Please Wait
14244
Dalam beberapa riwayat kami (Syiah) disebutkan bahwa Fatimah binti al-Husain adalah istri dari anak pamannya yaitu Hasan bin al-Hasan al-Mujtaba As yang terkenal sebagai Hasan al-Mutsanna (Hasan Kedua).
Mungkin saja bahwa di antara anak-anak Fatimah Sa juga, karena tidak menjalankan rambu-rambu syariat dan batasan-batasan Ilahi juga mendapatkan laknat Allah Swt. Di samping itu, kami meyakini bahwa meski apabila sekelompok seperti Bani Israel dan Bani Umayah mendapatkan laknat Allah Swt, namun kemungkinan untuk mencapai keselamatan dan kejayaan sebagian orang dari kelompok ini juga tetap ada dan kita tidak boleh memandang seluruh orang yang ada dalam kelompok itu dengan satu pandangan (seluruhnya terlaknat).
Harus kita camkan bahwa penafsiran syajarah mal’unah yang disebutkan dalam al-Quran ditujukan untuk Bani Umayah tidak terkhusus semata pada Syiah karena terdapat banyak riwayat dalam hal ini pada literatur-literatur Ahlusunnah.
Dalam menjawab pertanyaan di atas kiranya Anda perlu memperhatikan beberapa poin berikut:
Pertama: Apakah Fatimah binti al-Husain As adalah istri Abdullah bin Amru bin Usman?
Kedua: Apakah benar bahwa Fatimah Sa memiliki seorang cucu terlaknat?
Ketiga: Apakah yang dimaksud dengan syajarah mal’unah (pohon terlaknat) dalam al-Quran itu adalah Bani Umayah dan apakah hanya Syiah yang meyakini penafsiran ini?
Keempat: Apakah apabila setiap kelompok yang mendapatkan laknat maka seluruh anggotanya juga mendapatkan laknat dan tidak satu pun yang mendapatkan keselamatan?
Nah sekarang secara berurut kami akan mengkaji beberapa poin di atas sebagai berikut:
- Apa yang terdapat pada sebagian riwayat kami menunjukkan bahwa Fatimah binti al-Husain As adalah istri dari anak pamannya yaitu Hasan bin al-Hasan bin Imam Mujtaba As yang lebih dikenal sebagai Hasan al-Mutsanna[1] (Hasan Kedua) dan dari beliau juga memiliki beberapa anak seperti Abdullah bin al-Hasan yang menukil riwayat-riwayat dari ibunnya Fatimah,[2] namun pada sebagian literatur Ahlusunnah terdapat beberapa riwayat yang menunjukkan pernikahan beliau dengan Abdullah bin Amru bin Usman,[3] yang boleh jadi pernikahan ini berlangsung setelah wafatnya suami beliau dan bagaimanapun tidak berpengaruh pada jawaban kami. Secara global kami terima bahwa suatu waktu Fatimah binti al-Husain adalah istri salah seorang cucu dari Usman bin Affan.
