Please Wait
11564
Pengguna Site Islam Quest yang Budiman;
Pendapat dan fatwa para Marja Agung taklid ihwal pernikahan dâ’im (permanen) seorang pria Muslim dengan wanita-wanita Ahlulkitab adalah sebagai berikut:
Imam Khomeini Ra: Mengikut prinsip ihtiyâth wâjib tidak dibenarkan (bagi pria Muslim) menikah secara dâ’im dengan wanita-wanita kafir Ahlulkitab.
Ayatullah Agung Gulpaigani Ra dan Ayatullah Agung Shafi: Fatwanya adalah boleh menikah dengan wanita Ahlulkitab secara dâ’im (la yakhlu an al-quwwah) namun apabila ia mampu menikah dengan seorang Muslimah maka hukumnya makruh syadid menikah dengan wanita Ahlulkitab bahkan prinsip ihtiyâth tidak boleh ditinggalkan dalam hal ini.[1]
Ayatullah Agung Khui Ra dan Ayatullah Agung Tabrizi Ra: Berdasarkan prinsip ihtiyath istihbabi Anda jangan mengikat akad secara dâ’im (permanen) dengan mereka dan dengan sebagian firkah seperti Khawarij dan Ghulat serta Nawasib yang memandang diri mereka sebagai Muslim (karena mereka itu) dihukumi sebagai orang-orang kafir. Pria Muslim dan wanita Muslimah tidak dapat menikah dengan mereka baik secara permanen (dâ’im) dan secara temporal (mut’ah).
Ayatullah Agung Nuri Hamadani: Menikah dengan mereka secara permenan (dâ’im) mengikut pendapat yang lebih kuat (aqwâ) adalah dibolehkan namun prinsip ihtiyâth jangan ditinggalkan dengan syarat bahwa (pria Muslim dapat) menikah secara dâ’im dengan mereka apabila (ia) tidak dapat menikah dengan wanita Muslimah.
Ayatullah Agung Fadhil Langkarani Ra: Pria Muslim tidak dapat menikah secara permanen dengan wanita-wanita kafir bahkan apabila wanita-wanita kafir itu berasal dari agama Yahudi dan Kristen (Ahlukitab) mengikut prinsip ihtiyâth wâjib; namun tidak ada halangan menikah secara temporal (mut’ah) dengan wanita-wanita Yahudi dan Kristen.
Ayatullah Agung Makarim Syirazi: Pria Muslim tidak dapat menikah secara permanen dengan wanita kafir mengikut prinsip ihtiyâth (wajib) namun tidak ada halangan menikah secara temporal dengan wanita-wanita Ahlulkitab seperti Yahudi dan Kristen.
Ayatullah Agung Bahjat Ra: Pria Muslim tidak dapat menikah secara permanen dengan wanita-wanita kafir yang bukan Ahlukitab, namun ia dapat menikah secara temporal (mut’ah) dengan wanita-wanita Yahudi dan Kristen.
Ayatullah Agung Zanjani: Pria Muslim tidak dapat menikah, baik secara permanen atau pun secara temporal, dengan non-Ahlulkitab dan Majusi. Namun secara lahir tidak batal menikah secara permanen atau temporal dengan wanita Yahudi dan Kristen bahkan makruh hukumnya serta bertentangan dengan ihtiyâth istihbâbi khususnya menikah secara permanen (dengan wanita Yahudi dan Kristen).
Ayatullah Agung Siistani: Pria Muslim tidak dapat menikah dengan wanita-wanita kafir non-Ahlulkitab, namun tidak ada halangan menikah secara temporal (mut’ah) dengan wanita-wanita Yahudi dan Kristen. Mengikut prinsip ihtiyâth wâjib Anda jangan menikah secara permanen dengan mereka.[2]
Dengan memperhatikan beberapa fatwa Marja Agung Taklid, dapat disimpulkan bahwa apabila Anda merupakan mukallid seorang marja yang membolehkan pernikahan secara permanen dengan wanita-wanita Ahlulkitab maka pernikahan Anda adalah pernikahan yang sah.
Apabila istri Anda merupakan seorang Muslimah maka Anda tidak perlu meminta izin darinya untuk melangsungkan nikah mut’ah. Dan apabila istri Anda merupakan seorang wanita Ahlulkitab, mengikut dalil prioritas (aulawiyyat) Anda tidak perlu meminta izin darinya. Namun apabila pria memiliki istri Muslimah dan ingin menikah secara permanen (bukan mut’ah) dengan seorang wanita Ahlulkitab maka ia harus meminta izin dari istrinya yang Muslimah.[3] [iQuest]
Untuk telaah lebih jauh tentang masalah ini silahkan Anda melihat beberapa indeks terkait berikut ini:
Falsafah Keharaman Pernikahan Wanita-wanita Muslim dengan Pria-pria Ahlukitab, 2723 (Site: 2980).
Pernikahan Temporal (Mut’ah) dengan Wanita-wanita Ahlulkitab, 1209 (Site: 1254)
Pernikahan Temporal (Mut’ah) Pria yang Telah Menikah tanpa Izin Istri, 709 (Site: 807)
[1]. Taudhih al-Masail (al-Muhasyya lil Imam al-Khomeini), jil. 2, hal. 468.
[2]. Ibid, hal. 469.
[3]. Muhammad Said Hakim, Minhâj al-Shâlihin, jil. 3, hal. 33, Dar al-Shafwa, Beirut, 1415 H.