Please Wait
26345
1. Pluralisme bermakna kebinekaan dan keragamanisme yang memiliki ruang aplikasi pada bidang-bidang filsafat agama, filsafat moral, hukum, dan politik. Dan batasan umum (common) di antara bidang-bidang ini adalah mengenal secara resmi kebhinekaan dan keragaman sebagai lawan dari monoisme dan eksklusivisme. Pluralisme agama bermakna tidak eksklusifnya keselamatan pada satu agama khusus dan bahwa seluruh agama memiliki saham terhadap kebenaran dan keselamatan.
2. Boleh jadi pluralisme yang dimaksud adalah pluralisme yang terdapat di antara seluruh agama atau di antara seluruh mazhab atau sekte pada sebuah agama.
3. Menurut kita kaum Muslimin, pluralisme tertolak karena terdapat selaksa dalil dan argumen yang jelas dan gamblang terkait kebenaran agama Islam. Sedemikian sehingga kesetaraan dan kesamaan (dalam kebenaran) seluruh agama dengan agama Islam tidak dapat dibenarkan. Di samping itu, tiadanya distorsi pada kitab samawi, al-Qur'an dan Islam sebagai agama pamungkas yang berkedudukan menganulir agama-agama sebelumnya menjadi penegas tertolaknya konsep pluralisme ini.
4. Keragaman bacaan dan pemahaman agama yang merupakan salah satu fondasi hermeneutik relatifivisme merupakan salah satu cabang riset agama yang lain. Dan para pendukungnya meyakini bahwa pengaruh seluruh pra-supposisi dan pra-pengetahuan seluruh penafsir tatkala ingin memahami teks-teks agama. Dalam masalah keragaman bacaan agama terdapat pandangan yang berbeda-beda dimana yang terpenting dari pandangan ini adalah pandangan Schleirmacher, Dilthey, Heidegger dan Gadamer.
5. Kendati pembahasan hermenutik merupakan pembahasan moderen filsafat agama dan diadopsi dari dunia Barat, namun pembahasan tafsir dan takwil dan pemahaman teks memiliki latar belakang sejarah yang panjang dalam disiplin keilmuan Islam, seperti dalam pembahasan ilmu Ushul.
6. Tidak dibeberkan pakem dan kriteria yang diperlukan terkait dengan metodologi hermeneutik yang harus digunakan dalam menilai keragaman bacaan dan pemahaman agama. Dan sejatinya, yang mengemuka adalah kenisbian dan relativitas.
7. Pembahasan hermeneutik dan pluralisme merupakan pembahasan yang terpisah dari satu dengan yang lain. Namun salah satu pendekatan pluralisme adalah pendekatan hermenutis dan hal ini dapat dijadikan sebagai penyambung dan mediator masing-masing dari dua pembahasan ini. Artinya karena keragaman bacaan dan pemahaman dapat melahirkan sebuah kesimpulan bahwa munculnya wacana pluralisme agama dapat dijadikan sebagai pembenar dari kesimpulan ini.
8. Isykalan atas pendekatan ini yang tidak dapat dijadikan sebagai hukum atas kebenaran dan validitas setiap bacaan dan pemahaman dan tentu saja pemahaman manusia mengikut kepada aturan percakapan dan transformasi bahasa. Dalam proses pemahaman, kaidah seperti, perhatian terhadap penetapan pembicara dan mekanisme kosa-katanya dan bahasa yang ia gunakan (parodi, canda, serius) dan bahwa tentu saja pembicara memiliki kehendak khusus dalam menggunakan redaksi kata-kata.
