Advanced Search
Hits
5931
Tanggal Dimuat: 2008/02/06
Ringkasan Pertanyaan
Mengapa Islam mensyaratkan adanya ijin ayah bagi gadis dalam pernikahan sementara? Namun tidak demikian pada laki-laki?
Pertanyaan
Saya sangat senang untuk mengikuti aturan-aturan yang ada dalam agama Islam, tapi dalam berbagai kesempatan saya merasa tidak bisa menjalankan sebagaimana yang harus saya jalankan, sebagian dalilnya saya terima atau sungguh bagi laki-laki lebih terbuka jalan keluar misalnya dalam pernikahan sementara. Yang menjadi pertanyaan bagi saya adalah apakah bagi seorang gadis tidak memerlukan syarat-syarat tertentu yaitu harus memperoleh ijin dari ayah sehingga bisa melangsungkan pernikahan sementaranya dengan seorang laki-laki. Mengapa bagi laki-laki untuk menjauhkan diri dari dosa, mereka bisa memenuhi kebutuhannya kapan saja, setiap kali mereka mau, tapi bagi gadis yang ingin memenuhi kebutuhannya, suatu kebutuhan yang secara fitrah Tuhan sendiri meletakkan hal itu, merupakan kemaksiatan dan apabila ia tidak melakukannya maka harus menunggu hingga ia menikah. Atau barangkali ketika ayahnya berbalik pandangan dan memberikan ijin untuk memahramkan dengan seseorang yang sudah dikenalnya?
Jawaban Global
Para marja taklid mensyaratkan ijin ayah bagi gadis perempuan dalam pernikahan. Hal ini karena kegadisan dan ifaf (kesucian) merupakan modal mereka namun pada kenyataannya tidak kurang kaum perempuan dengan keikhlasannya sendiri menyatakan rasa cintanya kepada laki-laki dan menganggap laki-laki itu akan menepati janji, padahal ia tidak mengetahui kelakuan-kelakuan tertentu seorang laki-laki sebelum menikah dan setelah menikah baru menyadari ketidaksetiaan dan pengkhianatan laki-laki itu.
Oleh itu, perlu adanya izin ayah atau wali perempuan di satu sisi, dalam rangka memberikan pendapat guna mengetahui dengan baik ciri-ciri laki-laki dan tipu daya mereka, dan di sisi lain, keinginan baik anak gadisnya, dengan syarat tidak menyusahkan seorang gadis atas dapat menikah dengan pasangan pilihannya.
Atas dasar itu, para marja taklid berpandangan bahwa apabila seorang gadis telah menemukan suami yang cocok dan baik baginya yang secara syar’i dan urfi (tradisi masyarakat) sekufu dengannya dan kemaslahatan gadis itu menikah dengannya namun ayah atau kakek dari pihak ayah menghalangi pernikahan itu, maka dalam keadaan ini tidak perlu lagi mendapat ijin dari ayah atau kakek dari pihak ayah.
 
Jawaban Detil
Islam guna memenuhi kebutuhan laki-laki dan perempuan, telah menentukan aturan-aturan dalam pernikahan (daim atau temporal). Pernikahan sementara (mut’ah) adalah pernikahan yang terjadi antara pria dan wanita dimana antara keduanya tidak ada penghalang apapun untuk melangsungkan pernikahan, dengan keridhaan kedua belah pihak, disertai dengan adanya mahar dan sampai batas waktu yang telah ditentukan.
Dari satu sisi, Islam mensyaratkan adanya syarat-syarat dalam pernikahan sementara[1] di antaranya bahwa apabila perempuan itu sudah mencapai baligh dan rasyidah -yaitu mampu menentukan kebaikan kemaslahatan atas dirinya- ingin bersuami, maka apabila ia seorang gadis yang masih perawan maka ia harus mendapat ijin dari ayah atau kakek yang berasal dari pihak ayah.
Apabila ayah atau kakek yang berasal dari pihak ayah itu ghaib, sehingga tidak memungkinkannya untuk memperoleh ijin dan perempuan juga sudah butuh untuk menikah dengan pria pilihannya, maka tidak diperlukan ijin dari ayah atau kakek dari pihak ayah dan juga jika perempuan itu sudah tidak perawan lagi, apabila keperawanannya hilang karena ia telah bersuami, maka tidak diperlukan ijin dari ayah dan kakek.
