Please Wait
7878
Kebanyakan orang tidak memiliki kemampuan untuk sampai pada tingkatan keilmuan sehingga ia mampu memanfaatkan sumber-sumber utama (Al-Qur’an dan Sunnah) meski dengan belajar, meneliti dan melakukan jihad ilmu apatah lagi tanpa belajar, meneliti dan melakukan jihad ilmu untuk menjalankan hukum-hukum Ilahi dan menunaikan taklifnya. Lantaran semua orang tidak memiliki kapasitas untuk mengetahui seluruh taklif mereka dengan cara menyuguhkan argumentasi dan penalaran (istidlâli). Potensi ini tidak semua dimiliki semua orang juga tidak begitu banyak manfaatnya; misalnya kita berkata seluruh orang harus menjadi tukang roti atau dokter dan sebagainya. Jelas bahwa dalam kondisi seperti ini tatanan sosial masyarakat tidak akan berjalan seimbang. Karena itu, dalam masalah ini, tiada jalan lain kecuali bertaklid dan kaidah ini juga dapat diterapkan pada pelbagai profesi dan pekerjaan lainnya. Dan sejatinya hal ini sejenis interaksi dan kontrak tidak tertulis yang secara natural terjalin di antara manusia bahwa setiap orang harus merujuk kepada para ahlinya.
Mengingat bahwa setiap hari muncul masalah-masalah baru pada seluruh bidang kehidupan yang sebelumnya tidak dikaji dan dibahas oleh ulama terdahulu maka merujuk kepada seorang juris spesialis yang hidup dalam masalah-masalah agama adalah sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Atas dasar ini, merujuknya Anda pada Mulla Shadra dalam masalah hukum-hukum agama (fikih) tidak didukung dengan dalild-dalil rasional.
Dengan sedikit mencermati persoalan ini akan menjadi jelas bahwa merujuknya seorang jahil kepada seorang alim yaitu bertaklid adalah sebuah perbuatan yang terpuji dan tidak ada pertentangannya dengan ayat “tiada paksaan dalam beragama..” Lantaran ayat sejatinya berkisar tentang inti penerimaan terhadap Islam. Berdasarkan ajaran-ajaran agama tiada seorang pun yang dapat memaksa orang lain untuk masuk Islam. Namun apabila ada seseorang yang menerima Islam berdasarkan kesadaran dan pengetahuan (atau agama apa pun itu) tentu saja ia harus konsekuen menerima seluruh dasar, asas dan cabang-cabangnya.
Adapun terkait dengan Khutbah 18 Nahj al-Balâgha, Imam Ali As berada pada tataran menggugurkan ijtihâd bi al-ra’y dengan satu argumentasi kokoh dan fundamental. Argumentasi yang disodorkan oleh Imam Ali As bertengger di atas lima asas dan menjelaskan kesalahan model ijtihâd bi al-ra’y dengan indah. Dan ijtihad yang mencapat kecaman Baginda Ali ini tidak ada kaitannya dengan ijtihad yang berpijak di atas asas dan kaidah yang benar.
Sejatinya pertanyaan ini bersumber dari beberapa kekaburan yang harus dibahas dan dengan mengkajinya sekaligus memberikan jawaban atasnya kita akan sampai pada kesimpulan ideal. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah:
1. Siapa saja yang harus bertaklid?
2. Dalam masalah apa saja terkait dengan ajaran-ajaran agama kita harus bertaklid?
3. Kepada siapa saja kita harus bertaklid?
4. Taklid yang tercela termasuk jenis taklid apa?
5. Apakah redaksi “Tiada paksaaan dalam beragama” tidak berseberangan dengan pengharusan orang bertaklid?
6. Apabila ijtihad benar adanya (dibolehkan) lantas mengapa Ali As mengecam ijtihad dalam sabdanya pada khutbah 18 Nahj al-Balagha?
Sekarang kami akan menjawab pertanyaan ini secara runut sesuai dengan urutan pertanyaan di atas.
Pertama, dalam sebuah klasifikasi, para mukallaf dibagi menjadi dua bagian: A. Orang-orang yang sampai pada sebuah tingkat keilmuan dengan belajar, meriset dan berusaha secara maksimal sehingga ia mampu menyimpulkan hukum-hukum Tuhan dan beramal dengannya dengan memanfaatkan sumber-sumber utama (Al-Qur’an dan Sunnah). B. Orang-orang yang dengan belajar, meriset dan berusaha secara maksimal atau tanpa melalui jalur-jalur ini namun tidak mampu sampai pada sebuah tingkat keilmuan yang memberikan kepadanya kemampuan untuk menyimpulkan hukum-hukum Tuhan dan beramal dengan memanfaatkan sumber-sumber utama (Al-Qur’an dan Sunnah).