Pluralisme (pluralism) bermakna kebhinekaan, kejamakan (plural) dan keragaman yang digunakan pada bidang-bidang filsafat agama, filsafat moral, hukum, politik dan sebagainya. Dimana batasan umum di antara bidang-bidang ini adalah mengenal dan mengakui secara resmi keragaman sebagai lawan dari monisme (ketunggalan) atau eksklusivisme.[1]
Adapun pluralisme agama (Religious Pluralism) bermakna bahwa kebenaran dan keselamatan tidak terbatas pada satu agama saja. Orang-orang yang meyakini pluralisme agama berpandangan bahwa seluruh agama-agama memiliki saham dari kebenaran. Sebagai kesimpulannya, mengikuti ajaran agama mana pun dapat menjadi penyelamat dan merupakan tangga untuk meraih salvation (keselamatan). Karena itu dengan makna ini, gerbang perseteruan dan pertentangan antara hak dan batil dalam agama-agama menjadi tertutup. Kebencian, polemik dan dialektika agama berubah menjadi kesetiakawanan dan kesehatian.[2]
Selayang pandang Pluralisme Agama
Pluralisme agama pada awalnya diperkenalkan dan dikembangkan oleh seorang cendekiawan Kristen pada akhir dasawarsa yang bernama John Hick (lahir 1922). Ia berkata, “Menurut fenomenologi, terminologi pluralisme dan keragaman agama secara sederhana adalah bahwa realitas sejarah agama-agama menunjukkan keragaman tradisi dan kejamakan cabang-cabangnya. Dalam pandangan filsafat, terminologi ini menyoroti satu konsep khusus dari hubungan antara pelbagai tradisi dan klaim beragam dan penentangnya. Terminologi ini bermakna bahwa agama-agama besar dunia yang membentuk pelbagai kesimpulan yang beragam dari sebuah hakikat dan misteri Ilahi.[3]
Di tempat lain, John Hick menuturkan, “Agama-agama merupakan proses-proses beragam pengalaman keagamaan dimana masing-masing dari agama tersebut bermula pada satu tingkatan tertentu dalam sejarah manusia dan dengan sadar ia temukan dirinya pada sebuah atmosfer kebudayaan tertentu.”[4]
Boleh jadi Pluralisme yang ditilik adalah pluralisme agama-agama. Artinya kita memandang sleuruh agama adalah benar (haq) atau masing-masing memiliki saham atas kebenaran. Atau boleh jadi bahwa pada agama-agama itu sendiri terdapat mazhab atau sekte yang harus kita pandang sebagai pemilik kebenaran. Misalnya Syiah dan Sunni yang merupakan dua mazhab dalam Islam dan masing-masaing diperkenalkan sebagai diri mereka sebagai Islam murni. Namun dalam perspektif pluralisme keduanya dapat mengklaim kebenaran, atau kita berkata keduanya memiliki saham atas kebenaran. Dengan kata lain, pluralisme agama dapat dibagi menjadi pluralisme internal agama dan pluralisme eksternal agama.
Fondasi dan metodologi Pluralisme agama
Terkait dengan pluralisme agama, terdapat fondasi yang beragam dimana sebagian dari fondasi dan metodologi tersebut akan kita singgung di sini:
Metodologi pertama, pembedaan antara “kulit agama” dan “inti agama” dan memprioritaskan pada inti dan kandungan agama atas kulit dan bungkus agama. Dimana pada metodologi ini biasanya ajaran-ajaran khususnya adab dan etika lahirnya disebut sebagai kulit dan bungkus agama.
Metodologi kedua, penafsiran ini bersandar pada pengalaman wahyu dan pengamalan keagamaan. Dan sejatinya mendegradasi agama hingga batasan pengalaman-pengalaman keagamaan. Pengalaman keagamaan senantiasa menjadi beragam tatkala pelakunya memberikan penafsiran dan laporan dimana hal ini disebabkan lantaran bercampurnya urusan-urusan yang beragam seperti pra-supposisi, latar belakang budaya dan pengetahuan. Keragaman agama sejatinya merupakan refleksi dari pengalaman-pengalaman keagamaan yang satu dalam cermin pelbagai kebudayaan.
Metodologi ketiga, pemahaman ini merupakan metodologi dan pendekatan humanistik. Dan meyakini bahwa seluruh agama alih-alih menegaskan perkara-perkara teologis seharusnya menitik-beratkan pada urusan-urusan common duniawi. Serta menitik-beratkan pada apa yang menjadi kebutuhan utama kehidupan manusia dan mengesampingkan pembahasan-pembahasan teologisnya.
Metodologi keempat: seluruh agama memiliki satu pesan tunggal dan dengan sedikit analisa maka perbedaan di antara agama-agama tersebut akan sirna dan sejatinya, perbedaan-perbedaan agama bersumber dari perbedaan dalam penafsiran dan perbedaan bahasa.
