Please Wait
23613
Sebagai bandingan ayat-ayat yang memandang petunjuk al-Quran untuk orang-orang bertakwa terdapat ayat-ayat lainnya dalam al-Quran yang menyebutkan bahwa kitab-kitab samawi adalah petunjuk, dzikir dan nadzir (pemberi peringatan). Karena itu, al-Quran adalah kitab petunjuk yang ditujukan untuk seluruh manusia dan tidak terkhusus untuk orang beriman saja.
Terkait dengan petunjuk yang bersifat umum, al-Quran menyatakan bahwa “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya Al-Qur'an diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (Qs. Al-Quran [2]:185) Dari ayat ini dapat disimpulkan bahwa kitab-kitab samawi adalah kitab petunjuk dan dinyatakan dalam dua bentuk. Pertama, petunjuk (hidayah yang bersifat umum) dan pedoman bagi seluruh penduduk dunia. Kedua: petunjuk bagi orang-orang bertakwa.
Sehubungan dengan petunjuk orang-orang bertakwa juga demikian bahwa kita memiliki hidayah yang bersifat permulaan (ibtidâi) dimana sebelum petunjuk ini kita tidak harus beriman kepada al-Quran, melainkan hanya perlu memiliki fitrah yang sehat dan lurus. Petunjuk kedua berasal dari al-Quran dan cabang dari petunjuk pertama. Dengan demikian problem daur dengan sendirinya dapat diselesaikan.
Pada kebanyakan ayat-ayat al-Quran, sisi pemberian petunjuk (hidayah) kitab suci ini[1] terkhusus bagi orang-orang bertakwa.[2] Berangkat dari sisi pemberian petunjuk al-Quran ini, terkadang kesamaran (syubha) muncul bahwa apabila pekerjaan al-Quran memberi petunjuk maka orang-orang bertakwa adalah orang-orang yang telah memperoleh petunjuk dan pada dasarnya apa gunanya petunjuk bagi orang-orang yang telah memperoleh petunjuk? Al-Quran dapat menjadi kitab petunjuk tatkala mampu memberikan petunjuk kepada orang-orang yang tidak bertakwa?
Dalam menjawab syubha dan kesamaran ini kita harus memperhatikan beberapa pendahuluan sebagai berikut:
Pertama: Sebagian ayat yang menggeneralisir petunjuk al-Quran untuk seluruh manusia.
Terdapat ayat-ayat dalam al-Quran yang memandang bahwa kitab-kitab samawi dan al-Quran diperuntukkan bagi seluruh manusia bukan hanya untuk orang-orang bertakwa (muttaqin). Allah Swt dalam beberapa ayat berfirman, “Dia menurunkan al-Kitab (Al-Qur'an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya, dan menurunkan Taurat dan Injil. Sebelum (Al-Qur'an), menjadi petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan al-Furqan. Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat; dan Allah Maha Perkasa lagi mempunyai balasan (siksa).” (Qs. Ali Imran [3]:3 & 4) atau pada ayat lainnya terkait dengan petunjuk yang bersifat umum, al-Quran menyatakan, ““Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya Al-Qur'an diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil).”” (Qs. Al-Baqarah [2]:185)
Sehubungan dengan sebutan al-Quran sebagai “dzikir” (peringatan) juga disebutkan bahwa, “Al-Qur’an ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam.” (Qs. Shad [38]:87)[3] Demikian juga terkait dengan sebutan al-Quran sebagai nadzir (pemberi peringatan) untuk seluruh manusia, Allah Swt berfirman, “Maha Agung nan Abadi Dzat yang telah menurunkan al-Furqân (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam” (Qs. Al-Furqan [25]:1)
Dari sekumpulan ayat-ayat ini dapat disimpulkan bahwa kitab-kitab samawi adalah pemberi petunjuk dan khusus terkait dengan al-Quran petunjuk disebutkan dalam dua bentuk: Pertama, petunjuk dan peringatan bagi seluruh semesta alam. Kedua: Petunjuk bagi orang-orang bertakwa (muttaqin). Artinya al-Quran adalah sebuah kitab yang memiliki peran pemberi petunjuk bagi seluruh manusia dan siapa saja yang merujuk kepada al-Quran, tanpa adanya tujuan tertentu (selain mencari petunjuk), maka niscaya ia akan memperoleh petunjuk.
