Please Wait
11460
Wilâyah tasyri’i Ilahi pada masa ghaibat dan kehadiran, dilakukan oleh para Imam Maksum As, baik dengan perantara (wali fakih atau siapa saja yang diangkat oleh Imam Maksum As) atau tanpa perantara. Wilâyah tasyri’i ini, sesuai dengan hukum akal, adalah bersifat mesti dijalankan; karena ketaatan kepada Allah Swt bersifat mesti bagi kita dan ketaatan kepada Allah Swt terletak pada ketaatan kepada wali Allah. Tidak terdapat perbedaan terkait dengan kemurahan dan perhatian takwini dan tasyri’i Imam Maksum pada masa ghaibat dan kehadiran. Dan pada pelbagai ragam dimensi seperti, doa, pertolongan ghaib, penggemblengan orang-orang khusus dan sebagainya tetap berlanjut dan berjalan kapan saja.
Nampaknya yang Anda maksud dari penggunaan pemeliharaan (rububiyah) Ilahi adalah wilâyah. Terkait dengan wilâyah harus dikatakan bahwa secara eksikal (lughawi), kata “wilâyah” dan “maula” berasal dari kata “wali.” Pakar bahasa telah menyebutkan makna dan arti yang beraneka macam untuk kata ini; seperti mâlik (raja), ‘abd (hamba), mu’tiq (orang yang membebaskan), mu’taq (orang yang dibebaskan), shâhib (pemilik), qarîb (kerabat; seperti keponakan), jâr (tetangga), halîf (rekan sumpah), ibn (putra), ‘am (paman), rabb (pendidik), nâshir (penolong), mun’im (pemberi nikmat), nâzil (orang yang tinggal di suatu tempat), syarik (rekan), ibnul ukht (anak saudara perempuan), muhib (pecinta), tâbi’ (pengikut), shihr (suami anak/saudara perempuan), aula bi at tasharruf (orang yang lebih layak melakukan daya upaya dalam urusan-urusan ketimbang dirinya sendiri).[1]
Secara teknikal (istilahi), yang dimaksud dengan “wilâyah” adalah kemampuan dan kekuasaan untuk ikut campur dan melakukan daya upaya dalam urusan semua manusia di dalam pelbagai aspek, tanpa menafikan hak ikhtiar dan memilih atau kepemilikan orang lain.
“Imâmah” (kepemimpinan) Imam As atas umat Islam sangat nampak jelas dan pemerintahannya terkait dengan urusan-urusan sosial, politik masyarakat, dan urusan pemberian petunjuk kepada manusia menuju masyarakat Islam dan menjawab segala kebutuhan-kebutuhan agama dan hukum mereka. Apabila umat manusia tunduk di bawah pemerintahan dan menerima kepemimpinannya serta mengambil pelajaran dari cara, metode, karakter dan perjalannya maka mereka akan mendapatkan kebahagiaan, kesejahteraan dan kemudahan materi dan maknawi di dunia dan akhirat. Dan apabila mereka berpaling dari kepemimpinannya dan menerima kepemimpinan orang lain, tidak ada yang menjadi nasib mereka selain kerugian bagi mereka. Padahal, baik mereka tahu atau tidak tahu, mengikutinya atau berpaling darinya, mereka menjadikan beliau sebagai tempat merujuk dalam hal politik, hukum, agama dan akhlak. Dan baik mereka merujuk atau tidak merujuk, Imam Maksum adalah saksi yang meliputi semua manusia baik Syiah atau selain Syiah, Muslim atau non-Muslim. Imam Maksum mengetahui segala sesuatu baik yang lahir maupun yang batin dan memiliki kemampuan dalam mengurusi urusan-urusan mereka. Bahkan dalam hukum takwiniyah beliau mampu merubah batu-bata menjadi emas, menghidupkan gambar yang ada di tabir, menyembuhkan penyakit yang tidak ada obatnya dan memudahkan segala kesulitan dan membebaskan orang yang bertawasul kepadanya dari jalan buntu, akan tetapi dari kemampuannya ini tidaklah ia lakukan karena sia-sia, tidak ada hikmahnya dan bertentangan dengan kebiasaan. Jadi, tidak seharusnya “wilâyah” dalam bahasa para periset (muhaqqiq) Syiah disetarakan dengan Imâmah. Akan tetapi yang harus dikatakan adalah: “wilâyah” adalah hal yang paling penting yang diperlukan untuk “imâmah”; yakni salah satu syarat penting imâmah. Selama wali ada, orang lain tidak bisa menjadi pemimpin kaum muslimin dan memegang kendali urusan agama dan dunia mereka dan menuntun