Please Wait
7378
Jawaban atas pertanyaan seperti ini bersandar pada pengenalan kita terhadap esensi tangisan dan tujuan orang menangis.
Tangisan terbagi menjadi dua. Tangisan lahir dan tangisan batin. Tangisan batin hasil dari pelbagai pengaruh mental dan afeksi dimana dengan tangisan batin ini muncul pada manusia lantaran pelbagai aktifitas otak dan setelah itu tetesan air mata luruh pada wajahnya.
Pengaruh-pengaruh mental ini boleh jadi memiliki banyak faktor. Terkadang kehilangan sesuatu yang kita miliki yang menjadi faktor pengaruh pada ruh dan juga terkadang perasaan untuk mencari kesempurnaan, keyakinan atau perasaan iba kepada orang-orang yang teraniaya, yang menjadi penyebab terpengaruhnya hati kemudian tumpahlan tetesan air mata sebagai bentuk simpati dan empati kepadanya. Dan boleh jadi pengaruh-pengaruh ruh dan akibat-akibatnya meledaknya tangisan akibat perpisahan atau pertemuan, dan juga ketika tidak mampu serta merasa tidak berdaya, lemah, hipokritas atau riya dan sebagainya.
Bagaimanapun, linangan air mata Syiah yang luruh untuk para imam mereka di Baqi dan sebagainya bukan merupakan tangisan anak-anak yang kehilangan mainannya atau tangisan orang dewasa yang dirampas hartanya, melainkan tangisan mereka atas para imam mereka adalah tangisan kecintaan kepada kesempurnaan. Tangisan tersebut merupakan ekspresi kesedihan yang mengisahkan kematangan dan kesempurnaan sosial mazhab Syiah. Kesedihan ini merupakan kesedihan atas kezaliman yang mendera kebenaran.
Tangisan ini bukan merupakan tangisan ketidakberdayaan, kelemahan atau kemunafikan. Tangisan ini merupakan tangisan seorang manusia pecinta yang tumpah ruah terkadang karena perpisahan juga karena persuaan.
Tangisan ini merupakan tangisan seorang manusia yang hatinya bukan batu dan luruh karena kezaliman yang didera oleh orang-orang teraniaya. Tangisan ini merupakan tangisan cinta kepada kesempurnaan dan kesedihan yang mendera lantaran sebagian orang tidak membiarkan manusia terlepaskan dahaga kemanusiaannya terhadap teladan kesempurnaan dan kebijaksanaan.
Tangisan ini pada dimensi eksoterik tidak hanya menjadi penyebab stress, melainkan ia merupakan faktor signifikan dalam menciptakan mood, penguat afeksi dan pengenalan terhadap subyek yang menjadi fokus pembahasannya, kesiapan perbuatan, menguatkan hubungan, kecintaan dan menyediakan ruang baginya untuk dapat menyerupai orang-orang yang dicintainya atau mencintai segala hal yang menjadi kecintaan orang-orang yang dicintainya.
Pada sisi eksoterik dan lahirnya, menunjukkan dinamika dalam masalah-masalah sosial dan politik. Dan merupakan faktor siginifikan dalam menciptakan pelbagai gerakan dan konfrontasi sosial serta tawalli dan tabarri. Dengan luapan tangisan, subyek yang menjadi fokus perhatiannya dapat ia jaga, sedemikian sehingga membekas dan tidak akan terlepas dari ingatannya. Dan dapat dikatakan, “Terjaganya maktab murni Muhammadi dan penentangan terhadap kezaliman merupakan salah satu buah yang dapat dipetik dari tangisan ini. Dan inilah rahasia mengapa orang-orang Syiah menumpahkan tangisan mereka di samping pekuburan Baqi’.
Menjawab pertanyaan ini tanpa mengenal esensi apa itu tangisan, penerapan, pengaruhnya serta jenis pandangan Syiah terhadap acara-acara berkabung dan tangisan tidak akan mungkin dapat dilakukan. Oleh itu, kami akan mengulas permasalah ini secara detil.
