Please Wait
22650
Lailatul qadar adalah malam yang penuh berkah (mubarak) dan merupakan malam yang sangat penting. Sesuai dengan nash ayat al-Qur'an, lailatul qadar terjadi pada bulan Ramadhan. Terkait dengan apa yang mengemuka dalam pertanyaan di atas terdapat beberapa kemungkinan sebagai berikut:
1. Maksud dari banyaknya bilangan jumlah lailatul qadar adalah bahwa pada satu tahun sebagaimana yang dikatakan orang –orang, malam 19, 21 dan 23.
2. Maksud dari banyaknya bilangan jumlah lailatul qadar adalah bahwa lailatul qadar terjadi pada masa Rasulullah Saw dan selepasnya juga akan berulang.
3. Maksud dari banyaknya bilangan jumlah lailatul qadar dengan memperhatikan perbedaan ufuk kota-kota penduduk kaum Muslimin dan perbedaan hari-hari dalam bulan Ramadhan di setiap tempat terdapat lailatul qadar terkhusus tempat tersebut.
Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa apa yang disampaikan leh masyarakat awam adalah sebuah bentuk toleransi dalam ucapan dan kita hanya memiiliki satu malam lailatul qadar yaitu malam diturunkannya al-Qur'an dan ditentukannya (ditakdirkannya) segala urusan. Allah Swt berfirman: "Innâ anzalnâhu fii lailatil qadr." (Sesungguhnya Kami turunkan (al-Qur'an pada malam lailatul qadar, Qs. Al-Qadr [97]:1) Ayat ini menegaskan bahwa al-Qur'an diturunkan pada malam lailatul qadar bukan pada malam-malam lainnya.
Terkait dengan kemungkinan kedua harus dikatakan bahwa sesuai dengan ayat-ayat al-Qur'an dan riwayat-riwayat, lailatul qadar tidak terkhusus pada masa Rasulullah Saw dan diturunkannya al-Qur'an. Melainkan sebuah perkara yang berkelanjutan dan suatu malam yang secara berketerusan berulang pada setiap tahunnya sebagaimana Idul Qurban yang setiap tahun diperingati. Lantaran Allah Swt berfirman:
1. "Tanazzalah al-malaikah wa al-ruh fiha.."
2. "Fiha yufraqu kullu amrin hakim."
Pada kedua ayat ini, redaksi "tanazzalah" dan "yufraqu" keduanya disebutkan dengan bentuk present continues tense (mudhâre) dan hal ini bermakna terus-menerus berulang. Dalam beberapa riwayat juga disebutkan bahwa lailatul qadar pada setiap tahunnya dan pada malam ini urusan untuk setahun diturunkan.
Terkait dengan kemungkinan ketiga harus dikatakan bahwa perbedaan ufuk tidak akan menjadi penyebab banyaknya jumlah bilangan malam lailatul qadar. Sekiranya kaum Muslimin tidak memandang enteng penentuan malam pertama bulan Ramadhan dan menunaikan tugas syari'nya terkait dengan masalah ini dan menghidupkan malam-malam yang diperkirakan merupakan malam lailatul qadar, maka pastilah mereka akan mendapatkan kemurahan-kemurahan Tuhan meski malam itu bukanlah malam lailatul qadar. Akan tetapi jelas bahwa sebagian tipologi malam lailatul qadar seperti turunnya para malaikat bagi wali Allah hanya terdapat pada malam lailatul qadar yang sebenarnya.
Disebutkan dalam sebagian riwayat bahwa yaumul qadar (hari Qadar)adalah sebanding keutamannya dengan lailatul qadar (malam Qadar), kendati perkara-perkara seperti pengaturan segala urusan, turunnya para malaikat terjadi pada malam Qadar. Dalam hal ini, Allah Swt berfirman: " Tanazzalah al-malaikah wa al-ruh fiha biidzni Rabbihim min kull Amr. " (Para malaikat dan ruh (Jibril) menurunkan segala ketentuan pada malam itu, Qs. Al-Qadar [97]:4)
Sebelum memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan diatas kiranya pertanyaan ini harus dianalisa terlebih dahulu dan dijelaskan terkait apa yang dimaksud dengan banyaknya jumlah dan bilangan lailatul qadar? Apakah yang dimaksud itu adalah seluruh malam-malam di penghujung bulan Ramadhan? Artinya apakah malam-malam 19, 21, 23 adalah malam-malam qadar karena memiliki amalan-amalan khusus atau salah satu dari malam-malam ini adalah malam qadar?
Atau yang dimaksud dengan banyaknya bilangan yang ingin diketahui oleh penanya bahwa apakah malam qadar hanya terjadi sekali dan itu pun pada masa Rasulullah Saw atau berulang kali terjadi? Dan apabila terdapat banyak bilangan malam qadar, lalu apakah banyaknay bilangan malam qadar ini juga terjadi pada masa Rasulullah Saw sendiri ataukah pasca Rasulullah Saw juga akan terjadi hal sama?
