Please Wait
8486
Ziarah adalah adanya kecendrungan dan inklinasi batin terhadap seseorang atau sesuatu yang disertai dengan takzim (pengagungan) dan takrim (pemuliaan). Mengingat bahwa hakikat manusia itu adalah ruhnya dan ruh manusia sekali-kali tidak akan binasa. Seorang penziarah yang berziarah kepada seorang pembesar sejatinya berziarah kepada sebuah entitas yang hidup. Dalam ziarah ini, penziarah memiliki kecendrungan dan inklinasi terhadapnya. Ia memuliakan dan mengagungkannya serta memohon pertolongan kepadanya. Oleh itu, ziarah adalah hubungan dari satu entitas hidup dengan entitas hidup lainnya. Ziarah memiliki manfaat personal dan sosial yang banyak dimana sebagian dari manfaat tersebut adalah: Berhubungan dengan manusia sempurna (insan kamil), ekspresi iman dan hubungan dengan Tuhan, pemuliaan dan pengagungan Ahlulbait, menimalisir pelbagai perbuatan menyimpang, satu langkah dan satu hati dalam menghadapi musuh-musuh.
Ziarah secara leksikal bermakna adanya kecendrungan dan inklinasi.[1] Dan secara teknis bermakna hadirnya seseorang di hadapan orang yang diziarahi dalam rangka memuliakan dan mengangungkannya.[2] Ziarah ini memiliki tiga rukun:
1. Penziarah (zâir) artinya seseorang yang memiliki kecendrungan terhadap seseorang atau sesuatu.
2. Yang diziarahi (muzûr) bermakna seseorang yang dicendrungi dan dicondongi oleh penziarah (zâir).
3. Karakter batin inklinasi dan kecendrungan ini disertai dengan pemuliaan dan pengagungan penziarah (zâir).
Bilamana salah satu dari rukun ziarah ini tidak terpenuhi atau secara hakiki dan ril tidak terwujud maka ziarah yang benar tidak terlaksana. Bilamana penziarah memiliki pengetahuan dan makrifat yang dalam dari sosok yang diziarahi maka ia akan meraup kesempurnaan lebih banyak dan manfaat ziarah juga akan lebih baik dan lebih besar.
Mengingat bahwa ruh (jiwa) manusia adalah entitas non-material (mujjarad) dan tidak akan binasa selamanya, maka sekali-kali manusia tidak akan binasa dengan kematian, melainkan ia akan berpindah dari dunia yang kecil ke dunia yang lebih besar. Pada hakikatnya, dengan kematian, ruh manusia terbebas dari penjara badannya. Bahkan tatkala penziarah berziarah kepada tanah dan tempat pemakaman orang yang diziarahi dan menjalin hubungan dengannya, jenis hubungan ini merupakan sebuah hubungan antara orang hidup dan orang hidup lainnya.
Syaikh al-Rais Ibnu Sina berkata, “Penziarah yang berziarah dengan wujud material dan spiritualnya, ia meminta pertolongan dari jiwa orang yang diziarahi untuk meraup kebaikan atau menyingkirkan keburukan. Jiwa yang diziarahi, karena telah terpisah dengan alam material dan banyaknya kesamaan yang ia dapatkan dengan alam rasional non-material, maka hal itu akan menjadi sumber kebaikan yang melimpah dan lebih paripurna. Karena penziarah, dengan raga dan jiwanya, berziarah kepada mazûr (yang diziarahi) di samping ia memperoleh keuntungan material, ia juga mendapatkan keuntungan spiritual.”[3]
Dengan memperhatikan makna ziarah seperti ini, kehidupan dan kematian bagi seorang penziarah menjadi satu. Ia akan memandang orang yang diziarahi itu sebagai hadir dan saksi. Banyak riwayat yang disinggung atau ditegaskan sesuai dengan makna ini bahwa kehidupan dan kematian para maksum adalah satu. Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa yang berziarah kepadaku setelah wafatku, maka seperti orang yang bersua denganku semasa hidup. Dan aku pada dua keadaan menjadi saksi baginya dan syafaatnya di hari Kiamat berada dalam tanggunganku.”[4]
Demikian juga, jauh dan dekat tidak lagi berbeda bagi seorang penziarah yang memahami realitas ini. Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa yang berziarah kepadaku setelah wafatku maka seperti ia berjumpa denganku pada masa hidupku. Dan apabila Anda tidak dapat berziarah kepadaku, maka sampaikanlah salam dan shalawat bagiku. Shalawat ini akan sampai kepadaku.”[5]
Kalau dalam sebagian buku-buku ziarah termaktub adanya pengakuan terhadap kehidupan yang orang diziarahi maka hal itu sejatinya untuk mengingatkan penziarah bahwa ia sedang bercakap-cakap dengan orang hidup dan sedang berziarah kepada seorang yang hidup. Dalam ziarah Imam Husain As kita membaca, “Aku bersaksi bahwa engkau mendengar suaraku dan menjawab salamku.”[6] Benar bahwa ruh non-material mazur (orang yang diziarahi) tidak mendiami ruang dan waktu. Karena itu penziarah dapat berziarah kepadanya kapan saja dan di mana saja ia berada lalu meminta pertolongan darinya. Akan tetapi karena perhatian khusus jiwa mazûr kepada badannya maka akan tercipta satu kondisi khusus di samping badan tersebut (kuburannya).
