Please Wait
15177
Seluruh sistem pemerintahan dan kepemilikan, bahkan sistem-sistem yang sangat individualis dan liberalis sekali pun, hak-hak umum dan penjagaan kemasalahatan masyarakat merupakan hal-hal yang lebih penting ketimbang menjaga hak-hak personal dan individual.
Perbedaan yang terdapat di antara sistem pemerintahan dan kepemilikian adalah dalam menentukan obyek-obyek hak-hak umum. Sistem hukum dalam Islam juga menyerahkan urusan ini kepada pemerintahan Islam yang apabila dalam kondisi urgen, emergensi dan menuntut kemaslahatan, dapat membatasi sebagian kemestian-kemestian pelbagai kepemilikian personal. Atas dasar itu, dalam hal-hal yang seperti Anda hadapi, mungkin Anda dapat mengajukan kritikan bahwa pemerintah tidak perlu menciptakan adanya pembatasan ini, hanya saja Anda tidak dapat memandang inti pelbagai kewenangan ini sebagai perbuatan yang bertentangan dengan Islam.
Dalam kaitanya dengan khumus juga harus Anda ketahui bahwa para juris Ahlusunnah, hanya memandang bahwa obyek-obyek khumus hanya terkait dengan pampasan perang. Namun terdapat banyak riwayat yang dinukil dari pada Imam Maksum As bahwa obyek-obyek khumus lebih dari sekedar pampasan perang. Para Imam Maksum memandang bahwa obyek-obyek khumus juga mencakup barang tambang, harta yang bercampur dengan barang haram dan lain sebagainya. Berdasarkan riwayat-riwayat semacam ini para juris dan fakih Syiah mengeluarkan fatwa dan beramal atasnya.
Penanya Yang Budiman! Anda, dengan dalil apa pun, mengajukan dua masalah yang tidak berkaitan satu sama lain dalam satu pertanyaan yang harus dipisahkan di antara keduanya. Setelah memisahkan dua pertanyaan tersebut maka barulah tiba giliran untuk menjawabnya.
Dua pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mengapa pemilik kios atau warung atau rumah, tidak memiliki hak, dengan beberapa syarat, untuk mengosongkan rumah miliknya yang disewa orang lain? Apakah hal ini berseberangan dengan inti kepemilikan?
2. Apakah khumus hanya terkait dengan harta pampasan perang? Dan pada kondisi damai dan tidak terjadi perang maka orang-orang tidak mengeluarkan khumus atas harta bendanya?
Setelah mengurai dan memisahkan dua pertanyaan di atas, sekarang tiba gilirannya mengkaji dan menjawab keduanya:
1. Samrat bin Jundab pemilik sebuah pohon korma pada sebuah kebun milik seorang pria dari kaum Anshar dan (dengan dalih adanya protes terhadap pohon kormanya) ia menyakiti orang itu. Pria Anshar menyampaikan komplain tentangnya kepada Rasulullah Saw. Rasulullah Saw memanggil Samra dan berkata kepadanya, “Juallah pohon kormamu ini dan ambillah uangnya.” Namun Samra menolaknya. Rasulullah Saw kembali menawarkan bahwa pohon korma akan diberikan kepadanya di tempat lain sebagai ganti dari pohon korma tersebut. Kembali Samra menampik tawaran Rasulullah Saw. Tawaran selanjutanya Rasulullah Saw supaya Samra membeli seluruh kebun miliki Anshar yang di dalamnya terdapat pohon korma miliknya. Tawaran ini tetap ditolak oleh Samrah. Rasulullah Saw memberikan tawaran moril dan berkata kepadanya supaya melupakan pohon korma ini dan memberikan jaminan surga kepadanya. Namun Samrah tetap menolak tawaran tersebut. Sebagai hasil dari pembicaraan ini, Rasulullah Saw berkata kepada orang Anshar itu untuk mencabut pohon itu dan membuangnya dari kebunnya dan Samrah tidak lagi memiliki hak atas pohon tersebut.[1]
Tolong Anda cermati bagaimana Rasulullah Saw menaruh penghormatan terhadap kepemilikan personal. Namun tatkala hak kepemilikan merugikan secara serius hak personal orang lainnya, dan ia tidak mau menerima tawaran rasional untuk menyelesaikan persoalan ini maka kepemilikannya seolah-olah tidak pernah dianggap ada.
