Please Wait
23243
“Gaib” memiliki makna “tertutupnya sesuatu dari indera dan pemahaman”, sedangkan penyaksian bermakna ketertampakannya. Sebuah sesuatu mungkin saja gaib bagi seseorang namun terlihat bagi yang lainnya. Masalah ini bergantung pada batasan wujud orang tersebut dan penguasaannya terhadap alam wujud. Akan tetapi, dengan memperhatikan keterbatasan penguasaan yang dimiliki oleh selain Tuhan dan penguasaan sempurna Tuhan terhadap segala sesuatu, akan didapatkan kesimpulan bahwa ilmu gaib khusus untuk Tuhan dan tidak ada seorangpun yang mengetahuinya, karena hanya Dialah yang memiliki penguasaan sempurna terhadap alam wujud, dan tidak ada sesuatupun yang keluar dari batasan wujud-Nya, dan sesuatu atau seseorang tidak akan mampu bersembunyi dari Tuhan dalam keterbatasan yang dimilikinya.
Karena itu. Dia mengetahui alam gaib dan alam penyaksian, dan pada hakikatnya segala sesuatu bagi-Nya berada dalam alam penyaksian, dan tidak ada orang maupun sesuatu yang akan mampu sampai pada tingkatan ini. Melainkan selain-Nya, bergantung pada kelayakan wujud dan pemahaman yang mereka miliki, bagi mereka, sebagian masalah bisa disaksikan dan terlihat, dan sebagian lainnya tertutup dari pandangan dan seluruh daya pemahaman yaitu mereka sama sekali tidak memiliki pengetahuan terhadap persoalan-persoalan ini atau pengetahuan mereka dalam masalah ini berada dalam tingkatan yang sangat rendah.
Tentu saja alokasi penentuan ilmu gaib untuk Tuhan tidak mencegah sebagian orang untuk memperoleh pengetahuan terhadap rahasia, ilmu dan persoalan-persoalan gaib, melihat hal-hal yang tak bisa dilihat, atau mendengar suara-suara yang tak bisa didengar, yang diperolehnya melalui ajaran-Nya dan karena kelayakan-kelayakan jiwa yang dimilikinya. Hal ini merupakan karunia yang diberikan oleh Tuhan kepada orang-orang pilihan, seperti para nabi dan para wali. Oleh karena itu kita saksikan para nabi menyampaikan berita dari wahyu yang hal tersebut merupakan persoalan gaib, atau menyampaikan suatu persoalan gaib atau memprediksikan peristiwa mendatang yang kemudian betul-betul terjadi sebagaimana perkataan-perkataan sebelumnya.
Dengan demikian, kontradiksi secara lahir dan sepintas antara ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang menganggap ilmu gaib hanya khusus untuk Tuhan saja, dan ayat-ayat serta riwayat yang menganggap para nabi, imam dan wali pun mengetahuinya, dapat diselesaikan dengan penjelasan di bawah ini:
1. Alokasi ilmu gaib untuk Tuhan berada dalam bentuk substansial, dzati dan independen, dan hal ini tidak berlawanan dengan keilmuan yang dimiliki dalam bentuk subdominan, karunia dan ajaran-Nya.
2. Ilmu gaib dalam bentuk yang rinci hanya diketahui oleh Tuhan, dan selain-Nya hanya memiliki ilmu tersebut dalam bentuk umum dan universal, sedangkan bentuk partikularnya khusus milik-Nya.
3. Tuhan mengetahui segala rahasia gaib secara aktual, sedangkan yang lainnya mungkin secara aktual tidak mengetahui kebanyakan dari rahasia gaib, dan hanya ketika Tuhan berkehendak atau mereka sendiri yang berkehendak seiring dengan izin dan ridha-Nya, maka mereka bisa mengetahui ilmu-ilmu gaib. Dalam kaitannya dengan hal ini Imam Shadiq As meriwayatkan, “Ketika Imam berkehendak untuk mengetahui sesuatu maka Tuhan akan mengajarkan kepadanya.”
