Please Wait
27319
Fisika bermakna tabiat-tabiat sebagai lawan dari ilahiyyat (teologi) dan riyadhiyyat (matematika). Adapun metafisika dalam makna filsafatnya hari ini adalah sebuah ilmu yang membahas tentang maujud qua maujud (maujud bima maujud). Transfisika atau mâ warâ thabiat merupakan sebuah ilmu yang mengulas masalah Tuhan dan pelbagai eksisten. Terkait hubungan yang terjalin antara fisika dan metafisika adalah hubungan antara bagian (juz) dan keseluruhan (kul). Adapun hubungan antara fisika dan transfisika adalah hubungan antara sebab dan akibat.
Definisi fisika dan metafisika
Redaksi metafisika pada masa lalu dan masa kini digunakan untuk terminologi yang berbeda dimana secara selintasan akan kami bahas di sini:
Redaksi fisika adalah sebuah disiplin ilmu yang membahas tentang pelbagai fenomena natural materi seperti gerakan, daya, tekanan, panas, cahaya, suara dan elektrik. Pembahasan yang dikaji dalam pelbagai masalah ini adalah selain masalah rangkapan benda-benda; karena rangkapan benda-benda dan pelbagai perubahan yang terjadi padanya hanya dibahas pada ilmu Kimia. Akan tetapi ilmuwan modern, menamai kedua ilmu Fisika dan Kimia ini dalam satu nama sebagai: Ilmu-ilmu Fisika.
Ilmu-ilmu Fisika sebagai lawan ilmu-ilmu Natural dan Biologi yang membahas ihwal eksisten-eksisten hidup. Fisika adalah ilmu yang membahas pelbagai urusan yang berkenaan dengan pelbagai fenomena natural materi. Terminologi ini digunakan sebagai lawan dari fenomena non-material. Karena perkara gaib terkait dengan pelbagai fenomena yang tidak berkenaan dengan domain empirik dan indrawi. Melainkan berkenaan dengan sesuatu yang lebih tinggi dari pelbagai fenomena ini (natural materi).
Demikian juga, istilah ini digunakan sebagai lawan dari ruh; karena masalah-masalah fisika, sebagaimana yang katakan, berkenaan dengan pelbagai fenomena material yang mengikut pada aturan-aturan pasti ilmiah. Akan tetapi masalah-masalah spiritual terkait dengan pelbagai fenomena kejiwaan yang dicirikan sebagai kebebasan.
Demikian juga masalah-masalah fisika sebagai lawan masalah-masalah matematika atau teoritis ; karena masalah-masalah fisika berkaitan dengan benda-benda lahir hakiki, dan matematika atau teori terkait dengan makna-makna non-material.”[1]
Aristoteles adalah orang pertama yang memahami masalah ini dimana ia mentahbiskan bahwa terdapat serangkaian masalah yang tidak terkandung dalam masalah ilmiah baik hal itu masalah natural, matematika, moral atau sosial. Ia menjelaskan bahwa poros masalah sini yang menghimpun pelbagai aksiden dan kondisi pada dirinya adalah maujud qua maujud.” Hanya saja, Aristoteles tidak memberikan nama atas ilmu ini. Namun ketika karya-karyanya dihimpun dalam sebuah ensiklopedia dapat ditilik bahwa pembahasan ini menurut sistematikanya setelah pembahasan fisika (tabiat), namun karena tidak memiliki nama khusus masyhur ia dikenal sebagai metafisika yang transalasi bahasa Arabnya adalah “ma ba’ad al-thabiat.”
Berdasarkan pengaruh zaman, orang-orang telah lupa bahwa penamaan ilmu ini mengikut urutan kejadiannya berada setelah pembahasan tabiat. Demikian menurut anggapan orang. Nama ini yang dilekatkan pada ilmu ini bahwa masalah-masalah ilmu ini atau setidaknya sebagian dari masalah ilmu ini seperti: Tuhan dan akal-akal non-material (mujarrad) berada di luar pembahasan tabiat; karena itu bagi orang-orang seperti Ibnu Sina mengemuka pertanyaan bahwa ilmu semacam ini harus dinamai sebagai ilmu sebelum tabiat (ilmu ma qabla al-tabiat); karena Tuhan dan akal-akal non-material (mujarrad) menurut runutan wujudnya berada sebelum tabiat bukan setelahnya.
Setelah itu, di kalangan sebagian filosof modern kesalahan pengucapan dan terjemahan ini telah berujung pada kesalahan makna. Banyak kelompok di belahan Eropa mengira redaksi ma wara al-thabiat sepadan dengan redaksi “ma ba’da al-thabiat”. Mereka menyangka bahwa subyek ilmu ini adalah perkara-perkara yang berada di balik tabiat. Sementara subyek ilmu ini termasuk ilmu tabiat dan di balik tabiat (beyond) dan dimana saja ada keberadaan. Sekelompok orang ini mendefinisikan metafisika sebagai berikut: “Metafisika adalah sebuah ilmu yang hanya membahas tentang Tuhan dan perkara-perkara non-material.”[2]
Karena itu, untuk memahami dua redaksi ini maka pembagian filsafat (hikmah) harus dijelaskan. “Filsafat terbagi menjadi dua, filsafat teoritis dan filsafat praktis.” Filsafat teoritis yang menyoroti pelbagai hal-hal yang patut diketahui seperti tabiat, matematika dan teologi. Dan tabiat termasuk di dalamnya adalah kosmologi, mineralogi, biologi dan botani.
