Please Wait
13129
Mungkin dapat dikatakan bahwa faktor utama mengemukanya istilah “kematian ikhtiari” dalam dunia Irfan adalah bersumber dari sabda Rasulullah Saw yang menyatakan, “Mutû qabla an tamutû.” (Matilah [engkau] sebelum mati). Dalam sabda ini, mutu (matilah) yang pertama bermakna kematian dan mengemuka sebagai sebuah perbuatan ikhtiari dan tamutu (kematian kedua) bermakna wafat (faut) yaitu kematian yang telah menjadi ketetapan dan suratan takdir bagi setiap orang.
Dalam al-Quran berulang kali disebutkan tentang harapan kematian yang dijadikan sebagai kriteria nyata bagi orang-orang yang mengaku cinta dan ikhlas sedemikian sehingga para arif memandang ayat-ayat ini sebagai ajakan untuk menjemput kematian ikhtiari karena Allah Swt menyeru orang-orang yang mengklaim mencintai-Nya dan menjadikannya sebagai kriteria kecintaan Ilahi.
Dalam Irfan praktis disebutkan tentang beberapa pendahuluan, tingkatan dan jenis kematian ikhtiari dimana pada akhirnya mengantarkan pesuluk pada makam kematian sempurna; tingkatan ini secara runut adalah: “Maut al-abyadh” (Kematian putih) yaitu menanggung rasa lapar dan memperoleh cahaya hati, “maut al-Akhdhâr” (kematian hijau) yaitu hidup sederhana dan makam fakir. “Maut al-Ahmâr” (Kematian merah) yaitu perang pesuluk dengan nafsunya, dan “Maut al-Aswâd” (kematian hitam) yaitu menanggung beban teguran (yang berisi penghinaan) dan kejenuhan, penderitaan dan pelbagai tuduhan. Para arif banyak memberikan penjelasan dalam mengurai dan mengulas empat tingkatan kematian ikhtiari ini yang telah disebutkan pada tempatnya.
Demikian juga, salah satu makam irfani yang memiliki sisi lain dari istilah “kematian ikhtiari” adalah khal’-e badan (melucuti badan). Artinya pesuluk melangkah lebih tinggi dari kematian dan badan baginya laksana pakaian yang dapat kapan saja apabila ia mau ia lepaskan dan tanggalkan. Tingkatan ini meniscayakan terlepasnya secara sempurna ruh dari pelbagai kecendrungan nafsu dan sampai pada makam tajrid (non-material) dan puncaknya berakhir pada makam fana.
Pendahuluan
Kematian dan secara khusus “kematian ikhtiari” dalam beberapa riwayat, Filsafat, Irfan dan pelbagai dispilin ilmu digunakkan dalam beberapa makna khusus, meski kesemuanya pada akhirnya menyinggung tentang hakikat tunggal, namun masing-masing membahas masalah ini dari pelbagai sisi; di samping itu kematian ikhtiari memiliki tingkatan sendiri, sebagaimana mencakup beberapa pendahuluan (prolog) dan akhir (epilog) namun seluruh tingkatan ini disebut sebagai kematian ikhtiari.
Secara asasi, kematian itu sendiri merupakan sebuah hakikat irfani yang berlangsung dan terjadi dalam penciptaan dan seni kematian (the art of dying) merupakan seni tertinggi irfan dan fitrah; hal itu bermakna bahwa orang yang telah dapat melakukan kematian ikhtiari artinya ia telah fana dari dirinya dan tetap (baqa) pada kehidupan yang lebih unggul dalam tingkatan-tingkatan penciptaan sehingga perkara ini menjadi asas gerakan fitri dan menjulangnnya makhluk-makhluk di alam semesta menuju kesempurnaan Ilahi dan tingkatan yang lebih tinggi dari kehidupan.
- Kematian Ikhtiar dalam al-Quran dan Riwayat
Mungkin dapat dikatakan bahwa faktor utama mengemukanya istilah “kematian ikhtiari” dalam dunia Iran bersumber dari sabda Rasulullah Saw yang menyatakan, “Mutû qabla an tamutû.”[1] (Matilah [engkau] sebelum mati). Dalam sabda ini, mutu (matilah) yang pertama bermakna kematian dan mengemuka sebagai sebuah perbuatan ikhtiari dan tamutu (kematian kedua) bermakna wafat (faut) yaitu kematian yang telah ditetapkan bagi setiap orang.
Dalam al-Quran berulang kali disebutkan tentang harapan kematian yang dijadikan sebagai kriteria nyata bagi orang-orang yang mengaku cinta dan ikhlas. Allah Swt berfirman, “Katakanlah, “Hai orang-orang yang menganut agama Yahudi, jika kamu mengaku bahwa hanya kamu sajalah kekasih Allah bukan manusia-manusia yang lain, maka harapkanlah kematian (supaya kamu dapat berjumpa dengan kekasihmu itu), bila kamu adalah orang-orang yang benar.”[2]
Kebanyakan arif memandang ayat-ayat ini sebagai ajakan untuk menjemput kematian ikhtiari karena Allah Swt menyeru kepada orang-orang yang mengklaim mencintai-Nya dan menjadikannya sebagai kriteria kecintaan Ilahi.
Pada ayat lainnya juga mengemuka tentang orang-orang munafik bahwa sekiranya turun perintah dari Allah Swt supaya mereka membunuh dirinya sendiri, maka mereka tidak akan melakukannya kecuali segelintir orang, “Maka Kami jadikan siksa tersebut sebagai peringatan bagi orang-orang (yang hidup) di masa itu dan generasi yang datang kemudian, serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.”[3]
Imam Shadiq As dalam Misbâh al-Syariat menyatakan bahwa syarat pertama suluk (perjalanan spiritual) adalah kesiapan untuk menyambut kematian. Beliau berkata kepada salik (pesuluk) di jalan kebenaran, “Perhatikanlah wahai orang-orang beriman. Apabila kondisimu adalah kondisi yang engkau ridhai atas kematian maka bersyukurlah kepada Allah Swt atas taufik dan penjagaannya lantaran kalau bukan karena Dia maka dengan tekad bulat engkau akan keluar dari kondisi seperti ini.” Karena itu, pesuluk di jalan kebenaran sangat jelas dalam klaim-klaim kriteria yang diajukan dan kriteria itu adalah keinginan untuk mati. Raja para arif, Imam Ali As, lebih terdepan dari semua manusia dalam hal ini. Beliau bersabda, “Demi Allah! Kecintaan Ali kepada kematian lebih besar daripada kecintaan bayi terhadap ASI ibunya.”[4]
Pada hakikatnya orang-orang ini sebelumnya telah mati dan tiada lagi. Mereka mati oleh panah asmara cinta dan sampai pada makam penyaksian batin; karena terbunuh oleh teman lebih tinggi kedudukannya ketimbang terbunuh oleh musuh. Demikian juga dalam hadis Qudsi yang terkenal disebutkan, “Barang siapa yang menghendaki-Ku mereka akan menemukan-Ku. Barang siapa yang menemukan-Ku akan mengenal-Ku dan barang siapa mengenal-Ku akan mencintai-Ku dan barang siapa maka ia akan menjadi pecinta dan barang siapa yang menjadi pecinta-Ku, Aku akan menjadi Pecintanya. Barang siapa yang Aku adalah Pecintanya maka Aku akan membunuhnya dan barang siapa yang Aku bunuh maka diyatnya berada dalam tanggunganku. Barang siapa yang Aku tanggung diatnya maka Akulah yang menjadi penebus darahnya.”
- Beberapa Tingkatan dan Jenis Kematian dalam Irfan
Para arif menyebutkan beberapa pendahuluan, tingkatan dan jenis kematian ikhtiari yang pada akhirnya akan mengantarkan pesuluk pada makam kematian sempurna; tingkatan ini secara runut adalah:
- Maut al-Abyâdh (Kematian putih) yang merupakan cahaya hati.
- Maut al-Akhdhâr (Kematian hijau) yaitu hidup sederhana dan makam fakir.
- Maut al-Ahmâr (Kematian merah) yaitu perang pesuluk dengan nafsunya yang disebut sebagai jihad akbar. Karena kemestian terbunuh pada medan jihad adalah tumpahnya darah karena itulah kematian ini disebut sebagai kematian merah.