Jelas bahwa berdasarkan hukum akal dan pakem-pakem yang digunakan orang berakal maka kelompok pertama tidak dapat merujuk kepada orang lain lantaran ia sendiri memiliki ilmu terhadap masalah tersebut.
Adapun kelompok kedua, dengan memperhatikan kebanyakan masyarakat berada pada kelompok ini maka nyaris mustahil orang-orang mempelajari seluruh taklifnya dengan mengetahui dasar-dasar penyimpulan hukum dan pelbagai argumen di baliknya. Lantaran bukan saja potensi ini dimiliki oleh setiap orang, tetapi hal ini juga kurang berguna. Misalnya kita berkata bahwa seluruh orang harus menjadi tukang roti atau dokter semuanya dan seterusnya. Tentu saja dengan kondisi seperti ini tatanan kehidupan masyarakat tidak akan berjalan seimbang.
Atas dasar itu, dengan mereview kembali apa yang telah disampaikan kita dapat mengambil kesimpulan bahwa terkait dengan masalah ini maka tiada jalan dan pilihan lain kecuali bertaklid. Hal ini berlaku pada setiap spesialisasi dan setiap profesi. Dan sejatinya hal ini merupakan sejenis interaksi dan kontrak tidak tertulis yang berlangsung secara natural di tengah masyarakat. Kondisi sedemikian disebut sebagai merujuknya seorang non-ahli kepada seorang ahli.
Untuk telaah lebih jauh sekaitan dengan masalah taklid orang jahil (pandir) kepada orang alim (pandai) kami persilahkan Anda untuk melihat beberapa jawaban yang terdapat pada site ini. Indeks, “Falsafah Taklid kepada Para Marja dan Tiadanya Penjelasan Ihwal Metode Pengambilan Hukum” No. 2991 dan Indeks, “Dalil-dalil Keharusan Bertaklid kepada Para Marja, No. 1078.
Dengan memperhatikan ucapan Anda bahwa “Saya adalah pengikut mazhab Ja’fari dan hukum-hukum saya simpulkan berdasarkan ajaran-ajaran Mulla Shadra sejatinya, hingga batas tertentu, Anda telah menerima konsep taklid.
Kedua, ulama dan fukaha Islam membagi ajaran-ajaran Islam menjadi dua bagian:
A. Masalah-masalah yang bertautan dengan urusan hati dan bertalian dengan iman dan keyakinan yang secara terminologis disebut sebagai ushul al-din (pokok-pokok agama).
B. Masalah-masalah yang berkaitan dengan perkara-perkara lahir dan berhubungan dengan amal perbuatan manusia yang secara terminologis disebut sebagai furu’ al-din (cabang-cabang agama).
Ulama Islam bersepakat bahwa dalam masalah pokok-pokok agama setiap orang harus dengan upayanya sendiri sampai kepada keyakinan dan tiada tempat untuk bertaklid di sini. Untuk telaah lebih jauh sehubungan dengan tidak dibenarkannya taklid dalam masalah ushul al-din (pokok-pokok agama) kami persilahkan Anda untuk merujuk pada jawaban-jawaban yang tersedia pada site ini. Indeks, “Taklid dalam Urusan Akidah” No. 4809 dan Indeks, “Taklid dalam Ushuluddin” No. 1460.
Adapaun dalam masalah cabang-cabang agama (furu’ al-din) seperti urusan yang berhubungan dengan kehidupan sosial dan personal maka setiap orang harus bertaklid.
Adapun ucapan Anda bahwa “Saya adalah pengikut mazhab Ja’fari dan saya beramal berdasarkan ajaran-ajaran Mulla Shadra” apabila hal itu berada pada ranah cabang-cabang agama maka sesungguhnya demikianlah taklid yang Anda lari darinya.
Berangkat dari sini kami akan menjawab pertanyaan ketiga Anda bahwa apakah boleh bertaklid kepada orang yang telah meninggal (mayyit) atau tidak?
