Please Wait
12098
Raj'at merupakan salah satu keyakinan yang dianut oleh Syiah Imamiyah. Raj'at bermakna kembali ke dunia setelah kematian yang terjadi sebelum akhirat dengan rentang waktu yang tidak terlalu lama setelah munculnya Imam Mahdi As dan sebelum syahadahnya dan digelarnya hari Kiamat.
Raj'at tidak bersifat umum melainkan terkhusus untuk orang-orang mukmin sejati dan orang-orang musyrik hakiki.
"Raj'at" secara leksikal bermakna kembali atau mudik.[1] Raj'at secara teknis bermakna bahwa sebagian orang (orang-orang mukmin sejati dan kaum musyrikin hakiki) akan kembali ke dunia setelah kematian (mereka) dan sebelum digelarnya hari kiamat.
Keyakinan terhadap raj'at merupakan salah satu keyakinan mazhab Ahlulbait yang bersandar pada banyak ayat dan riwayat.
Terjadinya Raj'at dalam Ayat dan Riwayat
A. Ayat-ayat al-Qur'an
Dengan melakukan tadabbur (kontemplasi) pada ayat-ayat al-Qur'an dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa al-Qur'an menyinggung masalah raj'at ini dalam dua perkara:
Pertama, ayat-ayat yang menyebutkan tentang terjadinya raj'at di masa mendatang seperti pada ayat 82 surah al-Naml dimana Allah Swt berfirman: " Dan (ingatlah) hari (ketika) Kami kumpulkan dari tiap-tiap umat segolongan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, lalu Kami tahan mereka sehingga yang lain bergabung dengan mereka." Kebanyakan ulama memandang bahwa ayat ini menyoroti masalah raj'at dan kembalinya sebagian orang bijak dan orang buruk ke dunia sebelum digelarnya hari Kiamat; lantaran apabila ayat tersebut berkaitan dengan hari Kiamat itu sendiri maka redaksinya "dari tiap-tiap golongan" tidak benar adanya. Karena pada hari Kiamat seluruhnya akan dibangkitkan, sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur'an ayat 47 surah al-Kahf, " Dan (ingatlah) akan hari (yang ketika itu) Kami menjalankan gunung-gunung dan kamu akan melihat bumi itu datar, serta Kami kumpulkan seluruh manusia dan tidak Kami tinggalkan seorang pun dari mereka."
Kedua, ayat-ayat yang menyebutkan tentang terjadinya pelbagai peristiwa pada umat terdahulu yang sejatinya termasuk dari peristiwa raj'at. Misalnya pada ayat-ayat berikut ini:
1. Ayat 259 surah al-Baqarah tentang seorang nabi yang melintas suatu negeri, "Ataukah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya? Ia berkata, “Bagaimana mungkin Allah akan menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?” Maka Allah mematikan orang itu selama seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya, “Berapa lama kamu tinggal di sini?” Ia menjawab, “Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari.” Allah berfirman, “Sebenarnya kamu telah tinggal di sini selama seratus tahun lamanya." Bukan menjadi persoalan penting di sini bahwa nabi yang disebutkan itu adalah Aziz atau nabi yang lainnya. Yang penting adalah bahwa afirmasi al-Qur'an secara tegas yang menyebutkan kehidupan setelah kematian di dunia ini, FaamatahuLlâh ba'da miata âmmin tsumma ba'atsahu. (Maka Allah mematikan orang itu selama seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali.)
2. Ayat 243 surah al-Baqarah yang mengisahkan tentang sekelompok manusia lainnya, "Apakah engkau tidak melihat (baca: mendapatkan berita tentang) orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedangkan mereka berjumlah ribuan orang karena takut mati? Lalu, Allah berfirman kepada mereka, “Matilah kamu!” Kemudian Allah menghidupkan mereka (supaya kisah hidup mereka menjadi pelajaran bagi generasi mendatang)."
3. Ayat 55 dan 56 surah al-Baqarah tentang Bani Israil yang meminta kepada Nabi Musa untuk dapat melihat Tuhan, "Dan (ingatlah) ketika kamu berkata, “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang.” Lalu karena itu halilintar menyambarmu sedang kamu menyaksikannya. Setelah itu, Kami bangkitkan kamu sesudah kamu mati supaya kamu bersyukur."
4. Ayat 110 surah al-Maidah sembari menyebutkan mukjizat Nabi Isa As menegaskan: "Engkau mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan perintah-Ku." Redaksi ayat ini menandaskan bahwa Nabi Isa menggunakan mukjizatnya ini (menghidupkan orang mati). Kata kerja yang digunakan dalam ayat ini adalah kata kerja mudhâre (present continues tense, takhruj [mengeluarkan]) sebagai dalil pengulangan dan hal ini termasuk salah satu jenis raj'at untuk sebagian orang.