mereka untuk mengikuti maksud dan niatnya!; sebab ini adalah hal yang rasional dan jelas; selama yang paling utama dan yang paling sempurna ada, tidak tersisa kesempatan untuk yang lainnya, kecuali “wali mutlak” memberikan izin wewenang kepadanya, -seperti wali faqih di zaman gaibnya Imam Keduabelas Imam Mahdi Ajf, dan di bawah pengawasannya wali faqih ini mengatur urusan-urusan kaum muslimin di ruang lingkup terbatas yang telah diberikan dan tidak melampaui di atasnya. Oleh karena itu kedudukan “wilâyah ilahi” yang dinisbatkan kepada para Imam Maksum As dan Nabi Saw adalah kedudukan “khalifatullâh” yang merupakan tujuan penciptaan manusia dan karena derajat dan kedudukan inilah para malaikat bersujud.[2]
Namun harap diperhatikan bahwa wilayah terbagi menjadi dua bagian:[3]
Pertama, Wilâyah Takwini: Meski makna wilâyah dapat diketahui dari penjelasan sebelumnya namun dengan menjelaskannya dapat kita katakan bahwa wilâyah takwini ini diadopsi dari ayat-ayat al-Quir’an. Sesuai dengan ajaran-ajaran al-Qur’an bahwa segala penguasaan pada setiap entitas dan makhluk adalah mungkin saja terjadi sesuai dengan apa yang Tuhan kehendaki.[4] Hal ini sebagaimana disinggung dalam al-Qur’an, “Rabbunalladzi a’tha kulla syai tsumma hada” (Tuhan kami adalah yang menciptakan segala sesuatu kemudian memberikan petunjuk atasnya, Qs. Thaha [20]:50) Jenis wilayah ini berlaku bagi insan kamil (hujjah Tuhan) sesuai dengan izin Tuhan.[5] Pada sebagian doa disebutkan bahwa para tidak terdapat perbedaan bagi para Imam Maksum As apakah mereka hidup atau mati, Hal ini persisnya bermakna bahwa sekarang ini Imam Zaman Ajf yang bertanggung jawab atas wilâyah takwini seluruh makhluk dan ghaibnya Imam Zaman (Imam Mahdi Ajf) sama sekali tidak berpengaruh terhadap wilâyah takwini yang dimilikinya. Pada masa ghaibat, dari sudut pandang ini, keberadaannya merupakan suatu hal yang niscaya lantaran kalau tidak bumi dan seluruh isinya akan binasa.”[6]
Kedua, wilâyah tasyri’i: wilâyah tasyri’i bersumber dari ayat-ayat yang menjelaskan bahwa wilâyah tasyri’i seperti syariat, hidayat, irsyad, taufik dan semisalnya bersifat tetap bagi Allah Swt.[7] Wilâyah ini bermakna pemerintahan dan pengaturan secara lahir urusan-urusan duniawi dan ukhrawi manusia. Artinya seorang wali Allah yang mendapat tugas dari sisi Allah Swt untuk mengelolah urusan agama dan dunia masyarakat (terlepas dari apakah tugas ini mengarahkan masyarakat kepada wilâyah wali Allah dan menjadi penyebab terealisirnya pemerintahan atau tidak).
Wilayah ini baik pada masa kehadiran Imam Maksum As atau pada masa ghaibatnya, berlaku dalam dua bentuk, secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung maksudnya bahwa dengan kehadiran sosok seorang maksum dan secara tidak langsung artinya dengan menentukan deputi pada masa gaibnya imam). Namun pada masa kehadiran Imam Maksum As, kehadiran secara fisik Imam Maksum disaksikan dan akses masyarakat kepada Imam Maksum As tersedia. Namun pada masa ghaibat, kehadiran fisikal dalam bentuk yang telah dikenal terkhusus untuk beberapa orang tertentu. Namun pada masa ini, di samping wilayah juga diperlukan pemerintahan Imam Maksum As secara aktual yang dijalankan dengan konsep Wilâyah Fakih. Pada hakikatnya Wilâyah Fakih adalah perpanjangan tangan wilayah para Imam Maksum As. Apabila tidak demikian, pelaksanaan wilayah dan pemerintahan oleh seorang fakih yang memiliki selaksa syarat tidak bermakna; karena pada masa ghaibat juga legalitas pemerintahan berpulang pada seorang penguasa yang diangkat oleh hujjah Tuhan. Kalau tidak demikian maka tidak ada satu pun pemerintahan tanpa pengukuhan Ilahi tidak memiliki legalitas secara esensial. Dan hal ini merupakan suatu hal yang sangat penting dan harus mendapat perhatian.