Mengingat bahwa setiap tahun banyak bermunculan ragam masalah baru yang tentu saja tidak dijumpai dan dikaji oleh ulama terdahulu maka merujuk kepada seorang fakih spesalis yang hidup dalam masalah agama merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Berdasarkan hal itu, ketika Anda merujuk kepada Mulla Shadra dan bertaklid kepadanya dalam hukum-hukum agama tidak dapat dibenarkan secara rasional.[1]
Untuk telaah lebih jauh sehubungan dengan keharusan taklid kepada mujtahid yang masih hidup kami persilahkan Anda untuk melihat jawaban-jawaban yang tersedia pada site ini, Indeks, “Beberapa Manfaat Taklid kepada Mujtahid yang Masih Hidup” No. 539.
Keempat, tanpa syak dalam masalah furu’uddin sebagian masalah taklid juga tidak dapat dibenarkan, Jalaluddin Rumi pernah menggubah sebuah syair yang mengecam praktik taklid,
Manusia bertaklid mengikut arah angin
Semoga laknat terkirim untuk taklid seperti ini
Namun harus diperhatikan taklid semacam ini termasuk jenis taklid macam apa yang mendapat celaan. Untuk memperoleh jawaban yang jelas maka kiranya kami perlu menjelaskan beberapa jenis taklid kemudian kita nilai taklid mana yang benar dan tidak benar.
Terdapat empat jenis taklid di antaranya:
1. Taklid seorang alim kepada seorang alim
2. Taklid seorang jahil kepada seorang jahil
3. Taklid seorang alim kepada seorang jahil
4. Taklid seorang jahil kepada seorang alim
Dengan sedikit mencermati empat jenis taklid di atas akan menjadi jelas bahwa hanyalah taklid jenis keempat yang dapat diterima. Karena akal sehat manusia tidak menyokong jenis taklid pertama lantaran meniscayakan tarjih bela murajjih (memilih sesuatu tanpa adanya alasan kuat dan rasional). Kecuali terdapat preferensi-preferensi (pilihan-pilihan) lain yang membuat seorang alim merujuk kepada seorang alim lainnya.
Kedua, model taklid ini sia-sia dan tidak membuahkan hasil.
Ketiga, model taklid ini di samping sia-sia dan tidak menuai hasil juga, tetapi juga tercela dari sudut pandang akal dan orang-orang berakal. Karena itu berdasarkan argumen (burhan) sabr wa taqsim hanya taklid model keempat yang dapat diterima dan orang-orang berakal tidak akan mencela jenis taklid seperti ini.
Adapun jawaban untuk pertanyaan kelima. Dalam bagian ini kami akan menjawabnya dengan dua jawaban, jawaban halli (solutif) dan jawaban naqdhi (kritis).
Jawaban solutif:
Sama sekali tidak terdapat pertentangan dalam dua masalah ini karena ayat “Tiada paksaan dalam beragama” terkait dengan inti penerimaan Islam yang berdasarkan ajaran-ajaran agama tiada seorang pun yang dapat memaksa orang lainnya untuk menerima Islam. Dan sejatinya mengingat keyakinan agama merupakan persoalan hati maka tiada seorang pun yang dapat mendesakkan sesuatu terkait dengan urusan hati. Akan tetapi apabila seseorang dengan penuh kesadaran dan bersandar pada pengetahuan menerima Islam (atau agama apa pun) maka tentu saja ia harus konsekuen dan committed terhadap dasar-dasar, asas-asas dan cabang-cabangnya.
Untuk menjelaskan masalah ini kami akan menyampaikan sebuah contoh. Anda bayangkan masing-masing kita menjadi anggota polisi tanpa ada yang memaksa. Demikin juga terkait dengan program-progamnya (seperti apel pagi, melakukan latihan dan manuver dan sebagainya) tentu saja tidak akan ada yang memaksa. Namun hal ini pada masa kita belum menjadi anggota polisi. Namun tatkala dengan pilihan dan kehendak sendiri kita memutuskan untuk menjadi polisi maka tentu saja kita harus taat asas dan konsekuen terhadap pelbagai program dan aturan kepolisian. Tentu tidak rasional kita berkata bahwa saya tidak terikat dengan aturan-aturan dan program-program Anda dan berkata bahwa kami di sini adalah orang-orang bebas. Karena dengan menerima keanggotaan sebagai polisi maka kita juga telah terikat dan menandatangi aturan-aturan dalam kepolisian.