5. Ayat 73 surah al-Baqarah terkait dengan seorang yang terbunuh di kalangan Bani Israel. Untuk menemukan pembunuhnya terjadilah perdebatan sengit di antara mereka. Al-Qur'an mengisahkan peristiwa ini sedemikian, "Lalu Kami berfirman, “Pukullah jenazah itu dengan sebagian anggota (tubuh) sapi betina itu (niscaya ia akan bangun dari kematiannya dan memberitahukan siapa pembunuh yang sebenarnya)!” Demikianlah, Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kekuasaan-Nya agar kamu berpikir."
Terlepas dari lima poin yang disebutkan di atas terdapat poin yang lain yang dapat disaksikan dalam al-Qur'an. Seperti kisah Ashabul Kahfi yang mirip dengan peristiwa raj'at dan kisah empat ekor burung dalam cerita Nabi Ibrahim yang hidup kembali setelah disembelih. Kisah-kisah seperti ini merupakan contoh tentang probabilitas terjadinya hari kebangkitan terkait dengan manusia yang juga dapat disaksikan pada masalah raj'at.[2]
B. Riwayat
Imam Shadiq As terkait dengan masalah raj'at bersabda: "Demi Tuhan! Tidak datang siang dan malam sehingga Tuhan menghidupkan orang-orang mati dan mematikan orang-orang yang hidup. Mengembalikan hak itu kepada ahlinya dan mengokohkan agama-Nya serta menjadikannya sebagai satu-satunya agama di dunia."
Demikian juga, suatu waktu Ma'mun berkata kepada Imam Ridha As: "Wahai Abul Hasan! Bagaimana pendapat Anda tentang raj'at? Imam Ridha As bersabda: "Raj'at itu ada benarnya (akan terjadi). Raj'at ini juga terdapat pada umat terdahulu. Al-Qur'an bertutur kata tentang raj'at dan Rasulullah Saw bersabda: "Apa yang terjadi pada umat terdahulu juga akan terjadi (persis) pada umat ini."[3]
Tentu saja terdapat banyak riwayat terkait dengan hal ini. Namun karena sempitnya ruang dan waktu di sini kita hanya menukil dua riwayat di atas.
Terjadinya Raj'at dari sudut pandang Filsafat dan Akal
Di sini kiranya kita perlu menyebutkan beberapa hal terkait dengan hikmah dan falsafah adanya raj'at:
1. Sampainya pada kesempurnaan
Alam dunia merupakan wahana tempat teraktualisasinya seluruh potensi dan menyempurnannya segala bakat manusia. Manusia sendiri dicipta untuk akhirat supaya seluruh entitas dan maujud terbina dengan baik dan dapat sampai kepada kesempurnaan. Akan tetapi terkait dengan sebagian mukmin sejati lantaran adanya pelbagai halangan dan kematian yang tidak wajar, mereka tidak dapat melanjutkan perjalanannya meniti jalan menuju kesempurnaan. Kebijaksanaan Tuhan menyatakan bahwa mereka kembali ke dunia dan menuntaskan perjalanan mereka untuk sampai kesempurnaan. Sebagaimana Imam Shadiq As bersabda: "Setiap mukmin yang terbunuh akan kembali ke dunia sehingga setelah kehidupan yang baru ia akan mati secara wajar. Dan setiap mukmin yang mati akan kembali ke dunia hingga terbunuh lagi (dan mendapatkan ganjaran syahadah).[4]
2. Ganjaran duniawi
Boleh jadi orang-orang selama hidupnya di dunia terdeprivasi dari hak-hak mereka karena pelbagai alasan dan terbunuh dalam keadaan teraniaya. Tanpa mendapatkan hak mereka, maka kebijaksanaan Tuhan terkait dengan masalah raj'at, keduanya kembali ke dunia supaya orang yang teraniaya (mazhlum) dapat menuntut keadilan dari orang yang menganiaya (zhalim). Dinukil dari Imam Kazhim bahwa beliau bersabda: "Orang-orang yang mati akan kembali ke dunia hingga mereka dapat menuntut balas, siapa pun yang melakukan tindakan aniaya kepadanya maka ia menuntut qishas (balasan) darinya dan barang siapa yang terluka maka seperti itu juga ia akan menuntut. Barang siapa yang terbunuh, maka ia akan menuntut darah dari sang pembunuh dan atas alasan ini musuh-musuhnya juga akan kembali ke dunia sehingga darah yang telah tumpah dapat dibalas dan setelah menuntut balas maka ia akan hidup selama tiga bulan, kemudian setelah itu seluruhnya akan mati pada satu malam. Selagi ia telah menuntut balas atas darahnya yang tumpah dan hatinya riang gembira, musuh-musuhnya akan mendapatkan seburuk-buruknya azab neraka."[5]
Karena itu, tujuan kembalinya dua kelompok ini adalah menuntaskan lingkaran kesempurnaan bagi kelompok pertama dan mendegradasi derajat kehinaan bagi kelompok kedua. Harap diperhatikan bahwa masalah raj'at tidak berlakju secara umum dan hanya terkhusus untuk kaum mukmin sejati dan kaum musyrik nomor wahid, sebagiamana Imam Shadiq As bersabda: "Raj'at tidak berlaku secara umum melainkan terkhusus bagi orang-orang yang telah sampai pada iman dan syirik sempurna."[6]
Telah maklum bahwa dua hal ini merupakan salah satu dari hikmah dan falsafah asasi terjadinya raj'at.