Esensi Tangisan
Tangisan terbentuk dari dua bagian. Lahir dan batin. Lahirnya merupakan urusan fisiologi dan batinnya adalah bertitik-tolak dari pengaruh-pengaruh afeksi dan internal, yang dihasilkan (material dan natural) melalui pelbagai penggerak internal atau eksternal, seperti berpikir.
Dengan pengaruh-pengaruh afeksi, sebagian titik pada otak akan aktif dan memberikan pada kelenjar air mata untuk beraktifitas dan dari sini luruhlah tetesan air mata.
Adapun sisi batin tangisan (pengaruh-pengaruh afeksi) memiliki faktor yang beragam. Karena itu, tangisan juga memiliki model yang beragam:
1. Tangisan yang bersumber dari hubungan natural manusia terhadap dirinya dan segala yang bersangkut dengannya: Jenis tangisan ini muncul tatkala mengalami atau melihat peristiwa mengenaskan[1] dan tidak dikehendaki kedatangannya dan juga berkaitan dengan masa lalu. Seseorang lantaran kehilangan sesuatu yang disukai akan bereaksi dan dalam istilah umum, simpul-simpulnya akan terlepas dan tumpah air matanya.
2. Tangisan seseorang yang memiliki akar pada keyakinan, seperti yang dihasilkan pada munajat-munajat. Manusia menemukan dirinya di haribaan Tuhan dan memandang dirinya sebagai pendosa, seluruh perbuatan dan perilakunya yang terekam. Dengan demikian ia akan terobsesi[2] dan seterusnya. Jenis tangisan seperti ini berkaitan dengan masa datang dan masa kini. Namun tentu saja tidak terlepas dari masa lalu. Misalnya tangisan penyesalan dan taubat.
3. Tangisan yang luruh untuk mencari keutamaan dan kesempurnaan. Seperti tangisan akibat kehilangan guru atau ustadz akhlak, para Imam As, dan Nabi Saw. Dan hal ini lantaran kita memuji kesempurnaan pada kedalaman jiwa kita, ingin mencapai kesempurnaan itu dan lantaran tiadanya kesempurnaan tersebut pada diri kita yang membuat kita bersedih dan meringis.[3]
Tatkala Ummu Aiman menangisi kepergian Rasulullah Saw, khalifah kedua bertanya kepadanya gerangan apa yang membuat ia menangis? Bukankah Rasulullah Saw sekarang berada di sisi Tuhan? Ummu Aiman menjawab: “Kesedihanku lantaran kita tidak lagi mendapat mencicipi hidangan wahyu yang disampaikan Nabi Saw.[4]
4. Tangisan atas orang teraniaya. Manusia yang tidak keras hatinya, akan bergetar melihat pemandangan seorang anak yatim di pelukan ibu pada suatu malam dingin musim salju, sekarat karena perpisahan dengan ayahnya. Atau orang yang tumpah ruah perasaannya dalam bentuk tetesan air mata disertai hati yang penuh dengan afeksi kemanusiaan tatkala mendengar matinya seorang anak menyusui di pelukan ayah dan kering tenggorokannya. Tangisan ini tumpah karena terobsesi kezaliman yang ditimpakan seorang zalim kepada seseorang (misalnya kasus Ali Akbar bin Husain).
5. Tangisan karena tidak berdaya dan lemah. Terkadang manusia karena kehilangan sesuatu atau menelan pil pahit kekalahan, merasa tak berdaya dan lemah dan pada akhirnya terobsesi dan menangis dengan hina. Tangisan ini adalah tangisan orang-orang lemah yang tidak kuasa sampai pada tujuan.
