Please Wait
8186
Taqiyyah merupakan salah satu jalan untuk menjaga agama dan merupakan sebuah urusan rasional yang mendapat sokongan Al-Qur'an dan hadis-hadis. Taqiyyah adalah sebuah konsep amalan yang diterima dalam pandangan Sunni dan Syiah. Al-Qur'an menjelaskan dan mendukung praktik taqiyyah yang dijalankan Ammar bin Yasir di hadapan orang-orang musyrik. Demikian juga menyebutkan dengan agung taqiyyah orang-orang beriman keluarga Fir'aun lantaran apabila ia mengekspresikan keimanannya, maka pasti ia akan terbunuh dan risalahnya akan gagal. Imam Shadiq As bersabda: "Taqiyyah adalah ajaranku dan ajaran ayah-ayahku. Tidak beragama orang yang tidak ber-taqiyyah. Taqiyyah merupakan tameng perkasa Ilahi di muka bumi."
Namun persoalan yang mengemuka apakah taqiyyah termasuk perbuatan dusta atau tidak? Harus dikatakan bahwa dusta adalah sebuah sifat dari sebuah berita dan taqiyyah bukan sebuah berita. Hakikat taqiyyah berbeda dengan hakikat berita. Berkata dusta adalah tidak sesuainya berita dengan kenyataan. Namun taqiyyah sama sekali bukan berita hingga dapat dikatakan sebagai sebuah berita dusta. Taqiyyah adalah sebuah praktik dan amalan yang sesuai dengan tugas mukallaf dan merupakan hukum sekunder. Karena itu, taqiyyah yang dijalankan para Imam Maksum As bukan hanya tidak akan menciderai kemaksuman mereka melainkan praktik taqiyyah mereka adalah sebuah tugas yang harus dijalankan dan sesuai dengan makam kemaksuman mereka. Hal ini tentu saja tidak bermakna dusta sehingga dikatakan bahwa seseorang yang melakukan praktik taqiyyah bukanlah seorang maksum.
Taqiyyah secara leksikal bermakna menghindari dan menjauhi kerugian yang bakalan menimpa. Secara teknikal adalah bermakna mengungkapkan kedamaian dan perdamaian meski pada batinnya berbeda dengan apa yang diungkapkan.
Taqiyyah merupakan sebuah tema yang memiliki akar pada al-Qur’an dan Sunnah. Taqiyyah adalah sebuah amalan yang sesuai dengan tugas mukallaf dan hukum sekunder meski berseberangan dengan hukum primer.
Pada hakikatnya taqiyyah termasuk perbuatan menyembunyikan dan memiliki tujuan-tujuan suci di antaranya:
A. Untuk menjaga kekuataan orang-orang beriman dari kebinasaan di tangan orang-orang kafir.
B. Untuk menjaga kemampuan orang-orang beriman untuk kondisi-kondisi khusus dan menentukan.
C. Menjaga rahasia dan khittah serta agenda-agenda supaya tidak jatuh di tangan musuh.
Al-Qur’an menyatakan rela terhadap praktik taqiyyah Ammar bin Yasir di hadapan orang-orang musyrikin, kemudian Ammar untuk menyelamatkan dirinya secara lahir berkata-kata sejalan dengan kaum Musyrikin. Setelah melakukan hal ini, Ammar bin Yasir mengungkapkan kesedihannya sehingga sebuah ayat turun yang menjelaskan keridhaan Tuhan atas perbuatan Ammar bin Yasir.[1]
Imam Baqir As bersabda, “Taqiyyah adalah salah satu agenda keagamaanku dan datuk-datukku. Barang siapa yang tidak melakukan praktik taqiyyah maka ia tidak beriman.”[2]
Imam Shadiq As bersabda, “Ayahku senantiasa mengingatkan bahwa tiada yang membuat mataku berbinar selain taqiyyah. Karena taqiyyah adala tameng orang-orang beriman dan media untuk menjaga (keselamatan) orang beriman.”[3]
Imam Hadi As bersabda kepada seseorang yang bernama Daud, “Apabila engkau berkata bahwa orang yang meninggalkan taqiyyah adalah sama dengan orang yang meninggalkan shalat maka engkau telah berkata benar.”[4]
Taqiyyah merupakan salah satu jenis taktik untuk menjaga kekuatan manusia dan supaya tidak membuang-buang energi orang beriman dalam hal-hal yang remeh dan tidak terlalu penting. Karena akal tidak pernah merestui orang-orang yang berjihad (mujahid) yang berjumlah minim secara terang-terangan memperkenalkan diri mereka sehingga dapat dengan mudah diidentifikasi dan dikenali oleh musuh-musuh.