Pada masa kehadiran Imam Maksum As, karena masyarakat dapat mengakses secara umum kepada beliau, legalitas para penguasa di belahan terjauh dunia dilakukan dengan pengukuhan khusus Imam Maksum As. Dan pada masa ghaibat, karena masyarakat secara umum tidak memiliki akses untuk menghubungi Imam Maksum As maka legalitas para penguasa Islam dilakukan dengan adanya pengukuhan umum Imam Maksum. Khusus atau umumnya penghukuhan ini tidak berpengaruh pada kemestian adanya imam yang mengukuhkan dan menetapkan deputinya. Sedemikian sehingga apabila Imam Maksum As hadir, pemberlakuan rububiyah Ilahi, yaitu berupa ghaibat imam juga seperti pengadaan legalitas pemerintahan Islam merupakan pemberlakuan rububiyah Ilahi. Di samping itu, pada masa ghaibat Imam Zaman Ajf, melalui cara yang telah dikenal, adanya beberapa orang khusus. Namun juga dengan cara menyamar, beliau hadir secara fisikal di tengah masyarakat. Karena itu, dapat dikatakan bahwa wilâyah pada masa ghaibat tetap berpulang kepada Imam Zaman sendiri dan dengan pengukuhan umum, yang banyak disinggung dalam beberapa riwayat,[8] wali fakih adalah pengganti Imam Zaman di antara masyarakat. Dan demikianlah wilâyah Ilahi diberlakukan dengan cara seperti ini.
2. Imam Maksum As, yang merupakan khalifah Rasulullah Saw dan Rasulullah Saw adalah utusan Allah Swt dan Allah Swt adalah Pencipta seluruh makhluk dan memiliki hak penciptaan bagi kita dan apapun yang difirmankannya adalah untuk kemaslahatan manusia. Dengan demikian, akal menghukumi bahwa kita manusia harus menuruti dan mematuhi perintah-Nya. Karena akal berkata bahwa wajib mematuhi seseorang yang memberikan anugerah kepada kita dan lebih baik mengetahui kemaslahatan kita; karena mematuhi titah-Nya akan mendatangkan kemaslahatan dan menepikan keburukan bagi kita. Dan model kewajiban taat kepada Wilâyah Fakih, tidak ada bedanya dengan model kewajiban taat kepada wilayah Imam Maksum As; karena apabila taat kepada Imam Maksum As bersifat wajib maka taat kepada sosok pengganti yang ditetapkan olehnya juga akan menjadi wajib. Apabila seseorang tidak menunaikan perintah deputi Imam Maksum artinya ia tidak menjalankan perintah Imam Maksum As.
3. Perhatian dan kemurahan takwini dan tasyri’i Imam Maksum As pada masa ghaibat sangatlah jelas; karena apabila bukan karena media emanasi (wasitha al-faidh) Ilahi maka tentu saja tidak akan ada makhluk dan entitas yang akan hidup. Di samping itu, media emanasi Ilahi ini senantiasa ada pada ragam dimensi seperti: Pertama, doanya (yang merupakan doa yang dikabulkan) untuk orang-orang yang membutuhkan dan orang-orang Syiah yang senantiasa menjadi penyebab turunnya petunjuk dan pertolongan Ilahi.
Kedua, pertolongan-pertolongan gaib yang banyak disebutkan oleh ulama dan orang-orang yang dapat dipercaya yang tentu saja seratus pertolongan beliau tidak disebutkan. Kalau tidak, memangnya Imam Nan Bijaksana dan Pemurah akan berlaku acuh-tak-acuh terhadap nasib orang-orang Syiah dan para pecintanya. Apabila kita tidak menaruh perhatian kepada Imam Zaman dan tidak memahami pertolongan-pertolongan ini hal itu tidak bermakna bahwa Imam Zaman mengabaikan kita.
Ketiga, poin penting: pemerintahan dan perwalian dalam mengelola urusan manusia merupakan hak eksklusif Allah Swt. Karena:
1. Sesuai dengan hukum akal, mengingat Allah Swt adalah Pencipta dan Pemberi keberadaan seluruh manusia maka Dia lebih mengetahui manusia ketimbang manusia sendiri terhadap dirinya dan lebih laik mengatur urusan manusia daripada manusia sendiri.
2. Menurut hukum syariat, sesuai dengan ayat, “inil hukm illaLlah” (Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah, Qs. Yusuf [12]:40)[9] setiap pemerintahan yang terbentuk tanpa izin Allah Swt atau khalifah Allah Swt yaitu Imam Maksum tidak memiliki legalitas. Dan setiap jenis pengaturan dalam urusan manusia adalah ghashab dan haram. Penguasa harus bertanggung jawab di hadapan mahkamah Ilahi kelak. Dengan memperhatikan persoalan ini, legalitas yang dimiliki Wilâyah Fakih, sesuai dengan konsideran dan legalitas Imam Maksum As dan hal ini merupakan sebuah kemurahan yang sangat agung kepada para pengikut Syiah pada masa ghaibat.
