Please Wait
13721
Imam Ali As tidak berkata demikian bahwa kaum lelaki lebih tinggi dan lebih unggul dari kaum perempuan baik dari sisi akal juga dari sisi perasaan. Apa yang disebutkan oleh Imam Ali As tentang kurangnya akal perempuan. Apabila penyandaran tuturan Baginda Ali As ini ada benarnya, maka hal itu terkait dengan salah satu peristiwa khusus (perang Jamal) dan bukan merupakan satu hukum universal ihwal seluruh kaum perempuan. Sebagaimana pada sebagian perkara, sekelompok orang dari kaum lelaki juga mendapatkan kritikan. Adanya orang-orang jenius dari kalangan perempuan atau lebih berakal daripada lelaki pada masanya; seperti Hadhrat Khadijah Khubra Sa, Hadhrat Fatimah Sa dan lain sebagianya merupakan bukti yang baik bagi klaim ini.
Namun terdapat beberapa kemungkinan lainnya sehubungan dengan ucapan Baginda Ali As ini. Misalnya bahwa yang dimaksud Imam Ali As di sini adalah akal kalkulatif atau akal sosial, bukan akal valuatif yang mendekatkan manusia kepada Allah Swt dan meraih pelbagai makam spiritual. Dalam akal valuatif ini, tidak terdapat perbedaan antara perempuan dan lelaki. Atau kemungkinan lainnya adalah bahwa Imam Ali As ingin menyatakan bahwa dari sisi tipologi kejiwaan, perasaan-perasaan perempuan lebih mendominasi atas akalnya sehingga apabila tidak demikian adanya maka perempuan tidak dapat menunaikan tugas-tugas materialnya dan karena itulah kaum lelaki berada pada sisi berlawanan di hadapan kaum perempuan. Artinya akal lelaki lebih mendominasi daripada perasaannya. Dan hal ini merupakan perbedaan-perbedaan pada sistem penciptaan (takwini) yang sesuai dengan hikmah dan kebijaksanaan Ilahi. Adanya perbedaan-perbeaan ini merupakan suatu hal yang mesti ada. Karena itu, Baginda Ali As tidak berada pada tataran ingin memberikan kredit poin dan lebih memilih salah satunya atas yang lain, melainkan pada konteks ingin memberikan laporan sebuah reportase faktual penciptaan (takwini).
Sebelum menjawab inti pertanyaan ada baiknya kita memperhatikan beberapa poin berikut ini:
1. Peran tak terbantahkan dan determinan kaum perempuan dalam mendidik dan membina manusia dalam masyarakat sebagai ibu atau istri dan mitra kehidupan baik dalam suka atau pun dalam duka merupakan sebuah persoalan yang tidak dapat diingkari begitu saja. Sedemikian sehingga al-Qur’an menempatkan ketaatan kepada orang tua setelah ketaatan kepada Allah Swt tanpa membedakan antara pria dan wanita (ayah dan ibu). Rasulullah Saw juga sangat menaruh hormat kepada Hadhrat Khadijah Sa dan Hadhrat Fatimah Sa. Hal ini merupakan sebuah hakikat yang dijelaskan dan ditegaskan oleh Imam Khomeini, bapak pendiri Republik Islam Iran, “Sejarah Islam adalah bukti atas pelbagai penghormatan yang tidak terkira Rasulullah Saw kepada Hadhrat Fatimah untuk menunjukkan bahwa perempuan merupakan sosok besar dan spesial di tengah masyarakat yang perannya sebanding dengan peran kaum lelaki.[1]
2. Pemikiran sebanding dan sederajatnya kuiditas (esensi) perempuan dan lelaki merupakan pemikiran Qur’ani yang dapat disimpulkan dari ayat-ayat Ilahi. Perempuan dalam pandangan al-Qur’an, pada dimensi spritiual dan fisikal diciptakan dari esensi yang sama dengan esensi lelaki. Keduanya berasal dari jenis esensi dan kuiditas yang sama.
