Saqifah mereka duduk dan tidak meninggalkan rumah Ali bin Abi Thalib kecuali setelah ancaman dan dinyalakannya api di hadapan rumah.[5]
Ketiga, Syaikh Shaduq dalam kitab Khisal menyinggung sebagian orang yang mengingkari khilafah (Ali bin Abi Thalib) dan melancarkan protes terhadap khilafah (Abu Bakar). Syaikh Shaduq menjelaskan pelbagai protes yang mereka lancarkan. Nama-nama ini sampai dua belas orang.
Keempat, adanya tidak kesinambungan dalam teks hadis-hadis ini dalam bilangan jumlah orang yang menjadikan validitas hadis ini diragukan.
Kelima, bagaimana mungkin kita dapat mengingkari iman sebagian sahabat dimana Syiah dan Sunni sepakat dalam mengagungkan mereka. Orang-orang seperti Bilal, Hijr bin Udai, Uwais Qarni dan sebagainya demikian juga Bani Hasyim yang berada dalam barisan Imam Ali As dan tidak meninggalkan barisan tersebut dan hanya karena meneladani Baginda Ali As dan menjaga kemasalahatan Islam mereka memilih diam.[6]
Keenam, ihwal kemurtadan yang mengemuka dalam hadis-hadis tersebut ulama Syiah mengemukakan beberapa takwil atasnya. Ayatullah Subhani berpandangan bahwa kemurtadan ini tidak bermakna kafir, musyrik, dan kembalinya mereka kepada jahiliyah; melainkan tidak setianya mereka terhadap ikrar yang disampaikan pada hari Ghadir Khum. Sebuah riwayat dinukil mengisahkan bahwa Baginda Ali As meminta mereka besok untuk datang dengan kepala gundul dan hanya tiga orang yang datang. Riwayat ini merupakan bukti bahwa yang dimaksud dengan kemurtadan sebagian orang adalah mengundurkan diri dari perang bersama Baginda Ali As.[7]
Imam Khomeini Ra juga dalam kitab Thahârah-nya pada pembahasan apakah para penentang Syiah itu kafir atau tidak? Beliau berkata, “Orang-orang dikatakan Islam apabila diketahui keyakinannya terhadap uluhiyyah, tauhid, kenabian dan ma’âd (terdapat perbedaan ulama dalam hal ini).” Beliau berpandangan bahwa imamah merupakan ushul mazhab Syiah dan menentang ushul mazhab ini hanya akan mengeluarkan orang dari Syiah bukan Islam. Imam Khomeini dalam hal ini mengkaji riwayat-riwayat yang menyandarkan kekufuran kepada Ahlusunnah dan meyakini bahwa dalam penyandaran-penyandaran kekufuran ini bukan kekufuran dalam artian teknis. Lantaran hal ini berseberangan dengan riwayat-riwayat mustafidha[8] bahkan mutawatir dalam hal ini dan interaksi orang-orang Syiah dan para imam dengan Ahlusunnah (bahkan tidak dalam konteks taqiyyah).[9]
Dengan demikian, tiada jalan lain kecuali hal-hal ini dipredikasikan atas hukum-hukum batini; seperti misalnya dipredikasikan bahwa ganjaran akhirat tidak akan mereka dapatkan atau kekufuran dalam hal ini dinyatakan terkait dengan sebagian tingkatan kekufuran; lantaran pada sebagian riwayat lainnya orang-orang yang meninggalkan shalat, penzinah juga disebut sebagai kafir; namun orang-orang ini tidak disebut sebagai kafir dalam pengertian teknis dan khusus. Terkait dengan pernyataan bahwa pada hakikatnya mereka kafir dan secara lahir mereka menjalankan hukum-hukum Islam tidak dapat diterima dan dibenarkan. Karena disebutkan bahwa Islam tidak lain kecuali keyakinan terhadap beberapa prinsip yang telah disebutkan.[10]
Imam Khomeini dalam menganalisa riwayat ini juga menjelaskan, “Yang lebih dekat bahwa yang dimaksud dengan kemurtadan dalam riwayat-riwayat ini bermakna pelanggaran terhadap ikrar wilayah meski hal itu dilakukan secara terang-terangan atau ber-taqiyyah; bukan bermakna murtad dari Islam.[11]
Mir Damad juga dalam kitab Nibrâs al-Dhiyâh memandang bahwa kemurtadan ini bermakna menyimgpang dari barisan dan merampas kebenaran dari ahlinya.[12]
Ketujuh, boleh jadi sebagian riwayat ini, rekaan Ghulat dan Hasywiyah Syiah (firkah sempalan). Ayatullah Subhani pada akhir pembahasan berkata demikian, “Saya kira riwayat-riwayat semacam ini merupakan rekayasa Ghulat dan Hasywiyah (firkah sempalan Syiah) untuk mengukuhkan masalah wilâyah dan trik dalam menciptakan ketulusan (palsu) di kalangan Syiah; padahal riwayat-riwayat semacam ini bersebrangan dengan al-Qur’an, riwayat-riwayat Amirulmukminin[13] dan Imam Sajjad[14] dalam memuji sebagian sahabat.[15]
Kedelapan, pandangan Syiah terkait dengan sahabat seperti pandangan al-Qur’an terhadap sahabat. Al-Qur’an pada kebanyakan ayat-ayatnya memuji sahabat dan sebagian ayat lainnya mencela sahabat. Pada kebanyakan ayat al-Qur’an memuji sahabat misalnya baiat di bawah pohon. Pada saat yang sama al-Qur’an mencela orang-orang munafik di antara sahabat. Kalau seluruh sahabat dipandang adil, atau mereka semuanya dipandang murtad, kedua-duanya berseberangan dengan al-Qur’an.[16]
Ahlulbait, juga sesuai dengan catatan sejarah, dalam masalah khilafah seluruhnya membela Baginda Ali As. Namun seseorang dari Bani Hasyim, tidak menjadi dalil bahwa mereka itu Syiah, atau sepanjang masa ia senantiasa berjalan di atas rel kebenaran. [IQuest]
Untuk telaah lebih jauh, silahkan lihat: Jawaban Pertanyaan 1589 (Site: 1970), Indeks: Makna Kemurtadan para Sahabat dan Pembuktiannya.