6. Tangisan kerinduan, misalnya tangisan seorang ibu setelah bersua dengan anaknya yang hilang, setelah bertahun lamanya berpisah dan menanti kedatangannya. Air matanya berlinang di pipi atau tangis gembira lantaran menjumpai kekasihnya setelah sekian lama berpisah.[5]
7. Tangisan perpisahan. Misalnya tangisan seorang pecinta yang ditinggal pergi atau kehilangan kinasihnya.
8. Tangisan kasih dan cinta. Menukil ucapan para ilmuan, salah satu dimensi wujud manusia adalah dimensi afeksi dan kemanusiaannya. Apabila manusia hampa dari dimensi ini maka sesungguhnya ia tidak mengecap rasa kemanusiaan. Atas dasar ini, apabila ada seseorang sepanjang usianya meskipun sekali saja tidak mengecup pipi putranya sebagai ungkapan kasih kepadanya, suatu hal yang mendapat celaan Nabi Saw, “man laa yarham laa yurham” (Barang siapa yang tidak mengasihi [maka ia] tidak [akan] dikasihi).[6] Tatkala Ibrahim wafat, Rasulullah Saw menangis, dalam menjawab pertanyaan sebagian orang gerangan apa yang membuat Rasulullah Saw menangis. Beliau bersabda: “Bukanlah tangisan (ku) ini sebagai ungkapan kemarahan namun sesungguhnya tangisan (ku) ini adalah tangisan kasih. Barangsiapa yang tidak mengasihi (maka ia) tidak dikasihi.”[7]
9. Tangisan dusta dan mengecoh umumnya disebut sebagai “air mata buaya.”[8]
Tujuan dan penerapan tangisan
Tujuan tangisan:
Seluruh jenis tangisan yang disebutkan di atas boleh jadi memiliki tujuan politik, budaya atau agama. Misalnya terkait tangisan para Imam Maksum As disebutkan bahwa: Tatkala ruang tabligh dipersempit bahkan ditutup mereka memanfaatkan tangisan sebagai bentuk perlawanan dingin terhadap kaum penguasa. Tangisan mereka dimaksudkan untuk mengajukan pertanyaan sedemikian bahwa mengapa orang-orang besar ini bersedih hati! Memangnya ada persoalan apa yang membuat mereka bersedih hati dan menangis!
Berangkat dari sini, untuk menjelaskan hakikat ajaran Islam dan menyampaikan kepada manusia dan membangunkan serta membongkar kedok para tiran dan penjarah, mereka menumpahkan air mata dan inilah rahasia tangisan putri semata wayang Rasulullah Saw, Fatimah Zahra yang dinukil dalam sejarah.
Setiap hari, beliau mengambil tangan Hasan dan Husain dan di pinggiran
Pekuburan Baqi’ adalah pengingat duka dan nestapa Fatimah. Pengingat segala petaka yang ditimpakan kepada puan besar Islam dan para Imam Syiah dalam menjaga Islam.
Harus diketahui bahwa kesedihan dan duka cita Syiah di samping pekuburan Baqi’ tidaklah sama dengan kesedihan seorang bocah yang kehilangan barang mainannya yang membuatnya menangis. Atau kesedihan seorang dewasa yang kehilangan harta dan lain sebagainya. Kesedihan seorang Syiah merupakan kesedihan yang mengisahkan tentang kematangan dan perjalanannya menuju kesempurnaan. Kesedihan ini merupakan kesedihan atas keteraniayaan yang ditimpakan kepada kebenaran. Dan sebuah tangisan yang menandaskan tuntutan kesempurnaan Syiah.
Sejatinya, tangisan kita, dari satu sisi, untuk para imam. Dan dari sisi lain, untuk diri kita sendiri. Memangnya kesalahan mereka apa sehingga harus menderita duka dan nestapa? Bukankah kecintaan kepada mereka merupakan upah risalah? Mengapa sebagian orang tidak membiarkan air mata kita luruh dan tumpah bagi mereka?