Al-Qur’an menyatakan, “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu.” (Qs. Al-Nisa [4]:1) dan pada ayat lainnya, “Dia-lah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu.” (Qs. Al-A’raf [7]:189) Pada kedua ayat al-Qur’an ini, perempuan dari sudut pandang nilai kemanusiaan sama, setara dan ekual dengan lelaki. Oleh itu, lelaki sama sekali tidak memiliki keunggulan atas perempuan dalam hal ini. Ruh manusia yang membentuk hakikat kediriannya bukan badannya. Kemanusiaan manusia dicetak oleh jiwanya. Bukan raga juga bukan rangkapan raga dan jiwanya.[2]
Karena itu, Anda tidak boleh mengenal keduanya dari jenis kelamin kelaki-lakiannya dan keperempuanannya, melainkan dari sisi kemanusiaannya. Demikian juga, perempuan dalam pemikiran Qur’ani, sepantaran dengan lelaki, memiliki potensi untuk meraih kesempurnaan. Dalam pancaran pengenalan dan amalan, perempuan dapat mendaki dan melewati tangga-tangga kesempurnaan. Al-Qur’an tatkala bertutur kata ihwal pelbagai kesempurnaan dan nilai-nilai menjulang yang dicapai manusia, memperlakukan kaum perempuan sama dan setara dengan kaum lelaki.[3] Al-Qur’an tidak hanya menegaskan persamaan antara kaum perempuan dan lelaki dalam hakikat kemanusiaan, bahkan pada asasnya memandangnya sebagai salah satu tanda dan ayat Ilahi, dan kesamaan ini yang menjadi benih untuk memperoleh ketenangan, harmoni dan cinta kasih.[4]
Berdasarkan paradigma inilah Imam Khomeini Ra, bapak pendiri Republik Islam Iran, meyakini persamaan hak-hak azasi manusia antara perempuan dan lelaki. Beliau dalam hal ini berujar, “Dari sudut pandang hak-hak kemanusiaan, tidak terdapat perbedaan antara perempuan dan lelaki; karena keduanya adalah manusia. Perempuan juga memilik hak untuk menentukan nasibnya sebagaimana lelaki, bahkan pada sebagian perkara terdapat perbedaan antara perempuan dan lelaki yang tidak ada kaitannya dengan nilai kemanusiaan mereka.”[5]
3. Tidak satu pun riwayat atau khutbah dari Imam Ali As yang menyebutkan bahwa kaum lelaki lebih tinggi dan unggul atas kaum perempuan baik dari sisi akal atau pun perasaan.
Apa yang disandarkan kepada Imam Ali As adalah bahwa kaum perempuan lebih tinggi dan unggul atas kaum lelaki dari sudut pandang perasaan, emosi dan afeksi.
Adapun yang disampaikan Imam Ali As pada khutbah kedelapan puluh (87) Nahj al-Balâgha, terkait dengan kurangnya akal perempuan dapat dikaji dan ditelusuri dari beberapa sisi:
Pertama, dengan asumsi bahwa penyandaran riwayat kepada Imam Ali As ini ada benarnya maka harus harus dikatakan bahwa hal ini bukan merupakan satu hukum universal dan mencakup seluruh kaum perempuan. Dari dokumen-dokumen sejarah dapat disimpulkan bahwa khutbah ini berkaitan dengan peristiwa pasca perang Jamal dan dalam perang ini, Aisyah adalah salah seorang yang berpengaruh di tengah masyarakat. Sejatinya Thalha dan Zubair memanfaatkan status sosial Aisyah sebagai istri Rasulullah Saw dan mengusung peperangan melawan pemerintahan sah Baginda Ali As di Basrah.
Imam Ali pasca kekalahan musuh dan akhir peperangan, menyampaikan khutbah yang dimaksud dalam mengkritisi perempuan.[6] Karena itu, dengan memperhatikan beberapa indikasi dan bukti-bukti penting yang menyatakan bahwa Imam Ali As di sini tidak mengisahkan sebagian khusus perempuan bukan seluruh kaum perempuan di alam semesta; karena tanpa ragu terdapat perempuan-perempuan teladan dan jenius serta lebih berakal dari kaum lelaki pada masanya. Siapa yang dapat mengingkari akal dan taktik kaum perempuan seperti Hadhrat Khadijah Sa, Hadhrat Fatimah As, Hadhrat Zainab Sa dan para perempuan besar sejarah dalam memajukan Islam dan perlawanan mereka di samping kaum lelaki dalam memajukan dan meninggikan kalimat tauhid. Karena itu, bagaimana dapat dikatakan bahwa maksud Imam Ali As dari khutbah semacam ini adalah mengkritik dan mencela seluruh kaum perempuan (jenis perempuan)?
Di samping itu, Baginda Ali As dalam sebagian masalah mengeluhkan kelemahan akal kaum lelaki Kufah dan Basrah. Beliau menyampaikan beberapa hal dalam mencela dan menyalahkan mereka. Sebagai contoh, Baginda Ali As dalam khutbah empat belas (14) Nahj al-Balâgha bersabda, “Akal kalian telah ringan dan pikiran-pikiran kalian konyol.”[7]
Pada khutbah tiga puluh empat (34), Imam Ali As bersabda, “Celakalah kalian (kaum lelaki)... Kalian tidak menggunakan akal kalian..”[8]
Pada khutbah sembilan puluh tujuh (97), Imam Ali As bersabda, “Wahai orang-orang yang badan-badannya hadir namun akal-akal mereka gaib (tidak memiliki akal)..”[9]
Dalam khutbah seratus tiga puluh satu (131) disebutkan, “Wahai (manusia dengan) pikiran-pikiran yang berbeda dan hati yang terpecah, yang jasadnya hadir, tetapi akalnya tidak...”[10]
Dalam beberapa hal ini, Imam Ali dengan jelas mencela sebagian lelaki dan memperkenalkan mereka sebagai orang yang kurang akal dan ringan pikirannya. Sementara terdapat banyak lelaki dan pria alim dari Kufah dan Basrah serta mempersembahkan banyak ulama kepada dunia Islam.