Jawaban kritis (naqhdi):
Apakah ada seseorang yang dengan pilihan dan kehendaknya sendiri menerima Islam dapat berkata, “Aku tidak ingin berpuasa” karena berdasarkan ayat, “Tiada paksaan dalam beragama.” “Aku tidak ingin mengerjakan shalat” karena berdasarkan ayat, “Tiada paksaan dalam beragama.” Apabila saya mampu, saya tidak ingin menunaikan haji, “karena ayat mengatakan, “Tiada paksaan dalam beragama” Ketika harta saya telah mencapai had nishab (batas hitungan harta untuk dikeluarkannya zakat) saya tidak ingin menyerahkan zakat, karena “Tiada paksaan dalam beragama..” Dan seterusnya..
Keenam, berdasarkan apa yang telah dijelaskan sebelumnya menjadi jelas bahwa taklid adalah perkara rasional dan diterima orang-orang berakal. Hal ini juga dapat dipahami dari beberapa riwayat.
Dalam hal ini kami akan menyinggung dua riwayat yang menyokong perbuatan kita dalam menerima taklid.
Pertama, Salim bin Abi Hayyah berkata, “Saya berada di sisi Imam Shadiq As. Tatkala ingin berpamitan saya berkata, tolong nasihatilah aku. Imam Shadiq As bersabda, “Pergilah ke Aban bin Thaghlib. Ia banyak mendengar hadis dariku. Apapun yang dinukil untukmu maka nukillah dariku.”
Kedua, sebuah hadis dari Imam Baqir As yang bersabda kepada Aban, “Duduklah di masjid dan berikanlah fatwa kepada masyarakat. Aku senang melihat orang-orang sepertimu di antara para Syiah kami.”[2]
Kami ingin bertanya kepada Anda, untuk siapa saja Aban harus memberikan fatwa? Kemudian apabila Aban memberikan fatwa lantas apa yang menjadi tugas masyarakat? Apakah mereka harus menerimanya? Apakah hal ini bukan taklid? Apakah hal ini bukan merujuknya seorang pandir kepada seorang pandai yang disebut orang-orang sebagai taklid?
Kini sudah ditetapkan bahwa sebagian orang harus memberikan fatwa maka sudah barang tentu yang menjadi standar pemahaman seorang juris adalah ayat dan riwayat. Dan dalam kondisi seperti ini pasti terdapat perbedaan fatwa. Terkait dengan hal ini kami persilahkan Anda untuk merujuk pada Indeks, “Dasar-dasar Pengeluaran Fatwa, Pertanyaan No. 524.
Adapun sehubungan dengan Khutbah 18 Nahj al-Balâgha, dengan memperhatikan penjelasan-penjelasan yang telah dibeberkan di atas maka menjadi terang juga maksud sabda Ali As. Imam As pada penggalan sabdanya bersandar pada satu argumentasi dan penaralan kokoh dan mendalam untuk menggugurkan masalah ijtihâd bi al-ray. Dengan ungkapan yang lebih sederhana Imam Ali mengecam penetapan hukum yang dilakukan para juris tanpa mengindahkan kaidah-kaidah ijtihad. Dan dengan pembagian akurat yang berpijak pada lima asas, Imam Ali telah menutup pelbagai celah bagi mereka dan menjelaskan kekeliruan model pemikiran ini dengan sebaik-baikpenjelasan.[3]
Dengan kata lain, Imam Ali As dengan penjelasan terang dan analisa akurat menggugurkan masalah tashwib, qiyâs, istihsân, ijtihâd bi al-ray dan tidak menyisakan celah bagi penyokong konsep ini untuk berkelit. Lantaran agama Tuhan merupakan agama sempurna yang diturunkan Tuhan ke muka bumi dan al-Qur’an sebagai solusi atas seluruh kebutuhan manusia. Demikian juga, Rasulullah Saw sekali-kali tidak pernah memandang remeh urusan tabligh dan sekali-kali Tuhan tidak akan pernah menerima perbedaan bagi umat Islam dan menyeru mereka kepada persatuan dan kesatuan.[4] [IQuest]
[1]. Di samping itu, apakah ia memiliki kitab dalam masalah hukum-hukum praktis para mukallaf?
[2]. Nuri, Mustadrak al-Wasail, jil. 17, hal. 315, Hadis 21452-14, Muassasah Ali al-Bait, Qum, 1408 H.
[3]. Nashir Makarim Syirazi, Payâm-e Imâm, Syarh-e Tâze wa Jâme’i bar Nahj al-Balâgha, jil. 1, hal. 624, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Pertama, 1375 S.
[4]. Ibid, jil. 1, hal. 628.