Di tempat-tempat ini, kesempatan untuk melakukan proses taqarrub dan mendulang emanasi Ilahi lebih tersedia; lantaran ruh setelah terpisah dari badan ia tetap memiliki hubungan dan tautan dengan badan materialnya karena itu terkadang disebutkan bahwa sebagian badan yang telah dikebumikan bertahun-tahun lamanya akan badan tersebut tetap utuh tidak rusak. Meski terdapat banyak pandangan terkait dengan proses hubungan ini.[7] Atas dasar itu, terkadang dalam ziarah, tercipta kondisi spritual yang lebih besar dan ruang untuk membina hubungan spiritual lebih siap dan pikiran manusia akan bersih dari noda-noda keseharian dan kesibukan menjadi berkurang. Dalam kondisi seperti ini, jiwa, dengan kekuatan dan privilij ekstra, lebih banyak meraup keuntungan berziarah.
Dalam ziarah kepada para imam maksum As, sebagai manusia sempurna, yang disertai dengan makrifat dan dibekali dengan pengetahuan, maka penziarah akan banyak meraih keuntungan material dan spiritual yang mungkin menjadi falsafah ziarahnya. Di sini kita akan menyebutkan sebagian dari falsafah ziarah kepada para imam maksum As:
1. Membina hubungan dengan Tuhan: Mengingat ketaatan kepada para imam maksum bermakna ketaatan kepada Tuhan dan maksiat kepada mereka berarti maksiat kepada Tuhan. Dan barang siapa yang mengikuti mereka maka ia telah mengikuti Tuhan. Barang siapa yang mengagungkan mereka maka ia telah mengangungkan Tuhan.
2. Berziarah merupakan luapan ekspresi dan deklarasi cinta kepada Tuhan: Lantaran agama tidak lain kecuali cinta. Para imam maksum adalah pecinta dan orang-orang yang dicintai Tuhan. Dan cinta kepada orang-orang yang dicintai Tuhan artinya cinta kepada Tuhan. Berziarah kepada pusara-pusara suci Ahlulbait As merupakan manifestasi dari cinta kepada Tuhan.[8]
3. Pemuliaan dan pengagunan manusia sempurna: Contoh nyata mansia sempurna adalah para imam maksum As. Mereka memiiki seluruh kesempurnaan tanpa cela secuil pun. Oleh itu, dalam hadis mutawatir tsaqalain, Ahlulbait diperkenalkan setara dengan al-Qur’an; karena merupakan naskah amali (praktis) al-Qur’an. Memuliakan dan mengagungkan Ahlulbait As adalah memuliakan derajat kemanusiaan dan khalifatullah. Ziarah kuburan mereka merupakan salah satu jelmaan dari pemuliaan ini.