Atau yang dimaksud dengan banyaknya jumlah bilangan lailatul qadar adalah perbedaan ufuk kota-kota penduduk kaum Muslimin di seluruh dunia dan perbedaan bulan-bulan Qamariah di kota-kota ini sedemikian sehingga pada suatu negeri, awal Ramadhan misalnya jatuh pada hari Selasa sementara pada negara lainnya awal Ramadhan jatuh pada hari Rabu, dan sebagai konsekuensinya pada malam-malam sepuluh terakhir bulan Ramadhan juga terdapat perbedaan.
Hari-hari pada bulan Ramadhan di setiap tempat terdapat lailatul qadar terkhusus tempat tersebut. Malam 23 untuk negara pertama lebih awal daripada negara yang kedua. Karena itu, malam qadar tidak dapat ditentukan pada suatu malam tertentu pada suatu tahun. Dengan demikian, konsekuensi logisnya masing-masing negara tadi mempunyai malam lailatul qadar sendiri-sendiri dan jumlah malam lailatul qadar akan menjadi banyak.
Jawaban atas kemungkinan pertama adalah sesuai dengan nash al-Qur'an bahwa malam Qadar terdapat pada bulan Ramadhan[1] dan tidak lebih dari satu malam; lantaran Allah Swt berfirman, "Inna Anzalnahu fi lailatil Qadr." Sesungguhnya Kami Turunkan al-Qur'an pada malam Lailatul Qadar dan bukan pada malam-malam qadar. Karena satu malam ini belum jelas bagi kita[2] dan disebutkan bahwa salah satu dari malam-malam ini, 19, 21, dan 23 adalah malam Qadar maka hendaknya kita suntuk dan terjaga pada malam-malam ini dan seterusnya sehingga kita dapat meraup keutamaan malam lailatul qadar.[3] Apabila dalam beberapa riwayat tiga malam ini[4] disebutkan maksudnya adalah untuk memudahkan bagi para hamba Allah Swt untuk mendapatkan malam lailatul qadar.
Jawaban atas kemungkinan kedua sesuai dengan pandangan al-Qur'an dan Ahlulbait As yang menandaskan bahwa malam lailatul qadar terjadi pada masa Rasulullah Saw dan tetap berlanjut hingga sekarang.
Bentuk ayat, "Tanazzalah al-malaikah wa al-ruh fiha biidzni Rabbihim min kull Amr." yang digunakan adalah bentuk kalimat present continues tense (mudhare, yaitu pada redaksi tanazzala yang aslinya adalah tatanazzala), dapat dipahami ihwal turunnya malaikat dan ruh secara berkelanjutan dan berketerusan.[5]
Demikian juga pada surah Dukhan (44), ayat 6 terkait malam qadar disebutkan, "Fiha Yufraqu kullu amrin hakim amran min 'indina Inna kunna mursalin." (Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. [Penurunan Al-Qur’an itu] sebagai perintah dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah pengutus [Muhammad])"
Yang juga kembali dinyatakan dengan redaksi dalam bentuk mudhare "yufraqu" dimana dalam bahasa Arab kalimat ini menandakan keberlanjutan dan keterus-menerusan sebuah perbuatan.
Sebagian riwayat Ahlulbait juga menegaskan persoalan ini. Imam Jawad As bersabda: "Ali As bersabda kepada Ibnu Abbas: "Malam lailatul Qadar terjadi setiap tahun dan pada malam (itu) urusan satu tahun diturunkan."[6] Nabi Saw, dalam menjawab pertanyaan Abu Dzar terkait dengan malam lailatul qadar, bersabda: "Malam ini terjadi hingga hari kiamat."[7] Para penafsir Ahlusunnah juga berpandangan sedemikian bahwa malam lailatul qadar tetap terjadi (setiap tahunnya).[8]
Akan tetapi terkait dengan kemungkinan ketiga harus dikatakan bahwa sebelum menjawab pertanyaan ini kiranya kami harus kemukakan persoalan ini sebagai pendahuluan:
Dalam kebudayaan Islam, malam lailatul qadar lantaran tipologi dan karakteristiknya yang eksklusif maka ia memiliki signifikan yang sangat tinggi. Terdapat banyak riwayat yang menegaskan untuk menghidupkan malam Qadar ini dan pentingnya menghidupkan malam ini. Adalah Sayid Ibnu Thawus dalam kitabnya Iqbâl menyebutkan bahwa Nabi Saw menukil dari Nabi Musa As yang berkata: Tuhanku! Aku ingin mendekatkan (qurb) diri kepada-Mu. Tuhan berfirman: Kedekatan kepada-Ku bagi orang yang terjaga pada malam Qadar. Nabi Musa berkata: Tuhanku! Aku ingin kasih-Mu. Tuhan berfirman: Kasih-Ku bagi orang yang mengasihi kaum fakir di malam Qadar. Musa berkata: Tuhanku! Aku ingin keselamatan, keselamatan dari neraka. Tuhan berfirman: Keselamatan bagi orang yang beristighfar (memohon ampunan) di malam Qadar. Musa berkata: Tuhanku! Aku pinta ridha-Mu. Tuhan berfirman: Keridhaan-Ku bagi orang yang menunaikan dua rakaat shalat pada malam Qadar.[9]
Di antara tipologi malam Qadar adalah turunnya al-Qur'an, turunnya para malaikat dan ruh ke atas wali Allah, dan juga tingginya nilai ibadah pada satu malam itu lebih dari seribu bulan.[10] Demikian juga pengaturan dan ketentuan segala peristiwa (waqâi) dan nasib makhluk (khalâiq).[11]
Adapun pertanyaan terkait dengan perbedaan ufuk pada pelbagai kota, apakah tipologi malam lailatul qadar ini bagi seluruh penghuni setiap kota yang berbeda ufuknya akan berulang secara berbeda-beda?
