Please Wait
Hits
10533
10533
Tanggal Dimuat:
2014/01/18
Ringkasan Pertanyaan
Apa isi surat Muawiyah yang berisi ancaman kepada Kaisar Roma? Apakah surat ini adalah kebijakan yang tepat dari Muawiyah untuk mencegah meletusnya perang?
Pertanyaan
Hanya jika negara muslim itu sadar dan bersatu, hanya jika mereka mengambil pelajaran dari para pendahulu mereka dan juga mengamati sejarah, kekuatan anti Islam yakni kerajaan Romawi telah berusaha mengambil keuntungan dari perbedaan antara Hadhrat Ali radhiyallahu ‘anhu dan Hadhrat Muawiyah. Dalam upaya mengembalikan kejayaan mereka (Romawi) dan mereka juga mengamati ternyata kekuatan Islam itu melemah, kemudian mereka pun berusaha untuk menyerang. Ketika Hadhrat Muawiyah mengetahuinya, ia segera mengirimkan pesan kepada kaisar Roma, yakni seharusnya ia [Kaisar Romawi] tidak mengambil keuntungan dari perbedaan yang terjadi [diantara umat Islam] dan juga seharusnya ia tidak menyerang orang-orang Islam. Dia berkata, misalkan terjadi suatu penyerangan, maka dia [Muawiyah] akan menjadi Jenderal pertama yang akan melawan mereka atas nama Hadhrat Ali r.a..
Dimanakah rujukan pernyataan diatas? Apakah benar tercantum di dalam Al-Bidayah wan Nihaayah oleh Hafizh Ibnu Katsir jilid atau juz ke-8 tahun 60 Hijriyah mengenai Muawiyah dan apa-apa yang terjadi saat periodenya dan saat penguasaannya dan riwayat tentang keistimewaan dan keutamaannya, Darul Kutubil Ilmiyyah, Beirut (Lebanon), 2001 halaman 126
Jawaban Global
Pernyataan seperti ini disebutkan pada sebagian literatur riwayat dan non riwayat sebagai berikut:
“Tatkala Muawiyah sibuk berperang dalam perang Shiffin, ia mendapatkan informasi bahwa kaisar Roma tengah menabuh genderang perang di Suriah. Ia mengirim surat yang bernada ancaman kepada kaisar Roma dan buntutnya, orang-orang Roma berdamai dengan Muawiyah dengan menerima uang darinya. Muawiyah menyandera orang-orang Roma dan menahannya di Ba’labak (Libanon). Lalu orang-orang Roma melanggar perjanjian dan membunuh sandera-sandera kaum Muslimin. Namun Muawiyah dan kaum Muslimin tidak melakukan hal yang sama kepada para sandera yang berada di tangannya. Ia malah membebaskan sandera-sandera itu dan dengan cara itu ia meraih kemenangan melawan Roma. Ia berkata, “Di hadapan pelanggaran ini, memilih loyal kepada perjanjian lebih baik ketimbang melanggarnya.”[1]
Dalam suratnya kepada kaisar Roma, Muawiyah menulis “Demi Allah! Apabila Anda tetap ingin menabuh genderang perang, maka saya akan berdamai dengan musuh bebuyutanku dan sebagai imbalannya saya akan datang bersama bala tentaranya dan Konstantinopel saya akan ratakan dengan tanah. Saya akan mencerabutmu dari tanah dan menjungkalkan singgasanamu serta menjadikanmu sebagai penggembala babi.”[2]
Dalam nukilan lainnya disebutkan, “Wahai orang yang terlaknat! Demi Tuhan. Apabila engkau tidak meninggalkan cara berpikir seperti ini (memerangi kaum Muslimin) dan tidak kembali ke negeri kalian, saya akan bersatu dengan anak pamanku[3] memerangimu dan mengusirmu dari seluruh negerimu serta mempersempit bumi bagimu. Kemudian setelah itu, kaisar Roma menjadi kecut hatinya lalu mengirimkan surat perjanjian gencatan senjata.”[4]
Demikian surat Muawiyah gubernur Syam kepada Kaisar Konstantinopel II bertepatan dengan perang Shiffin, tahun 37 H.[5]
Perlu untuk diperhatikan di sini bahwa meski Muawiyah menerapkan kebijakan seperti ini untuk mengerahkan seluruh kekuatan material dan spiritual bala tentaranya. Namun ketika ingin berkonfrontasi dengan kekaisaran Romawi ia membuat perjanjian gencatan senjata dan menyerahkan upeti serta banyak hadiah kepada kekaisaran Romawi sehingga tidak meletus perang di antara mereka. Di samping itu, ia tidak mengirim bala tentaranya untuk perang dan penaklukan. Hal ini sejatinya tidak termasuk titik kekuatan Muawiyah, melainkan dalil atas kelicikannya; karena dengan begitu ia dapat memelihara kesiapan, spirit dan kekuatan bala tentaranya untuk perang Shiffin. Padahal apabila ia benar-benar ingin menjaga persatuan di antara kaum Muslimin maka ia seharusnya tunduk pada perintah Imam Ali yang menurut pengakuan seluruh kaum Muslimin lebih pantas untuk memangku jabatan khalifah Rasulullah Saw ketimbang Muawiyah. Dan yang paling menonjol adalah seharusnya ia tidak meletuskan perang Shiffin.[6] [iQuest]