Bagaimanapun tangisan Syiah adalah tangisan keteraniayaan dan bersumber dari keinginan untuk meraup keutamaan. Hal ini memiliki akar pada ideologi mereka. Namun kesedihan ini juga memiliki nuansa konfrontasi sosial, tabarri dan tawalli yang akan kita singgung kemudian. Artinya tidaklah demikian bahwa kondisi seperti ini menjadi penyebab kelemahan dan ketidakberdayaan, namun menjadi penyebab pergerakan sosial. Tangisan Syiah bukan termasuk tangisan ketidakberdayaan; karena kita meyakini bahwa tangisan ini boleh jadi adalah tangisan keterpisahan[10] sebagaimana pesan yang kita sampaikan kepada Imam Husain As:
“Duhai Tuhanku! Sekiranya kami bersamamu maka kami akan mencapai kemenangan gemilang![11]
Atau boleh jadi tangisan ini adalah tangisan kerinduan. Misalnya seorang manusia yang terobsesi dan tergugah menyaksikan pelbagai kematangan, keprawiraan, orang-orang bebas, orasi-orasi membakar pria dan wanita yang secara lahir tertawan, sehingga tumpah ruah air matanya. Atau mungkin saja tangisan tersebut semata-mata tangisan emosional yang bersumber dari perasaan iba; Apakah manusia kemudian tidak menetes air matanya setelah mendengar segala kejahatan dan kekejian yang dilakukan pada peristiwa
Kegunaan dan pengaruh tangisan
Pengaruh tangisan dapat dikaji dari dimensi lahir dan dimensi batin. Pada dimensi lahiriah, seluruh aplikasi tangisan dapat ditinjau dari beberapa perkara di bawah ini:
1. Sebagaimana yang telah dijelaskan, tangisan adalah sejenis ungkapan emosional batin dan apabila tidak bersumber dari ketidakberdayaan dan kelemahan sebagaimana yang disebutkan pada bagian pertama di atas[12] maka yang dihasilkan adalah kedamaian jiwa dan sejatinya akan menyebabkan tercerahkannya hati.[13]
Pengosongan emosional ini berkenaan dengan putaran transedental seseorang. Manusia ingin meraup puncak kesempurnaan. Akan tetapi tidak demikian caranya. Ia memahami hal ini dan menjadi emosional. Ia tidak ingin adanya kezaliman dan tirani dalam agama akan tetapi kenyataannya kezaliman dan tirani merajalela. Ia melihat hal ini dan terobsesi dengan kejadian ini. Ia menyaksikan segala berkah dan nikmat Ilahi pada dirinya dan orang lain dan dengan mengingat mereka (timbul perasaan ibanya). Dan tangisan sedemikian, jelas menjadi penumbuh harapan dan pencipta gerakan. Tentu berbeda dengan tangisan karena stress dan depresi. [14] Tangisan seperti ini menghadirkan mood dan tidak hanya menjadi faktor instabilitas dalam kehidupan setiap orang, melainkan juga memiliki pengaruh pada proses pengobatan (healing) seseorang.[15]
Mereka yang turut serta pada majelis-majelis duka yang bercorak demikian, sendiri mengakui bahwa majelis-majelis duka seperti ini memberikan perasaan tersendiri kepada mereka dan hal ini tidak timbul kecuali dengan perasaan duka dan sedih yang menguasai majelis adalah kesedihan akhirat dan duka keteraniayaan orang-orang teraniaya.
2. Emosi-emosi dan obsesi-obsesi mental pada dimensi makrifat yang menyisakan pengaruh seseorang. Juga meningkatkan kuriositas dan pemahaman seseorang terhadap perisitwa duka yang menimpa keluarga Rasululllah Saw.
3. Dengan menguatkan perasaan dan pengenalan, kesiapan perilaku seseorang sejalan pengenalan dan perasaannya akan semakin besar.
4. Di antara pengaruh lainnya tangisan adalah penyebab munculnya perasaan senasib dengan mereka yang tertimpa duka.
5. Kecintaan dan kesukaan seseorang terhadap obyek yang digemari semakin bertambah. Akan tetapi sangat jelas bahwa pengaruh-pengaruh mental, adalah penjelas adanya jalinan emosional dengan orang yang teraniaya, meski seseorang yang tertimpa musibah adalah orang asing dan tidak terpengaruh oleh kesedihan yang dialaminya.
6. Manusia sempurna adalah manusia yang pada saat yang sama, seluruh dimensi wujudnya, mengalami kematangan (mencapai kesempurnaan) dan memiliki perasaan, kekuataan berpikir dan pengetahuan yang kuat. Tangisan juga merupakan faktor untuk mematangkan perasaan dan pertanda adanya ruh yang lembut dan emosi yang kuat. Yang pertama adalah penambah dan yang kedua adalah penunjuk.