Yang disebutkan dalam al-Qur'an dan riwayat secara lahir adalah bahwa malam Qadar tidak lebih dari satu malam. Dan tipologi yang dimilikinya adalah kembali kepada wali Allah dan Imam Maksum As dimana semua ini terjadi pada satu malam; artinya turunnya para malaikat ke atas Imam (Zaman) dan penentuan serta pengaturan pelbagai urusan, kejadian, rezeki, semuanya terjadi pada suatu malam tertentu. Allah Swt berfirman: "Tanazzala al-Malaikah wa al-Ruh fiha." Para malaikat dan ruh turun pada malam ini dan turunnya al-Qur'an terjadi pada malam ini, "Inna anzalnahu fii lailatil Qadar." Atau disebutkan dalam riwayat bahwa pada malam ini urusan setahun diturunkan.[12]
Akan tetapi untuk memahami seluruh keutamaan yang disebutkan tentang malam lailatul qadar maka kita harus menunaikan apa yang menjadi tugas dan kewajiban kita. [13] Hal ini boleh jadi membukakan jalan bagi kita untuk memahami keutamaan malam lailatul qadar. Artinya apabila ditetapkan dengan dalil-dalil bahwa hari pertama bulan Ramadhan jatuh pada suatu hari tertentu, maka tentu saja malam lailatul qadar-nya akan menjadi jelas. Dan tentu saja segala amalan dan menghidupkan malam tidak akan berlalu begitu saja tanpa ganjaran. Semoga dengan mengerjakan amalan-amalan dan menghidupkan malam lailatul qadar ini kita diberikan ganjaran orang-orang yang menghidupkan malam lailatul qadar. Meski malam itu bukan malam lailatul qadar yang sebenarnya.[14]
Namun demikian, dianjurkan kepada kita untuk menghidupkan malam lailatul qadar pada hari-hari terakhir bulan Ramadhan. Boleh jadi tradisi keislaman ini adalah untuk menghasilkan kemantapan hati untuk menjumpai dan meraup malam lailatul qadar.
Sekarang sebuah pertanyaan lainnya mengemuka, apakah derajat dan kedudukan malam lailatul qadar sekedudukan dengan hari yaumul qadar-nya? Untuk menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa: Kendati sebagian kejadian seperti turunnya para malaikat kepada wali Allah pada malam lailatul qadar akan tetapi keutamaan dan derajat hari Qadar juga sama dengan malam Qadar.[15]
Syaikh Abbas Qummi terkait dengan amalan malam 23 bulan Ramadhan berkata, "Siang-siang malam-malam lailatul qadar harus dihormati dan dimuliakan. Seyogyanya kita menyibukkan diri dengan beribadah, berdoa dan membaca al-Qur'an. Karena disebutkan dalam hadis-hadis muktabar bahwa keutamaan hari Qadar adalah sama dengan keutamaan malam Qadar.[16][]
[1]. Hal ini dapat disimpulkan dengan menyandingkan kedua ayat ini, "Pada bulan Ramadhan diturunkan di dalamnya al-Qur'an." (Qs, Al-Baqarah [2]:185) dan "Sesungguhnya Kami turunkan (al-Qur'an) pada malam lailatul qadar." (Qs. Al-Qadr [97]:1)
[2]. Disebutkan bahwa: Allah Swt menyembunyikan beberapa hal pada beberapa tempat: Malam Qadar di antara malam-malam. Waktu Kiamat di antara waktu-waktu. Ism A'zham di antara nama-nama. Saat terkabulkannya doa di antara saat-saat yang berbeda. Keridhaan Tuhan di antara seluruh ketaatan. Dan para wali khusus di antara para hamba, sehingga manusia memandang penting malam-malam yang ada. Sehingga manusia menghormati seluruh manusia. Dan mencari keridhaan Tuhan pada seluruh ketaatannya.
