Please Wait
8563
Seluruh kaum Muslimin meyakini bahwa khumus merupakan salah satu kewajiban yang ditetapkan oleh Allah Swt dan harus dikerjakan. Hukum ini berlaku semenjak masa disyariatkannya. Artinya hukum ini senantiasa berlaku, semenjak setelah usainya perang Badar (dan seterusnya) dimana Imam Ali As juga merupakan salah seorang yang bekerja dengan baik dalam menunaikan kewajiban Ilahi ini di samping Rasulullah Saw.
Imam Ali As, setelah wafatnya Rasulullah Saw, setapak pun tidak pernah surut dalam menjalankan kewajiban ini. Sesuai dengan bukti sejarah, orang-orang Syiah setelah masa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As, yaitu pada masa para Imam Maksum As tetap menaruh perhatian ekstra terhadap pelaksanaan kewajiban ini. Mereka menyerahkan khumus harta benda mereka kepada para Imam Maksum As. Yang patut menjadi perhatian, berdasarkan bukti sejarah, pada masa Rasulullah Saw dan juga pada masa Imam Ali As demikian juga pada masa Imam Maksum lainnya, adalah harta yang dikenai khumus adalah harta ghanâim (plural dari ghanima yang bermakna pampasan) dan juga harta non-ghanaim seperti khumus harta karun (kanz) atau khumus hasil tambang (ma'dan). Namun tidak disebutkan dalam riwayat (sejarah) tentang pengumpulan khumus keuntungan makâsib (penghasilan dari jenis pekerjaan dan dagang) pada masa Rasulullah Saw dan Imam Ali As.
Meski tiadanya sebuah bukti sejarah tidak menjadi dalil akan tiadanya bagian khumus ini. Karena pada umumnya kitab dan sumber-sumber standar kaum Muslimin sepanjang perjalanan sejarah telah musnah (atau dimusnahkan) pada pelbagai peperangan di samping itu bagian khumus makâsib ini juga telah dijelaskan pada masa para Imam Maksum lainnya.
Berdasarkan ajaran-ajaran agama dan al-Qur'an,[1] khumus merupakan salah satu kewajiban yang ditetapkan dan disyariatkan Allah Swt pada waktu pembagian ghanimah (pampasan perang) pada perang Badar. Syiah dan Sunni berpendapat yang sama terkait dengan inti diwajibkannya khumus. Keduanya berbeda pada sebagian perkara dan masalah khumus. Ahlusunnah membatasi khumus pada ghanimah perang, barang tambang dan harta-harta karun. Akan tetapi Syiah di samping hal tersebut berpandangan pada hal-hal lain seperti khumus penghasilan yang lebih dalam hidup.
Sejatinya, akar perbedaan Syiah dan Sunni ihwal khumus harus ditelusuri pada redaksi kalimat "ghanimtum"[2] pada ayat khumus; lantaran ulama Sunni memaknai ghanima di sini sebagai pampasan perang. Sementara Syiah meyakini bahwa khumus wajib diserahkan atas segala manfaat dan faidah yang dihasilkan manusia. Baik manfaat tersebut diperoleh dari usaha perdagangan atau melalui harta karun dan barang tambang atau hasil penyelaman bawah laut. Keyakinan Syiah ini dapat dibuktikan dari ayat khumus itu sendiri: Karena pada kamus-kamus bahasa dikatakan bahwa hal-hal yang disebutkan ini dinamakan dengan ghanimah.[3]
Syiah untuk menyokong pandangannya, menjelaskan bukti-bukti dari sunah Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As. Sebagai contoh, pada masa Rasulullah Saw dan Imam Ali As dikatakan bahwa: selain pampasan-pampasan perang, khumus juga diperoleh dari barang-barang tambang dan harta-harta karun demikian juga hasil penyelaman bawah laut (mutiara-mutiara yang dikeluarkan oleh para penyelam) pada masa mereka. Dalam Sunan Baihaqi disebutkan bahwa pada masa Imam Ali As seseorang menemukan sebuah harta karun dan datang menghadap Imam Ali As. Imam Ali bersabda: "Empat perlima dari harta tersebut adalah milikmu dan seperlimanya adalah kepunyaan kami."[4]
Demikian juga pada kitab tersebut dari sumber-sumber resmi Ahlusunnah, disebutkan bahwa Rasullullah Saw bersabda: "Terdapat khumus pada "rikâz." Ketika beliau ditanya tentang apa itu rikâz? Rasulullah Saw bersabda: Emas dan perak yang diciptakan Allah Swt pada awal penciptaan di muka bumi."[5]
Dalam kitab Wasail al-Syiah juga terdapat sebuah hadis yang rinci terkait dengan hal ini yaitu pada masa Imam Ali As yang menyebutkan seseorang menemukan "rikâzi" (hasil tambang atau harta karun), tatkala hal ini diketahui oleh Imam Ali As, beliau meminta orang itu untuk menyetor khumus (seperlima) harta tersebut.[6]
Akan tetapi pertanyaan ini tetap saja tersimpan menggelayut dalam benak adalah terkait dengan apakah keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari pekerjaan atau niaga dikenai khumus atau tidak pada masa Nabi Saw dan Imam Ali As?
Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa kita tidak memiliki bukti-bukti sejarah yang jelas terkait dengan masalah ini yang menyatakan bahwa Nabi Saw dan Imam Ali menerapkan khumus pada keuntungan dan pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan dan niaga. Akan tetapi permasalahan ini sama sekali tidak menimbulkan masalah pada kewajiban penyetoran khumus pendapatan; karena terdapat banyak riwayat yang dinukil dari para maksum yang lain sedemikian sehingga Syaikh Hurr al-Amili, penyusun kitab Wasâil al-Syiah, mengumpulkan riwayat-riwayat terkait dengan khumus dalam ragam pasal. Banyaknya riwayat yang dinukil terkait dengan khumus pendapatan menandaskan persoalan ini bahwa khumus diserahkan oleh masyarakat dalam klasifikasi beragam. Berikut ini kami akan menyebutkan beberapa riwayat terkait dengan masalah khumus sebagai perumpamaan di sini:
1. Salah seorang sahabat Imam Kesembilan (Imam Jawad As) menulis demikian: "Sampaikanlah kepada kami apakah khumus itu wajib dikenai pada segala sesuatu yang digunakan oleh manusia, termasuk seluruh pendapatan dan demikian juga para pengrajin? Dan bagaimana khumusnya diserahkan? Imam menulis dengan tulisannya sendiri menyatakan bahwa khumus dikeluarkan setelah dikurangi biaya hidup (mauna, cost of living).[7]
Dari redaksi riwayat ini dapat disimpulkan bahwa sang penanya memiliki keraguan terkait dengan keumuman khumus dan juga terkait dengan bagaimana khumus tersebut diserahkan. Dan Imam dengan kalimat pendek, sebagaimana ghalibnya surat-menyurat pada masa itu, sekaligus menjawab dua pertanyaan tersebut. Tatkala Imam bersabda: Khumus dikeluarkan setelah dikurangi biaya hidup. Dengan jawaban ini Imam menjawab pertanyaan kedua perawi tentang bagaimana khumus itu diserahkan dan juga jawaban pertanyaan pertama terkait pokok kewajiban khumus pada seluruh pendapatan.
2. Aku berkata kepada Imam As bahwa Anda telah memerintahkan kepadaku untuk mengerjakan urusan-urusan Anda dan mengambil hak Anda. Aku sampaikan masalah ini ini kepada kesahabat-sahabat Anda. Sebagian mereka penasaran bertanya: "Apa hak imam itu?" Saya tidak tahu harus berkata apa dalam menjawab pertanyaan mereka? Imam bersabda: khumus wajib bagi mereka. Aku berkata: Dalam hal apa? Imam bersabda: Dalam benda-benda dan kerajinan-kerajinan. Saya berkata: Bagiamana dengan orang-orang yang berniaga dan membuat sesuatu dengan tangannya? Imam menjawab: Iya. Apabila ada yang tersisa bagi mereka setelah (menyisihkan) biaya hidup.[8] Perawi riwayat ini adalah seseorang yang bernama Abu Ali bin Rasyid yang merupakan wakil dan representasi khusus Imam Jawad. Tatkala orang seperti ini berkata bahwa saya menulis bahwa Anda (Imam) memerintahkan saya untuk mengambil hak Anda, tentu saja surat tersebut dialamatkan kepada Imam As.