Adapun mengenai surah Lukman (31) ayat 34 dimana Tuhan berfirman, “Sesungguhnya hanya di sisi Allah sajalah pengetahuan tentang hari kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tidak seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dia usahakan besok. Dan tidak seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.”
Terdapat dua penafsiran berikut:
1. Kelima hal yang disebutkan pada ayat di atas merupakan bagian-bagian dari persoalan gaib dimana tidak ada seorangpun yang mengetahuinya kecuali mereka yang diberi pengetahuan terhadap persoalan ini oleh Tuhan. Sebenarnya yang dimaksud dengan diutusnya para malaikat hujan di sini, bukanlah hanya curah hujan yang dapat diprediksi oleh para ahli meteorologi dan geofisika, melainkan yang dimaksud adalah kapan, dimana dan seberapa derasnya hujan tersebut akan turun, dan ilmu ini hanya berada dalam kewenangan-Nya, sedangkan bagi selain-Nya hanya mungkin terjadi dengan estimasi, perkiraan dan sangkaan dalam batasan mengetahui saja. Sebagaimana halnya yang dimaksud dengan pengetahuan “janin dalam rahim” bukanlah sebatas pada jenis kelaminnya yang bisa diketahui melalui seperangkat alat, melainkan maksudnya adalah seluruh persoalan yang berkaitan dengan janin tersebut seperti jenis kelamin, status kesehatan, karakteristik fisik, psikologis, dan bahkan potensi-potensinya, keberuntungannya, kebahagiaan, kemurahan dan masa depannya. Jadi jelas bahwa pengetahuan seperti ini hanyalah milik Tuhan. Dan jika di dalam riwayat terbukti bahwa sebagian dari pengetahuan ini dimiliki oleh para Imam As, namun karena pengetahuan dan informasi ini berbentuk ilmu ijmali (global) dan universal (umum) –itupun diperoleh melalui ajaran Ilahi- maka hal ini tidak kontradiksi dengan kekhususan ilmu rinci dan partikular yang dimiliki oleh Dzat Suci Tuhan, di samping itu ilmu universal inipun tidak bersifat esensial dan independen, melainkan memiliki dimensi aksidental dan pengajaran melalui ajaran Ilahi sebanyak yang dikehendaki-Nya.
2. Akan tetapi tafsir lainnya mengatakan, yang dianggap sebagai persoalan-persoalan gaib di dalam ayat ini hanya ilmu terhadap hari kiamat, dan hanya persoalan inilah yang secara khusus diketahui oleh Tuhan, sementara pada ayat-ayat lainnya, pernyataan dan cara penyampaiannya telah berbeda dan hanya menyampaikan bahwa Tuhan mengirim hujan dan mengetahui apa yang ada di dalam rahim para ibu, tanpa menyatakan bahwa ilmu ini hanya khusus milik Tuhan. Oleh karena itu, jika saat ini atau di masa mendatang karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga bisa didapatkan informasi secara tepat tentang ukuran curah hujan dan waktunya, demikian juga status janin dan karakteristiknya, maka hal ini tidak kontradiksi dengan maksud ayat. Demikian juga pada bagian ayat keempat dan kelima, sandaran pernyataan diletakkan pada ketiadaan informasi seseorang terhadap nasib dan tempat mereka meninggal. Ketiadaan informasi ini sesuai dengan hukum alam dimana tidak ada seorangpun yang secara esensial memiliki informasi tentang persoalan gaib dan peristiwa-peristiwa masa mendatang, akan tetapi persoalan ini tidak mencegah Tuhan untuk memberikan pengetahuan dan informasi kepada sebagian orang terhadap masa depan, waktu atau tempat dimana dia meninggal.
Pertanyaan di atas bisa dijawab dengan tiga parameter:
Parameter Pertama: Apakah yang dimaksud dengan gaib?
