Please Wait
16769
Kekuasaan tidak terbatas dan apa yang didefinisikan tentang kudrat dan kekuasaan Tuhan bermakna bahwa apabila Dia menghendaki melakukan sesuatu maka Dia akan melakukannya dan apabila enggan melakukan sesuatu maka Dia tidak akan mengerjakannya. Tiada satu pun yang keluar dan berada di luar wilayah kekuasaan Allah Swt di alam semesta ini.
Adapun bahwa alam semesta diciptakan dalam waktu enam hari atau dengan ungkapan yang lebih tepat dalam enam tingkatan pada hakikatnya tidak berseberangan dengan kekuasaan dan kudrat Allah Swt; karena dengan melewati enam tingkatan ini bagi penciptaan alam semesta tidak bermakna bahwa Allah Swt tidak berkuasa menciptakannya dalam satu waktu; artinya penciptaan seketika alam semesta oleh Tuhan bukanlah suatu hal yang mustahil. Mengingat bahwa mekanisme yang berlaku di alam semesta adalah mekanisme sebab akibat dan berada di bawah aturan hukum kausalitas dan Tuhan tidak ingin melakukan sesuatu kecuali dengan sebab-sebabnya, maka, dengan beberapa alasan yang tidak kita ketahui secara pasti, alam semesta diciptakan dalam waktu enam hari. Namun yang pasti penciptaan gradual ini sepenuhnya disebabkan oleh tipologi yang dimiliki alam semesta bukan karena kekuasaan dan kudrat Allah Swt.
“Huwalladzi khalaqa al-samawat wa al-ardh fi sittati ayyamin.”
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam waktu enam hari.” (Qs. Hud [11]:7)
Pertama-tama yang dimaksud dengan hari bukanlah satuan waktu dua puluh jam yang kita lalui sehari-hari. Karena pada waktu itu bumi dan matahari belum lagi diciptakan sehingga bumi mengelilingi dirinya di hadapan cahaya matahari sehingga kita menyebut rotasi tersebut sebagai sehari. Hari dalam ayat yang dimaksud merupakan ungkapan tentang masa dan tingkatan dan penggalan waktu dari zaman. Apa yang dijelaskan ayat-ayat al-Qur’an dan riwayat bahwa bumi diciptakan dalam enam tingkatan dan terkait dengan hal-hal detilnya pada setiap tingkatan dan bagaimana proses terjadinya tidak ada yang dapat kita pahami dari firman Allah Swt. Yang paling maksimal yang dapat kita petik dari ayat-ayat al-Qur’an adalah pertama bahwa penciptan langit dan bumi tidaklah berbentuk dan seperti kondisi yang sekarang ini kita saksikan. Keberadaannya tidak bersifat mendadak dan muncul dari ketiadaan, melainkan diciptakan dari sesuatu yang lain dimana sesuatu tersebut sebelumnya telah ada dan hal itu adalah sebuah materi yang mirip bagian-bagian dan bertumpuk-tumpuk satu dengan yang lain kemudian Allah Swt membagi-bagi materi padat ini, dan bagian-bagian tersebut dipisahkan dari yang lain. Dari satu bagiannya, dalam dua penggalan waktu bumi dibuat dan kemudian menciptakan langit yang kala itu masih berupa asap (dukhan),[1] bagian-bagian tersebut juga dipisah-pisahkan dan pada dua penggalan waktu kemudian berbentuk tujuh petala langit.
Yang lainnya bahwa seluruh entitas dan makhluk hidup yang kita saksikan diciptakan dari air, karena itu materi air (tentu saja air ini bukan air yang kita sehari-hari konsumsi) merupakan materi kehidupan setiap makhluk hidup. Dengan penjelasan di atas menjadi jelas ayat yang menjadi obyek bahasan, oleh itu, al-Qur’an menyatakan, “Huwalladzi khalaqa al-samawat wa al-ardh fi sittati ayyamin” (Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam waktu enam hari) yang dimaksud dengan menciptakan langit dan bumi pada ayat ini adalah mengumpulkan bagian-bagian kemudian memisahkannya dengan materi-materi lain yang mirip satu dengan yang lain kemudian memadatkannya satu dengan yang lain.[2]
Hingga kini makna penciptaan alam semesta yang terjadi selama enam hari menjadi jelas. Sekarang tiba gilirannya kita membedah makna kun (jadilah) fayakun (maka jadilah ia) bahwa pada hakikatnya apa sih makna huruf ini? Al-Qur’an menyatakan, “Innama amruhu idza arada syaian an yaqula lahu kun fayakun.” (Sesungguhnya urusannya-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah ia,” Qs. Yasin [36]:82).
Ayat mulia ini merupakan salah satu ayat unggul al-Qur’an yang mendeskripsikan kalimat pengadaan dan penjadian dan menyatakan, “Allah Swt dalam menjadikan dan mengadakan segala sesuatu yang kejadiannya dikehendaki, tidak membutuhkan kepada sesuatu yang lain kecuali kepada Zat-Nya sendiri, bukan bahwa sebab tersebut secara mandiri menjadikan sesuatu juga bukan membantu Tuhan dalam penjadiannya, atau menyingkirkan penghalang terealisirnya kehendak Tuhan.