Metodologi kelima: pendekatan ini bersandar pada perbedaan antara hakikat “yang sebenarnya” dan hakikat “yang ada pada kita.” Hakikat yang sebenarnya adalah tersimpan pada “nafs al-amr” dimana tiada orang yang mampu memahami dan mencerapnya secara sempurna serta tangan manusia tidak kesampaian untuk dapat meraihnya. Akan tetapi terdapat hakikat di sisi kita yang merupakan sisi fenomenologis realitas. Agama-agama menjadai banyak lantaran manusia berhadapan dengan perkara suci dan menumpahkannya pada wadah zaman dan pelbagai budaya. Di samping itu, Tuhan menyampaikan pesan-Nya, pada budaya-budaya setiap bangsa, pada setiap masa agar tercipta satu hubungan yang erat. Perlu diiingat bahwa terkhusus metodologi ini, apa yang dapat dijelaskan di sini adalah bahwa terdapat pelbagai kritikan dan catatan serius terkait metodologi ini, kendati sebagian darinya (metodologi pertama) boleh jadi, pada tingkatan tertentu, memiliki penafsiran yang benar dimana untuk mengkajinya lebih jeluk dan luas, kami persilahkan untuk merujuk pada literatur-literatur yang bersangkutan.
Metodologi keenam: Ulasan ini, merupakan satu metodologi hermeneutik yang bersandar pada kecendrungan penafsir sentral (interpreter oriented) dan meyakini pada pengaruh menyeluruh pelbagai pra-supposisi, pra-pengetahuan setiap penafsir tatkala ingin memahami teks-teks (agama). Menurut metodologi ini, penyusun atau penulis dan pembicara juga berkedudukan sebagaimana penafsir. Kedudukannya sebagai penulis atau penyusun setelah menyusun atau menulis teks telah ditanggalkan. Berdasarkan paradigma ini, redaksi (teks) dengan sendirinya tidak dapat memahamkan. Dan di sinilah letak peran penafsir dengan pelbagai pra-supposisi dan struktur pengetahuannya yang memberikan ruh makna pada raga teks-teks dan redaksi.
Dengan kata lain, makna yang ada pada batin satu redaksi atau teks laksana lempung (yang dapat dibuat beragam bentuk) dan konstruksi pikiran penafsir yang sesuai dengan bangunan pengetahuannya, yang membentuk sebuah bingkai khusus. Karena itu, redaksi atau teks tidak terikat pada makna-makna tertentu, melainkan penuh dengan makna-makna dan para penafsirlah yang harus memberikan makna terhadap redaksi atau teks.[5]
Sanggahan yang dapat dilontarkan atau metodologi ini adalah: metodologi keenam yang merupakan titik konvergen dan common antara pluralisme dan hermeneutik telah menuai banyak kritikan dan sanggahan dimana sebagian dari sanggahan tersebut akan disebutkan di sini:
Sistem pemahaman manusia mengikut pada aturan-aturan percakapan dan seluruh orang-orang berakal bercakap dan bercengkerama menggunakan aturan ini. Dalam proses pemahaman dan memahamkan, kaidah-kaidah seperti, perhatian terhadap kondisi pembicara dan penyusun, system redaksionalnya, bahasa yang digunakan (simbolik, parodi, serius dan sebagainya) dan kaidah yang digunakan oleh penyusun ini secara definitif dalam redaksinya, ia menghendaki maksud-maksud tertentu, semuanya merupakan kaidah orang-orang berakal yang tentu saja orang-orang yang berpegang pada prinsip penafsir sentral juga tidak dapat menghindar dari penggunaan kaidah ini. Tentu saja, tatkala satu teks atau redaksi menyampaikan sebuah perkara, bergantung pada pelabgai indikasi dan kondisi, maka harus diupayakan untk memahami teks tersebut.