“Gaib” memiliki makna tertutupinya sesuatu dari indera dan pemahaman. Seorang ahli linguistik mengatakan, “Gaib adalah segala sesuatu yang tidak terlihat olehmu”, maksudnya, segala sesuatu yang tidak terlihat dan tersembunyi dinamakan gaib.[1] Oleh karena itu kaum Arab ketika melihat matahari tenggelam mengatakan, “Ghabata asy-syams”, artinya matahari tidak hadir dan telah hilang dari pandangan.[2]
Akan tetapi yang dimaksud dengan gaib ketika diperhadapkan dengan penyaksian intuitif yang berasal dari istilah Qurani dan kalami, adalah persoalan-persoalan meta fisik dan berada di luar dunia materi yang tidak bisa dipahami maupun disentuh dengan indera biasa dan indera materi, melainkan untuk memahami, merasakan dan menyaksikannya membutuhkan sarana dan alat yang lain.
Allamah Thabathabai mengatakan, “Gaib dan penyaksian intuitif merupakan dua makna nisbi, maksudnya, satu benda tunggal bisa jadi gaib bagi sesuatu dan terlihat bagi yang lainnya. Hal ini terjadi karena seluruh eksistensi itu terbatas dan mereka tidak pernah bisa terlepas dari batasan yang dimilikinya. Oleh karena itu, segala sesuatu yang berada dalam batasan dan dominasi sesuatu yang lainnya, maka ia akan bisa terlihat olehnya, karena terdapat persepsi pemahaman, namun jika keluar dari batasan yang dimilikinya, ia akan gaib baginya karena tidak ada persepsi pemahaman.”[3]
Parameter kedua: Siapakah yang mengetahui gaib?
Kesimpulan yang bisa diambil dari analisa di atas tentang masalah gaib adalah bahwa ilmu gaib dalam bentuknya yang sempurna dan komplit berada dalam kewenangan Tuhan, karena Dia mempunyai penguasaan atas segala dimensi seluruh alam dan melingkupi alam, tidak ada sesuatupun yang keluar dari batasan wujud-Nya, dan sesuatu yang berada dalam lingkup keterbatasannya tidak akan pernah mampu bersembunyi dari Tuhan, makna ini ditegaskan dalam banyak ayat al-Quran dengan bentuk yang berbeda-beda, seperti: “Dia mengetahui semua yang gaib dan yang nampak; Yang Maha Besar lagi Maha Tinggi.”[4]
“Maka katakanlah, “Sesungguhnya yang gaib (dan mukjizat) itu hanyalah kepunyaan Allah …”[5]
“Dan Allah menurunkan dari langit air (hujan) dan dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang mendengarkan.”[6]
Sepertinya, makna pertama yang dimaksudkan oleh ayat ini adalah bahwa selain Tuhan, tidak ada seorangpun yang memiliki informasi dan pengetahuan tentang gaib, akan tetapi berhadapan dengan ayat-ayat ini terdapat ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa para auliya ilahi pun memiliki informasi dan pengetahuan tentang gaib secara universal.
Sebagaimana pada ayat-ayat berikut:
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepadamu hal-hal yang gaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya.”[7]
“(Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang gaib dan Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu, kecuali kepada rasul yang diridai-Nya, ...”[8]
Sementara itu, tentang mukjizat Nabi Isa As, berfirman, “… dan aku memberitahukan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu.”[9]
Selain ayat-ayat di atas, juga terdapat banyak ayat dan riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah saw dan para Imam Maksum As memiliki pengetahuan gaib secara umum. Pengetahuan mereka tentang masalah gaib ini minimal memiliki dua bentuk:
Bentuk pertama, diberitakan dan diturunkannya wahyu kepada Rasulullah Saw, yang merupakan sebuah bentuk pemberitaan gaib yang diletakkan dalam kewenangannya.