Dengan kata lain, pelbagai kejadian dan peristiwa sejarah dalam satu tingkatan tertentu tersedia ruang untuk dipuji dan pada tingkatan lainnya tersedia ruang untuk mencela dan mengkritisinya.[11] Setelah berlalunya waktu tidak lagi tersisa ruang untuk memuji juga untuk mencela dan mengkritisi.[12] Karena itu, pelbagai celaan yang disebutkan dalam Nahj al-Balâgha tentang perempuan atau lelaki Kufah dan Basrah sebenarnya merupakan satu proposisi personal (qadhiyah syakhshiyah).[13]
Bukti lainnya terdapat riwayat yang disandarkan kepada Imam As terkait dengan kurangnya akal kebanyakan manusia. Dalam sebuah tuturan, Baginda Ali As bersabda, “Rasa takjub manusia (ego sentris) kepada dirinya merupakan pertanda lemah dan kurangnya akalnya.”[14] Dalam hadis ini dan hadis-hadis lainnya,[15] hal-hal seperti ego sentris, syahwat, mengikut hawa nafsu dan sebagainya dipandang sebagai faktor penyebab kurangnya akal. Karena itu, mungkin saja penyandaran kurangnya akal perempuan juga bersumber dari faktor ini. Dan yang dimaksud di sini adalah adanya beberapa faktor yang menyebabkan kurangnya akal mereka khususnya pada masa tersebut. Faktor-faktor seperti ini karena tidak bersifat esensial dan bukan merupakan tabiat wanita maka hal itu dapat dihilangkan dengan pendidikan dan pengelokan jiwa.
Sejatinya celaan-celaan perempuan seperti ini, tidak berpulang pada inti esensi dan kuiditas perempuan, sebagaimana pelbagai celaan kepada lelaki tidak berkaitan dengan inti esensi dan kuiditas mereka. Di samping itu, riwayat-riwayat seperti ini, pada umumnya memiliki sisi edukatif (pendidikan) dan premonitif (peringatan). Artinya peringatan kepada kaum lelaki untuk tidak berkepala besar di hadapan pelbagai instruksi dan keinginan warna-warni perempuan lantaran boleh jadi akan membuat mereka terjerembab dalam pelbagai kerugian dan konsekuensi buruk lainnya serta mengandung pesan hingga batasan tertentu bahwa kaum lelaki harus menjaga mental mandirinya. Terutama pada kondisi-kondisi tertentu, seperti perang dan pelbagai ketidaknyamanan lantaran mengikuti pikiran dan hawa nafsu akan menyebabkan terjungkal dan lemahnya mereka. Hal ini sesuai dengan kondisi-kondisi zaman Amirul Mukminin Ali As.[16]
Kedua, dalam suatu ungkapan dapat dikatakan bahwa akal terdiri dari dua jenis:
1. Akal kalkulatif atau akal sosial.
2. Akal valuatif (nilai).
Boleh jadi bahwa yang dimaksud oleh Imam Ali As terkait dengan keunggulan akal kaum lelaki atas kaum perempuan pada akal kalkulatif bukan akal valuatif. Dengan kata lain, keunggulan yang bersumber dari pelbagai perbedaan yang terdapat pada pria dan wanita hanyalah pada akal kalkulatif. Adapun akal valuatif yang menyebabkan kedekatan kepada Allah Swt dan surga dapat diraiih melalui akal valuatif ini.[17] Karena itu, tidak terdapat perbedaan antara pria dan wanita pada akal valuatif.[18]
Ketiga, apa pun yang kita ingkari namun kita tidak dapat mengingkari hakikat ini bahwa antara dua jenis, baik dari sisi ragawi atau pun dari sisi ruhaninya terdapat banyak perbedaan yang telah banyak dibahas dan diulas pada banyak buku dan kita tidak akan mengulangnya di sini. Pendeknya dari semua itu bahwa karena perempuan merupakan basis keberadaan dan kemunculan manusia, perkembangannya juga berada dalam pangkuan perempuan, lantaran secara ragawi, kondisi fisik perempuan lebih cocok dan memang telah diciptakan untuk mengandung (hamil), membina dan mendidik generasi umat manusia selanjutnya. Dari sisi ruhani, perempuan juga memiliki saham yang lebih banyak pada hal-hal yang berkenaan dengan perasaan dan afeksi.
