Please Wait
8396
Menghormati, merujuk, tawassul (berperantara), meminta hajat dari para pembesar ini (Rasul dan para Imam Ahlulbait) jika dilakukan dengan tujuan bahwa mereka dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan kita tersebut berada dalam jajaran Tuhan atau mandiri dan tidak terkait dengan Dzat Suci Tuhan, maka tujuan dan penyimpulan yang seperti ini adalah syirik, dan tidak sesuai dengan tauhid perbuatan (kemandirian dan ketidakbutuhan Tuhan terhadap selain-Nya dan kebutuhan seluruh eksisten dalam setiap perbuatan kepada Tuhan) atau dengan tauhid ketuhanan (bahwa hanya Dialah satu-satunya pengatur dan yang mandiri, sedangkan seluruh eksisten lainnya, malaikat, para nabi dan faktor-faktor alam merupakan pembantu-pembantu-Nya), dan syirik ini termasuk sebagai syirik dalam perbuatan dan ketuhanan.
Akan tetapi, jika penghormatan, tawassul dan rujukan kita kepada mereka ini dengan tujuan:
1. Ketaatan terhadap perintah Ilahi;
2. Mengamalkan agama, berkaitan dengan hak yang mereka miliki sebagai perantara mulia dari sisi penciptaan alam (takwiniyah) maupun penetapan hukum agama (tasyri'iyah);
3. Meneladani dan memanfaatkan karunia-karunia istimewa yang dimiliki oleh mereka, tanpa menganggap mereka memiliki kemandirian dari Yang Maha Suci.
Maka persoalan-persoalan tersebut tidak bertentangan dengan tauhid perbuatan dan tidak membatasi sifat Tuhan yang Maha Memberi Hajat, karena perbuatan, pengaturan dan pemenuhan hajat para hamba Tuhan melalui para manusia mulia ini berada dalam garis vertikal (mata rantai menurun) perbuatan, pengaturan, dan pemenuhan hajat Tuhan, bukan dalam garis horizontal (mendatar atau sejajar) sehingga bisa dikategorikan sebagai sebuah kesyirikan.
Oleh karena itu, tolok ukur dan parameter dalam meminta hajat dari selain Tuhan bergantung pada niat seseorang. Jika seseorang yang ber-tawassul ini menganggap mereka memiliki kedudukan dan maqam ketuhanan, mandiri dan tidak memiliki kebergantungan kepada Tuhan, maka tawassul dengan akidah semacam ini dikategorikan sebagai syirik.
Namun, jika dia melakukannya untuk mentaati perintah Tuhan dan memanfaatkan kemuliaan dan ketinggian mereka di sisi -Nya untuk memintakan hajatnya dari-Nya atau supaya mereka memenuhi hajatnya dengan izin-Nya, maka persoalan ini bukan saja tidak merupakan perbuatan syirik, bahkan orang yang ber-tawassul inipun akan mendapatkan pahala pula, karena ia melaksanakan perintah Ilahi.
Manusia adalah sebuah eksisten dengan dua dimensi, yakni ruh malakuti dan materi yang bergantung dan membutuhkan. Dan karena memiliki dua dimensi ini, maka mereka dituntut pula untuk memenuhi kebutuhan kedua dimensi yang dimilikinya ini dengan seimbang dan jauh dari sifat berlebih-lebihan supaya tetap selamat, bisa melanjutkan kehidupan, dan melangkahkan kakinya untuk sampai pada puncak kebahagiaan hakiki, yang tak lain adalah maqam khalifatullâh.
Tuhan Yang Maha Bijaksana yang memiliki tujuan tertentu dalam penciptaan manusia pun mengetahui seluruh kebutuhan-kebutuhan dimensi wujud manusia ini. Sebelum penciptaan atau sezaman dengan kemunculan manusia, Dia telah menyediakan sarana-sarana yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Pengaturan Ilahi pun meliputi hal berikut bahwa dengan proses alami, manusia dengan ikhtiar dan usahanya akan memenuhi kebutuhan bagi keselamatan dan kebahagiaan jasmani dan ruhani mereka dengan memanfaatkan sarana dan fasilitas-fasilitas yang telah disediakan untuk mereka, dan jika tidak demikian tentulah Tuhan mampu menciptakan manusia dalam bentuk yang sempurna dari sisi jasmani sejak awalnya supaya manusia tidak lagi memerlukan tahapan kesempurnaan, sebagaimana ketika Dia menciptakan langit dan bumi, dan Dia juga akan mengarahkan ruh manusia secara sempurna sedemikian hingga dari sisi ibadah dan ketaatan dan masuknya mereka ke alam suci malakut tidak akan memiliki sedikitpun kekurangan, sebagaimana Dia menciptakan telah malaikat-malaikat-Nya seperti ini.