Bentuk kedua, diberitakannya tentang masa depan dan prediksinya secara terperinci kepada mereka, seperti diberitakannya kepada Rasulullah tentang peristiwa perang Mutah dan syahadahnya Ja’far serta beberapa pemimpin pasukan Islam, dimana tepat pada saat kejadian, Rasulullah yang tengah berada di Madinah memberitahukan hal ini kepada kaum Muslim[10]. Masih banyak lagi riwayat yang mengisyaratkan bahwa para Maksum As memiliki pengetahuan masalah gaib[11] yang bisa diklaim ketawatirannya.[12]
Akan tetapi mengenai bagaimana cara menyandingkan berita-berita dan ayat-ayat kelompok kedua ini dengan ayat-ayat kelompok pertama, bisa diisyarahkan dengan masalah-masalah berikut:
1. Kekhususan ilmu gaib Tuhan adalah bersifat dzati (esensial) dan independen. Oleh karena itu, selain Dia, tidak ada satupun yang memiliki kemandirian dalam pengetahuannya tentang alam gaib, melainkan hanya karena karunia dan perhatian-Nya sehingga selain-Nya bisa memiliki pengetahuan tentang alam gaib, dan keberpengetahuannya ini bersifat aksidensi.
2. Ilmu gaib dalam bentuknya yang rinci hanya diketahui oleh Tuhan, dan selain Tuhan memilikinya secara umum, dengan kata lain, pengetahuan tentang detil-detil dan perinciannya hanya khusus milik-Nya.
3. Secara aktual Tuhan memiliki pengetahuan tentang seluruh rahasia kegaiban, akan tetapi para nabi dan aimmah As dan sebagian auliya bisa jadi secara actual tidak mengetahui rahasia-rahasia alam gaib, akan tetapi ketika Tuhan berkehendak atau ketika ia sendiri yang berkehendak dengan izin dan keridhaan-Nya, maka ia akan mampu memiliki pengetahuan tentang alam-alam gaib.
Untuk mempertegas topik ini terdapat sebuah riwayat, di antaranya dalam sebuah hadis dari Imam Shadiq As yang bersabda, “Ketika Imam berkehendak untuk mengetahui sesuatu maka Tuhan akan mengajarkan kepadanya.“[13]
Selain itu, di dalam Al-Quran al-Karim terdapat ayat-ayat yang membuktikan adanya makrifat dan pengenalan tertentu yang diperoleh melalui pembersihan jiwa, implementasi syariat, sair suluk (pelancongan ruhani) ke arah Tuhan, dan memperhatikan alam suci, sebagaimana hal ini termaktub dalam salah satu firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu (kekuatan) pembeda (antara yang hak dan yang batil di dalam hatimu), menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.”[14]
Pada saat membacakan ayat berikut, “Kaum laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah …”[15] Imam Ali As bersabda, “Tuhan Yang Maha Suci telah menetapkan bahwa mengingat-Nya akan menerangi kalbu, sehingga telinga yang semula tuli bisa mendengar dan mata yang semula buta bisa melihat, dan pergolakan di hati mendapatkan ketenangan. Senantiasa dalam penggalan waktu dimana tidak terdapat seorang nabi, Tuhan akan berbagi rahasia dengan para hamba-Nya melalui pikiran-pikiran mereka dan berbicara melalui akal-akal mereka.”[16]
Parameter ketiga:
Sekarang mari kita membahas surah Lukman (31) ayat ke 34 dimana Tuhan berfirman, “Sesungguhnya hanya di sisi Allah sajalah pengetahuan tentang hari kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tidak seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dia usahakan besok. Dan tidak seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Terdapat dua penafsiran untuk ayat suci ini:
1. Pada ayat ini sebagaimana pembahasan hari kiamat ayat sebelumnya, pembicaraan berkisar pada ilmu khusus yang dimiliki oleh Tuhan, yang dikatakan juga sebagai “ilmu-ilmu gaib”, dan ayat ini mengisyarahkan tentang 5 perkara:
a. Pengetahuan terhadap waktu kebangkitan hari kiamat; masalah ini berulangkali telah ditanyakan oleh para musyrikin kepada Rasulullah saw, sebagaimana tersirat dalam salah satu firman-Nya, “Kapankah itu (hari kiamat) akan terjadi?”[17] Dalam menjawab pertanyaan ini Al-Quran mengatakan, “Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang. Aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan.”[18]
b. Saat turunnya hujan; mengungkapkan bahwa ilmu yang berkaitan dengan detail waktu, tempat dan skala curah hujan berada dalam kewenangan Tuhan, sedangkan pengetahuan yang dimiliki oleh selain-Nya hanya dalam bentuk perkiraan dan sangkaan.
