Please Wait
Hits
7397
7397
Tanggal Dimuat:
2012/11/11
Kode Site
fa1978
Kode Pernyataan Privasi
53644
- Share
Ringkasan Pertanyaan
Bagaimana kita dapat yakin, seorang ulama yang memberi nasihat dan melakukan ceramah dalam pekerjaannya memiliki kelayakan?
Pertanyaan
Kita hidup dalam lingkungan masyarakat yang dihuni oleh beribu-ribu orang Muslim di dalamnya, banyak juga terdapat ulama-ulama yang kebanyakan dari mereka kita anggap tidak memiliki kelayakan, bagaimana kita dapat mempercayakan dengan keadaan seperti ini, apakah dalam kepercayaan Syiah ulama yang memberi nasehat dan ceramah memiliki kelayakan terhadap pekerjaan ini?
Jawaban Global
Berdasarkan ajaran Islam atas keumuman masyarakat adalah perlu untuk memahami agama, ataukah dengan usaha sendiri meneliti dan meriset ilmu terhadap hukum-hukum Ilahi, ataukah merujuk kepada ulama-ulama agama dan karena kebanyakan orang tidak mampu menjadi fakih dalam persoalan-persoalan agama dengan sendirinya oleh karenanya kita harus merujuk kepada ulama, para Imam Maksum As telah menjelaskan standar (kriteria) untuk mengenal ulama yang pantas yang memberikan kemudahan bagi orang-orang Syiah untuk dapat mengakses ulama-ulama saleh dan layak; contohnya empat kriteria: ulama yang menjaga hawa nafsu dan pembela agama, menentang hawa nafsunya, menaati perintah Allah sehingga dengan empat kriteria ini diwajibkan bagi orang-orang awam untuk bertaklid kepadanya.
Di samping itu, para Imam Maksum As mengatakan: Hikmah adalah pengetahuan orang-orang Mukmin yang hilang, temukanlah (manfaatkanlah) dimanapun dia berada dan ambillah meskipun di tengah-tengah orang kafir.
Di samping itu, para Imam Maksum As mengatakan: Hikmah adalah pengetahuan orang-orang Mukmin yang hilang, temukanlah (manfaatkanlah) dimanapun dia berada dan ambillah meskipun di tengah-tengah orang kafir.
Jawaban Detil
Untuk jawaban yang lebih jelas perlu menyebutkan beberapa poin:
- Nilai ilmu pengetahuan seorang alim; Allah Swt dalam al-Qur'an berfirman mengenai keutamaan ilmu dan peranan seorang alim (orang yang berpengetahuan).
«هَلْ يَسْتَوِي الَّذينَ يَعْلَمُونَ وَ الَّذينَ لا يَعْلَمُونَ إِنَّما يَتَذَكَّرُ أُولُوا الْأَلْبابِ»
“Katakanlah, apakah sama orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui?" (Qs. al-Zumar [39]:9)
Di ayat lain Allah Swt berfirman:
«يَرْفَعِ اللهُ الَّذينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَ الَّذينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجاتٍ وَ اللهُ بِما تَعْمَلُونَ خَبيرٌ»
"Allah swt akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha teliti apa yang kamu kerjakan." (Qs. al-Mujadilah [58]:11)
Dalam riwayat secara jelas dikemukakan tentang keutamaan ilmu pengetahuan dan alim serta perlunya merujuk kepada orang alim.