[3]. Boleh jadi atas alasan inilah Nabi Saw dan para Imam Maksum menghidupkan sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan. Akan tetapi mungkin juga dapat dikatakan bahwa Nabi Saw dan para Imam Maksum As sesungguhnya mengetahui kapan terjadinya malam lailatul qadar. Adapun Rasulullah Saw dan para Imam Maksum menghidupkan (ihya) malam lailatul qadar lantaran ritual ihya (menghidupkan) ini memiliki rahasia dan alasan tersendiri atau Rasulullah Saw memberikan pengajaran kepada orang lain untuk belajar sikap waspada ini secara praktis dari para Maksum As
[4]. Sufyan bin Samth bertanya kepada Imam Shadiq As: Malam-malam manakah yang ada kemungkinannya malam lailatul qadar? Imam Shadiq As bersabda: Malam 19, 21, 23. Akbar Dehqani, Tafsir Nasim-e Hayât, hal. 465, Qum, Intisyarat-e Haram, cetakan ke-83.
[5]. Ayatullah Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 27, hal. 185.
[6]. Muhammad Qummi Masyhadi, Tafsir Kanz al-Daqâiq, jil. 14, hal. 359, Wizarat-e Irsyad.
[7]. Ibid.
[8]. Fakhrurazi, Tafsir al-Kabir, jil. 32, hal. 29, Dar al-Ihya, Beirut.
[9]. Imam Khomeini, Âdâb al-Shalât, hal. 333, cetakan ke-4, Muassasah Tanzhim wa Nasyr Atsar Imam.
[10]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân, jil. 20, hal. 332, Jamia al-Mudarrisin.
[11]. Untuk keterangan lebih jauh silahkan lihat, Ahkâm al-Qur'ân, Ibnu Arabi, jil. 4, hal. 1961, Dar al-Ma'rifah.
[12]. Muhammad Qummi Masyhadi, Tafsir Kanz al-Daqâiq, jil. 14, hal. 359.
[13]. Akan tetapi terdapat jawaban yang lain terkait dengan kemungkinan ketiga ini: Misalnya pada Tafsir Nemune, jil. 27, hal. 193 disebutkan bahwa terjadinya malam lantaran bayangan setengah planet bumi yang menutupi setengah planet bumi lainnya. Dan kita ketahui bahwa bayangan ini bergerak disertai dengan rotasi bumi dan rotasi sempurnanya terjadi dalam tempo dua puluh empat jam. Karena itu boleh jadi malam lailatul qadar terjadi pada putaran sempurna malam mengikuti rotasi bumi. Artinya dalam tempo dua puluh empat jam kegelapan menutupi seluruh titik bumi dan malam lailatul qadar yang bermula dari satu titik ini dan berakhir pada titik lainnya. (perhatikan baik-baik) Berdasarkan hal ini maka tidak ada lagi jumlah bilangan malam lailatul qadar karena perbedaan ufuk.
[14]. Hal ini dapat dipahami dari riwayat-riwayat terkait persoalan tasamuh (adanya toleransi) dalam dalil-dalil yang disebutkan dalam kitab-kitab. Hisyam bin Salim menukil dari Abi Abdillah (As) dimana Imam bersabda: Apabila ada orang yang mendengar bahwa – suatu amalan atau sebuah pekerjaan pada waktu tertentu – memiliki ganjaran dan mengerjakan hal tersebut dan kemudian mengetahui tidak demikian adanya, ternyata riwayat yang sampai kepadanya tidak sahih maka Allah Swt akan menganugerahkan ganjaran itu kepadanya. Kendati amalan atau perbuatan sejatinya tidak memiliki ganjaran dan pahala. Al-Qawâid, Sayid Muhammad Kazhim Mustafawi, Jamia' al-Mudarrisin, hal. 96
[15]. Lailatul qadar fii Kulli sanatin wa yaumuha mitslu lailatuha, Malam lailatul qadar terjadi pada setiap tahun dan siangnya nilainya sama dengan malamnya. Syaikh Thusi, Tahdzib al-Ahkam, sebagaimana yang dinukil Tafsir Nasim-e Rahmat, hal. 473. Apa yang termaktub pada kitab Tahdzib tentu saja bukan inferensi (istinbath) Syaikh Thusi melainkan sebuah riwayat yang dinukil dari Imam Maksum As.
[16]. Syaikh Abbas al-Qummi, Mafâtih al-Jinân, hal. 389, Intisyarat-e Luqman.