c. Yang terdapat dalam rahim ibu; yaitu jenis kelamin, karakteristik lahiriah, batiniah serta perilaku janin. Oleh karena itu, bisa jadi terdapat perangkat yang berada dalam kewenangan manusia atau teknologi yang nantinya bisa menginformasikan jenis kelamin janin secara pasti, akan tetapi informasi tentang karakterstik-karakteristik fisik dan psikologis, potensi-potensi internal, kecenderungan ilmiah, filosofi, kesastraan dan ribuan keistimewaan lainnya hanyalah diketahui oleh Tuhan.[19] Demikian juga pengetahuan tentang masa depan janin, nasib, keberuntungan, kebahagiaan dan persoalan-persoalan lain yang berkaitan dengannya hanyalah berada dalam kewenangan-Nya.
d. Peristiwa-peristiwa mendatang, karakteristik dan rinciannya serta aktifitas-aktifitas yang dilakukan oleh setiap orang pada masa mendatang.
e. Dan terakhir adalah pengetahuan tentang dimanakah masing-masing orang akan meninggal.
Berdasarkan penafsiran ini, persoalan-persoalan di atas mengekspresikan tentang ilmu gaib yang khusus dimiliki oleh Tuhan. Jika kemudian muncul pertanyaan, lalu kenapa di dalam riwayat dikatakan bahwa sebagian dari pengetahuan ini dimiliki oleh para Makhsum As? Maka jawabannya adalah terdapatnya pengetahuan pada sebagian persoalan dalam bentuknya yang ijmali dan universal –inipun diperoleh melalui ajaran-Nya- sama sekali tidak kontradiksi dengan kekhususan ilmu detail dan partikularnya Tuhan, di samping itu ilmu yang universal inipun tidak bersifat dzati dan independen, melainkan memiliki dimensi aksidensi dan pengajaran, dan hal ini diperoleh melalui ajaran Ilahi sebanyak yang Dia kehendaki.[20]
2. Ungkapan-ungkapan yang berbeda dalam ayat ini tidak seluruhnya menunjukkan pada bentuk tunggal, dari kalimat pertama ayat ini bisa diketahui bahwa pengetahuan terhadap waktu terjadinya hari kiamat adalah khusus milik Tuhan, dan tidak ada seorangpun selain-Nya yang memiliki pengetahuan ini. Hal ini bisa diketahui dari letak kalimat “’indahu (di sisi-Nya)” yang mendahului kalimat “’ilmu as-sa’ah (pengetahuan tentang waktu)”; dimana menurut aturan tata bahasa Arab, hal ini menunjukkan pada kekhususan. Ayat-ayat lainnya pun membuktikan kekhususan ilmu semacam ini.
Akan tetapi pada ungkapan kedua ayat ini kita menyaksikan bahwa cara pengungkapannya telah mengalami perubahan dan sama sekali tidak menyampaikannya dalam bentuk kekhususan. Yang bisa kita peroleh dari bagian ayat ini adalah bahwa Tuhan mengetahui kapan terjadinya hujan dan apa yang terdapat di dalam rahim ibu tanpa menyatakan bahwa ilmu ini khusus milik-Nya sehingga selain-Nya tidak akan mengetahuinya atau nantinya tidak akan mendapatkan informasinya.