“Tatkala Muawiyah sibuk berperang dalam perang Shiffin, ia mendapatkan informasi bahwa kaisar Roma tengah menabuh genderang perang di Suriah. Ia mengirim surat yang bernada ancaman kepada kaisar Roma dan buntutnya, orang-orang Roma berdamai dengan Muawiyah dengan menerima uang darinya. Muawiyah menyandera orang-orang Roma dan menahannya di Ba’labak (Libanon). Lalu orang-orang Roma melanggar perjanjian dan membunuh sandera-sandera kaum Muslimin. Namun Muawiyah dan kaum Muslimin tidak melakukan hal yang sama kepada para sandera yang berada di tangannya. Ia malah membebaskan sandera-sandera itu dan dengan cara itu ia meraih kemenangan melawan Roma. Ia berkata, “Di hadapan pelanggaran ini, memilih loyal kepada perjanjian lebih baik ketimbang melanggarnya.”[1]
Dalam suratnya kepada kaisar Roma, Muawiyah menulis “Demi Allah! Apabila Anda tetap ingin menabuh genderang perang, maka saya akan berdamai dengan musuh bebuyutanku dan sebagai imbalannya saya akan datang bersama bala tentaranya dan Konstantinopel saya akan ratakan dengan tanah. Saya akan mencerabutmu dari tanah dan menjungkalkan singgasanamu serta menjadikanmu sebagai penggembala babi.”[2]
Dalam nukilan lainnya disebutkan, “Wahai orang yang terlaknat! Demi Tuhan. Apabila engkau tidak meninggalkan cara berpikir seperti ini (memerangi kaum Muslimin) dan tidak kembali ke negeri kalian, saya akan bersatu dengan anak pamanku[3] memerangimu dan mengusirmu dari seluruh negerimu serta mempersempit bumi bagimu. Kemudian setelah itu, kaisar Roma menjadi kecut hatinya lalu mengirimkan surat perjanjian gencatan senjata.”[4]
Demikian surat Muawiyah gubernur Syam kepada Kaisar Konstantinopel II bertepatan dengan perang Shiffin, tahun 37 H.[5]
Perlu untuk diperhatikan di sini bahwa meski Muawiyah menerapkan kebijakan seperti ini untuk mengerahkan seluruh kekuatan material dan spiritual bala tentaranya. Namun ketika ingin berkonfrontasi dengan kekaisaran Romawi ia membuat perjanjian gencatan senjata dan menyerahkan upeti serta banyak hadiah kepada kekaisaran Romawi sehingga tidak meletus perang di antara mereka. Di samping itu, ia tidak mengirim bala tentaranya untuk perang dan penaklukan. Hal ini sejatinya tidak termasuk titik kekuatan Muawiyah, melainkan dalil atas kelicikannya; karena dengan begitu ia dapat memelihara kesiapan, spirit dan kekuatan bala tentaranya untuk perang Shiffin. Padahal apabila ia benar-benar ingin menjaga persatuan di antara kaum Muslimin maka ia seharusnya tunduk pada perintah Imam Ali yang menurut pengakuan seluruh kaum Muslimin lebih pantas untuk memangku jabatan khalifah Rasulullah Saw ketimbang Muawiyah. Dan yang paling menonjol adalah seharusnya ia tidak meletuskan perang Shiffin.[6] [iQuest]
[1]. Ahmad bin Yahya Baladzuri , Futuh al-Buldân, hal. 159, Dar wa Maktaah al-Hilal, Beirut, 1988 M.
«أن الروم صالحت معاویة عَلَى أن یؤدی إلیهم مالا وارتهن معاویة منهم رهناء فوضعهم ببعلبک، ثُمَّ أن الروم غدرت فلم یستحل معاویة والمسلمون قتل من فی أیدیهم من رهنهم وخلوا سبیلهم، وقالوا: وفاء بغدر خیر من غدر بغدر»
«أن الروم صالحت معاویة عَلَى أن یؤدی إلیهم مالا وارتهن معاویة منهم رهناء فوضعهم ببعلبک، ثُمَّ أن الروم غدرت فلم یستحل معاویة والمسلمون قتل من فی أیدیهم من رهنهم وخلوا سبیلهم، وقالوا: وفاء بغدر خیر من غدر بغدر»
[2]. Muhibuddin Sayid Muhammad Murtadha, Wasithi Zubaidi, Tâj al-‘Arus min Jawâhir al-Qâmus, jil. 10, hal. 381, Dar al-Fikr, Beirut, Cetakan Pertama, 1414 H.