Akan tetapi, kelebihan dan keunggulan manusia atas seluruh eksisten dan makhluk terletak pada poin berikut bahwa selain mereka memiliki kebutuhan-kebutuhan jasmani dan ruhani, mereka juga bisa sampai pada tempat yang bahkan lebih tinggi dan lebih baik dari tempat yang dihuni oleh para malaikat.
Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, manusia yang bebas ini harus memanfaatkan seluruh nikmat yang berada di langit dan bumi yang telah dikaruniakan oleh Tuhan kepada mereka supaya tetap selamat dan mampu melanjutkan kehidupannya, sedangkan untuk menutupi segala kebutuhan-kebutuhan ruhaninya mereka harus memanfaatkan apa yang terdapat dalam agama supaya ruh malakutinya bisa bergabung dengan malaikat dan mengangkat tinggi derajat kebutuhan-kebutuhannya.
Bukan merupakan sebuah hal yang diragukan lagi jika dalam penerimaan faktor-faktor natural dan takwini ini pada sepanjang hari manusia memanfaatkan sarana-sarana yang sangat luas untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan jasmaninya, hal ini dikarenakan sejak kelahirannya bahkan sejak kemunculannya di alam duniaini, manusia telah berdekatan dengan hal-hal tersebut, namun kadangkala bahasan ini tidak mendapat perhatian dari kalangan penganut agama dimana bisa jadi memanfaatkan sarana-sarana ini dalam memenuhi kebutuhan jasmani bisa termasuk perbuatan syirik atau menggunakan hak milik Tuhan tidak pada tempatnya.
Untuk memenuhi kebutuhan ruh manusia, Tuhan Yang Maha Bijaksana pun meletakkan sarana-sarana lengkap lainnya dalam bentuk syariat agama, berupa nutrisi-nutrisi sehat dalam bentuk akidah, ibadah, akhlak dan pendidikan melalui perantara yang terpilih dari kalangan mereka sendiri (para nabi dan rasul), dan dengan dasar inilah mereka disebut sebagai perantara-perantara mulia syariat.
Pada sisi yang lain para nabi juga berkewajiban untuk memperhatikan batasan, kewajiban dan penggunaan sarana-sarana, supaya kebutuhan-kebutuhan ruh dan spiritual manusia bisa terpenuhi dan mereka bisa bergabung dengan alam suci malakut yang tidak nampak dan gaib dari mata lahiriah mereka dan bahkan lebih luas dari indera dan penyaksian mereka. Minimal pada sepanjang hari terdapat saat-saat untuk berkomunikasi dan berhubungan dengan alam suci ketuhanan ini (dalam bentuk ibadah-ibadah harian).
Kadangkala dalam tahapan ini, dalam menjalankan syariat-syariat-Nya, sebagian dari manusia telah mendahului dari selainnya, mereka bergabung ke alam malakut dengan gerak yang lebih cepat dan lebih kuat sedemikian hingga seakan telah terpisah dari alam materi ini, dan menemukan diri malakutinya.
Dan sekali lagi, di antara kelompok ini, ada sebagian dari rekan-rekan seperjalanan yang melangkah terlebih dahulu dan mampu menggapai maqam khalifatullah dan pembantu-pembantu Tuhan. Dan dengan cara inilah mereka pun bisa menjadi perantara kemuliaan penciptaan, yaitu perantara antara alam tersebut dengan kafilah dan orang-orang yang tertinggal. Oleh karena itu, tidak ada cara lain bagi mereka yang masih tertinggal dan jauh dari hidayah Tuhan ini selain memanfaatkan keperantaraan kelompok ini untuk menggapai alam suci malakut dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan hakikinya.
