Please Wait
11292
Sumber asli ziarah Asyura adalah berasal dari dua kitab standar yaitu Kâmil al-Ziyârat karangan Ja’far bin Muhammad bin Qulawaih Qummi (W 348 H) dan Misbâh al-Mutahajjid Syaikh Thusi (385-460 H). Menurut sebagian sandaran sanad Ibnu Qulawaih Qummi adalah lebih muktabar. Adapun terkait dengan sanad-sanad yang disebutkan dalam kitab Misbâh al-Mutahajjid harus dikatakan bahwa: Kitab ini secara keseluruhan menyebutkan dua sanad (mata rantai periwayatan) untuk ziarah Asyura dan untuk mengkaji secara keseluruhan tentang riwayat ini maka hal itu tidak keluar dari tiga kondisi. Pertama, apakah para periwayatnya adalah orang-orang tsiqah (dapat diandalkan dan dipercaya); atau kedua pada satu tingkatan di samping seorang perawi yang belum lagi ditegaskan witsâqah-nya (kehandalannya), terdapat seorang perawi yang telah di-tautsiq (telah mendapat pengakuan dapat diandalkan dan dipercaya), atau ketiga terdapat indikasi-indikasi atas witsâqah perawi. Karena itu, secara umum dapat dikatakan bahwa sanad riwayat ziarah Asyura adalah sahih dan tidak ada problem di dalamnya. Terkait dengan teks riwayat juga lantaran mengandung laknat kepada seluruh Bani Umayyah dan seterusnya telah dijawab secara rinci pada site ini. Untuk penjelasan lebih jauh, menganai sanad (mata rantai periwayatan) dan teks ziarah Asyura, kami persilahkan Anda untuk menelaah dan menyimaknya pada jawaban detil.
Ziarah Asyura adalah ziarah yang bersumber dari riwayat Imam Baqir As dan Imam Shadiq As. Atas dasar itu, standar sanadnya harus dapat diterima. Di samping itu, kandungannya juga tidak boleh berlawanan dengan ajaran-ajaran al-Qur’an dan riwayat-riwayat lainnya. Apabila bertentangan dengan ajaran al-Qur’an atau berseberangan dengan riwayat lainnya maka ia tidak dapat dipandang sebagai hadis-hadis standar (muktabar).
Laporan berikut ini akan menyinggung kedua persoalan tersebut:
Pertama, sanad ziarah Asyura:
Sumber asli ziarah Asyura adalah berasal dari dua kitab standar yaitu Kâmil al-Ziyâratkarangan Ja’far bin Muhammad bin Qulawaih Qummi (W 348 H) dan Mishbâh al-Mutahajjid Syaikh Thusi (385-460 H). Oleh itu, pertama-tama kita akan mengkaji riwayat yang dinukil dalam kitab Kâmil al-Ziyârat dan kemudian Mishbâh al-Mutahajjid:
1. Kitab Kâmil al-Ziyârat Ibnu Qulawaih
Ibnu Qulawaih menulis tentang pahala orang yang membaca ziarah Asyura:
Hakim bin Daud bin Hakim dan yang lainnya berkata kepadaku dari Muhammad bin Musa al-Hamdani dari Muhammad bin Khalid al-Thayalisi dari Saif bin ‘Amiri dan Shaleh bin Uqbah dari Alqamah bin Muhammad al-Hadhrami dan Muhammad bin Ismail dari Shaleh bin Uqbah dari Malik al-Juhani dari Abi Ja’far al-Baqir As bersabda, “Barang siapa yang menziarahi Al-Husain As pada hari Asyura bulan Muharram…” dan seterusnya tentang sanad asli ziarah Asyura: “Shaleh bin Uqbah al-Juhani dan Saif bin ‘Amirah sesungguhnya Al-Qamah bin Muhammad al-Hadhrami, dan kemudian aku berkata kepada Abi Ja’far As Ajarkan kepadaku doa yang aku baca pada hari tersebut…”
‘Alqamah bin Muhammad Hadhrami berkata, “Aku berada di sisi Abi Ja’far dan berkata kepadanya, “Ajarkan kepadaku sebuah doa yang aku baca pada hari itu tatkala aku pergi berziarah kepada Imam Husain As dan ajarkan sebuah doa yang aku baca tatkala aku tidak pergi berziarah dari dekat, dari kejahuan dan dari atas atap rumah dan menyampaikan salam kepada Imam Husain As.