Boleh jadi, ayat-ayat dalam al-Quran memandang bahwa kitab samawi ini juga merupakan pemberi petunjuk bagi setiap individu yang memiliki tekad dan kehendak untuk berjalan di atas jalan lurus[4] atau adanya sebab-sebab pewahyuan al-Quran supaya dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang hidup hatinya dan memiliki fitrah yang sehat dan juga merupakan penyempurnaan hujjah bagi orang-orang zalim dan jahat.[5]
Dari satu sisi, al-Quran sebagai kitab pemberi petunjuk tidak terbatas untuk orang-orang biasa dan tidaklah demikian bahwa orang-orang bertakwa dan beriman tidak dapat memperoleh manfaat dari petunjuknya, bahkan bagi mereka merupakan petunjuk yang lebih unggul, superior dan ulung.
Kedua: Adanya dua jenis petunjuk bagi orang-orang bertakwa dalam ajaran-ajaran al-Quran
Sebagaimana dapat disimpulkan dari ayat-ayat al-Quran, orang-orang kafir dan orang-orang munafik memiliki dua jenis kesesatan dan penyimpangan, sebagai bandingannya orang-orang bertakwa dan orang-orang beriman juga memiliki dua jenis petunjuk. Kesesatan dan penyimpangan orang-orang munafik yang disebutkan pada ayat-ayat al-Quran, pertama kesesatan dan kebutaan pertama yang menyebabkan munculnya sifat-sifat jahat dari kekufuran dan kemunafikan dan selainya. Kedua kesesatan dan kebutaan yang lebih besar dari kesesatan dan kebutaan pertama. Sehubungan dengan orang-orang munafik, al-Quran menyatakan, “Dalam hati mereka terdapat penyakit, lalu Allah menambahkan penyakit kepada mereka; dan bagi mereka siksa yang pedih karena mereka berdusta.” (Qs. Al-Baqarah [2]:10) Penyakit pertama disandarkan kepada orang-orang munafik sendiri. Dan penyakit kedua mereka disandarkan kepada-Nya yaitu Allah yang menambahkan penyakit kepada mereka karena penyakit (pertama) yang terdapat pada diri mereka sendiri.
Sehubungan dengan petunjuk orang-orang bertakwa juga berlaku demikian yaitu kita memiliki dua petunjuk. Kita memiliki hidayah permulaan (ibtidai) dimana sebelum petunjuk ini kita tidak harus beriman kepada al-Quran, melainkan hanya perlu memiliki fitrah yang sehat. Petunjuk kedua berasal dari al-Quran dan cabang dari petunjuk pertama. Pada ayat kedua surah al-Baqarah kita membaca, “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” Dan setelah itu, menyebutkan sifat-sifat orang-orang bertakwa yaitu di antara sifat-sifat mulia takwa hanya terdapat lima sifat dan sifat-sifat tersebut adalah iman terhadap yang gaib, mendirikan salat, berinfak atas apa yang dianugerahkan Allah Swt kepadanya, dan iman kepada apa yang diturunkan kepada para nabi dan akhirnya yakin terhadap datangnya hari kiamat.
Allamah Thabathabai dalam menolak kritikan dan isykalan daur sebagaimana yang terlontar pada pertanyaan, dan terkadang terlintas dalam pikiran seseorang, berkata, “Orang bertakwa (muttaqi) (belum lagi memiliki lima sifat yang disebutkan) kecuali sebuah petunjuk dari Allah Swt kemudian Allah Swt memperkenalkan kitab-Nya yang merupakan pemberi petunjuk bagi orang-orang bertakwa (la raiba fihi hudan lil muttaqin) karena itu kita pahami bahwa petunjuk kitab bukanlah petunjuk yang sifat-sifatnya disebutkan setelahnya, dan juga kita pahami bahwa orang-orang bertakwa memiliki dua petunjuk. Satu petunjuk pertama disebabkan oleh sifat takwa dan satu petunjuk kedua yang dianugerahkan Allah Swt buah dari ketakwaannya.”[6]
Dengan kata lain, petunjuk pertama adalah petunjuk yang diperoleh sebelum al-Quran; yaitu sebatas manusia tidak bersikap keras kepala di hadapan hakikat dan kebenaran serta bersikap fair dalam menilai kelemahan dan ketidakmampuan manusia, orang seperti ini pada akhirnya akan menemukan iman kepada entitas gaib dari panca indranya; entitas yang keberadaannya dan keberadaan seluruh alam semesta bersandar kepada-Nya. Seseorang yang sehat fitrahnya setelah beriman kepada Entitas seperti ini akan mengakui adanya Entitas seperti ini. Ia akan berpikir bahwa Sumber yang bahkan sedetik pun tidak lalai dari seluruh kebutuhan makhluk-makhluk, dan sedemikian mengatur setiap makhluk sehingga seolah tiada makhluk lain selain makhluk tersebut, bagaimana mungkin dapat lalai tidak memberikan petunjuk kepada para hamba-Nya dan tidak menunjukkan jalan keselamatan kepada mereka dari perbuatan-perbuatan dan akhlak-akhlak yang membinasakan?