- Setiap orang yang tidak memperhatikan instruksi-instruksi Allah Swt dan melanggar perintah-perintah-Nya patut mendapat laknat.[4] Hal ini juga berlaku bagi cucu-cucu Bunda Fatimah Zahra Sa; meski dengan segala penghormatan kami kepada beliau namun cucu-cucu beliau tidak terkecuali dalam masalah ini. Sebagai contoh, apabila seseorang berasal dari keturunan Fatimah Sa, membunuh seorang Mukmin dengan sengaja, sesuai dengan ayat 93 surah al-Nisa[5] akan mendapatkan laknat. Berdasarkan hal itu, Syiah meski meyakini kedudukan khusus dan unggul para sayid, namun tidak pernah berpandangan bahwa adanya hubungan nasab dengan Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As lainnya mendatangkan kekebalan dan imunitas hukum. Mereka, sebagaimana Muslim lainnya, harus menjalankan ketakwaan dan selain itu mereka akan mendapatkan hukuman. Sabda Imam Kedelapan As (Imam Ridha) kepada saudaranya Zaid menunjukkan kemestian dan keharusan takwa bagi putra-putri Bunda Fatimah As. Zaid dalam kebangkitannya melawan khalifah telah banyak berlaku ekstrem dengan membakar rumah orang-orang (tak bersalah) pada masa-masa kebangkitannya. Atas dasar itu, Zaid dikenal sebagai Zaid al-Nar (Zaid yang menyulut api). Imam Ridha As mencelanya dan bersabda, “Apakah omongan sebagian orang-orang bodoh Kufah yang berkata disebabkan kesucian Fatimah As maka api neraka diharamkan bagi keluarganya yang membuatmu congkak? Omongan orang-orang Kufah ini meski ada benarnya namun yang dimaksud dengan keluarga Fatimah Sa hanyalah (anak-anak langsung darinya) yaitu Imam Hasan dan Imam Husain As. Apabila engkau menyangka bahwa meski engkau melakukan dosa-dosa besar maka engkau tetap akan masuk surga dan (ayah kita) Musa bin Ja’far As dengan ketaatannya kepada Allah Swt juga akan masuk surga, tentu saja kedudukanmu di sisi Tuhan lebih mulia ketimbang ayahmu! (Karena engkau tanpa sedikit pun usaha akan memasuki surga sementara Imam Kazhim As dengan segala ibadah dan ketaatannya). Ketahuilah bahwa hanya dengan ketaatan manusia dapat memperoleh apa yang ada di sisi Allah Swt.”[6]
Kendati disebabkan oleh pelbagai kondisi yang berlaku pada masa itu, kita tidak ingin memberikan penilaian atas perilaku Zaid, namun tuturan Imam Ridha As adalah dalil bahwa dosa dan maksiat, meski dengan status sebagai putra-putri Fatimah As, juga akan menjauhkan manusia dari Allah Swt yang merupakan makna laknat itu sendiri; karena para ahli bahasa menafsirkan laknat sebagai kondisi yang jauh dari Tuhan.[7] Karena itu, boleh jadi di antara putra-putri Fatimah Zahra Sa juga terdapat orang-orang yang mendapat laknat (dari Allah Swt), meski karena tiadanya banyak keterangan tentang kehidupan Muhammad bin Abdullah bin Amru, kita tidak dapat memandangnya sebagai bagian dari kelompok ini.
- Apabila kita menelaah literatur tafsir Ahlusunnah dan mengkaji sebab-sebab pewahyuan ayat 60 surah al-Isra[8] maka kita tidak lagi dengan mudah berkata bahwa hanya Syiah yang menafsirkan ayat, “wa al-syajarah al-mal’unah fi al-Qur’an” adalah Bani Umayyah. Ibnu Abi Hatim yang merupakan salah satu ahli tafsir (mufassir) Ahlusunnah (abad empat Hijriah) dalam kitab tafsirnya yang belakangan diterbitkan di Saudi Arabi – yang tentu saja bukan pembela keyakinan Syiah, menjelaskan sebuah riwayat, terkait dengan ayat ini, bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Saya melihat Bani Umayah dalam mimpi duduk di atas mimbar-mimbar dan tidak lama lagi mereka akan berkuasa atas kalian dan kalian akan melihat mereka tidak memerintah dengan baik. Buah dari mimpi ini, Rasulullah Saw sangat bersedih dan Allah Swt mewahyukan ayat ini untuk menghibur beliau.[9] Dalam kitab-kitab tafsir Ahlusunnah lainnya juga terdapat banyak riwayat yang dijelaskan terkait dengan hal ini,[10] meski sebagian mufassir disebabkan oleh sikap fanatik, tidak ingin mempercayai kenyataan ini,[11] hanya saja dengan menelaah seluruh kitab-kitab tafsir ini maka kita akan memahami kenyataan ini bahwa penafsiran syajarah al-mal’unah disandarkan kepada Bani Umayah atau Bani Hakam (Marwan) yang merupakan salah satu cabang Bani Umayah, sebagai salah satu sisi tafsir yang dijelaskan. Atas dasar itu, harus dikatakan bahwa penafsiran seperti ini tidak terbatas pada Syiah semata karena penafsiran syajarah al-mal’unah untuk Bani Umayah ini juga disebutkan pada riwayat-riwayat Ahlusunnah.