Oleh karena itu, pengetahuan Tuhan terhadap terjadinya hujan dan janin dalam rahim ibu tidak bisa menjadi penghalang bahwa hamba-Nya pun bisa mengetahui persoalan-persoalan tersebut melalui cara yang lain seperti wahyu Ilahi, ilham gaib dan segala cara yang lain. Hanya saja perbedaannya adalah ilmu Tuhan adalah esensial (dzati), hudhuri (kehadiran) dan primer, sedangkan ilmu selain-Nya adalah ilmu perolehan dan sekunder.
Sementara itu, metode yang terdapat pada ungkapan ke empat dan lima semakin mengalami perubahan. Wacana bahasan dalam kedua ungkapan ini adalah ilmu dan pengetahuan Tuhan terhadap nasib dan tempat meninggalnya manusia. Ketiadaan pengetahuan manusia dalam persoalan ini sesuai dengan hukum alam dimana tidak ada seorangpun yang memiliki pengetahuan dzati terhadap masalah gaib dan apa yang berada di belakang tabir, akan tetapi persoalan ini tidak menjadi penghalang bagi Tuhan untuk memberikan informasi-Nya kepada sebagian auliya-Nya akan aktifitas-aktifitas yang akan dilakukannya keesokan hari atau tempat dimana dia meninggal.[21]
Ringkasnya, ungkapan ayat yang pertama bisa diketahui dengan bantuan dari ayat-ayat al-Quran lainnya dimana pengetahuan terjadinya hari kiamat merupakan salah satu dari ilmu khusus Tuhan dan tidak ada seorangpun yang bisa mengetahuinya.
Akan tetapi dalam empat ungkapan lainnya, hal yang bisa disimpulkan dari cara pengungkapannya adalah bahwa Tuhan mengetahui kapan terjadinya hujan dan apa yang ada dalam rahim ibu, dan tidak ada seorangpun yang mengetahui masa depannya serta dimana dia meninggal, akan tetapi ilmu terhadap keempat hal ini tidak khusus milik-Nya. Jadi, bisa jadi selain-Nya pun dengan ajaran Ilahi, wahyu, ilham atau metode lainnya yang mungkin belum jelas, akan bisa memperoleh pengetahuan tentang persoalan-persoalan ini.[]
[1] . Qarasyi, Sayid Ali Akbar, Qâmus Al-Qurân, jil. 5, hal. 133.
[2] . Ibnu Fars, Mu’jam Muqayyis Al-Lughah, kata dasar “gaib”.
[3] . Al-Mizân, jil. 11, hal. 418.
[4] . Qs. Ar-Ra’d (13): 9.
[5] . Qs. Yunus (10): 20.
[6] . Qs. An-Nahl (16): 65.
[7] . Qs. Ali-Imran (3): 179
[8] . Qs. Jin (72): 26-27.
[9] . Qs. Ali-Imran (3): 49.
[10] . Ibnu Atsir, Al-Kâmil fi al-Târikh, jil. 2, hal. 237.
[11] . Rujuklah: Kulaini, Ushul Kâfi, jil. 1; Majlisi, Muhammad Baqir, Bihâr al-Anwâr, jil. 26
[12] . Tawatur dalam istilah ilmu hadis memiliki arti banyaknya penukilan untuk satu topik sedemikian hingga hal ini menghilangkan adanya kemungkinan kebohongan atau konspirasi.
[13] . Rujuklah: Ushul Kafi, jil. 1, hadis ke 3.
[14] . Qs. Al-Anfal (8): 29.
[15] . Qs. An-Nur (24): 37.
[16] . Nahjul Balâghah, Terjemahan Fuladwand, Mahdi, hadis ke-213.
[17] . Qs. Al-Isra (17): 51.
[18] . Qs. Thaha (20): 15.
[19] . Makarim Syirazi, Nashir, Tafsir Nemuneh, jil. 17, hal. 99.
[20] . Ibid, hal. 100.
[21]. Silahkan lihat, Murabbi-ye Nemuneh (Tafsir surah Lukman), Subhani, Ja’far, hal. 211-212.