3. Ibrahim bin Muhammad Al-Hamadani menulis surat kepada Imam As: Ali (bin Mahzyar) membacakan surat Ayah Anda bagiku dimana dalam surat itu terdapat perintah bahwa para pemilik air, tanah setelah menyisihkan biaya hidup mereka, seperduabelas dari penghasilan mereka diserahkan kepada Imam. Adapun orang-orang yang tidak tercukupkan kesehariannya dengan air dan harta milik mereka, maka tidak ada kewajiban bagi mereka (untuk menyerahkan khumus). Bukan seperduabelas juga bukan yang lain. Orang-orang yang tinggal bersama kami berbeda pendapat (tentang hal ini). Mereka berkata: Air dan tanah (wajib dikenai) khumus, itu pun setelah biaya air itu sendiri dan biaya tanah serta biaya operasionalnya disisihkan, bukan biaya hidup manusia itu sendiri, istri dan anak-anaknya. Imam dalam menjawab surat tersebut demikian dan Ali bin Mahzyar melihat surat tersebut yang menyatakan bahwa orang-orang seperti ini wajib mengeluarkan khumus setelah menyisihkan biaya hidup dirinya, istri dan anak-anaknya dan biaya-biaya yang harus dibayar kepada pemerintah (seperti pajak, biaya listrik dan sebagainya).[9]
Dalam hadis ini, yang merupakan hadis sahih dan kuat dari sisi sanadnya, secara tegas memerintahkan bahwa manusia berkewajiban untuk menyerahkan khumus dari apa yang tersisa dari penghasilannya setelah menyisihkan biaya hidupnya. Dan apabila Anda perhatikan sebagian tidak mengambil khumus lebih dari seperduabelas, karena memperhatikan kondisi tertentu pada masanya atau sebagian dari khumus tersebut diserahkan kepada kaum Syiah sehingga mereka tidak tertekan secara ekonomi dan finansial dalam kehidupan mereka.
Hal di atas merupakan bukti praktis dan operatif atas khumus ghanâim (plural ghanima) dan non-ghanima pada masa Imam Ali As atau pada masa Imam Maksum lainnya. Adapun terkait dengan siapa yang bertugas mengumpulkan khumus pada Imam Ali As merupakan hal yang tidak jelas bagi kita. Karena tidak terdapat riwayat yang menyatakan seperti itu. Namun demikian tiadanya riwayat yang menjelaskan hal tersebut tidak menjadi dalil tidak dioperasikannya hukum ini pada masa Imam Ali As. Karena banyak sekali kitab-kitab standar Syiah terbakar pada sebagian perang atau sepanjang abad telah musnah (atau dimusnahkan). Karena itu, banyak sekali riwayat dan persoalan penting yang tidak sampai kepada kita. Sebagai hasilnya, dengan memperhatikan penjelasan hukum-hukum (syariat) yang disampaikan oleh Imam Ali As dan para Imam Maksum lainnya[10] kita jumpai bahwa masalah khumus yang mengemuka dalam fikih Syiah dewasa ini diadopsi dari sunnah Rasulullah Saw atau para Imam Maksum As. Dimana sunnah-sunnah ini merupakan firman Ilahi dan Islam hakiki serta merupakan salah satu kewajiban harta yang harus diserahkan.[]
[1]. "Ketahuilah, sesungguhnya setiap harta rampasan perang yang kamu peroleh, maka sesungguhnya seperlima harta itu untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnus sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari al-Furqân (hari pemisah antara yang hak dan yang batil), yaitu di hari bertemunya dua pasukan (pada perang Badar). Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (Qs. Al-Anfal [8]:41)
[2]. Wa'lamu innama ghanimtum min syain fainna liLlah khumsahu. (Qs. Al-Anfal [8]:41)
[3]. Mufradat Raghib, jil. 1, hal. 615; Thabarsi, Majma' al-Bayân, jil. 4, hal. 544.
[4]. Sunan Baihaqi, jil. 4, hal. 156.
[5]. Ibid., hal. 152.
[6]. Hurr al-Amili, Wasâl al-Syiah, jil. 9, Kitab Khums, bab ke-6, hadis pertama, Muassasah Ali al-Bait, Qum, 1409.
[7]. Ibid, hadis ke-9, Kitab Khums, bab ke-8, hadis pertama.
[8]. Ibid, bab ke-6, hadis ke-2.
[9]. Ibid, hadis ke-3.
[10]. Kulaini, Ushul Kâfi, terjemahan Mustafawi, jil. 2, hal. 478.