Dari sini dapat dipahami mengapa tatkala Amirul Mukminin As pada pemerintahannya tatkala mendapat berita tentang seorang wanita Yahudi yang dianiaya dan gelang kakinya dicuri: “Apabila ada seseorang yang mati karena kesedihan ini, maka yang disalahkan bukan dirinya.”[16]
Pengaruh-pengaruh eksternal Tangisan
Tangisan memiliki sisi sosial, politik, tawalli dan tabarri. Tangisan merupakan faktor penyebab munculnya pelbagai gerakan sosial dan politik. Karena itu, pemerintahan-pemerintahan tiran melarang diadakannya acara duka atas para martir
1. Tangisan dan deklarasi perang atas kezaliman dan tirani:
Terkadang tetesan air mata membawa pesan atas pelbagai tujuan. Mereka yang ingin berkata dengan
2. Tangisan dan hidupnya kembali agama Islam:
Tangisan yang ditumpahkan oleh Syiah atas keteraniayaan para maksum As di antaranya bagi Sayidah Zahra dan para imam yang dikebumikan di Baqi’, Imam Husain telah menjadi sebab terjaganya Islam murni, Islam Muhammadi.
Imam Khomeini berkata, “Yang memelihara penguhulu para syuhada (Imam Husain) adalah tangisan-tangisan ini. Dan setiap maktab yang tiada tangisan, tiada duka…maka ia tidak akan terpelihara…”[18]
“Memelihara acara duka Asyura merupakan sebuah masalah penting politik-ibadah.”[19]
Syahid Muthahhari terkait dengan hal ini berujar, “Seorang pemuda bertanya kepadaku: Apabila maktab Imam Husain harus dihidupkan, apakah mengenang musibah yang melanda beliau juga harus diadakan? Aku berkata, “Iya.” Hal ini merupakan titah yang disampaikan oleh para imam kepada kita. Titah ini ada hikmahnya. Dan hikmahnya adalah bahwa setiap maktab tidak memiliki sisi emosional dan afeksi, dan semata-mata merupakan maktab filsafat dan pemikiran, maka ia tidak akan bepengaruh banyak pada ruh kita dan tidak memiliki peluang untuk abadi. Akan tetapi apabila ia memiliki sisi emosional, maka afeksi ini yang akan memberikan kehangatan kepadanya. Tanpa ragu, maktab Imam Husain As adalah maktab logika dan filsafat. Maktab Imam Husain memiliki ajaran, ia harus dipelajari dan dikaji. Akan tetapi sekiranya maktab ini melulu kita telisik pada wilayah pemikiran semata, maka ia akan kehilangan kehangatan dan kesegarannya dan secara asasi akan mengalami antikuasi.[20]
Tangisan atau tirani yang ditimpakan kepada para imam menjadi penyebab panas dan gejolak dalam dada ini tetap segar terpelihara sehingga tiada lagi orang yang mengingkari peristiwa seperti Ghadir dan tragedi Asyura. Menghidupkan Asyura artinya menghidupkan maktab Islam; karena Imam Husain bangkit dalam rangka menjaga dan memelihara Islam.
Sebagai hasilnya dapat dikatakan bahwa tangisan kaum Syiah di samping pekuburan Baqi’ dan dalam duka Imam Husain As dan sebagainya, pertama merupakan perkara natural dan humanis. Kedua, bermaksud untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah dijelaskan di atas dan tangisan semacam ini mendapatkan afirmasi dan penegasan dari al-Qur’an dan riwayat, sirah nabawi dan para sahabat[21] juga menjadi bukti atas hal ini.[]
Referensi untuk telaah lebih jauh:
1. Bihâr al-Anwâr, jil. 44, hal. 289, 293; jil. 21, hal. 24.
2. Wasâil al-Syiah, jil. 12, hal. 90.
3. Thabâqât Ibn Sa’ad, jil. 8, 282.
4. Alif Kaviani, Giriye Herbei-I dar Dast Syi’ah.
5. Syahid Mutahhari, Imâmat wa Rahbari, hal. 53.
6. Makarim Syirazi, Falsafa-ye Syahâdat, hal. 10-13.
7. Syahid Muthahhari, Qiyâm-e Inqilâb-e Mahdi, hal. 108.
8. Husain Rajabi, Pâsukh be Syubhat-e Âzâdari.
9. Rijâl Kasyi, hal. 187.
10. Tarjameh-ye Nafas al-Mahmum, hal. 15, 17, 23, 34.
11. Samhudi, Wafâ al-Wafâ, hal. 468.
[1]. Kondisi yang mengenaskan seseorang adalah kondisi internal dan eksternal yang menimpa seseorang tanpa dikehendaki. Dan tentu saja terkadang sifatnya tiba-tiba misalnya muncul pada orang yang mendengar kabar kematian dan hilangnya salah seorang kerabatnya akibat kecelakaan. Silahkan lihat, Rah Tusye Rahyan-e Nur, Markaz Amuzesyha-ye Takhashusi Baqir al-‘Ulum, no. 46, hal. 235-254.
[2]. Imam Sajjad As bersabda: “Air mata yang paling dicintai adalah air mata yang luruh secara tulus di keheningan dan kegelapan malam lantaran takut kepada Allah Swt.” Bihâr al-Anwâr, jil. 9, hal. 329, bab Fadhl al-Buka, dan tentu saja air mata yang luruh sedemikian adalah sejenis keyakinan yang kita miliki terhadap Tuhan dan alam akhirat.
[3]. Pada ayat 92, surah al-Taubah dalam mencirikan sebagian orang, disebutkan: Dan tiada (dosa pula) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu supaya kamu memberi mereka kendaraan, kamu berkata, “Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu.” Lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan (di jalan jihad).
[4]. Baihaqi, Dalâil al-Nubuwwah, jil. 7, hal. 266
[5]. Tatkala Ja’far bin Abi Thalib yang datang dari Habsya (Afrika) ke Madinah, Rasulullah menyambutnya dan “tangisan bahagia yang tampak dari wajahnya”, Bihâr al-Anwâr, jil. 21, hal. 24.
[6]. Rei Syahri, Mizân al-Hikmah, jil. 10, hal. 700; Bihâr al-Anwâr, jil. 43, hal. 282 dan 283.
[7]. Bihâr al-Anwâr, jil. 23, hal. 151.
[8]. Untuk diingat: Kendati sebagian dari bagian tangisan dari satu sisi bersifat umum dan boleh jadi terdapat jenis lain atau beberapa faktor lainnya yang berperan dalam melahirkan tangisan. Akan tetapi untuk penjelasan lebih jauh dan perhatian terhadap faktor yang penting dan sentral, kami kemukakan pembahasan ini.
[9]. Fatimah adalah belahan jiwaku. Barangsiapa yang menceriakannya sesungguhnya ia telah menceriakanku. Dan barang siapa yang mengusiknya sesungguhnya ia telah mengusikku. Fatimah adalah semulia-mulia manusia di sisiku.” Bihâr al-Anwâr, jil. 43, hal. 23. Shahih Muslim, jil. 5, hal. 54. “Sesungguhnya Allah murka dengan murka Fatimah dan ridha dengan keridhaannya. Kanz al-‘Ummal, jil. 12, hal. 111. Bihâr al-Anwâr, jil. 43, hal. 19 “Fatimah adalah hati dan jiwaku yang terletak di kedua sisiku. Barang siapa yang menyakitiknya sesungguhnya ia telah menyakitiku.”
[10]. Nabi Ya’qub tatkala berpisah dengan putranya sedemikian ia menangis hingga matanya buta, Imam Sajjad As dalam menjawab pertanyaan orang yang bertanya kepadanya tentang mengapa ia banyak menangis, “Ya’qub tatkala berpisah dengan salah satu putranya, sedemikian ia menangis lantaran berduka hingga matanya buta sementara beliau tahu bahwa Yusuf masih hidup. Dan aku bagaimana aku tidak menangis….” Hilyat al-Auliya, sesuai nukilan terjemahan kitab A’yan al-Syiah, Sayid Muhsin Amin, hal. 72.