- Meski syajarah al-mal’unah kami tafsirkan sebagai Bani Umayah, namun kami tidak yakin bahwa setiap kelompok dan komunitas yang mendapat laknat Allah Swt mencakup seluruh anggota komunitas tersebut dan seluruh anggota yang termasuk dalam komunitas tersebut sepanjang hayat dikandung badan hingga hari Kiamat, harus menantikan api neraka jahannam; karena pada dasarnya pemikiran seperti ini pada akhirnya berujung pada Determinisme (fatalisme) dan Anda tahu bahwa konsep Determenisme tertolak dalam mazhab Syiah. Berbanding terbalik dengan sebagian mazhab Ahlusunnah seperti Asyairah yang meyakini bahwa Tuhan dapat memaksa seseorang untuk melakukan sebuah perbuatan dan kemudian dikarenakan perbuatan itu sendiri orang tersebut akan ditanya dan siksa, Syiah dan mazhab lain Ahlusunnah seperti Muktazilah meyakini keadilan Ilahi (al-‘adl Ilahi) yang terkenal sebagai aliran Adliyah yang sesuai dengan keyakinan ini, Syiah tidak dapat menghukumi seluruh orang yang tergabung dalam satu komunitas, tanpa memandang amalan-amalan personalnya, sebelumnya telah ditentukan (determined) pantas menerima azab neraka; karena hal ini bertentangan dengan keadilan Tuhan.
Al-Quran juga menyokong gagasan seperti ini dan sebagai contoh kita membaca dalam al-Quran tentang sebagian orang Yahudi, “Dan mereka (dengan niat mengejek) berkata, “Hati kami tertutup (dan tidak pernah memahami semua ucapanmu).” Tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka; maka sangat sedikit dari mereka yang beriman.” (Qs. Al-Baqarah [2]:88) atau pada ayat lainnya, “Yaitu orang-orang Yahudi. Mereka merubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata, “Kami mendengar, tetapi kami tidak mau menurutinya.” Dan (mereka mengatakan pula), “Dengarlah”, sedang kamu sebenarnya tidak mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan), “Râ‘inâ”, dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan, “Kami mendengar dan patuh, dengarlah, dan perhatikanlah kami”, tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat. Akan tetapi, Allah mengutuk mereka karena kekafiran mereka. Karena itu, mereka tidak beriman kecuali jumlah yang sedikit (dari mereka).” (Qs. Al-Nisa [4]:46)
Dengan mencermati ayat-ayat al-Quran ini dapat kita pahami bahwa bahkan apabila sekelompok khusus masyarakat seperti Bani Israel mendapatkan laknat Allah Swt, tidaklah demikian bahwa mereka tidak lagi memperoleh kemungkinan untuk beriman, melainkan hanya beberapa persen kuantitas orang beriman yang akan berkurang. Sehubungan dengan Bani Umayah juga dapat kita pandang sama bahwa sekelompok dari mereka lantaran mengusik dan mengganggu Rasulullah Saw dan keluarganya yang suci, sama posisinya dengan Bani Israel mendapatkan laknat dari Allah Swt yang tidak akan beriman kepada Allah Swt kecuali segelintir orang di antara mereka.