Karena itu, kedudukan ibu, pendidikan anak dan pembagian kasih dan cinta di antara anggota keluarga diserahkan kepada perempuan.[19] Dengan kata lain, sebagaimana yang telah dijelaskan pada pendahuluan bahwa tidak terdapat perbedaan antara pria dan wanita dalam masalah identitas nilai-nilai (values) kemanusian. Namun sesuai dengan tuntutan jenis kelamin mereka beramal secara berbeda-beda. Allah Swt menciptakan pelbagai entitas berdasarkan hikmah dan sesuai dengan situasi dan tanggung jawab yang dipikulnya. Pria dan wanita juga tidak terkecualikan dari kaidah ini.
Pria dan wanita berbeda dari beberapa sisi antara satu dengan yang lain seperti pada sisi jasmani, psikologi, perasaan dan afeksi. Kecintaan kaum wanita kepada keluarga dan perhatian bawaannya terhadap institusi keluarga lebih banyak daripada kaum pria.
Perempuan hatinya lebih lembut ketimbang laki-laki. Sabda Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As berbicara tentang perbedaan-perbedaan kejiwaan dan ragawi antara pria dan wanita. Sejatinya Imam Ali ingin menyampaikan bahwa perasaan-perasaan perempuan lebih mendominasi ketimbang akalnya yang apabila bukan karena dominasi perasaan ini maka ia tidak dapat menunaikan tugasnya sebagai seorang ibu dan dari sisi ini pria berada pada titik berlawanan wanita. Akal pria lebih mendominasi atas perasaannya dan perbedaan-perbedaan pada penciptaan berdasarkan hikmah Ilahi. Adanya pelbagai perbedaan ini adalah suatu hal yang mesti. Karena itu, Baginda Ali As tidak berada pada tataran memberikan kredit poin kepada salah satunya, melainkan pada konteks memberikan reportase sebuah fakta penciptaan bahwa perasaan-perasaan dan afeksi-afeksi kendati pada tempatnya merupakan sesuatu yang ideal namun pada pelbagai pengambilan keputusan yang menentukan keduanya tidak boleh didengarkan. [IQuest]
[1]. Shahife-ye Nûr, jil. 14, hal. 200.
[2]. Zan dar Âiyine Jalâl wa Jamâl, Abdullah Jawadi Amuli, hal. 76.
[3]. “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang jujur, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Qs. Al-Ahzab [33]:35); “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang, dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka, dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya sebagai pahala di sisi Allah. Dan di sisi Allah terdapat pahala yang baik.” (Qs. Ali Imran [3]:195)
[4]. “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Qs. Rum [30]:21)
[5]. Shahife-ye Nûr, jil. 3, hal. 49.
[6]. Khursyid bi Ghurub (terjemahan Nahj al-Balâgha), Miadikha, Khutbah 79.
[7]. Nahj al-Balâgha, Khutbah 14.
"خفّت عقولکم و سفهت حلومکم...".
[8]. Nahj al-Balâgha, Khutbah 34.
"افّ لکم... فأنتم لا تعقلون...".
[9]. Nahj al-Balâgha, Khutbah 97.
"أیها القوم الشاهدة أبدانهم الغائبة عنهم عقولهم..."
[10]. Nahj al-Balâgha, Khutbah 131.
"أیتها النفوس المختلفة و القلوب المتشتته الشاهدة أبدانهم و الغائبة عنهم عقولهم..."
[11]. Artinya pujian-pujian dan celaan-celaan menjadi sebab kondisi-kondisi dan peristiwa-peristiwa tertentu pada sebagian perkara.
[12]. Zan dar Âiyine Jalâl wa Jamâl, Abdullah Jawadi Amuli, hal. 368-369.
[13]. Khursyid bi Ghurûb (terjemahan Nahj al-Balâgha), Miadikha, Khutbah 13 & 14.
[14]. Al-Kâfi, jil. 1, hal. 27, hadis 1, Kitab al-‘Aql wa al-Jahl.
"اعجاب المرء بنفسه دلیل علی ضعف عقله"
[15]. Syarh Ghurar al-Hikam wa Durar al-Kilam, jil. 1, hal. 311.
"اعجاب المرءِ بنفسه حمق"
[16]. Lihat, Zan dar Âiyine Jalâl wa Jamâl
[17]. Ushûl al-Kâfi, jil. 1, Kitab al-‘Aql wa al-Jahl, bab 1, hadis 3, hal. 11.
"العقل ما عبد به الرحمن و الکتب به الجنان".
[18]. Zan dar Âiyine Jalâl wa Jamâl, hal. 268 dan 369.
[19]. Silahkan lihat, Tafsir Nemune, jil. 2, hal. 164.