Terkait dengan teks-teks agama yang memiliki nasikh dan mansukh, am dan khas, mutlaq dan muqayyad dan sebagainya maka teks-teks tersebut harus dikaji dengan telititi dan akurat. Karena itu, dalam memahami satu teks atau redaksi, meski terdapat pelbagai pra-supposisi seperti pengetahuan terhadap bahasa penulis atau penyusun dan indikasi-indikasi aktual (qarâin hâliyah) dan tulisan (maqâliyah) namun ada juga pra supposisi yang menjauhkan penafsir dari satu teks atau redaksi dan pra supposisi seperti ini harus dienyahkan dalam proses memahami teks.[6]
Sebuah catatan atas wacana Pluralisme
Terlepas dari pelbagai kritikan yang mengarah pada pelbagai metodologi pluralisme agama, dengan memperhatikan keyakinan kita sebagai kaum Muslimin, terdapat sertifikat gamblang dan rasional atas kebenaran agama Islam dimana dengan adanya sertifikat dan dalil-dalil tersebut, sehingga klaim kesetaraan dan kesamaan seluruh agama tidak dapat dibenarkan. Di antara dalil tersebut adalah rasionalnya ajaran Islam dan keselarasan antara keduanya (akal dan Islam), adanya sandaran dalil pada sumber-sumber dan teks-teks agama, hidup dan tiadanya distorsi kitab samawi kaum Muslimin (al-Qur’an), mukjizat dan tantangan al-Qur’an, universalitas hukum-hukum dan daya guna positif hukum-hukum tersebut. Di samping itu, poin yang sangat penting dalam pembahasan ini adalah masalah bahwa agama Islam merupakan agama pamungkas dan akhirnya masa kedatangan Islam dibandingkan dengan agama-agama lain dimana Islam berkedudukan menganulir seluruh syariat dan agama-agama sebelumnya.[7]
Pemahaman beragam agama
Keragaman pemahaman dan bacaan atau hermeneutik merupakan salah satu cabang dalam bidang riset agama dimana para penyokongnya meyakini adanya pengaruh seluruh pra-supposisi dan pra-pengetahuan pada setiap penafsir tatkala ingin memahami teks.
Dalam konsep hermeneutik terdapat banyak pandangan yang akan disinggung di sini sebagai berikut:
1. Pandangan Schleirmacher: Hermeneutik merupakan metode untuk menafsirkan teks dan menghindar dari kesalahpahaman yang bersumber dari jarak waktu yang membentang antara penafsir dan teks.
2. Pandangan Dilthey: Hermeneutik merupakan paradigma yang digunakan untuk ilmu humaniora di hadapan ilmu-ilmu alam. Dilthey meyakini adanya intervensi dan campur-tangan sejarah dalam penafsiran setiap penafsir.
3. Pandangan Heidegger: Hermeneutik bertujuan untuk menguraikan kuiditas pemahaman dan syarat-syarat untuk sampai kepada pemahaman. Heidegger mentransformasi hermeneutik menjadi sebuah metode filosofis atau ontologis. Dan berdasarkan fondasi ontologis, hermeneutik digunakan untuk menjelaskan kuiditas dan mahiyyah pemahaman dan syarat-syarat untuk sampai kepadanya.
4. Pandangan Gadamer: Hermeneutik adalah rangkapan pelbagai cakrawala. Gadamer menyuguhkan pembahasan ontologis Heidegger menjadi pembahasan epistemologis. Sejatinya Gadamer mengkonstruksi ontologi pemahaman. Hermeneutik Gadamer intinya merupakan penjelas proses terrealisirnya pemahaman tanpa mengindahkan sah atau tidaknya pemahaman, standar atau tidaknya pemahaman. Menurutnya pikiran penafsir tertawan oleh akidah dan segala pengetahuan yang dimilikinya, demikian juga segala harapan, asumsi, pertanyaan, pra-supposisi, pra-konstruksi yang membentuk “ufuk” atau “cakrawala” pembaca. Cakrawala ini senantiasa bergerak bersama penafsir. Cakrawala ini selalu berubah dan berganti dengan merujuk pada dunia atau segala sesuatu dan teks. Praktik penafsiran adalah “rangkapan segala cakrawala”; yaitu rangkapan dan komposisi “cakrawala pemahaman penafsir” dan “cakrawala teks”. Aktifitas hermeneutik adalah merajut seluruh cakrawala ini. Dan menyambung sejenis kesepadanan dan dialog antara penafsir dan teks. Sumber perbedaan penafsiran adalah karena para penafsir bersandar pada seluruh pra-supposisi dan cakrawala.