Namun apabila keperawanannya dikarenakan wathi syubhah[2] atau zina, maka berdasarkan prinsip ihtiyāth mustahab adalah meminta ijin dari walinya.[3] Rasyidah didefinisikan sebagai seorang perempuan yang telah mampu menentukan maslahat/kebaikan untuk dirinya dan memutuskan sesuatu yang jauh dari emosi, perasaan, hawa nafsu, memperhatikan masa depannya sendiri, keluarga, kehormatan dan martabat keluarga.
Adapun seorang perempuan yang akalnya belum matang dan tidak dapat menentukan dan memutuskan masa depannya, tidak mengetahui kebaikan dan kemaslahatan bagi diri, keluarga, walaupun ia telah berumur, maka ia tidak bisa dikatakan sebagai rasyidah dan tidak bisa menikah tanpa ijin dari ayah atau kakek dari pihak ayah.
Dapat dikatakan bahwa kebanyakan fukaha dalam hal ini bersepakat yaitu dalam keadaan dimana ayah atau kakek dari pihak ayah ghaib, jika tidak memungkinkan untuk meminta ijin dari mereka, sementara perempuan itu sudah dalam keadaan harus menikah, atau ia telah menemukan calon suami yang cocok dan sekufu dengannya dari sisi syar’i dan urfi sementara  ayah dan kakek dari pihak ayah, tanpa sebab yang jelas menghalang-halangi pernikahan itu dan menyusahkan pernikahannya, maka tidak perlu lagi meminta ijin dari ayah atau kakek dari pihak ayah.[4]
Adapun mengapa Islam mensyaratkan ijin ayah sebagai syarat dalam pernikahan? Syahid Muthahhari berkenaan dengan hal ini berkata: Falsafah bahwa anak perawanan memerlukan (wajib) –atau paling tidak alangkah baiknya (mustahab) meminta - persetujuan dari ayah sehingga tidak boleh menikah tanpa adanya izin dan persetujuan walinya adalah bukan karena perempuan itu dianggap kurang berpengaruh dan dari sisi kemasyarakatan kurang nilainya jika dibandingkan dengan kaum laki-laki. Apabila karena dua hal ini (kurang berpengaruh atau kurang nilai)  maka apa bedanya antara janda dan perawan dimana janda 16 tahun tidak memerlukan persetujuan dari ayah dan gadis berusia 18 tahun tidak memerlukan persetujuan dari ayah?
Di samping itu, apabila seorang gadis dalam pandangan Islam tidak mampu (atau dipandang tidak berarti) lantas mengapa Islam memberikan kebebasan ekonomi kepada perempuan yang sudah baligh lagi rasyidah dan membenarkan muamalah dengan nominal ratusan juta yang dilakukannya dan tidak lagi memerlukan persetujuan ayah atau saudara atau suaminya? Hal ini memiliki alasan dan falsafah lain yang erat kaitannya dengan psikologi perempuan dan laki-laki. Yaitu terkait dengan tabiat menyunting laki-laki dari satu sisi dan perasaan senang  perempuan kepada kesetiaan dan kejujuran laki-laki dari sisi yang lainnya. Laki-laki adalah hamba syahwat dan perempuan adalah hamba kasih sayang. Hal yang menyebabkan laki-laki tergelincir dan terombang-ambing dari tempatnya adalah syahwatnya dan perempuan menurut pengakuan para psikolog mempunyai kesabaran dan daya tahan yang lebih kuat dari pada laki-laki dalam mengendalikan syahwatnya.
Namun, yang menyebabkan kaum perempuan tergelincir dan terpenjara adalah ucapan rayuan cinta, suka cita, kejujuran, penepatan janji, dan ucapan cinta dari kaum laki-laki.
Di sinilah letak kepercayaan kaum perempuan. Perempuan, selama masih perawan dan sebelum disentuh laki-laki ia akan dengan gampang menerima rayuan laki-laki. Profesor Rick, seorang psikolog Amerika berkata, “Sebaik-baik kata yang bisa diucapkan oleh seorang laki-laki kepada perempuan adalah kekasihku, aku mencintaimu.” Ia juga berkata, “Kebahagiaan bagi seorang wanita adalah ketika ia mendapatkan hati seorang laki-laki dan ketika ia berhasil menjaga laki-laki itu baginya seumur hidupnya.[5] Rasulullah Saw, seorang psikolog Ilahi telah mengatahui hal ini sejak 14 abad yang lalu dan menjelaskannya dengan terang. Nabi Muhammad Saw bersabda: Perkataan laki-laki bahwa kamu mencintainya tidak akan pernah dilupakan oleh perempuan sama sekali”[6] Laki-laki pemburu akan selalu menggunakan perasaan perempuan. Jeratan “Aku cinta kamu” bagi seorang gadis yang tidak mempunyai pengalaman tentang seorang laki-laki merupakan jeratan yang paling baik.