3. Membantu agama dan berpartisipasi dalam membentuk pemerintahan adil semesta
Dengan melihat banyaknya ayat dan riwayat yang menyatakan bahwa agama Islam dan pemerintahan berkeadilan Ilahi melalui Qaim Ali Muhammad (Imam Mahdi) akan tersebar ke seluruh dunia, Allah Swt berfirman, "Sesungguhnya Kami pasti menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari para saksi (bangkit) berdiri (hari kiamat)." (Qs. Ghafir [40]:51)
Dari bentuk lahir ayat ini dipahami bahwa bantuan Ilahi ini akan berlaku secara kolektif bukan per individual. Akan tetapi bantuan semacam ini belum terlaksana dan suatu hari kelak pasti akan terlaksana. Karena Allah Swt tidak pernah menyelisih janji-Nya. Karena itu Imam Shadiq As dalam menafsirkan ayat di atas bersabda: "Demi Allah! Bantuan Ilahi ini adalah raj'at. Karena alangkah banyaknya nabi dan para imam yang terbunuh di dunia ini dan tiada orang yang membantu mereka? Dan masalah ini akan terlaksana dengan raj'at."[7]
Juga dari Imam Baqir As dalam menafsirkan ayat: "Huwalladzi arsala…"(Dia-lah yang telah mengutus rasul-Nya…., Qs. Al-Taubah [9]:33) Maknanya bahwa Allah Swt mengirim rasul-Nya dengan agama yang hak guna membimbing manusia sehingga Dia memenangkannya atas seluruh agama. Imam Baqir As bersabda: Allah akan memenangkan agama hak itu atas agama-agama lainnya dengan perantara raj'at."[8]
Masa terjadinya Raj'at
Terdapat beberapa riwayat terkait dengan masalah ini yang menyatakan bahwa raj'at akan terjadi tidak lama berselang setelah munculnya Imam Mahdi Ajf dan sebelum syahadahnya dan digelarnya hari pembalasan.
Imam Shadiq As bersabda: "Karena masa bangkitnya Imam Mahdi tiba pada bulan Jumadil Akhir dan selama sepuluh hari hujan deras akan turun pada bulan Rajab dimana masyarakat belum pernah menyaksikan hujan sederas itu. Kemudian Allah Swt berkat hujan tersebut menumbuhkan tulang dan daging orang-orang beriman di pekuburan mereka. Aku menyaksikan mereka seolah-olah berasal dari Jahinah[9] dan rambut-rambut mereka digerakkan oleh asap dan debu."[10]
Masalah terakhir yang harus dikemukakan di sini terkait riwayat yang menyatakan bahwa orang yang pertama kali melakukan raj'at adalah Imam Husain As. Dari Imam Husain As sendiri hadis ini dinukil, "Aku adalah orang yang pertama yang terbongkar kuburannya dan aku (akan) keluar dari tanah tersebut. Dan hal ini (terjadi) bersamaan dengan raj'at-nya Amirul Mukminin dan bangkitnya Imam Mahdi As.[11]
Dengan kandungan yang sama sebuah riwayat dinukil dari Imam Shadiq As yang bersabda: "Orang pertama yang akan kembali ke dunia adalah Husain bin Ali As. Beliau akan memimpin pasukan beberapa lama dimana karena rentanya, bulu alisnya menjulur sampai ke matanya."[12] []
[1]. Farhangg-e Mu'in, jil. 2, hal. 1640.
[2]. Tafsir Nemune, jil. 15, hal-hal. 546-557.
[3]. 'Uyun Akhbâr al-Ridhâ (As), 1/201/2, sesuai nukilan dari Mizân al-Hikmah, hadis no. 6924 & 6926.
[4]. Bihâr al-Anwâr, jil. 53, hal. 40.
[5]. 'Ali Dawwani, Mahdi Mau'ud, terjemahan jil. 13, hal. 1188, Dar al-Kitab al-Islamiyah, cetakan ke 27.
[6]. Muhammad Ridha Dhamiri, Raj'at, hal. 55, Nasyr-e Mau'ud, Teheran, cetakan ke-2, 1380 S.
[7]. Syaikh 'Ali Yazdi Hairi, Ilzâm al-Nâshib, Qum, Muassasah Mathbu'at Haq Mubin, 1397 Q
[8]. Bihâr al-Anwâr, jil. 53, hal. 64 .
[9]. Jahineh adalah nama suatu kabilah dan tempat yang jauh dari Madinah. Majma' al-Bahraîn, jil. 6, hal. 230.
[10]. Mizân al-Hikmah, hadis no. 6928.
[11]. Mizân al-Hikmah, hadis no. 6937.
[12]. Mizân al-Hikmah, hadis no. 6935.