Pertanyaan retoris dan monologis seperti ini serta pertanyaan-pertanyaan lainnya yang lahir dari pertanyaan ini memiliki akar dalam masalah tauhid, kenabian (nubuwwah) dan hari kiamat (ma’ad) dan sebagai hasilnya ia memandang dirinya perlu untuk tunduk di hadapan Sumber tersebut; karena Sang Pencipta dan Tuhannya adalah Tuhan seru sekalian alam, dan juga ia memandang dirinya harus mencari dan menelusuri petunjuk-Nya. Tatkala ia sampai pada petunjuk-Nya, segala yang dimilikinya, harta, kedudukan, ilmu, kemuliaan digunakan untuk menghidupkan dan menyebarkan petunjuk tersebut dan demikianlah salat dan infak yang dimaksud pada ayat di atas. Namun bukan salat dan zakat yang dibahas dalam masalah fikih, karena pembicaraan kita terkait dengan seseorang yang sehat fitrahnya yang mereka temukan sendiri dalam diri mereka, melainkan salat dan zakat yang berpulang kepada fitrahnya dan ia juga menerima dari fitrahnya.”[7]
Karena itu menjadi jelas bahwa kelima sifat ini yang dijadikan Allah Swt sebagai media petunjuk al-Quran adalah sifat-sifat yang dimunculkan fitrah yang sehat dalam diri manusia.
Pada ayat yang menjadi obyek bahasan, orang-orang yang memiliki fitrah seperti ini dijanjikan bahwa segera mereka akan memperoleh petunjuk melalui al-Quran, namun petunjuk yang merupakan kelanjutan dari petunjuk yang bersumber dari fitrahnya.
Dengan demikian, lima amalan yang disebutkan, di antara dua petunjuk, petunjuk sebelum amalan-amalan tersebut, dan petunjuk setelahnya, serta keyakinan yang benar dan amalan-amalan saleh di antara dua petunjuk ini, sedemikian sehingga apabila setelah petunjuk fitrah, tidak ada keyakinan-keyakinan dan amalan-amalan tersebut, maka petunju kedua akan sirna dan sebagai hasilnya problem daur akan muncul. [iQuest]
[1]. Namun pada sebagian ayat lainya, kitab-kitab suci seperti Injil juga dinilai sebagai kitab nasihat dan petunjuk untuk orang-orang bertakwa. Allah Swt pada surah al-Maidah ayat 46 berfirman, “Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi-nabi Bani Isra’il) dengan Isa putra Maryam, membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Taurat. Dan Kami telah memberikan kepadanya kitab Injil, sedang di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya, dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Taurat, menjadi petunjuk, dan nasihat untuk orang-orang yang bertakwa.”
[2]. “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (Qs. Al-Baqarah [2]:2); “(Al-Qur’an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Ali Imran [3]:138); “(Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang memberi penerangan, contoh-contoh dari orang-orang yang terdahulu sebelum kamu, dan nasihat bagi orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al-Nur [24]: 34); “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (Al-Qur’an) ini untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” Katakanlah, “Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al-Qur’an itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (Qs. Al-Nahl [16]:89 & 102); “Katakanlah, “Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan pada telinga orang-orang yang tidak beriman terdapat sumbatan, sedang Al-Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka.” (Qs. Al-Fusshilat [41]:44); “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada, serta petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. Yunus [10]:57)
[3]. “Sedangkan Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan bagi seluruh umat.” (Qs. Al-Qalam [68]:52); “Al-Qur’an itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam.” (Qs. Al-Takwir [81]:27)
[4]. Al-Qur’an itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. Bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus.” (Qs. Al-Takwir [81]:27-28)
[5]. “Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup dan supaya pastilah (ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir.” (Qs. Yasin [36]:70)
[6]. Sayid Husain Thabathabai, terjemahan Persia Tafsir al-Mizan, jil. 1, hal. 70, Daftar Intisyarat Islami, Qum, 1374.
[7].
Ibid, jil. 1, hal. 71.