4. Memperbaharui baiat kepada manusia sempurna: Para imam maksum As sepanjang hayat material senantiasa berusaha menjalankan tugas-tugas suci dan mewujudkan tujuan-tujuan tinggi Ilahiah yang membutuhkan bantuan dan sokongan orang-orang setia dan rela berkorban yang sangat kurang pada masa itu. Karena itulah, masih banyak dari tujuan-tujuan mulia tersebut belum terealisir. Ziarah kepada para imam merupakan baiat dan deklarasi kesetiaan terhadap realisasi tujuan-tujuan mulia tersebut.
5. Ziarah adalah untuk menjalin huubngan dengan manusia sempurna dan sampai pada substansi kemanusiaan:
6. Ziarah kepada para imam maksum adalah indikasi keimanan dan ungkapan kerendahan hati di hadapan agama:
7. Berpaling dari dunia, mengingat kematian dan menjauhkan pelbagai rintangan yang menghalangi seorang penziarah dalam meniti jalan kesempurnaan.
8. Agama Islam memberikan tekanan dan penegasan terhadap dimensi sosial pelbagai masalah seperti haji, shalat berjamaah dan kehadiran pada pelbagai pertemuan sosial dan seterusnya.
Jelas bahwa pertemuan-pertemuan sosial terdapat banyak manfaat dan faidah yang terkandung di dalamnya.
Tatkala kita ingin menganalisa sebuah persoalan, kita saksikan bahwa dalam masalah ziarah terdapat banyak manfaat dan faidah serta keberkahan. Salah satu di antara manfaat ziarah tersebut adalah bahwa seorang Muslim memahami nilai umat Islam. Tatkala ia ingin hidup dengan orang-orang beriman dalam komunitas Islam untuk beberapa lama maka akan muncul kemantapan hati baginya terkait dengan masyarakat Islam.
Demikian juga, non-Muslim dan non-Mukmin dengan menyaksikan pelbagai pertemuan-pertemuan sosial ini, minimal ia akan urung melakukan pelbagai pelanggaran. Hal ini merupakan faidah yang minimal bagi masyarakat Islam. Para krimonolog menyatakan bahwa pada hari-hari seperti bulan Ramadhan angka pelbagai pelanggaran menurun. Faidah-faidah seperti ini banyak dan bukan tempatnya untuk menghitung pelbagai faidah tersebut di sini. Adapun manfaat politis atas masalah seperti ini sangat jelas dan gamblang. Di antaranya adanya kesetiakawanan dan persatuan dimana kesetiakawanan dan persatuan ini merupakan faktor asasi yang dapat digunakan dalam menghadapi musuh-musuh. Kedua, tatkala musuh melihat majelis-majelis para penziarah maka mereka akan memperhitungkan lain seremoni-seremoni seperti ini. Karena itu, kita lihat bahkan partai-partai sekular untuk show force dan memberangus para penentangnya mereka mengadakan meeting dan pelbagai acara seremonial. [IQuest]
[1]. Raghib Isfahani, Mufrâdât Alfâz al-Qur’ân, riset Dawudi, Shafwan Adnan, hal. 387, cetakan pertama, al-Dar al-Syamiya, Beirut, 1416 H.
[2]. Fakhruddin Tharihi, jil. 3, hal. 320, cetakan kedua, Maktabatu al-Murtadhawiyah, 1365 S.
[3]. Rasâil Ibnu Sinâ, hal. 338, sesuai nukilan dari Murtadha Jawadi, Falsafe-ye Ziyarat wa Aini-ye An.
[4]. Ibnu Qulawiyeh Qummi, Kâmil al-Ziyârat, hal. 45, cetakan pertama, Murtadhawiyah, Najaf, 1365 H.
[5]. Abbas Qummi, Safinat al-Bihâr, jil. 3, hal. 518, cetakan kedua, Uswah, Qum, 1416 H.
[6]. Abbas Qummi, Mafâtih al-Jinân, Ziyarat Imam Husain pada pertengahan bulan Rajab, hal. 798, cetakan kedua, Arman, Qum, 1380 S.
[7]. Silahkan lihat, Falsafe-ye Ziyârat wa Âini-ye Ân, hal. 27.
[8]. Silahkan lihat, Abdullah Jawadi Amuli, Shubhâ-ye Hajj, hal. 489, cetakan kedua, sra, Qum, 1378 S.