Di sinilah pentingnya bagi seorang perempuan yang belum berpengalaman untuk bermusyawarah dengan ayahnya yang mengetahui perasaan laki-laki dan para ayah hanya menginginkan kebaikan dan kebahagiaan, dan pastinya ia akan tertarik untuk menyetujuinya. Aturan seperti ini tidak merendahkan martabat kaum perempuan, justru ia melindunginya.
Apabila pilihan menikah berada pada seorang gadis perempuan, dan persetujuan ayah bukan merupakan persyaratan bagi sahnya pernikahan, hal itu juga dengan syarat bahwa sang ayah tidak akan menyalah gunakan atau menggunakan selera tertentu yang tidak benar sehingga tidak akan menjadi penghalang bagi pernikahan anak perempuannya, apa salahnya dan apakah bertentangan dengan kebebasan manusia? Hal ini adalah salah satu bentuk kehati-hatian dan kepedulian terhadap kaum perempuan yang belum berpengalaman dan merupakan kecurigaan terhadap tabiat kaum laki-laki.[7] Dengan penjelasan Syahid Muthahhari, salah satu hikmah penting bahwa hukum ini sangat terang di mana mungkin di sini juga terdapat sebab-sebab dan hikmah-hikmah yang lain.
Pada akhirnya sampai kesimpulan bahwa anak muda khususnya para gadis harus mengambil pelajaran dari masalah yang menimpa para pemuda. Betapa banyak pasangan muda yang sedang berada pada puncak kehidupan dengan cinta yang ikhlas dan sepenuhnya namun setelah beberapa lama seiring dengan menurunnya semangatnya karena menghadapi masa depan yang rancu dan tidak jelas, berhadapan dengan kenyataan dan masa depan yang tidak jelas. Berhati-hatilah atas keinginan yang terburu-buru sehingga tidak akan kehilangan pelukan hangat dalam kehidupann keluarga yang bahagia.[iQuest]
Indeks: Syarat ijin wali dalam pernikahan sementara dengan gadis, soal 139 (Site 1226)
 

[1] Pertanyaan 1290 (Site 1275)
[2] Suami menggauli wanita lain yang disangka isterinya.
[3] Taudhih al-Masāil (Al-Muhassyā lil Imām Khomeini), jil. 2, hal. 458-459; Diadaptasi dari pertanyaan 3923
[4] Taudhih al-Masāil (Al-Muhassyā lil Imām Khomeini), jil. 2, hal. 458-459; Pertanyaan no 1483 (Site 1530)
[5] Majalah Zan Ruz, Edisi 90
[6] Al-Kāfi, jil. 5, hal. 569
[7] Nizhām Huquq Zan dar Islām, hal. 93
Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar
Jumlah Komentar 0
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
contoh : Yourname@YourDomane.ext
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
<< Libatkan Saya.
Silakan masukkan jumlah yang benar dari Kode Keamanan

Klasifikasi Topik

Pertanyaan-pertanyaan Acak

Populer Hits

  • Ayat-ayat mana saja dalam al-Quran yang menyeru manusia untuk berpikir dan menggunakan akalnya?
    261167 Tafsir 2013/02/03
    Untuk mengkaji makna berpikir dan berasionisasi dalam al-Quran, pertama-tama, kita harus melihat secara global makna “akal” yang disebutkan dalam beberapa literatur Islam dan dengan pendekatan ini kemudian kita dapat meninjau secara lebih akurat pada ayat-ayat al-Quran terkait dengan berpikir dan menggunakan akal dalam al-Quran. Akal dan pikiran ...
  • Apakah Nabi Adam merupakan orang kedelapan yang hidup di muka bumi?