Yang dimaksud dengan redaksi “amr” pada ayat yang menjadi obyek bahasan adalah “sya’n” (urusan, kedudukan) artinya ayat tersebut ingin menandaskan, “Urusan (kedudukan) Tuhan tatkala menghendaki penciptaan satu makhluk dari seluruh makhluk adalah demikian, bukan bermaksud amr (perintah) sebagai lawan nahi (larangan). Tatkala Tuhan ingin menciptakan satu entitas (makhluk) maka Dia menggunakan kalimat “amr.” Karena itu, makna kalimat “idzâ aradâ” adalah bahwa tatkala segala sesuatu berada dalam obyek kehendak Tuhan, maka sya’n (kedudukan atau urusan) Tuhan adalah berkata kepada sesuatu tersebut untuk menjadi (kun) dan maka jadilah ia (fayakun). Namun yang menjadi titik tekan di sini bukan lafaz “kun” melainkan kehendak (iradah) Tuhan. Demikian juga dalam kondisi ini obyek bicara Tuhan juga bukanlah obyek yang memiliki indra pendengaran dan mendengarkan pembicaraan dengan dua telinganya kemudian mengada, lantaran apabila obyek bicara sudah mewujud (sebelumnya) maka tidak perlu lagi diwujudkan. Karena itu, ayat yang menjadi obyek bahasan merupakan sebuah firman yang mengandung analogi dan karena Zat Allah Swt apabila mengendaki wujudnya segala sesuatu maka tanpa ada jeda dan selisih akan segera mewujud.[3]
Dari satu sisi juga, apa yang dianugerahkan dari sisi Allah Swt, tidak memerlukan waktu dan jeda, juga tidak menerima adanya perubahan dan pergantian, demikian juga tidak bersifat gradual. Apa pun yang kita saksikan secara gradual, memerlukan waktu dan jeda pada seluruh entitas dan makhluk sejatinya bersumber dari entitas itu sendiri dan bukan berasal dari sisi Allah Swt.
Shafwan bin Yahya berkata, aku berkata kepada Hadhrat Abi al-Hasan As: Tolong Anda jelaskan tentang kehendak Tuhan dan penciptaan-Nya. Beliau berkata, “Kehendak pada kita makhluk bermakna keinginan batin dan intrinsik yang sebagai ikutannya muncullah perbuatan dari kita. Namun kehendak Allah Swt bermakna pengadaan dan penjadian perbuatan bukan selainnya, karena Allah Swt tidak perlu berpikir dan merenung sebelumnya. Dia tidak seperti kita yang memerlukan keputusan sebelum setiap pekerjaan dilakukan dan kemudian memikirkan bagaimana merealisasikannya. Sifat seperti ini tidak terdapat pada Allah Swt dan merupakan salah satu tipologi makhluk.
Oleh itu, kehendak Tuhan adalah perbuatan itu sendiri bukan yang lain. Dia berkata kepada perbuatan tersebut, “Jadilah (Kun) maka perbuatan itu akan menjadi (fayakun). Adapun kita berkata, “Berkata kepadanya” (an yaqula) bukan perkataan dengan ekspresi dan bahasa, bukan juga keputusan dan produk pikiran, sebagaimana Dia tidak memiliki kualitas, perbuatan-Nya juga tidak memiliki kualitas.[4]
Karena itu, apabila kita berkata bahwa Allah Swt menciptakan alam semesta dalam enam hari maka pertama-tama hal itu tidak bermakna bahwa penciptaan tersebut secara gradual terjadi dari sisi Allah Swt dan perbuatan-Nya adalah bersifat gradual dan sebagai kesimpulannya karena Allah Swt tidak mampu menciptakannya dalam satu waktu maka kekuasaannya terbatas dan untuk menciptakan Dia memerlukan terlewatinya waktu. Sifat gradual ini sejatinya bersumber dari makhluk yang dalam ini adalah alam semesta dan bukan bersumber dari Allah Swt. Karena sebagaimana yang telah dijelaskan kapan saja Allah Swt menghendaki wujudnya sesuatu maka segera ia akan mewujud (fayakun). Apa yang Anda nyatakan bahwa hal ini berasal dari sisi Tuhan, sama sekali tidak bermasalah. Benar bahwa Tuhan mampu menciptakan alam semesta dalam satu waktu namun mengingat alam materi mengikut mekanisme sebab akibat dan tunduk di bawah aturan hukum kausalitas dan Allah Swt enggan melakukan sesuatu kecuali dengan sebab-sebabnya[5] atas alasan itulah berdasarkan kemasalahatan-kemasalahatan yang juga kita tidak ketahui secara persis alam semesta diciptakan dalam enam tingkatan, boleh jadi pada setiap tingkatan bergantung pada tingkatan-tingkatan sebelumnya atau dalil-dalil lainnya... namun apa yang penting di sini adalah Tuhan mahakuasa untuk menciptakan segala sesuatu yang memiliki kemungkinan eksistensial untuk mewujud.[6] [IQuest]
[1]. Namun apa yang disebutan dalam kitab-kitab tafsir bukanlah asap yang umum dikenal ini.
[2]. Terjemahan Persia Tafsir Al-Mizan, jil. 10, hal. 224.
[3]. Terjemahan Persia Tafsir Al-Mizan, jil. 17, hal. 171. Pada ayat 82 surah Yasin.
[4]. Sesuai nukilan dari terjemahan Persia Tafsir Al-Mizan, jil. 17, hal. 117.
[5]. “AbaLlah an yujri al-asya illa bi asbab.” Sesuai nukilan dari Majmu-‘e-ye Âtsâr, jil. 1, hal. 408 (Majma’ al-Bahraîn, kata sa-ba-b).
[6]. Majmu-‘e-ye Âtsâr Syahid Muthahhari, jil. 4, hal. 626 & 627.