Dalam pandangan Gadamer, tidak ada satu pun pandangan yang bersifat mutlak dan absolut yang memendam seluruh dimensi, bidang dan cakrawala. Melainkan yang ada setiap takwil atau tafsir dalam jenis khusus dan ufuk tipikal, sepadan dan sejalan dengan teks. Karena itu, pada dasarnya penafsiran imparsial mustahil adanya. Tiada satu pun takwil yang bersifat definitif dan pamungkas. Pada hakikatnya, dalam pandangan hermeneutik Gadamer, menyingkap niat orisinil penyusun bukanlah masalah penting sehingga harus mendapatkan perhatian. Lantaran teks tidak boleh dipandang sebagai manifestasi pemikiran penyusun.[8]
Beberapa catatan atas pandangan Gadamer
Mengingat banyaknya dialektika teologis dan filosofis beberapa tahun terakhir terhadap metodologi Gadamer dan lebih berpengaruh ketimbang metodologi lainnya. Dan sifatnya lebih signifikan maka di sini kami akan menyebutkan beberapa kritikan yang dapat dilayangkan atas metodologi ini:
Pertama, Atas dalil apa kita tidak boleh menggubris makna teks dan maksud penulis atau penyusun dan secara sengaja melalaikannya? Apakah penafsir tidak dapat berusaha memisahkan cakrawala pemikirannya dengan cakrawala pemikiran penulis berdasarkan beberapa kriteria?
Kedua, sesuai dengan paradigma Gadamer, kita akan sampai pada sebuah relativisme dan tidak lagi terbentang jarak menganga antara pemahaman yang benar dan pemamahan yang keliru. Sejatinya pandangan Gadamer ini kurang lebih mirip dengan pandangan “relativisme” Kant.
Ketiga, secara umum pandangan Gadamer dapat dikritisi dan memandang berpengaruhnya pra-supposisi dan pra-judis dan tradisi merupakan sebuah perkara yang tidak dapat dihindari.
Keempat, apabila setiap pemahaman memerlukan pra-supposisi, tentu saja supposisi sebelumnya juga membutuhkan pra-supposisi lainnya. Dan sejatinya hal ini akan bermuara pada tasalsul yang tiada ujung.[9]
Poin-poin terkait masalah pemahaman beragam terhadap agama
Hingga kini hermeneutik dan pemahaman beragam terhadap agama telah dijelaskan dan telah disebutkan paradigma (metode) yang beragam tentangnya. Khususnya terkait pandangan Gadamer, yang memiliki banyak pelanggan dalam bursa pemikiran kiwari, kami telah kemukakan beberapa matlab terkait dengannya. Namun sebagai komplementer pembahasan ini, berikut ini kami akan mengemukakan beberapa poin penting:
Poin pertama: Kendati masalah “pemahaman beragam terhadap agama” hingga batasan tertentu banyak diadopsi dari hermeneutik moderen filsafat. Namun pembahasan tafsir, takwil dan memahami teks memiliki latar belakang sejarah yang panjang dalam Islam. Dapat dikatakan bahwa pembahasan hermenutik telah mengemuka dalam disiplin ilmu-ilmu Islam, khususnya dalam ilmu tafsir, ilmu ushul, irfan teoritis. Sebagai perumpamaan pembahasan-pembahasan yang dapat disinggung di sini seperti, jenis penafsiran rasional, simbolik, syuhudi, tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an, atau ayat dengan ayat, tafsir birray, pembahasan lafaz, metode-metode melacak segala yang lahir dan sebagainya.