[11]. Mafatih al-Jinan.
[12]. Dalam ziarah Warits yang kita alamatkan kepada para syahid, kita membaca, “Kalian meraih kemenangan agung. Duhai sekiranya aku bersama kalian sehingga mencapai kemenangan bersama kalian.” Mafatih al-Jinan.
[13]. Menurut psikolog, pada bagian pertama tangisan sangat berpengaruh pada ketenangan jiwa dan ringannya luka dari kondisi mengenaskan.
[14]. Terkadang disebutkan bahwa acara-acara duka di
A. Dua atau beberapa hal yang merupakan tanda-tanda kurannya nafsu makan (anoreksi) atau kebanyakan nafsu makan, kurang tidur atau insomnia, kurangnya energi atau kelelahan, rendah diri, kurangnya konsentrasi, kurang tegas dalam mengambil keputusan.
B. Tanda-tanda ini berlangsung pada kebanyakan hari, minimal dilaporkan selama dua tahun.
C. Tanda-tanda ini menyebabkan gangguan pada kinerja sosial, pekerjaan dan sebagainya.
Di samping itu, para psikolog berkata tentang stress positif terdapat tiga faktor biologis (kondisi otak dan kinerja bagian-bagiannya), warisan (pada keluarga dan gen) dan pelbagai emosi lingkungan seperti munculnya stress yang ekstrem, krisis dan kehilangan, dapat berpengaruh pada benak seseorang. Dan tentu saja pengalaman yang mengundang stress lingkungan hanya berlaku orang-orang yang memiliki persiapan lingkungan dan warisan, menjadi sebab munculnya depresi. Dan faktor-faktor stress antara lain, kehilangan pekerjaan, putusnya hubungan, kematian salah seorang kerabat, talak, perkawinan yang gagal, kesulitan ekonomi dan pada akhirnya kehilangan sesuatu atau seseorang memiliki saham dalam memunculkan stress. Dalam masalah ini, kami persilahkan Anda untuk merujuk pada buku Anjuman-e Rawansyinasi Amrika, (Asosiasi Psikologi Amerika), terjemahan Muhammad Ridha Nikkhu, DSMIV, hal. 88, 96, 564, 602.
Adapun acara duka tidak hanya tidak mendatangkan stress namun memainkan peran dalam menghilangkan stress dan tidak menimbulkan satu pun tanda-tanda depresi positif. Tentu saja analisa ini bersandar pada paradigma dan analisa materialistik terhadap penyelenggaraan sebuah acara duka. Namun dari sudut pandang Islam dan analisa spiritual bahkan hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya tidak dapat mengkondisikan ruh seseorang pada agitasi dan menjadi penyebab stressnya lantaran orang tersebut adalah orang yang beriman kepada Tuhan, memandang-Nya sebagai Pemberi Rezeki dan bertawakkal kepada-Nya, dan ridha terhadap qadha dan qadar-Nya.
[15]. Tangisan adalah obat bagi setiap luka yang tak-terobati
Mata yang berlinangan merupakan anugerah Tuhan
Tangisan adalah mutiara samuderah rahmat
Mata yang menangis adalah kunci surga
Sepanjang tak luruh awan (hujan) bilamanakah tertawa ilalang?
Sepanjang tak menangis bayi bilamanakah ia menyusu?
Sepanjang tak menangis bocah bilamanakah kue terjual?
Sehingga muncul keinginan untuk membeli? (Rumi)
[16]. Nahj al-Balâghah, khutbah 27.
[17]. Gelombang air mataku mengalir tanpa kata-kata menyampaikan pesan
Air mata yang mengalir bak pekik yang luruh dariku (Mulla Qasim Masyhadi)
[18]. Shahifeh-ye Nur, jil. 8, hal. 69-72.
[19]. Ibid.
[20]. Sairi dar Sire-ye Nabawi, hal. 58.
[21]. Masalah ini memerlukan pembahasan terpisah. Insya Allah pada kesempatan mendatang kita akan membahas permasalahan ini.