Hal ini, tidak terkhusus pada hukum Islam dan masalah ini diterima pada seluruh sistem hukum konvensional di mana pun bahwa hak kepemilikan personal dan hak apa pun bentuknya tetap mendapat penghormatan sepanjang tidak merugikan hak-hak orang lain. Dan pada universitas-universitas hukum masalah ini dibahas dengan tema “Penyalahgunaan Hak.”[2] Pasal 40 Undang-undang Republik Islam Iran juga menjelaskan masalah ini bahwa “Tiada seorang pun yang dapat menjadikan haknya sebagai media untuk merugikan orang lain atau melanggar kepentingan umum.”
Berdasarkan hal ini dan tanpa adanya pretense ingin membela seluruh aturan-aturan partikular dan pelbagai pengambilan keputusan situasional para aparat dalam hal ini, kami mengingatkan pasal ini bahwa pelbagai pemerintahan dapat melakukan tindakan berdasarkan tuntutan kemasalahatan umum atau tidak menimbulkan kerugian bagi hak-hak orang lain dimana dalam pandangan pertama berseberangan dengan kepemilikan personal dan inti dari persoalan ini tidak bertentangan dengan syariat dan undang-undang. Meski diperlukan ketelitian dan kehati-hatian ekstra dalam pelbagai pengambilan keputusan.
2. Terkait dengan bagian kedua dari pertanyaan Anda juga harus dikatakan bahwa fikih Syiah bersumber dari ajaran-ajaran al-Qur’an dan para maksum As yaitu dua rukun yang disebut Rasulullah Saw sebagai “tsaqalain.” (Dua Pusaka).
Pada sebagian ayat al-Qur’an kita membaca bahwa setiap ghanima (pampasan perang) yang diperoleh maka seperlimanya untuk Allah Swt dan Rasulullah Saw dan sebagainya.”[3]
Para fakih Ahlusunah memandang bahwa ayat ini hanya terkait dengan pampasan-pampasan perang saja. Namun para Imam Syiah, nampaknya Anda juga merupakan pengikut mereka, tidak memandang obyek khumus hanya pada pampasan perang semata, melainkan menambahkan obyek-obyek lainnya. Sebagai contoh, kami ingin mengajak Anda untuk memperhatikan dua riwayat berikut ini:
1. Imam Kazhim bersabda bahwa dalam lima hal khumus diwajibkan: Pertama: Pampasan perang. Kedua: permata yang diperoleh oleh para penyelam dari laut. Ketiga: Harta pusaka. Keempat: Barang tambang. Kelima: Garam.[4]
2. Sama’a meriwayatkan bahwa saya bertanya kepada Imam Musa Kazhim As bahwa dalam hal apa sajakah khumus diwajibkan? Imam Musa Kazhim menjawab bahwa setiap keuntungan yang diperoleh masyarakat, banyak atau sedikit dikenai khumus.[5]
Para fakih Syiah juga mengkaji dua rukun ini yaitu firman Allah Swt dan riwayat para maksum As dan mereka sampai pada sebuah pendapat yang terangkum dalam fatwa.
Dalam pada itu, Anda harus menjawab pertanyaan ini sendiri, atas dasar apa Anda menganggap bahwa inti kepemilikan lebih penting daripada khumus?” [IQuest]
[1]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 34, hal. 289, Muassasah al-Wafa, Beirut, 1404 H.
[2]. Dalam hal ini Anda dapat menelaah beberapa buku seperti, Su’ Istifâdah az Haq, Muthâla’ah Tathbiqi wa Digar Nizhâm-hâye Huqûqi, Dr. Hamid Bahrami Ahmadi.
[3]. (Qs. al-Anfal [6]:41)
" وَ اعْلَمُوا أَنَّما غَنِمْتُمْ مِنْ شَیْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَ لِلرَّسُولِ وَ ...".
[4]. Muhammad Ya’qub Kulaini, al-Kâfi, jil. 1, hal. 539, Hadis 4, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 S.
[5]. Ibid, hal. 545, Hadis 11.