Imam Shadiq As bersabda, “Wahai ‘Alqamah! Setelah engkau berisyarat memberikan salam kepada Imam Husain As dan setelah itu kerjakanlah dua rakaat shalat… dalam ziarah Aba Abdillah al-Husain hari Asyura katakanlah: “Assalamu ‘alaika Ya Aba Abdillah… Assalamu ‘alaika Yabna Rasulillah… Assalamu ‘alaika Ya Khiyaratillah wabna Khiyarathi. Assalamu ‘alaika Yabna Amiril Mu’minin… Assalamu ‘alaika Yabna Sayyid al-Washiyyin… Assalamu ‘alaika Yabna Fatimah Sayyidati al-Nisa al-‘Alamin…”[1] (Salam padamu Wahai Aba Abdillah… Salam padamu wahai Putra Rasulullah… Salam padamu wahai pilihan Allah putra pilihan Allah. Salam padamu wahai Putra Amiril Mukminin…Salam padamu wahai putra penghulu para washi.. Salam padamu wahai putra Fatimah penghulu wanita alam semesta).
Kemudian pada awal riwayat dinukil melalui dua orang bernama ‘Alqamah bin Muhammad Hadrami dan Malik bin ‘Ayan al-Juhni sampai kepada Imam Maksum As. Pada dua jalur, Shaleh bin Uqbah menukil dari keduanya; namun pada salah satunya terdapat Saif bin ‘Amirah dan yang lainnya tanpa Saif bin ‘Amirah.
Berikut ini adalah sebuah riwayat yang dinukil dari Shaleh bin ‘Uqbah dan Saif bin ‘Amirah dari Alqamah bin Hadhrami dari Imam Baqir As. Pada hakikatnya riwayat ini dinukil dengan tiga sanad:
A. Hakim bin Daud dan yang lainnya, dari Muhammad bin Musa al-Hamdani, dari Muhammad bin Khalid al-Thayalisi, dari Saif bin ‘Amirah dari ‘Alqamah bin Muhammad al-Hadhrami.
B. Hakim bin Daud bin Hakim dan yang lainnya, dari Muhammad bin Khalid al-Thayalisi, dari Shaleh bin Uqbah dari ‘Alqamah bin Muhammad al-Hadhrami.
C. Muhammad bin Ismail dari Shaleh bin Uqbah dari Malik al-Juhni dari ‘Alqamah bin Muhammad al-Hadhrami dari Abi Ja’far al-Baqir As.
Pada sanad ketiga terdapat dua kemungkinan. Pertama, Ibnu Qulawaihh menukil ziarah Asyura dari kitab Muhammad bin Ismail; sebagaimana Syaikh Thusi juga dalam kitabnya menukil hal yang sama dimana dalam hal ini akan berlaku sedemikian sanad riwayat hingga Muhammad bin Ismail dan setelah itu Shaleh bin Uqbah akan menjadi benar. Kedua, Muhammad bin Ismail juga bersambung kepada Muhammad bin Khalid al-Thayalisi yang dalam kondisi demikian akan berlaku seperti ini:
Hakim bin Daud, Muhammad bin Musa al-Hamdani, Muhammad bin Khalid al-Thayalisi, Muhammad bin Ismail bin Bazi’, Shaleh bin ‘Uqbah, Malik al-Juhni.