Poin kedua, mengingat teks-teks suci agama dalam menkonstruksi dan mengarahkan kebudayaan kaum Muslimin, dan pada penataan pelbagai disiplin ilmu-ilmu Islam banyak memainan peran penting (atau harus memainkan peran penting) dapat dikatakan bahwa pelbagai wacana yang dilontarkan dan pembahasan metodologis dalam domain pemahaman, penafsiran, dan inferensi teks-teks termasuk penentu nasib yang paling utama dalam pelbagai pembahasan teologis. Atas dasar ini, pelbagai metodologi yang diutarakan di atas dan keyakinan terhadap probabilitas pelbagai “bacaan” (reading) beragam terhadap agama dan proposisi-proposisi agama banyak menebarkan tantangan dalam domain ini. Metodologi-metodologi ini yang banyak diintrodusir oleh sebagian cendikiawan muslim Arab dan non-Arab, intinya berhutang pada hermeneutik Gadamer. Para cendekiawan ini berupaya agar kaidah dan metode pembahasan hermenuetik filsafat diaplikasikan pada penafsiran al-Qur’an, riwayat dan pada logika pemahaman agama. Beberapa klaim pilihan cendekiawan dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Syariat dan teks agama sifatnya diam dan bungkam.
2. Pelbagai pra-supposisi mental dan luaran para penafsir dan para pendengar berpengaruh dalam praktik penafsiran.
3. Hakikat dan substansi agama sekali-kali tidak akan tersingkap oleh penafsir manapun.
4. Tidak satu pun bacaan atau pemahaman murni dan pure, kita senantiasa berurusan dengan percampuran antara hak dan batil.
Poin ketiga, dalam pandangan kebanyakan para pemikir tidak menggubris masalah-masalah penting terkait pakem dan kriteria yang diperlukan yang dapat digunakan untuk menilai dan men-judge pelbagai bacaan dan pemahaman yang ada. Dan tidak melakukan upaya yang harus dikerjakan untuk membedakan pemahaman dan bacaan yang benar dan salah, hak dan batil. Dengan kata lain, dalam pelbagai kecendrungan ini seluruh bacaan dan pemahaman dinilai satu dan sebanding. Padahal berdasarkan paradigma-paradigma agama dan konsep-konsep yang umum berlaku, penafsir harus berupaya membedakan dan mereview ufuk pemikirannya dengan ufuk pemikiran penulis. Dan berusaha mengoreksi pandangannnya dan mencocokkannya dengan niat penulis berdasarkan pelbagai kriteria dan pakem. Kalau tidak demikian, pandangan dan metodologi baru ini, sejatinya, di samping ia merupakan relativitas pemahaman agama, juga dapat dihukumi sebagai relativitas metodologi pemahaman agama.
Menurut para ulama Islam, semenjak dahulu kala, perbedaan dalam menyimpulkan dan menginferensi kebanyakan proposisi agama merupakan sesuatu yang pasti dan niscaya. Namun ikhtilaf dan perbedaan ini merupakan perbedaan yang berkaidah dan berkriteria, dimana bahkan mayoritas dari kriteria dan pakem ini dijelaskan sendiri oleh teks-teks agama.
Karena itu “ijtihad dalam pemahaman” atau “pahaman agama” tidak bermakna “tafsir birray” dan pengkondisian pemikirannya atas teks-teks agama, dan memberikan konsideran terhadap seluruh pemahaman atau bacaan.
Poin keempat, Berdasarkan atas yang diungkapkan sebelumnya, penyokong hermenueutik filsafat dan pendukung keragaman pemahaman dan bacaan agama harus dipandang sebagai penafsir sentral (interpreter oriented), sementara pandangan para cendekiawan Islam, dari sisi bahwa berusaha untuk memahami maksud dan tujuan sebenarnya pembicara (yaitu Tuhan atau para malaikat-Nya) merupakan satu pendekatan penyusun sentral “writer oriented” dan karena dalam pandangan ini, penafsir memahami niat pemilik ucapan dari susunan teks (Qur’an dan hadis) dan pendekatan ini dapat digolongkan sebagai teks sentral (text oriented). Seluruh keseriusan, usaha dan upaya seorang penafsir yang menganut pendekatan penyusun sentral (writer oriented) atau teks sentral (text oriented), untuk menyingkap dan menelusuri semakin akurat dan sejalan dengan maksud pembicara teks. Dan memanfaatkan segala pakem dan kaidah yang dapat membantunya dalam menyingkap maksud pemilik teks. Kaidah dan pakem seperti: bukti-bukti dan indikasi-indikasi yang terucapkan (maqali), sebagian pra-pengetahuan penting seperti: kaidah-kaidah bahasa pembicara dan kaidah linguistik seperti, aturan umum dan khusus, mutlak dan bersyarat, mujmal dan mubayyan, ufuk atau sebab-sebab disampaikannya satu teks dan lain sebagainya. Karena itu tanpa syak bahwa penyusun oriented tidak bermakna penafian seluruh pra-supposisi, kendati sebagian pra-supposisi menjadi penyebab pengkondisian pikiran penafsir atas teks dan bermuara pada tafsir birray, namun terdapat pra-pengetahuan dan pra-supposisi yang diperlukan dan tak dapat dihindari seperti:
1. Pelbagai pra-pengetahuan dan asumsi-asumsi yang menjadi pendahuluan ijtihad dan inferensi makna dari batin hakiki teks seperti kaidah-kaidah sastra dan linguistik.