- Maut al-Aswâd (kematian hitam) yaitu menanggung beban teguran (berisikan penghinaan) dan kejenuhan, penderitaan dan pelbagai tuduhan. Para arif banyak memberikan penjelasan dalam mengurai dan mengulas empat tingkatan kematian ikhtiari ini yang telah disebutkan pada tempatnya.[5]
Penjelasan lebih tepat dan lebih jelas dari keempat kematian ikhtiari ini adalah bahwa pesuluk selama ia belum mati (kematian pertama – merah) maka ia tidak akan sampai kepada Tuhan dan tidak menemukan keabadian. Sepanjang ia tidak merasakan penderitaan lapar (kematian kedua) maka ia tidak akan melintasi, meraih kepuasan dan merasakan kelezatan dari Tuhan. Sepanjang ia tidak merasakan terinjak-injaknya wibawa (kematian ketiga) maka ia tidak akan sampai pada identitas esensial dan makna wujud. Dan sepanjang ia tidak mengabaikan orang-orang yang dicintainya maka ia tidak akan pernah menjadi ahli hati (kematian keempat – putih).[6]
Para arif banyak memberikan penjelasan dalam mengurai dan mengulas empat tingkatan kematian ikhtiari ini yang telah disebutkan pada tempat dan gilirannya tersendiri.
- Melucuti Badan
Salah satu makam irfani yang memiliki sisi lain dari istilah “kematian ikhtiari” adalah khal’-e badan (melucuti badan). Artinya pesuluk melangkah lebih tinggi dari kematian dan badan baginya laksana pakaian yang dapat kapan saja apabila ia mau ia lucuti dan tanggalkan. Arif dalam makam ini secara asasi lebih tinggi dari jasmaninya.
Menurut Syaikh Isyraq, melebihi orang lain, menggunakan istilah ini, “Sesorang tidak dapat dipandang sebagai filosof Ilahi sehingga badannya dapat dengan mudah ia tanggalkan sebagai pakaiannya atau ia kenakan pada badan kemudian sesuai dengan kehendaknya ia melesak dalam cahaya.”[7]
Demikian juga pada tempat lain disebutkan, “Sebesar-besar kepemilikan inheren irfani adalah kepemilikian kematian sedemikian sehingga cahaya sama sekali terlepas dari kegelapan dan meski ruh masih mengikut pada badan namun demikian ia akan sampai pada alam cahaya dan mengikut pada cahaya-cahaya benderang yang menyaksikan seluruh hijab-hijab cahaya.[8]
Redaksi serupa dengan ungkapan ini juga disebutkan dalam munajat Sya’baniyah, “Tuhanku! Anugerahkan kepadaku ketergantungan sempurna kepadamu.. sehingga pandangan-pandangan hati menyibak hijab-hijab cahaya dan memperoleh tambang agung dan arwah mengikut pada keagungan suci-Mu.”[9]
Di sini perlu disebutkan bahwa pada kebanyakan irfan-irfan baru dan ilmu-ilmu ruh, terpisahnya ruh dari badan sebuah sebuah tujuan yang ingin dicapai yang secara teknis disebut sebagai perjalanan ruh: yang dalam pandangan Filsafat dan Irfan dalam ilmu-ilmu islam fenomena ini sejatinya mengisakan terpisahkan badan imaginal dari badan material.
Dalam proses perjalanan ruh, badan imaginal pembawa ruh yang dengan kehendak orang itu sendiri dalam kondisi yang mirip dengan tidur atau tanpa kehendak melalui dikte orang lain ruhnya akan terpisah dari badannya. Namun berbeda dengan fenomena ini, masalah melucuti badan dalam Irfan Islam menyebutkan ketidakbutuhan ikhtiari ruh terhadap badan.[10] Ketidakbutuhan ini terkadang terjadi dalam tempo beberapa detik dan terkadang berulang-ulang dan lain waktu berlaku secara permanen. Tingkatan ini merupakan salah tingkatan sair dan suluk yang diperoleh setelah melintasi tingkatan-tingkatan penyucian jiwa dan memindahkan sesuatu dari dalam diri atau orang lain untuk sampai pada sebagian hal-hal gaib. Tingkatan seperti ini merupakan tingkatan yang sejatinya berada di luar kategori Irfan Islam.[11]
Apa yang telah dijelaskan bahwa kematian ikhtiari dan pada akhirnya melepaskan badan dalam Irfan Islam merupakan hasil dari terlepasnya secara sempurna ruh dari pelbagai kecendrungan nafsu dan sampai pada makam tajrid (non-material) dan puncaknya berakhir pada makam fana. [iQuest]
[1]. Bihâr al-Anwâr, jil. 69, hal. 57.