Atas dasar ini, taqiyyah sebelum ia menjadi agenda islami ia merupakan sebuah metode rasional dan logis bagi setiap manusia yang sedang berperang dengan musuh yang kuat. Hal ini berlaku semenjak dahulu hingga sekarang.[5]
Berdasarkan beberapa hal dan ragam kondisi taqiyyah terkadang hukumnya wajib dan terkadang haram. Dan suatu waktu hukumnya mubah. Apabila tanpa manfaat penting jiwa manusia tercancam maka taqiyyah menjadi wajib hukumnya. Namun apabila taqiyah akan menyebabkan propaganda kebatilan dan tersesatnya masyarakat serta menguatnya kezaliman dan kejahatan maka taqiyyah akan menjadi haram dan terlarang hukumnya.
Dalam sejarah pelbagai perlawanan mazhab, sosial dan politik terkadang terjadi para pembela sejati apabila ingin menunjukkan perlawanan secara terang-terangan, baik diri mereka atau pun mazhabnya akan binasa atau paling tidak berada pada kondisi bahaya seperti dalam kasus para Syiah Imam Ali As pada masa pemerintahan rampasan Bani Umayyah.
Dalam kondisi seperti ini, jalan benar dan rasional adalah supaya ia tidak membuang-buang tenagannya dan untuk memajukan tujuan-tujuan sucinya ia melakukan perlawanan secara tidak langsung atau sembunyi-sembunyi.
Pada hakikatnya taqiyyah tergolong sebagai perubahan bentuk gerakan perlawanan bagi maktab seperti ini dan para pengikutnya dalam detik-detik seperti ini yang dapat menyelamatkan mereka dari kehancuran dan kebinasaan. Dan sebagai kelanjutan perlawanannya akan meraih kemenangan. Bagi orang-orang yang memandang batil taqiyyah tidak jelas bagaimana sikap mereka menghadapi kondisi seperti ini? Apakah kehancuran merupakan suatu hal yang baik atau kelanjutan perlawanan dalam bentuk yang benar dan logis? Jalan kedua adalah taqiyyah dan jalan pertama tentu tidak ada orang yang menganjurkannya.
Dari apa yang kami utarakan menjadi jelas bahwa taqiyyah merupakan satu kaidah pasti al-Qur’an namun dalam pelbagai kondisi tertentu dan penuh perhitungan. Adapun yang kita saksikan sebagian orang yang beranggapan bahwa taqiyyah merupakan ciptaan dan rekaan para pengikut Ahlulbait lantaran mereka tidak cukup mengenal ayat-ayat al-Qur’an dengan baik.[6]
Sebagian orang berpandangan bahwa Rasulullah Saw dan para Imam Maksum tidak boleh melakukan taqiyyah karena al-Qur’an menyatakan, “(Para nabi itu adalah) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan tidak merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah.” (Qs. Al-Ahzab [33]:39)
Dalam menjawab anggapan keliru ini kita berkata, bahwa taqiyyah memiliki ragam jenis. Di antaranya adalah taqiyyah positif, taqiyyah protektif, taqiyyah khaufi dan lain sebagainya. Taqiyah jenis khauf (takut) adalah satu-satunya taqiyyah yang tidak dapat diterapkan bagi dakwah para nabi dan penyampaian risalah sesuai dengan ayat di atas. Namun taqiyyah positif adalah jenis taqiyyah yang digunakan untuk menarik perhatian lawan bicara sehingga ia menyembunyikan apa yang diyakininya sehinga dengan cara seperti ini ia menarik lawan bicaranya untuk mencapai tujuan bersama.
Adapun yang dimaksud dengan taqiyyah protektif adalah bahwa terkadang untuk mencapai tujuan beberapa rencana dan pendahuluan harus dirahasiakan lantaran apabila terkuak dan pihak musuh mengetahuinya maka boleh jadi rencana tersebut akan gagal total.