Namun kemungkinan ini tampaknya sangat jauh; lantaran kemungkinan yang lebih kuat adalah bahwa kitab Muhammad bin Ismail pada masa itu sudah dikenal dan Syaikh Thusi dan Ibnu Qulawaihh keduanya menukil ziarah Asyura dari kitab tersebut.
Mengkaji Sanad Riwayat Ibnu Qulawaih
Ibnu Qulawaih dalam mukaddimah kitabnya menulis:
Aku tidak menguasai seluruh riwayat yang dinukil dari Ahlulbait As tentang ziarah dan selainnya; namun apa pun yang aku sebutkan dalam kitab ini bersumber dari orang-orang yang dapat diandalkan dari kalangan sahabat dan tidak satu pun riwayat yang saya nukil dari para perawi yang tidak dikenal (majhul) dalam mengambil riwayat-riwayat para Imam dari para perawi yang tidak terkenal dalam riwayat-riwayat dan tidak masyhur dalam ilmu dan hadis.[2]
Syaikh Hurr Amili, setelah memberikan kesaksian witsâqah (reliable-nya dan kehandalan) perawi Tafsir Ali bin Ibrahim. Ia berkata tentang para perawi Kâmil al-Ziyârat: “Bahwa Ja’far bin Muhammad bin Qulawaihh memberikan kesaksian tentang kehandalan para perawi Kâmil al-Ziyârat dan penegasannya pada pendahuluan kitab Kâmil al-Ziyârat lebih jelas ketimbang penegasannya terhadap Ali bin Ibrahim.”[3]
Namun sebagian dari ulama tidak menerima asas seperti ini karena redaksi ini hanya menjadikan perantara pertama yang mendapatkan pengakuan dapat dipercaya dan diandalkan (tautsiq); artinya orang yang menukil langsung dari Ibnu Qulawaihh tanpa perantara adalah orang yang dapat diandalkan (muatstsaq).[4] Asas seperti ini adalah asas yang diterima oleh Ayatullah Khui Ra.[5] Kendati dalam tulisan-tulisan beliau sebelumnya disebutkan. Redaksi ini memberikan petunjuk jelas bahwa Ibnu Qulawaih tidak menukil sebuah riwayat dari para Imam Maksum As, kecuali dari orang-orang yang dapat diandalkan dari kalangan sahabat kita.”[6]
Namun demikian, ada baiknya kita melihat para perawi hadis ini:
Hakim bin Daud bin Hakim:
Meski ia dalam kitab-kitab Rijal tidak memiliki tautsiq (pengakuan terpercaya). Namun ia juga tidak dilemahkan (tadh’if). Pengarang kitab Tahdzib menukil hadis darinya.[7] Muhaddits Nuri menyebutnya sebagai salah satu masyaikh (guru) Ibnu Qulawaih.[8] Dengan demikian, tautsiq (pengakuan dapat dipercaya dan diandalkan) umumnya tidak berlawanan dengan pelemahannya. Dan hal ini telah memadai dalam menjadikannya sebagai sandaran.
Muhammad bin Musa al-Hamdani
Sebagian orang melemahkan orang ini.[9] Namun sesuai dengan tuturan Ayatullah Khui tentang tautsiq Ibnu Qulawaih terhadap orang ini dan ucapannya dalam Rijal Kâmil al-Ziyârat bertentangan dengan pelemahan itu. Tentu dengan adanya pertentangan antara tautsiq dan pelemahan (tadh’if) ini berujung pada jatuhnya kedua hal ini dan sebagai hasilnya Muhammad bin Musa al-Hamdani dari sudut pandang ilmu Rijal adalah orang yang tidak dikenal keadaannya (majhul al-hâl).[10]
Adapun terkait dengan Muhammad bin Khalid al-Thayalisi dan Muhammad bin Ismail bin Bazi’ akan kita bahas pada kesempatan mendatang.
Uqbah bin Qais Kufi:
Ia adalah seorang shaleh dan termasuk sal