«فی حَدِیثِ مُعاوِیَةَ، و ذلِکَ أَنَّه لَمّا بَلَغَه خبرُ صاحِبِ الرُّومِ أَنَّه یُرِیدُ أَنْ یَغْزُوَ بلادَ الشّامِ أَیَّامَ فِتْنَةِ صِفِّینَ کَتَبَ إِلیْهِ یَحْلِفُ باللَّه «لئِنْ تَمَّمْتَ على ما بَلَغَنِی من عَزْمِک لأُصالِحَنَّ صاحِبِی، و لأَکُونَنَّ مُقَدِّمَتَهُ إِلیک، فلأَجْعَلَنّ القُسْطَنْطِینِیَّةَ البَخْراءَ حُمَمَةً سَوْداءَ، و لأَنْزِعَنَّکَ من المُلْکِ انْتِزاعَ الإِصْطَفْلِینَةِ، و لأَرُدَّنَّک إِرِّیساً من الأَرارِسَة تَرْعَى الدَّوَابِلَ»
«فی حَدِیثِ مُعاوِیَةَ، و ذلِکَ أَنَّه لَمّا بَلَغَه خبرُ صاحِبِ الرُّومِ أَنَّه یُرِیدُ أَنْ یَغْزُوَ بلادَ الشّامِ أَیَّامَ فِتْنَةِ صِفِّینَ کَتَبَ إِلیْهِ یَحْلِفُ باللَّه «لئِنْ تَمَّمْتَ على ما بَلَغَنِی من عَزْمِک لأُصالِحَنَّ صاحِبِی، و لأَکُونَنَّ مُقَدِّمَتَهُ إِلیک، فلأَجْعَلَنّ القُسْطَنْطِینِیَّةَ البَخْراءَ حُمَمَةً سَوْداءَ، و لأَنْزِعَنَّکَ من المُلْکِ انْتِزاعَ الإِصْطَفْلِینَةِ، و لأَرُدَّنَّک إِرِّیساً من الأَرارِسَة تَرْعَى الدَّوَابِلَ»
[3]. Di sini maksud anak paman bukanlah makna yang digunakan pada masa kini, melainkan disebabkan oleh nasab Imam Ali As dan Muawiyah melalui beberapa perantara berujung pada satu buyut. Karena itu Arab orang-orang Arab menggunakan nama ini. Nasab Imam Ali As adalah sebagai berikut, Ali bin Abi Thalib bin Abdul Mutthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf. Syaikh Mufid, al-Irsyâd fi Ma’rifat Hujajullah ‘ala al-Ibâd, jil. 1, hal. 5, Kongre Syaikh Mufid, Qum, Cetakan Pertama, 1413 H. Sementara nasab Muawiyah adalah Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdussyamms bin Abdul Manaf. Ibnu Katsir Dimasyqi, Abul Fida Ismail bin Umar, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, jil. 8, hal. 20, Dar al-Fikr, Beirut, 1407 H.
[4]. al-Bidâyah wa al-Nihâyah, jil. 8, hal. 119.
«فَکَتَبَ إِلَیْهِ مُعَاوِیَةُ: وَاللَّهِ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ وَتَرْجِعْ إِلَى بِلَادِکَ یَا لَعِینُ لَأَصْطَلِحَنَّ أَنَا وَابْنُ عَمِّی عَلَیْکَ وَلَأُخْرِجَنَّکَ مِنْ جَمِیعِ بِلَادِکَ، وَلَأُضَیِّقَنَّ عَلَیْکَ الْأَرْضَ بِمَا رَحُبَتْ. فَعِنْدَ ذَلِکَ خَافَ مَلِکُ الرُّومِ وَانْکَفَّ، وَبَعَثَ یَطْلُبُ الْهُدْنَةَ»
«فَکَتَبَ إِلَیْهِ مُعَاوِیَةُ: وَاللَّهِ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ وَتَرْجِعْ إِلَى بِلَادِکَ یَا لَعِینُ لَأَصْطَلِحَنَّ أَنَا وَابْنُ عَمِّی عَلَیْکَ وَلَأُخْرِجَنَّکَ مِنْ جَمِیعِ بِلَادِکَ، وَلَأُضَیِّقَنَّ عَلَیْکَ الْأَرْضَ بِمَا رَحُبَتْ. فَعِنْدَ ذَلِکَ خَافَ مَلِکُ الرُّومِ وَانْکَفَّ، وَبَعَثَ یَطْلُبُ الْهُدْنَةَ»
[5]. Muhammad Hamidullah, Majmu’ah al-Watsâiq al-Siyâsah lil ‘Ahd al-Nabawi wa al-Khilâfah al-Râsyidah, hal. 544, Dar al-Nafais, Beirut, Cetakan Keenam, 1407 H.
[6]. Silahkan lihat, Faktor Penyebab Meletusnya Perang Shiffin, Pertanyaan 14676; Sebab-sebab Penentangan Muawiyah terhadap Ali bin Abi Thalib As, Pertanyaan 5486.
Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar