Please Wait
Hits
16397
16397
Tanggal Dimuat:
2012/10/23
Ringkasan Pertanyaan
Kenapa lelaki Muslim tidak bisa menikah secara daim dengan perempuan dari Ahlulkitab , akan tetapi bisa menikah secara temporer (mut’ah)?
Pertanyaan
Apa alasannya sehingga seorang Muslim tidak bisa menikah secara permanen dengan seorang dari Ahlulkitab, namun bisa menikah sementara atau mut’ah?
Jawaban Global
Terdapat beberapa pendapat di kalangan para fakih mengenai pernikahan permanen antara lelaki Muslim dan perempuan Ahlulkitab, dan perbedaan ini mencuat dari berbagai riwayat yang berkaitan dengan masalah ini. Tampaknya hikmah pelarangan pernikahan yang terdapat pada sebagian hadis adalah untuk menghindarkan Muslim dari pengaruh keyakinan, akhlak dan kedekatan pada kekafiran, dimana kemungkinan ini akan menjadi semakin besar dengan adanya pernikahan sementara.
Bagaimanapun, dengan memperhatikan bahwa para fukaha menjalankan prinsip kehati-hatian dalam melarang pernikahan semacam ini, maka para mukallidnya dapat merujuk kepada marja yang memberikan kebolehan dalam masalah ini.
Bagaimanapun, dengan memperhatikan bahwa para fukaha menjalankan prinsip kehati-hatian dalam melarang pernikahan semacam ini, maka para mukallidnya dapat merujuk kepada marja yang memberikan kebolehan dalam masalah ini.
Jawaban Detil
Dilihat dari perspektif hukum-hukum dan kedudukan yang dimilikinya, terdapat perbedaan-perbedaan antara pernikahan permanen dan pernikahan temporer. Biasanya manfaat yang terdapat pada pernikahan sementara adalah untuk mengontrol syahwat pada kedua pihak, akan tetapi pernikahan permanen, selain memiliki hal di atas juga bertujuan untuk membentuk rumah tangga, kehidupan resmi dan memperbanyak keturunan, oleh karena itu pernikahan bentuk ini memiliki kedudukan yang lebih baik.
Dengan memperhatikan peran yang dipegang oleh keluarga, terutama peran ibu dalam mendidik anak dan secara prinsip, dalam menumbuhkan dan mengangkat kemuliaan keluarga, Islam semampu mungkin mendesak untuk meninggalkan pernikahan permanen dengan para perempuan Ahlulkitab, selain itu, karena pernikahan permanen daim dengan karakteristik-karakteristik yang dimilikinya memiliki kedudukan lebih tinggi dari pernikahan sementara, maka hal tersebut dikhususkan hanya bagi para perempuan Muslim dan Mukmin, karena kedudukan Muslim lebih tinggi dari selain Muslim, sehingga ketika masih terdapat perempuan Muslim, pernikahan daim dengan perempuan Ahlulkitab dianggap sebagai sebuah tindakan yang tidak layak.
Tentunya, dengan memperhatikan sebagian fatwa bisa disimpulkan bahwa menurut sebagian marja agung taklid, ketidaklayakan pernikahan daim dengan perempuan Ahlulkitab ini masih belum sampai pada batas pengharaman dan dengan memperhatikan adanya syarat-syarat tertentu, seseorang bisa menikah permanen dengan mereka.
Ringkasnya, pendapat marja agung taklid mengenai pernikahan permanen lelaki Muslim dengan perempuan Ahlulkitab, adalah sebagai berikut:
Dengan memperhatikan peran yang dipegang oleh keluarga, terutama peran ibu dalam mendidik anak dan secara prinsip, dalam menumbuhkan dan mengangkat kemuliaan keluarga, Islam semampu mungkin mendesak untuk meninggalkan pernikahan permanen dengan para perempuan Ahlulkitab, selain itu, karena pernikahan permanen daim dengan karakteristik-karakteristik yang dimilikinya memiliki kedudukan lebih tinggi dari pernikahan sementara, maka hal tersebut dikhususkan hanya bagi para perempuan Muslim dan Mukmin, karena kedudukan Muslim lebih tinggi dari selain Muslim, sehingga ketika masih terdapat perempuan Muslim, pernikahan daim dengan perempuan Ahlulkitab dianggap sebagai sebuah tindakan yang tidak layak.
Tentunya, dengan memperhatikan sebagian fatwa bisa disimpulkan bahwa menurut sebagian marja agung taklid, ketidaklayakan pernikahan daim dengan perempuan Ahlulkitab ini masih belum sampai pada batas pengharaman dan dengan memperhatikan adanya syarat-syarat tertentu, seseorang bisa menikah permanen dengan mereka.
Ringkasnya, pendapat marja agung taklid mengenai pernikahan permanen lelaki Muslim dengan perempuan Ahlulkitab, adalah sebagai berikut:
- Sebagian tidak memperbolehkannya berdasarkan prinsip ihtiyâth wajib.[1]
- Sebagian mengatakan untuk tidak melakukan akad permanen (daim) dengan mereka, berdasarkan prinsip ihtiyâth mustahab.[2]
- Sebagiannya lagi mengatakan, pernikahan seperti ini diperbolehkan, akan tetapi apabila terdapat kemungkinan untuk menikah dengan perempuan Muslim, pernikahan ini menjadi makruh, bahkan hendaknya tidak meninggalkan ihtiyath dalam kondisi seperti ini (dan tidak menikah dengan perempuan Ahlulkitab ).[3]
Sebab dari perbedaan pendapat para fakih ini adalah terdapatnya berbagai riwayat yang berbeda dalam masalah ini, dimana dari sebagian hadis bisa disimpulkan kebolehannya menikah permanen dengan perempuan Ahlulkitab dan sebagian lainnya ketidakbolehannya. Sebagai contoh, perhatikanlah dengan baik beberapa hadis berikut:
- Abdullah bin Sanan mengatakan, Ayahku bertanya kepada Imam Shadiq As mengenai pernikahan dengan perempuan Yahudi dan Kristen, dan aku mendengar percakapan mereka ini. Imam bersabda, Di sisiku, menikah dengan keduanya masih lebih baik daripada menikah dengan perempuan Nashibi. Demikian juga bersabda, Aku tidak suka lelaki Muslim menikah dengan perempuan Yahudi atau Kristen, karena aku takut anaknya akan menjadi Yahudi atau Kristen.[4]
Pada hadis lain dikatakan.
- Muawiyyah bin Wahab bertanya kepada Imam Shadiq As, Apakah lelaki Mukmin bisa memilih istri-istri dari Yahudi atau Kristen? Imam bersabda, Ketika terdapat perempuan Muslim dalam kewenangannya, untuk apa harus memilih perempuan Yahudi atau Kristen. Berkata, Misalnya karena telah terpikat olehnya. Bersabda, Jika demikian adanya, maka hindarkanlah ia dari meminum minuman memabukkan dan daging babi, akan tetapi ketahuilah sesungguhnya lelaki ini memiliki ketaksempurnaan dalam agamanya sehingga ia rela untuk menikah dengan perempuan Ahlulkitab .[5]
- Imam Baqir As dalam sebuah hadis bersabda, Tidak layak bagi lelaki Muslim untuk menikah dengan perempuan Yahudi atau Kristen, sementara ia bisa memperoleh perempuan Muslim, baik yang bebas ataupun budak.[6]
Ringkasnya, tampaknya hikmah pelarangan para Imam Maksum As dari melakukan pernikahan permanen dengan para perempuan Ahlulkitab dianggap sebagai sebuah urgensi karena pernikahan permanen diikuti dengan pembentukan keluarga dan pendidikan anak dalam Islam, selain itu Ahlulkitab dengan keyakinan yang dimilikinya tidak memperhatikan hukum-hukum Muslim di antaranya keharaman minuman keras dan daging babi, dan karena dalam pernikahan daim, seseorang bermaksud untuk melakukan kehidupan selamanya dengan mereka, maka dari sisi ini ia juga akan diperhadapkan dengan masalah. [iQuest]
[1]. Ayatullah Khomeini, Fadhil Langgarani, Makarim, Bahjat, Ayatullah Sistani (berdasarkan prinsip ihtiyâth wajib untuk tidak melakukan akad daim [permanen] dengan mereka), silahkan lihat Taudhîh al-Masâil Marâji’ (Al-Muhassyâ), jil.2, hal. 468. (Diambil dari indeks 7851)
[2]. Ayatullah Khui dan Tabrizi, Wahid Khurasani; Silahkan lihat, Taudhîh al-Masâil Marâji’ (Al-Muhassyâ), jil. 2, hal. 468; Khurasani, Husain Wahid, Taudhîh al-Masâil (Wahid), hal. 497, Madrasah Imam Baqir, Qom, cet. Kesembilan, 1428 H.
[3]. Ayatullah: Gulpaigani, Shafi, Nuri Hamadani, Syubairi Zanjani; silahkan lihat , Taudhîh al-Masâil Marâji’ (Al-Muhassyâ), jil. 2, hal. 468.
[4]. Syaikh Hurr Amili, Wasâil Asy-Syîah, jil. 20, hal. 534, bab 1, hadis 5, Muasasah Ali Bait (As), Qom, cet pertama, 1409 H, kemungkinan bahwa riwayat tersebut berkaitan dengan pernikahan muwaqqat (mut’ah) sangat jauh, karena misdaq jelas dalam pernikahan dan perkawinan (saat dalam bentuk mutlak), dalam pernikahan daim; Kumpulan Penulis, Majalah Fiqh Ahli Bait As, jil. 47, hal. 4, Muasasah Dairah al-Ma’arif Fiqh Islami, Qom, Pertama, Tanpa Tahun.
[5]. Wasâil Asy-Syîah, hal. 536, bab 2, hadis 1.
[6]. Ibid, bab 2, hadis 2 dan 3.
Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar