Please Wait
78709
Dari berbagai riwayat dan fatwa para ulama yang mulia tentang adab dan hukum-hukum bersenggama dapat dipahami bahwa suami dan isteri dibolehkan memperoleh berbagai kenikmatan dan kelezatan satu sama lainnya (secara timbal balik). Dan ketika melakukan senggama tidak perlu mengenakan pakaian dan selimut.[1] Hanya saja makruh hukumnya melakukan senggama dalam keadaan telanjang.[2]
Berikut ini kami sampaikan sebagian riwayat yang berkaitan dengan (mengenakan pakaian atau selimut) ketika melakukan senggama.
Pertama, Imam Musa bin Ja'far As pernah ditanya tentang, apa hukum menanggalkan pakaian (atau selimut) ketika melakukan jimak? Imam As menjawab: "Hal itu tidak bermasalah (dibolehkan)." [3]
Kedua, terdapat riwayat yang lain dari Imam Ja'far ash-Shadiq As bahwa seseorang datang bertanya kepada beliau mengenai hukum telanjang dan tidak mengenakan pakaian sama sekali ketika jimak. Beliau As –dalam jawabannya- melarang hal itu. Dari Muhammad bin al-'Aysh bahwa dia pernah bertanya kepada Imam Abu Abdillah As (Imam Ja'far Ash-Shadiq As) dan berkata: "Bolehkah saya melakukan jimak dalam keadaan telanjang?" Beliau menjawab: "Tidak boleh. Juga tidak boleh menghadap atau membelakangi kiblat."[4]
Para juris mengambil kesimpulan dari kedua riwayat yang menunjukkan kebolehan dan larangan dengan melakukan "jam' 'urfi" bahwa hal itu (mengenakan pakaian ketika jimak) hukumnya tidak wajib dan (telanjang ketika jimak) hukumnya makruh. Dan maksud riwayat yang mengatakan bahwa, "Janganlah melakukan jimak dalam keadaan telanjang" bermakna bahwa hal itu tidak diharamkan. []
[1] . Imam Khomeini, Tahrirul Wasilah, Kitâb al-Nikâh, Masalah 15, Payam Tehran, 1365. Yazdi, Sayyid Muhammad Kazhim, 'Urwatu al-Wutsqâ, Kitab al-Nikâh, Masalah 29, Ismailiyan, Qum. Situs Hadlrat Ayatullah Sistani, bagian soal-jawab, kata jimak. Risâlah Taudhih al-Masâil, Sistani, Masalah 53. 'Urwatu al-Wutsqâ, Masalah Satr dan Satir (hijab dan penutup). Najafi, Muhammad Hasan, Jawâhir al-Kalâm, jil. 29, hal. 73, Maktabah al-Islamiyah, Tehran, Cetakan ke 3, 1367.
[2]. Wasâil al-Syiah, jil. 20, hal. 119 dan 120. Hilli, Yahya bin Said, al-Jami' li al-Syarâi', hal. 453, Muassasah Sayyidu al-Syuhada al-'Ilmiyah, 1405 H.
[3]. Majlisi, Muhammad Baqir, Hilyatu al-Muttaqin, bab 4 Fadhilat Tazwij wa Adâb (Keutamaan dan Adab Menikah), pasal 4 dalam menjelaskan Adab Zafâf wa Mujame’ât (Adab Malam Pengantin dan Senggama).
[4] . Wasâil al-Syiah, jilid 20, hal. 120.