Dari sinilah kemudian muncul keraguan tentang adanya kontradiksi bertawasul dan meminta hajat dari manusia-manusia suci dengan tauhid perbuatan dan tauhid ketuhanan.
Padahal, persoalan ini sebagaimana halnya ketidaksyirikan memanfaatkan sarana-saran materi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan jasmani, karena Tuhan Yang Maha Tinggi meletakkan nikmat-nikmat ini untuk manusia,[1] dan Dia telah memberikan izinnya secara alami kepada manusia untuk memanfaatkan nikmat-nikmat ini dengan cara yang sah dan benar (sebagaimana yang telah dijelaskan dalam agama), dan manusia yang mengesakan Tuhan akan mengetahui bahwa seluruh ciptaan dan karunia-Nya ini bergantung pada Dzat Suci-Nya dan mereka tidak pernah menganggap persoalan-persoalan tersebut sebagai sesuatu yang mandiri dan berdiri sendiri.
Bersandar, bertawassul, menghormati, dan meminta kebutuhan dari para manusia suci ini pun sama sekali tidak kontradiksi dengan asas-asas tauhid perbuatan, tauhid rububiyah maupun membatasai sifat Tuhan Yang Maha Pemberi Hajat, karena dalam tawassul dan dalam perhatian-perhatian yang diberikan kepada para pembesar ini mereka tidak menganggap para pembesar ini berada dalam jajaran horizontal Tuhan atau mandiri dan tidak bergantung kepada Tuhan.
Melainkan manusia yang sadar menganggap seluruh perbuatan dan pengaturan yang dilakukan oleh para pembantu Tuhan ini berada dalam jajaran vertikal perbuatan dan pengaturan-Nya dan wujud mereka pun sebagaimana halnya wujud seluruh eksistensi lain yang fakir dan bergantung kepada Dzat Suci Tuhan, dimana tanpa karunia dan kemuliaan Ilahi tidak akan memiliki eksistensi apapun dalam wujudnya, jika demikian halnya, lalu bagaimana mereka bisa melakukan perbuatan dan memenuhi hajat-hajat.
Dengan dasar inilah, karena keyakinan terhadap perbuatan mereka dan kemampuan mereka memberikan hajat tidak diletakkan dalam garis horisontal dan sejajar dengan perbuatan dan sifat Maha Pemberi Hajat yang dimiliki oleh Tuhan, maka hal ini tidak meniscayakan kesyirikan.[2]
Akan tetapi, tentang kenapa Tuhan menetapkan rujukan kita kepada manusia-manusia mulia ini dan kenapa kita membutuhkan para perantara ini untuk menggapai alam suci dan alam malakut, terdapat beberapa alasan:
1. Manusia-manusia suci ini merupakan para perantara mulia Ilahi dengan para hamba-Nya, sedangkan jaringan arus rahmat Ilahi adalah untuk seluruh eksistensi alam, sehingga jika eksistensi-eksistensi mulia ini tidak ada, penciptaan langit-langit dan bumi dan apa yang berada di dalamnya tidak akan tercipta dan terwujud.
Oleh karena itulah dalam sebuah hadis qudsi yang terkenal kita membaca adanya firman Allah swt yang berbunyi, "Jika bukan karena kamu (Rasulullah saw), maka Aku tidak akan pernah menciptakan bintang-bintang, dan jika bukan karena Ali As, Aku tidak akan menciptakanmu, demikian juga, jika bukan karena Fatimah As, maka Aku tidak akan menciptakan kalian berdua, karena wujud kalian bertiga yang merupakan penyempurna bagi selainnya dan yang telah menjadi alasan penciptaan."[3]
Oleh karena itu, untuk bergabung kepada sumber kemuliaan wujud, tidak ada cara lain bagi kita kecuali dengan memanfaatkan perantara wujud ini supaya kita dapat memanfaatkan secara utuh karunia-karunia Yang Maha Kuasa. Dengan alasan inilah sehingga dalam doa Nutbah kita mengatakan, "Dimanakah pintu Tuhan tempat dimana mereka bisa memasukinya?"
2. Dengan memperhatikan bahwa para manusia mulia dan suci ini menghiasi diri dengan sifat-sifat Ilahi, memandang dan memperhatikan mereka seakan sama halnya dengan memandang dan memperhatikan Tuhan, karena berdekatan dengan mereka meskipun dalam kesusahan dan penderitaan akan membawa manusia untuk memperhatikan-Nya dan mengarahkan pandangannya kepada ayat-ayat Ilahi. Dari sinilah sehingga dalam doa yang sama dikatakan, "Dimanakah wajah Tuhan yang dipandang oleh para Auliya?"
3. Dan karena doa para manusia suci dan perantara mulia ini tidak pernah dilakukan dengan ragu-ragu, maka pasti dikabulkan, dan syafaat mereka niscaya diterima di sisi Tuhan, maka dalam kelanjutan doa Nutbah kita membaca "Dimanakah orang menderita itu yang setiap kali berdoa akan dikabulkan?", demikian juga karena mereka mulia, mereka tidak akan pernah menolak satupun permintaan dan tidak akan pernah membiarkan para pemintanya kembali dengan tangan kosong jika hal itu adalah untuk kebaikannya.
Hal-hal semacam ini telah seringkali disaksikan oleh orang-orang yang sezaman dan para penziarah mereka. Oleh karena itulah dalam doa ziarah Jami'ah Kabir dikatakan, "Kalian memiliki kebiasaan yang baik, temperamen yang mulia, dan maqam yang haq, benar dan penyayang."
4. Interaksi dan hubungan langsung dengan alam gaib tidak berada dalam jangkauan dan kemampuan manusia-manusia biasa yang belum melintasi tahapan kesempurnaan, oleh karena itu mereka harus menggunakan sarana dan cara ini untuk menggapainya. Di sinilah sehingga dalam salah satu ayat-Nya Allah swt berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, carilah perantara untuk mendekatkan diri kepada-Nya,…" (Qs. Al-Maidah: 35), dan terdapat banyak riwayat yang memperkenalkan Ahlulbait Nabi alaihimussalam sebagai 'wasilah' dan 'Iman Tuhan yang kuat' yang harus diketahui dan dikenal oleh setiap mukmin.[4] Kembali kita membaca dalam doa Nutbah, "Dimanakah perantara yang mempertemukan langit dan bumi?"
5. Pengenalan, perujukan dan bertawassul kepada mereka akan menyebabkan pengenalan lebih baik tentang mereka, mempermudah hajat, menyebabkan persaudaraan, kedekatan, rasa cinta, kasih sayang. Dan kedekatan kepada manusia-manusia suci ini akan menyebabkan diri sendiri mendapatkan hidayah, kebaikan akhlak, dan bimbingan, pada saat yang sama manusia-manusia suci ini sama sekali tidak membutuhkan masyarakat maupun rujukan dari mereka, karena orang-orang ini telah sampai pada tujuannya dengan bantuan dan karunia Ilahi.
6. Merujuknya masyarakat kepada para wali-wali Tuhan akan memberikan pahala sesuai dengan jerih payah yang mereka lakukan sebagaimana firman Allah swt kepada nabi-Nya, "Dan pada sebagian malam hari, bacalah Al-Qur’an (dan kerjakanlah salat) sebagai suatu tugas tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji." (Qs. Al-Isra: 79)
7. Merujuk dan bertawassulnya masyarakat kepada manusia-manusia suci ini pada satu sisi akan mendorong yang lain untuk mengikuti jalan-jalan mereka, menghilangkan kesombongan dan keangkuhan para hamba, pezuhud, pesuluk, dan seluruh mereka yang mengklaim tengah mensucikan jiwa dan berjalan pada lintasan jalan Ilahi, pada sisi yang lain adalah untuk mengantisipasi hadirnya aliran-aliran setan yang dilakukan oleh orang-orang yang riya dan sesat.