3. Berhasilnya sebagian wali Allah berjumpa dengan Imam Zaman Ajf, memperoleh pelbagai emanasi dan energi spiritual darinya merupakan sebuah kemurahan dengan perantara dan mediasi untuk manusia secara umum; karena penguatan ulama dan wali Allah yang terdapat di antara masyarakat, juga akan menguatkan masyarakat; karena para wali Allah senantiasa menjadi penolong masyarakat. Mereka memikul tanggung jawab untuk membimbing dan memandu masyarakat.
4. Harap diperhatikan bahwa Allah Swt, apabila menunda memberikan anugerah kepada manusia, tiada yang dipandang kecuali untuk kemaslahatan manusia, tidak memiliki permusuhan dengan hamba-Nya dan dalam setiap keadaan senantiasa menghendaki kebaikan dan kemaslahatan untuk para hamba-Nya. Dan kita harus camkan, di atas segalanya, keyakinan-keyakinan kita, prinsip-prinsip tauhid dan sifat-sifat Ilahi dan seluruh fondasi harus kita kaji dan selaraskan berdasarkan prinsip-prinsip ini. Apabila seseorang menerima prinsip ini secara pasti maka ia akan banyak mengatasi pelbagai persoalan keyakinan baginya; misalnya seseorang meyakini bahwa Allah Swt adalah Mahabijaksana dalam setiap keadaan, Tidak membutuhkan, Mahakuasa, Mahamengetahui, Mahapemurah dan lain sebagainya. Tatkaal ia berpikir tentang ghaibnya Imam Zaman maka ia akan mengetahui bahwa apabila Allah Swt memperhatikan kemaslahatannya semenjak semula maka Dia telah mengutus orang-orang yang memberikan petunjuk bagi manusia maka sekarang juga demikian adanya. Perhatian itu juga tetap berlaku bagi ktia. Ghaibat Imam Zaman Ajf bersumber dari hikmah-kebijaksanaan, kemuliaan dan pengetahuan Ilahi. Dan sedemikianlah yang berlaku sehingga menjadi cikal-bakal hidaya bagi para hamba. Tiada kemaslahatan yang terkubur bagi para hamba dan yakin bahwa menjalankan hal tersebut lebih utama ketimbang meninggalkannya. Kalau tidak, mustahil keluar sebuah perbuatan dari Mahabijaksana sesuatu yang derajat kebijaksanaan-Nya kurang daripada meninggalkannya. [IQuest]
[1]. Firuz Abadi, al-Qâmus al-Muhith. Sa'idi Mehr, Kalâm Islâmi, jil. 2, hal. 168.
[2]. Diadaptasi dari Pertanyaan 153 (Site: 1156).
[3]. Untuk penjelasan lebih jauh ihwal wilayah takwini dan tasyri’i Ilahi dan para Imam Maksum As kami persilahkan Anda untuk merujuk pada al-Mizan (terjemahan Persia), jil. 6, hal. 16 dan seterusnya.
[4] Sayid Muhammad Baqir Musawi Hamadani, terjemahan Persia al-Mizan, jil. 6, hal. 16, Cetakan Kelima, Daftar-e Intisyarat Islami, Jame’e Mudarrisin Hauzah Ilmiah Qum, Qum, 1374 S.
[5]. Mulla Shadra, al-Arsyiyah, Ghulam Muhsin Ahani, hal. 285, Intisyarat-e Maula, Teheran, 1361 S. Asrâr al-Âyât, Shadra al-Muta’allihin (Mulla Shadra), korektor Muhamamd Khujawi, hal. 107, Wizarat al-Tsaqafah wa al-Ta’lim al-‘Ali, 1402 H.
[6]. Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 21, hal. 324, Muassasah al-Wafa, Beirut, 1404 H. Bihâr al-Anwâr, jil. 57, hal. 212. Ahmad bin Ali Thabarsi, al-Ihtijâj, jil. 2, hal. 317, Nasyr Murtadha, Masyhad Muqaddas, 1403 H. Sayid Ibnu Thawus, al-Iqbal bil A’mal al-Hasanah, hal. 512, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Kedua, 1367 S. Muhammad bin Jarir Thabari, Dalâil al-Imâmah, hal. 231, Dar al-Dzakhair lil Mathbu’at, Qum.
[7]. Terjemahan Persia Tafsir al-Mizân, jil. 6, hal. 16
[8]. Syaikh Hurr Amili, Wasâil al-Syiah, jil. 2, hal. 324, Cetakan Pertama, Muassasah Ali al-Bait Li Ihya al-Turats, Qum, 1409 H . Al-Ihtijâj, jil. 2, hal. 458.
[9]. “Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah.” (Qs. Yusuf [12]: 67). “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (Qs. Al-An’am [6]:57)