2. Pelbagai pra-supposisi teologis seperti: hikmah kebijaksanaan Tuhan, fungsi firman-Nya yang memberi petunjuk, al-Qur’an berbicara, nyatanya ucapan al-Qur’an, al-Qur’an dan Sunnah dapat dijadikan sandaran dan sebagainya.
3. Pelbagai pra-supposisi yang menjadi penyebab munculnya pertanyaan, pengujian, jelajah analisa dalam benak lawan bicara pada dimensi dan lapisan baru teks.
Poin kelima: Poin terakhir yang penting disebutkan di sini adalah menjawab pertanyaan mengapa bahkan pada frame aturan tertentu juga, lahir pemahaman, kesimpulan dan ijtihad yang beragam?
Dalam menjawab pertanyaan ini secara ringkas dapat dikatakan: jelas bahwa sebagian kontradiksi dan keragaman ini adalah kontradiksi yang tidak ril dan perbedaan pada penjelasan dan pengucapan, sejatinya harus dipandang sebagai kesimpulan yang diambil secara atas-bawah atau vertikal. Misalnya, dalam pembahasan fikih terkadang pelbagai hukum atau fatwa bertentangan, terkait pada dua waktu atau kondisi atau keadaan, atau bahkan subyek yang berbeda, dimana untuk menjelaskan dan mengurai panjang-lebar obyek polemik, polemik tersebut dapat dihilangkan, dengan kata lain, kontradiksi-kontradiksi tersebut dapat dikumpulkan antara satu dengan yang lain melalui satu cara.
Cara lain keragaman dan perbedaan, terkait dengan standar ketelitian dan standar universal seorang cendekiawan, atau periset atau penafsir, dan dengan kata lain, bersumber dari perbedaan “pelbagai pra-supposisi pertanyaan” dimana banyak penafsir memahaminya, terkadang pada “dimensi-dimensi” dan terkadang pada “lapisan-lapisan”, pertanyaan-pertanyaan beragam dihadapan teks-teks suci, dan universalitas serta beberapa arah dan esensi sisi teks, dan juga kedalaman dan beberapa laighi dan bahwa teks memiliki batin, menjadi penyebab diterimanya jawaban yang beragam.
Sejatinya, seluruh jawaban akan berderet secara atas-bawah dan sejalan dengan yang lain, bukan berjejer secara horizontal dan bertentangan antara satu dengan yang lain. Namun terkait dengan kebanyakan dan pertentangan dalam bentuk yang sebenarnya dan non-vertikal dihubungkan degnan pelbagai bacaan beragam, sebagian sebabnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
Tidak mengindahkan atau keliru dalam kaidah sintaktis dan sastra; tidak memanfaatkan kaidah-kaidah umum linguistik, seperti tidak memperhatikan pelbagai pengecualian dan stipulasi yang terdapat pada teks. Tidak menggunakan kaidah argumentasi dan ilmu mantik; memandang secara partikular pada metodologi tafsir dan tidak memperhatikan pelbagai indikasi dan mizaq pembicara secara umum; tidak memperhatikan dalil-dalil dan indikasi-indikasi rasional; tidak memadainya pelbagai riset sanad dan tidak mengaplikasikan sebagian ilmu seperti ilmu rijal dan dirayah.