8. Maqam manusia sempurna ini lebih tinggi dari tingkatan para malaikat, karena:
a. Di dunia dan di akhirat, malaikat berkhidmat kepada para hamba-hamba yang shaleh;
b. Perbuatan para malaikat bersifat keterpaksaan dan tidak didasarkan pada aspek ikhtiari, karena itu tidak ada kelebihan bagi mereka;
c. Pada malam mi'raj, Rasulullah saw bergerak lebih cepat daripada malaikat Jibrail As dan mendahuluinya dan …, dan berada pada tempat malaikat pengatur segala perkara di alam ini (dalam rangkaian kepengaturan Tuhan). Mungkinkah manusia-manusia yang telah sempurna dan telah mencapai maqam yang tinggi di sisi Tuhan mampu melakukan hal yang demikian ini?
9. Tradisi Tuhan Yang Maha Hakim adalah menyerahkan sebagian perkara-perkara dalam kewenangan kekasih-kekasih-Nya. Dan di bawah pengawasan dan otoritas mereka inilah dipenuhinya kebutuhan orang-orang yang datang untuk pemenuhan hajat, supaya dengan cara seperti ini disamping mereka mendapatkan hidayah dan bimbingan juga meraih pahala atas upaya yang sungguh-sungguh itu serta mereka mengenal lebih dekat derajat-derajat spiritual manusia-manusia suci itu dan berupaya menjalin kecintaan yang dalam dan kasih sayang yang berpijak pada keikhlasan.
Yang jelas bahwa mereka itu memandang dan berkeyakinan bahwa manusia-manusia suci itu tidak sejajar secara eksistensial dengan Tuhan Yang Maha Agung serta mengetahui bahwa pemenuhan hajat itu tidak akan terjadi tanpa izin dan kehendak Tuhan.
Inti pandangan dan keyakinan ini adalah bahwa untuk berhubungan dengan alam gaib, pelaksanaan perintah-perintah Tuhan, perolehan hidayah dan bimbingan, penggapaian derajat dan tingkatan maknawi, dan pemenuhan segala hajat duniawi, ukhrawi, lahir, dan batin niscaya membutuhkan pengenalan, penyandaran, tawassul, dan kecintaan kepada kekasih-kekasih Tuhan dan manusia-manusia suci. Dan bertawassul (yakni menjadikannya sebagai perantara dalam segala aspek) dengan mereka ini bermakna berpegang teguh kepada sebab-sebab Ilahi dan tali-tali-Nya yang sangat kuat serta perantara-perantara Tuhan. Perantara-perantara suci ini yang secara eksistensial bergantung mutlak kepada Tuhan dan segala perbuatan mereka -termasuk pemenuhan segala hajat manusia- berada dalam rangkaian vertikal perbuatan Tuhan dan sifat-Nya Yang Maha Memenuhi Hajat. Manusia yang berhubungan dengan manusia-manusia suci dan Ilahi ini tidak tergolong ke dalam kemusyrikan, karena Yang Maha Memenuhi Hajat secara mandiri dan hakiki hanyalah Tuhan.[]
Literatur untuk telaah lebih jauh:
1. Musawi Ishfahani, Sayid Muhammad Taqi, Mikyalul Makârim, jilid 1 dan 2, penerjemah: Sayid Mahdi Hairi Qazwini.
2. Mishbah Yazdi, Muhammad Taqi, Âmuzesy 'Aqâid, jilid 1 – 2 (Iman Semesta dalam terjemahan
3. Mishbah Yazdi, Muhammad Taqi, Ma'ârif Qurân, jilid 1 - 3.
4. Syirwani, Ali, Ma'ârif Islami dar Âtsâr Syahid Muthahhari, hal. 250 - 251 dan 90 - 110.
5. Begitu pula rujuklah buku-buku Teologi/Kalam yang berkaitan dengan pembahasan syafaat, tauhid perbuatan, dan imamah.
[1] . Qs. Jatsiyah: 12 dan 13. Qs. Lukman: 20
[2] . Rujuk tema-tema: Kehendak Ilahi dan keinginan manusia, pertanyaan 95. Ikhtiyar manusia, pertanyaan 51 dan 217. Asumsi mumkinul wujud disamping Wajibul Wujud, pertanyaan 80..
[3] . Dikutip dari: Barnomeye Sume'eh, Mahdi, Syab-e Qadr Cist? Nasyre Kausar Gadir, jilid 2,hal 79 dan 81.
[4] . Ziyarat-e Jome'eh Kabirah.