Please Wait
16336
Hamd, Madh dan Syukur Secara Leksikan dan Teknikal
1. Kata “ha-m-d” secara leksikal bermakna tsanâ dan pujian.[1] Secara teknikal “ha-m-d” berarti pekerjaan baik dan sifat terpuji yang nampak dan dikerjakan berdasarkan ikhtiar.[2]
2. Kata “ma-d-h” juga bermakna pujian.[3] Dari satu sudut pandang, hamd dan madh adalah sinonim.[4] Namun perbedaan madh dengan hamd adalah bahwa madh bahwa disampaikan di hadapan perbuatan terpuji yang dilakukan oleh seorang manusia di luar ikhtiarnya.[5] Dengan penjelasan ini, menjadi terang, hubungan dan perbedaan antara hamd dan madh. Poin lainnya bahwa pujian (hamd) terhadap Allah Swt adalah pujian terhadap kemuliaan-Nya.[6]
3. Kata “syu-k-r” bermakna mengingat karunia, mengungkapkan dan menyebarkannya.[7] Dalam bahasa Persia, padanan kata syukur adalah sepâs (terima kasih).[8] Syukur dari sisi Allah Swt bermakna ganjaran dan pahala.[9] Dan Allah Swt dari sudut pandang ini adalah syâkir dan syakûr.[10]
Terkait dengan hubungan dan perbedaan antara syukur dan hamd terdapat beberapa pandangan yang dilontarkan oleh para ahli. Berikut ini kami akan menyebutkan dua pandangan tersebut sebagai contoh:
A. Syukur di hadapan karunia khusus yang diucapkan oleh lisan, dicamkan dalam hati dan diekspresikan oleh anggota badan lainnya; dalam kondisi seperti ini, hamd dengan lisan merupakan salah satu obyek syukur.[11]
B. Hamd, pujian baik dan indah yang disampaikan dengan maksud untuk mengagungkan atas segala karunia dan selain karunia sementara syukur adalah pujian yang dimaksudkan untuk mengagungkan atas karunia yang diterima.[12] [iQuest]
[1]. Lisan al-‘Arab, jil. 3, hal. 155; Kitâb al-‘Ain, jil. 3, hal. 188 dan 189, klausul al-hamd; Farhang Abjadi ‘Arabi-Farsi, hal. 25.
[2]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 1, hal. 19, Daftar Intisyarat-e Islami, Qum, Cetakan Kelima, 1417; Sayid Muhammad Husain, Anwâr Derakhsyân, Riset oleh Muhammad Baqir Behbudi, jil. 1, hal. 15, Kitabpurusy Luthfi, Teheran, Cetakan Pertama, 1404 H.
[3]. Lisan al-‘Arab, jil. 2, hal. 589, klausul al-madh.
[4]. Mahmud Zamaksyari, al-Kassyâf ‘an Haqâiq Ghawâmidh al-Tanzil, jil. 1, hal. 8, Dar al-Kutub al-‘Arabi, Beirut, 1407 H.
[5]. Al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 1, hal. 19; Anwar Dirakhsyan, jil. 1, hal. 15.
[6]. Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’ân, hal. 256.
[7]. Lisân al-‘Arab, jil. 4, hal. 423; al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, hal. 461; al-Tahqiq fi Kalimat al-Qur’an al-Karim, jil. 6, hal. 99 dan 100. Klausul al-syukur.
[8]. Al-Tahqiq fi Kalimat al-Qur’an al-Karim, jil. 2, hal. 280; Farhang Abjadi Arabi-Farsi, hal. 81 dan 512.
[9]. Lisân al-‘Arab, jil. 4, hal. 423.
[10]. “Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati (di samping kewajiban itu), sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah [2]:158); “(Mereka mengerjakan amal saleh itu) supaya Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (Qs. Fathir [35]:30)
[11]. Al-Kassyâf ‘an Haqâiq Ghawâmidh al-Tanzil, jil. 1, hal. 8 dan 9.
[12]. Majma al-Bahrain, jil. 3, hal. Klausul al-hamd.