Atas dasar itu, kita saksikan bahwa pada Bani Umayah terdapat orang-orang seperti Khalid bin Sa’id bin al-Ash yang meski terdapat penentangan sengit kepada Rasulullah Saw dari kepala sukunya yaitu Abu Sufyan namun ia adalah termasuk orang-orang pertama yang beriman kepada Rasulullah Saw[12] dan termasuk sebagai orang-orang yang menyertai dan membela Amirul Mukminin Ali As sedemikian sehingga pada saat Ali bin Abi Thalib mengemban suatu tugas pada masa Rasulullah Saw, beliau menjadikan Khalid sebagai pandu pasukannya.[13] Di samping itu, setelah terjadinya peristiwa Saqifah, Khalid adalah salah seorang yang melontarkan protes terhadap peristiwa ini dan membela Imam Ali As. Sebagai balasan dari pembelaannya, Imam Ali As juga menyampaikan ucapan terima kasih atas tindakannya itu.[14] Sewaktu di Kufah Khalid juga menyertai Imam Ali As.[15] Apakah menurut Anda Syiah meyakini bahwa orang ini juga patut mendapat laknat hanya karena ia adalah salah seorang anggota keluarga Bani Umayah? Tentu Syiah tidak berpikir demikian. Bahkan Syiah meyakini bahwa boleh jadi orang-orang beriman dan bertakwa juga dapat ditemukan di antara Bani Umayah, meski kebanyakan dari mereka berada pada jejeran terdepan menentang Islam. Orang-orang seperti Abu Sufyan yang dalam banyak peristiwa berperang melawan Nabi Saw dan anaknya Muawiyah mengangkat senjata melawan Amirul Mukminin Ali As yang merupakan orang pertama memeluk Islam dan saudara Rasulullah Saw serta meracun salah seorang cucu Rasulullah Saw yaitu Imam Hasan Mujtaba As. Lebih parah lagi dari keduanya, Yazid bin Muawiyah memerintahkan pasukannya untuk membunuh cucu lain Rasulullah Saw yaitu Imam Husain As. Sepanjang perjalnan sejarah, para khalifah Bani Umayah lainnya, selain Umar bin Abdulaziz, senantiasa mengganggu dan menyakiti keturunan Rasulullah Saw. Apakah semua kejahatan dan tindak kriminal ini tidak kalah dengan kejahatan dan tindak kriminal Bani Israel sehingga patut mendapat laknat Allah Swt? Dan kemudian meragukan bahwa Bani Umayah tidak patut mendapat laknat?
Kembali kami tegaskan bahwa terlaknatnya kelompok dan komunitas ini, tidak menjadi dalil bahwa kami juga meyakini seluruh orang yang tergabung dalam komunitas ini tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh keselamatan dan kejayaan, sebagiamana kaitannya dengan Bani Israel juga, tentu saja kami dan kalian tidak memiliki keyakinan seperti ini.
Akhir kata, kami berharap bahwa semoga dengan apa yang diuraikan di atas, Anda telah memperoleh jawaban dari pertanyaan Anda. [iQuest]
Indeks Terkait: Pertanyaan 928.
[1]. Syaikh Mufid, al-Irsyâd, jil. 2, hal. 25, Kongre Syaikh Mufid, Qum, 1413 H.
[2]. Muhammad bin Ya’qub Kulaini, al-Kâfi, jil. 2, hal. 239, Riwayat 29, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 S.
[3]. Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balâghah, jil. 15, hal. 195, Kitabkhane Ayatullah Mar’asyi Najafi, Qum, 1404 H.
[4]. “Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh, memutuskan apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mengadakan kerusakan di muka bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahanam).” (Qs. Al-Ra’ad [13]:25); “Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh, memutuskan apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mengadakan kerusakan di muka bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahanam).” (Qs. Al-Baqarah [2]:161); “Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Qs. Al-Nisa [4]:93)
[5]. Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Qs. Al-Nisa [4]:93)
[6]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 49, hal. 217, Muassasah al-Wafa, Beirut, 1404 H.
[7]. Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, jil. 13, hal. 387.
[8]. “Dan (ingatlah) ketika Kami wahyukan kepadamu, “Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi seluruh manusia. Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon kayu yang terkutuk dalam Al-Qur’an. Dan Kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka.” (Qs. Al-Isra [17]:60)
[9]. Ibnu Abi Hatim, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhim, jil. 7, hal. 2336, Maktaba Nizar al-Mustafa al-Baz, Arab Saudi, 1419 H.
[10]. Ibnu Jarir Thabari, Jâmi’ al-Bayân, jil. 15, hal. 77, Dar al-Ma’rifah, Beirut, 1412 H; Tafsir Qurthubi, jil. 11, hal. 282 – 283, Intisyarat Nasir Khusruw, Teheran, 1364 S; Zamakhsyari, Tafsir Kasyyâf Zamakhsyâri, jil. 2, hal. 676 dan lain sebagainya, Dar al-Kitab al-‘Arabi, Beirut, 1407 H.
[11]. Ibnu Katsir Dimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir Dimasyqi, jil. 5, hal. 85, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, 1419 H.
[12]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 18, hal. 229, Muassasah al-Wafa, Beirut, 1404 H.
[13]. Ibid, jil. 21, hal. 356.
[14]. Ibid, jil. 28, hal. 201-202 demikian juga hal 210.
[15] . Ibid, jil. 41, hal. 257.