[1]. Diadaptasi dari Pertanyaan 2799 (Site: 3502), Indeks: Kemurtadan Para Sahabat Pasca Wafatnya Rasulullah Saw.
[2]. Shahîh Bukhâri, Kitâb Riqâq, bab 53, hadis 2115; Lisân al-‘Arab, Ibnu Manzhur, jil. 15, hal. 135; Al-Targhib wa al-Tarhib, Mindzari, jil. 4, hal. 422; Al-Nihâyat fî Gharib al-Hadits, Ibnu Atsir, jil. 5, hal. 274; Fath al-Bâri, Ibnu Hajar, jil. 11, hal. 475; ‘Umdat al-Qâri, ‘Aini, jil. 23, hal. 142; Irsyâd al-Sâri, Qasthalani, jil. 9, hal. 342.
«بینا أنا قائم إذا زمرة، حتی إذا عرفتهم خرج رجل من بینی و بینهم، فقال: هلم، فقلت: أین؟ قال: الی النار والله، قلت: و ماشأنهم؟ قال: إنهم ارتدوا بعدک علی أدبارهم القهقری. ثم إذا زمرة، حتی إذا عرفتهم خرج رجل من بینی و بینهم، فقال: هلم، قلت: أین؟ قال: إلی النار والله. قلت: ماشأنهم؟ قال: أنهم ارتدوا بعدک علی أدبارهم القهقری، فلا أراه یخلص منهم الا مثل همل النعم».
[3]. Diadaptasi dari Pertanyaan 1589 (Site:1980), Indeks: Makna Kemurtadan Sahabat dan Dalil-dalilnya.
[4]. Syaikh Thusi, Ikhtibâr Ma’rifat al-Rijâl (populer dengan Rijal Kasysyi), hal. 19, hadis 17, 18, 20, 21. Ja’far Subhani, Ma’a al-Syiah al-Imâmiyah fii ‘Aqâidihim, hal. 177-178; cetakan pertama, Dar al-Adhwa’, Beirut, 1414 H.
[5]. Silahkan lihat, Ja’far Subhani, Ma’a al-Syiah al-Imâmiyah fii ‘Aqâidihim, hal. 178-179; cetakan pertama, Dar al-Adhwa’, Beirut, 1414 H. Ayatullah Subhani dalam kitab ini menyebutkan sebagian dari kitab-kitab Thabari, al-Imamah wa al-Siyasah, dan Tarikh Ya’qubi dimana orang-orang ini juga disebutkan pada kitab tersebut.
[6]. Silahkan lihat, Ma’a al-Syiah al-Imâmiyah fii ‘Aqâidihim, hal. 180-181.
[7]. Ibid, hal. 181.
[8]. Hadis-hadis yang mendatangkan kemantapan hati (ithminan), tingkatannya di atas khabar wahid (menghasilkan asumsi) dan di bawah riwayat mutawatir (menghasilkan keyakinan)
[9]. Imam Khomeini, Kitâb al-Thahârah, jil. 3, hal. 437, cetakan pertama, Muassasah Tanzhim wa Nasyr Atsar-e Imam Khomeini, 1379 S. Diadaptasi dari Pertanyaan 2808 (Site:3501).
[10]. Imam Khomeini, Kitâb al-Thahârah, jil. 3, hal. 438
[11]. Imam Khomeini, Kitâb al-Thahârah, jil. 3, hal. 446
[12]. Mir Damad, Nibras al-Dhiyâ’ wa Tiswa al-Sawâ fi Syarh Bâb al-Bidâ wa Itsbât Jadwi al-Do’â, hal. 54, Daftar Nasyr-e Mirats Maktub, Teheran, Wizarat-e Farhangg-e wa Irsyad-e Islami.
[13]. Nahj al-Balâgha, Khutbah 56 dan 182.
[14]. Shahifa Sajjadiyah, Doa Keempat.
[15]. Subhani, Ma’a al-Syiah al-Imâmiyah fii ‘Aqâidihim, hal. 178-179; cetakan pertama, Dar al-Adhwa’, Beirut, 1414 H.
[16]. Ja’far Murtadha ‘Askari, Ma’âlim al-Madrasatain, jil. 1, hal. 130-135, cetakan keempat, Muassasah Bi’tsat, Teheran, 1412 H.