Kehidupan para nabi dan para imam khususnya Nabi Saw dalam beberapa kasus melakukan praktik taqiyyah model ini. Karena kita ketahui bahwa dalam banyak peristiwa perang, Rasulullah Saw merahasikan rahasia-rahasia dan jalur yang akan dilalui kepada beberapa orang dan hal ini merupakan jenis taqiyyah.[7] Di samping itu, meski imam dan Rasulullah Saw dalam menunaikan tugas risalah Ilahi tidak takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah Swt, namun ketakutan ini bermuara pada ketakutan akan binasanya maktab dalam diri mereka. Atas dasar itu, mereka risau dan takut sehingga melalukan taqiyyah untuk maksud ini dan tidak mengekspos pelbagai hakikat sebagaimana ketakutan Rasulullah Saw sebelum penyampaian wilayah Baginda Ali As dalam sebuah peristiwa yang berujung pada peristiwa Ghadir Khum.”[8]
Adapun bahwa taqiyyah merupakan salah satu contoh praktik dusta atau tidak? Harus dikatakan bahwa dusta merupakan salah satu sifat berita dan taqiyyah bukan merupakan berita. Sejatinya terdapat perbedaan antara hakikat taqiyyah dan hakikat berita. Dusta adalah tidak sesuainya berita dengan kenyataan. Namun taqiyyah sama sekali bukan berita sehingga harus diklaim sebagai dusta. Taqiyyah adalah sebuah amalan yang sesuai dengan tugas mukallaf dan hukum sekunder meski tidak sejalan dengan hukum primer.[9] Atas dasar ini, taqiyyah tidak termasuk dalam jenis dusta. Di samping itu, apabila taqiyyah termasuk sebagai dusta memangnya dusta dalam setiap urusan adalah sebuah perbuatan tercela? Apakah sekiranya menyelamatkan jiwa manusia dari tangan penguasa zalim membuat orang harus berdusta maka bukankah syariat dan akal menghukumi bahwa orang tersebut harus berkata dusta?
Terlepas dari itu, di sini masalah tauriyyah juga mengemuka. Dan para juris bersepakat bahwa tauriyyah bukanlah dusta. Padahal dalam urf (tradisi masyarakat) tauriyyah disebut sebagai dusta. Namun dalam riwayat-riwayat Islam menyebutkan bahwa tauriyah tidak dapat dikatakan sebagai dusta bahkan dalam sebagian riwayat status dusta sama sekali ternafikan dari tauriyyah. Di antara riwayat tersebut adalah riwayat yang dinukil dari Imam Shadiq As yang menyebutkan bahwa misalnya apabila seseorang datang ke suatu pintu dan meminta izin untuk masuk tuan rumah (yang menghalangi orang itu untuk masuk) berkata kepada budaknya, “Katakan kepadanya, “Ia tidak ada di sini.” (maksudnya ia tidak berada di balik pintu rumah). Imam Shadiq As berkata bahwa perbuatan ini bukanlah dusta melainkan sebuah bentuk tauriyyah.[10]
Karena itu, apabila dalam beberapa hal Imam Maksum As bersabda sesuatu yang dalam pandangan kita secara lahir terdapat kemungkinan tidak benarnya maka kita menghukuminya sebagai tauriyyah. Karena itu kita tidak dapat menyandarkan perbuatan dusta kepada imam maksum. [IQuest]
[1]. “Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman, (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa). Akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (Qs. Al-Nahl [16]:106)
[2]. Wasâil al-Syiah, jil. 16, hal. 210.
[3]. Al-Kâfi, jil. 2, hal. 220, Hadis 14.
[4]. Man La Yahdhuruhu al-Faqih, jil. 2, hal. 127.
[5]. Diadaptasi dari Pertanyaan No. 1779 (Site: 2132)
[6]. Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 2, hal. 503, Intisyarat-e Dar al-Kitab al-Islamiyah, Teheran, 1374 S.
[7]. Tafsir Nemune, jil. 12, hal. 334.
[8]. Silahkan lihat, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu menjadi agama bagimu.” (al-Maidah [5]:3)
[9]. Dalam kondisi taqiyyah tugas akan berganti dan hukum Tuhan berlaku sesuai dengan taqiyyah. Tugas lain ini adalah sebuah hukum sekunder (sebagai lawan dari hukum primer sebelum taqiyyah). Sebagaimana hukum-hukum sekunder lainnya dalam kaidah fikih seperti nafi al-dharar, nafi al-haraj, idhtirar, ikrah dan lain sebagainya. Dalam seluruh kondisi seperti ini, hukum factual akan berubah dan bergantin menjadi hukum sekunder yang menjadi tugas mukalllaf. Karena itu, bagi setiap Muslim yang memiliki tugas taqiyyah ia harus menjalankan tugasnya berdasarkan amalan taqiyyah tersebut.
[10]. Tafsir Nemune, jil. 19, hal. 96.