    246285 Teologi Lama 2012/09/10
    Berdasarkan ajaran-ajaran agama, baik al-Quran dan riwayat-riwayat, tidak terdapat keraguan bahwa pertama, seluruh manusia yang ada pada masa sekarang ini adalah berasal dari Nabi Adam dan dialah manusia pertama dari generasi ini. Kedua: Sebelum Nabi Adam, terdapat generasi atau beberapa generasi yang serupa dengan manusia ...
  • Apa hukumnya berzina dengan wanita bersuami? Apakah ada jalan untuk bertaubat baginya?
    230071 Hukum dan Yurisprudensi 2011/01/04
    Berzina khususnya dengan wanita yang telah bersuami (muhshana) merupakan salah satu perbuatan dosa besar dan sangat keji. Namun dengan kebesaran Tuhan dan keluasan rahmat-Nya sedemikian luas sehingga apabila seorang pendosa yang melakukan perbuatan keji dan tercela kemudian menyesali atas apa yang telah ia lakukan dan memutuskan untuk meninggalkan dosa dan ...
  • Ruh manusia setelah kematian akan berbentuk hewan atau berada pada alam barzakh?
    214943 Teologi Lama 2012/07/16
    Perpindahan ruh manusia pasca kematian yang berada dalam kondisi manusia lainnya atau hewan dan lain sebagainya adalah kepercayaan terhadap reinkarnasi. Reinkarnasi adalah sebuah kepercayaan yang batil dan tertolak dalam Islam. Ruh manusia setelah terpisah dari badan di dunia, akan mendiami badan mitsali di alam barzakh dan hingga ...
  • Dalam kondisi bagaimana doa itu pasti dikabulkan dan diijabah?
    176264 Akhlak Teoritis 2009/09/22
    Kata doa bermakna membaca dan meminta hajat serta pertolongan.Dan terkadang yang dimaksud adalah ‘membaca’ secara mutlak. Doa menurut istilah adalah: “memohon hajat atau keperluan kepada Allah Swt”. Kata doa dan kata-kata jadiannya ...
  • Apa hukum melihat gambar-gambar porno non-Muslim di internet?
    171577 Hukum dan Yurisprudensi 2010/01/03
    Pertanyaan ini tidak memiliki jawaban global. Silahkan Anda pilih jawaban detil ...
  • Apakah praktik onani merupakan dosa besar? Bagaimana jalan keluar darinya?
    168066 Hukum dan Yurisprudensi 2009/11/15
    Memuaskan hawa nafsu dengan cara yang umum disebut sebagai onani (istimna) adalah termasuk sebagai dosa besar, haram[1] dan diancam dengan hukuman berat.Jalan terbaik agar selamat dari pemuasan hawa nafsu dengan cara onani ini adalah menikah secara syar'i, baik ...
  • Siapakah Salahudin al-Ayyubi itu? Bagaimana kisahnya ia menjadi seorang pahlawan? Silsilah nasabnya merunut kemana? Mengapa dia menghancurkan pemerintahan Bani Fatimiyah?
    158102 Sejarah Para Pembesar 2012/03/14
    Salahuddin Yusuf bin Ayyub (Saladin) yang kemudian terkenal sebagai Salahuddin al-Ayyubi adalah salah seorang panglima perang dan penguasa Islam selama beberapa abad di tengah kaum Muslimin. Ia banyak melakukan penaklukan untuk kaum Muslimin dan menjaga tapal batas wilayah-wilayah Islam dalam menghadapi agresi orang-orang Kristen Eropa.
  • Kenapa Nabi Saw pertama kali berdakwah secara sembunyi-sembunyi?
    140903 Sejarah 2014/09/07
    Rasulullah melakukan dakwah diam-diam dan sembunyi-sembunyi hanya kepada kerabat, keluarga dan beberapa orang-orang pilihan dari kalangan sahabat. Adapun terkait dengan alasan mengapa melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi pada tiga tahun pertama dakwahnya, tidak disebutkan analisa tajam dan terang pada literatur-literatur standar sejarah dan riwayat. Namun apa yang segera ...
  • Kira-kira berapa usia Nabi Khidir hingga saat ini?
    134012 Sejarah Para Pembesar 2011/09/21
    Perlu ditandaskan di sini bahwa dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara tegas nama Nabi Khidir melainkan dengan redaksi, “Seorang hamba diantara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Qs. Al-Kahfi [18]:65) Ayat ini menjelaskan ...