[2]. (Qs Al-Jumuah [62]:6)
"قُلْ يا أَيُّهَا الَّذينَ هادُوا إِنْ زَعَمْتُمْ أَنَّكُمْ أَوْلِياءُ لِلَّهِ مِنْ دُونِ النَّاسِ فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ إِنْ كُنْتُمْ صادِقين"
[3]. (Qs. Al-Nisa [4]:66)
"وَ لَوْ أَنَّا كَتَبْنا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِنْ دِيارِكُمْ ما فَعَلُوهُ إِلاَّ قَليلٌ مِنْهُمْ وَ لَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا ما يُوعَظُونَ بِهِ لَكانَ خَيْراً لَهُمْ وَ أَشَدَّ تَثْبيتاً"
[4]. Bihâr al-Anwâr, jil. 71, hal. 5.
"وَ اللَّهِ لَابْنُ أَبِي طَالِبٍ آنَسُ بِالْمَوْتِ مِنَ الطِّفْلِ بِثَدْيِ أُمِّهِ "
[5]. Diadaptasi dari Syarh ‘Uyûn Masâil al-Nafs, Hasan Zadeh Amuli, hal. 154.
[6]. Ali Akbar Khanjai, Hikmat-e Nuri (Isyrâq), Fashl Marg-e Sefid (Qiyâmat-e Del), hal. 41.
[7]. Syarh Hikmat al-Isyrâq Suhrawardi, Abdullah Nuri – Mahdi Muhaqqiq, Teheran, Anjuman Atsar wa Mafakhir Farhanggi, 1383 S.
"لایعد الانسان من المتألهین ما لم یصر بدنه کقمیص یخلعه تارة و یلبسه اخری، ثم اذا شاء عرج الی النور"
[8]. Ibid, hal. 531.
"و اعظم الملکات ملکة موت ینسلخ النور المدبر عن الظلمات انسلاخاً و ان لم یخل عن بقیة علاقة مع البدن، الا انه یبرز الی عالم النور و یصیر متعلقا بالانوار القاعرة و یری الحجب النوریة کلها"؛
[9]. Bihâr al-Anwâr, jil. 91, hal. 98.
[10]. Karena itu, proses perjalanan ruh sebagai sebuah fenomena spiritual dan merupakan hasil yang diperoleh setelah melewati tingkatan-tingkatan tazkiyah nafs (penyucian jiwa) tidak akan memberi pengaruh pada kesempurnaan spirtual seseorang – meski perkara ini terjadi pada sebagian pesuluk – dan masalah khal-‘e badan dan kematian ikhtiari dalam artian sesungguhnya adalah sebuah perkara yang lebih tinggi dari sekedar proses perjalanan ruh; lantaran hasil perubahan eksistensial secara sempurna pada seorang arif membawanya secara totalitas melesak lebih tinggi dari jasmani; karena itu badan material sebagai akibat manifestasi spiritual dihukumi sebagai hijab yang tebal yang setiap detik dapat dilepaskan dan hal ini merupakan derajat tertinggi Irfan yang disebut sebagai khal-’e badan oleh Syaikh Isyraq. Ia meyakini bahwa hanya segelintir orang filosof yang dapat meraih makam ini.
[11]. Demikian juga lahirnya kondisi ini lantaran adanya dualisme yang sangat tinggi antara jasmani dan ruh yang boleh jadi disertai dengan rasa takut dan azab serta secara praktis berubah menjadi sebuah penyakit. Kondisi seperti ini adalah sebuah kondisi yang berada di luar makam-makam irfani.