Kesimpulannya, keragaman dalam pemahaman sebuah agama atau satu teks dengan cara "mengikut kaidah" dan rasional pada saat yang sama "terbatas" merupakan sebuah perkara yang tidak dapat diingkari. Dan dalam banyak kasus tidak dapat dihindari. Namun tanpa syak, orang-orang yang tidak memiliki kelayakan yang cukup untuk memanfaatkan sebuah teks, boleh jadi menyodorkan klaim "bacaan" (reading) baru dari sebuah agama atau teks-teks agama dimana tentu saja benar dan salahnya harus ditentukan oleh para pakar agama dan ahli lingiustik serta para periset.[10]
Kesimpulan:
Dengan mengemukakan dua pandangan pluralisme dan keragaman pemahaman dalam agama menjadi jelas bahwa dua pembahasan ini adalah dua topik yang berbeda dalam pembahasan riset agama dimana pada tahun-tahun terakhir mengemuka dalam pelbagai artikel dan tulisan secara luas. Dan di antara dua pembahasan ini terdapat matlab-matlab yang berbeda antara satu dengan yang lain. Dan sejatinya keduanya merupakan dua cabang dari pembahasan neo teologi.
Namun poin common dari dua pembahasan ini pada metodologi hermeneutik pluralisme yang mengedepan pada metodologi keenam dalam pembahasan pluralisme. Dan matlab-matlab serta komentar telah diuraikan dalam bagian keenam tersebut. Sebagai penutup, kiranya perlu menyebutkan poin ini bahwa pembahasan pluralisme dan pembahasan hermeneutik adalah pembahasan yang memerlukan pembahasan panjang dan detil. Bagi mereka yang tertarik untuk mengkajinya lebih jeluk kami persilahkan untuk merujuk pada buku-buku terkait.[]
Referensi untuk telaah lebih jauh:
1. Ustad Mahdi Hadawi Tehrani, Mabâni Kalâmi Ijtihâd
2. Abdulkarim Soroush, Sirathâ-ye Mustaqim
3. Abdulrasul Bayat dan Et al.. , Farhangg-e Wâzyeha
4. Hasan Rahimpur Azghadi, Kitab-e Naqd, No. 4
5. Muhammad Mujthaid Syabistari, Hermeneutik Qur'an wa Sunnat.
[1]. Ali Rabbani Gulpaigani, Tahlil wa Naqd-e Pluralisme Dini, hal. 19, Muassasah Farhanggi Danesy wa Andisyeh Ma’ashir, cetakan pertama, Teheran.
[2]. Ibid, hal. 20.
[3]. Mircea Eliade, Din Pazyuhi, terjemahan Bahauddin Khuramsyahi, hal. 301, Maqalah “Ta’addud-e Adyan” karya John Hick.
[4]. John Hick, Falsafe-ye Din (Philosophy of Religion), terjemahan Bahram Rad, hal. 238.
[5]. Silahkan lihat, Abdulkarim Soroush, Shirathâ-ye Mustaqim, Intisyarat-e Shirat, Teheran, Majallah Kiyan, no. 36, Maqala Shiratha-ye Mustaqim, no. 37-38; Abdulrasul Bayat, Et al, Farhangge Wazyeha, Muassasah Andisye wa Farhangge Dini, Maqalah Pluralism-e Dini, cetakan pertama, 1381.
[6]. Farhangg-e Wazyhe-ha, hal. 160; Kitab-e Naqd, no. 4, Pluralism-e Dini, Hasan Rahim Pur Asghadi.
[7]. Ibid, hal. 161-162.
[8]. Silahkan lihat, Ustadz Mahdi Hadawi Tehrani, Mabâni Kalâmi Ijtihâd, Muassasah Farhangg-e Khane-ye Kherad, Qum, cetakan pertama, 1377, pembahasan Hermeneutik, hal. 200-224; Abdulrasul Bayat, Et, al, Op Cit, hal. 590-592.
[9]. Ustadz Mahdi Hadawi Tehrani, Op Cit, hal. 225 & 255; Abdulrasul Bayat, Et, al, Op Cit, hal. 590-592.
[10]. Poin-poin ini banyak diadopsi dari artikel Hermeneutik karya Abdulrasul Bayat.