Demikian juga, matematika terbagi menjadi kalkulasi, rekayasa, musik dan astronomi. Dan teologi juga terbagi menjadi dua. Teologi bermakna lebih umum (al-a’am) pembahasan yang berkenaan dengan asli wujud dan teologi bermakna lebih khusus (al-akhas) yang bertalian dengan masalah mengenal Tuhan dimana himpunan dua pembahasan teologi ini disebut sebagai metafisika.”[3]
Dengan penerangan ini menjadi jelas bahwa yang dimaksud dengan fisika adalah ilmu tabiat (natural) dan yang dimaksud dengan metafisika adalah teologi.
Hubungan antara ilmu fisika dan ilmu metafisika
Sesuai dengan ucapan yang benar bahwa memandang sinonim dua redaksi ma wara al-thabiat dan ma ba’da al-thabiat merupakan kesalahan yang telah dilakukan oleh orang-orang jahil; karena ma ba’da al-thabiat berdasarkan penyebutan nama ilmu ini setelah pembahasan tabiat sebagaimana yang termaktub dalam buku Aristoteles. Dan ma wara al-thabiat berdasarkan adanya kandungan metafisis pada ilmu itu sendiri; karena itu, hubungan antara fisika (tabiat) dan metafisika (ma ba’da al-thabiat) dalam ilmu pengetahuan disebutkan bahwa metafisika memikul beban untuk menetapkan subyek ilmu tabiat. Dan kebanyakan postulat ilmu dapat dibuktikan dalam ilmu ini. Di hadapan ilmu-ilmu lainnya, ilmu ini membantu filsafat dalam menetapkan sebagian premis-premis argumen filosofis.
Hubungan antara alam fisika dan alam metafisika
Di dunia luaran, antara alam fisika dan alam metafisika terjalin hubungan antara bagian dan keseluruhan. Dan hubungan logis keduanya adalah hubungan umum dan khusus mutlak (beririsan, complete inclusion); artinya subyek ilmu fisika adalah sebagian dari subyek metafisika; karena subyek ilmu fisika adalah materi. Dan subyek metafisika adalah mutlak wujud yang mencakup seluruh tabiat (materi) dan juga di balik tabiat (ma warâ al-thabiat).
Hubungan antara fisika dan transfisika
Dalam filsafat Islam, hubungan antara kedua hal ini (hubungan antara tabiat [fisika] dan di balik tabiat [transfisika]) adalah hubungan antara sebab dan akibat; artinya pelbagai eksisten yang berada di balik tabiat merupakan sebab eksistensial alam materi ini. Materi seluruhnya adalah keterbatasan dan keterbatasan ini dengan keluasannnya ini tidak dapat dijumpai pada alam di balik tabiat. Demikian juga hubungan antara materi dan di balik materi adalah hubungan antara hakikat dan non-hakikat.
Disebutkan bahwa Plato dan para pengikutnya mengilustrasikan sistem penciptaan pada alam ide (mutsul). Ia membagi alam menjadi dua, fisika dan metafisika. Alam ma warâ al-thabiat (metafisika) adalah akarnya. Dan alam tabiat adalah bayangan dan siluet alam metafisika. Alam metafisika merupakan alam arbab yang menurut pandangannya adalah mutsul al-amtsal yang berada pada puncak kerucut dan alam benda pada mekanismenya. Penciptaan kerucut ini adalah bentuk yang dapat digambarkan pada sistem penciptaannya, dalam artian bahwa mutsul al-amtsal dan rabb al-arbâb[4], muncul dari esensi sumber pertama (mabda awwal) dan emanasi secara perlahan menyebar dan arbab anwa’ atau amtsal menjadi banyak hingga mencapai alam benda yang menjadi mekanisme kerucut tersebut. Alam mutsul (ide) adalah alam konstan dan alam anwa’ (ragam) jasmani tidak konstan dan berada pada tataran kaun (penciptaan) dan fasad (kehancuran).[5]
[1]. Jamil Saliba, Farhangg-e Falsafi, penerjemah, Manucher Shani’I Darebandi, hal. 507, cetakan pertama, Intisyarat-e Hikmat, Teheran, 1366 S
[2]. Murtadha Muthahhari, Âsynâi bâ ‘Ulum-e Islâmi, jil. 1, hal. 94, cetakan baru, Daftar-e Intsiyarat-e Islami,
[3]. Muhsin Gharawiyan, Dar Âmadi bar Amuzesy Falsafeh Ustâdz Misbah Yazdi, hal. 33, cetakan ketiga, Intisyarat-e Syafaq, 1373 S
[4]. Majma’ al-Buhuts al-Islami, Syarh al-Musthalahat al-Falsafi, hal. 355, Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah, Masyhad, cetakan pertama, 1414 H.
[5]. Sayid Ja’far Sajjadi, Farhang-e Istilahat Falsafai Mulla Shadra, hal. 317, Wezarat-e Farhang wa Irsyad Islami, Teheran, cetakan pertama, 1379 S.