Nabi Saw bersabda: "Barang siapa yang belajar kepada ahli nya dan mengamalkannya, maka dia adalah orang-orang yang selamat".[1]
Nabi Saw juga bersabda: "Memandang wajah seorang ulama adalah ibadah",[2] dan ditempat lain dijelaskan mengenai keutamaan seorang penuntut ilmu: "Menuntut ilmu bagi muslim laki-laki dan perempuan adalah satu kewajiban."[3]
- Semua ayat-ayat dan riwayat Islam dipahami bahwa pedoman Islam adalah pedoman abadi dan kekal, dan ajaran-ajarannya sampai hari kiamat tetap berjalan dan berlaku, oleh karenanya perlu bagi manusia mengetahui seluruh ajaran-ajaran dan untuk mencapai pedoman ini hanya ada dua cara; atau orang itu sendiri dengan sumber daya keilmuannya merujuk ke referensi-referensi fikih dan agama serta mengeluarkan hukum-hukum dan persoalan-persoalan dari referensi-referensi tersebut, dan jika dia tidak memiliki kemampuan akan hal tersebut merujuk kepada ahlinya.[4]
- Nabi Saw dan para Imam Maksum As telah menjelaskan untuk menentukan kriteria ulama yang kompeten, kita akan sebutkan beberapa contoh:
Terkait dengan ayat:
«فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتابَ بِأَيْدِيهِمْ، ثُمَّ يَقُولُونَ هذا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ»
“Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu mereka berkata, “Kitab ini berasal dari sisi Allah.” (Qs. Al-Baqarah [2]:79)
Imam Hasan Askari As mengatakan: “Ayat ini diturunkan untuk kaum Yahudi.”
Seorang laki-laki berkata kepada Imam Shadiq As: “Jika itu adalah kelompok biasa (umum) dari Yahudi, dan mereka belajar dari ulama-ulama mereka (orang-orang Yahudi), maka mengapa mereka yang bertaklid kepada ulama-ulama Yahudi tersebut dikutuk?Memangnya Yahudi awam tidak seperti orang-orang biasa kita juga yang bertaklid kepada ulama?” Imam Shadiq As menjawab: “Orang biasa kita dan orang-orang biasa yahudi di satu sudut pandang memiliki kesamaan dan pada sudut pandang lainnya berbeda. Sisi persamaannya yaitu Allah mengutuk orang-orang biasa yang bertaklid kepada mereka sama halnya orang-orang awan mereka (Yahudi) yang dikutuk. Sedangkan sisi perbedaannya meskipun orang-orang awan Yahudi mengetahui bahwa ulama mereka berbohong, memakan makanan yang haram, dapat disuap dan memalsukan hukum-hukum Tuhan mereka yakin bahwa orang-orang yang melakukan hal seperti itu adalah fasik dan tidak pantas mengikuti ulama sebagai penghubung antara Sang Khalik dan makhluk nya, orang awam kita juga jika melihat ulamanya fasik, fanatik bukan pada tempatnya, cinta dunia dan haram namun masih tetap saja mengikuti nya, mereka sama saja dengan kaum yahudi yang dikarenakan bertaklid kepada ulamanya yang fasik Allah Swt mencelanya.
Namun, seorang ulama yang menjaga hawa nafsu dan pembela agama, menentang hawa nafsunya, menaati perintah Allah maka wajib bagi orang-orang awam untuk bertaqlid kepadanya. Dan hal ini hanya sebagian dari orang-orang fakih bukan semuanya. Jadi jika siapa saja dari ulama yang melakukan perbuatan jelek dan buruk, dan telah fasik, jangan menerima apa yang dikatakannya dan tidak menghormatinya".[5]
Rasulullah Saw juga bersabda: "Janganlah kamu bersama orang alim sembarangan, kecuali orang alim tersebut mengajak kamu dari 5 hal yang buruk menuju kepada 5 hal yang baik: dari ragu menjadi yakin, dari takabbur kepada tawadhu, dari riya dan pamer kepada keikhlasan, dari bermusuhan dan dengki kepada kebaikan dan dari kecendrungan kepada dunia menjadi berpaling darinya.”[6]
«فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتابَ بِأَيْدِيهِمْ، ثُمَّ يَقُولُونَ هذا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ»
“Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu mereka berkata, “Kitab ini berasal dari sisi Allah.” (Qs. Al-Baqarah [2]:79)
Imam Hasan Askari As mengatakan: “Ayat ini diturunkan untuk kaum Yahudi.”
Seorang laki-laki berkata kepada Imam Shadiq As: “Jika itu adalah kelompok biasa (umum) dari Yahudi, dan mereka belajar dari ulama-ulama mereka (orang-orang Yahudi), maka mengapa mereka yang bertaklid kepada ulama-ulama Yahudi tersebut dikutuk?Memangnya Yahudi awam tidak seperti orang-orang biasa kita juga yang bertaklid kepada ulama?” Imam Shadiq As menjawab: “Orang biasa kita dan orang-orang biasa yahudi di satu sudut pandang memiliki kesamaan dan pada sudut pandang lainnya berbeda. Sisi persamaannya yaitu Allah mengutuk orang-orang biasa yang bertaklid kepada mereka sama halnya orang-orang awan mereka (Yahudi) yang dikutuk. Sedangkan sisi perbedaannya meskipun orang-orang awan Yahudi mengetahui bahwa ulama mereka berbohong, memakan makanan yang haram, dapat disuap dan memalsukan hukum-hukum Tuhan mereka yakin bahwa orang-orang yang melakukan hal seperti itu adalah fasik dan tidak pantas mengikuti ulama sebagai penghubung antara Sang Khalik dan makhluk nya, orang awam kita juga jika melihat ulamanya fasik, fanatik bukan pada tempatnya, cinta dunia dan haram namun masih tetap saja mengikuti nya, mereka sama saja dengan kaum yahudi yang dikarenakan bertaklid kepada ulamanya yang fasik Allah Swt mencelanya.
Namun, seorang ulama yang menjaga hawa nafsu dan pembela agama, menentang hawa nafsunya, menaati perintah Allah maka wajib bagi orang-orang awam untuk bertaqlid kepadanya. Dan hal ini hanya sebagian dari orang-orang fakih bukan semuanya. Jadi jika siapa saja dari ulama yang melakukan perbuatan jelek dan buruk, dan telah fasik, jangan menerima apa yang dikatakannya dan tidak menghormatinya".[5]
Rasulullah Saw juga bersabda: "Janganlah kamu bersama orang alim sembarangan, kecuali orang alim tersebut mengajak kamu dari 5 hal yang buruk menuju kepada 5 hal yang baik: dari ragu menjadi yakin, dari takabbur kepada tawadhu, dari riya dan pamer kepada keikhlasan, dari bermusuhan dan dengki kepada kebaikan dan dari kecendrungan kepada dunia menjadi berpaling darinya.”[6]
- Berdasarkan ajaran Islam, ilmu, pengetahuan dan hikmah adalah bagian khazanah orang-orang Mukmin yang hilang maka dimanapun ia menemukan khazanahnya yang hilang maka hendaknya ia mengambilnya."[7] Artinya seorang Mukmin mengejar ilmu pengetahuan dan hikmah yang ada dalam dirinya, dan setiap perkataan yang berdasarkan akal dan hikmat akan diterima olehnya, dan mengikut kepada Imam Ali AS dengan mendengarkan perkataan dan perbuatannya bukan melihat siapa yang berkata.[8]
Tentu saja metode ini harus dengan mengetahui sifat-sifat dan karakteristik serta kelakuan pembicara tersebut, dan perkataan orang tersebut bertentangan dengan kelakuannya, meskipun perkataan nya berdasarkan ilmu dan hikmat namun dalam standar pengaruhnya (terhadap orang) akan berkurang, namun dalam hal inilah berdasarkan ajaran agama kita dapat memanfaatkan hikmat dan keilmuan nya. [iQuest]
[1]. Awali al-La'ali, jil. 1, hal. 77; kâfi, jil. 1, hal. 46.
[2]. Bihârul Anwâr, jil. 1, hal. 195.
[3]. Tanbih al-Khawâtir, jil. 2, hal. 176.
[4]. Rahnemâyi Hakikat, Ayatullah Ja'far Subhani, hal. 577.
[5]. Al-Hayâ, terjemahan Ahmad âram, jil. 2, hal. 571.
[6]. Bihâr al-Anwâr, jil. 1, hal. 38.
[7]. Al-Kâfi, jil. 2, hal. 571.
«سَهْلُ بْنُ زِيَادٍ عَنْ بَكْرِ بْنِ صَالِحٍ عَنِ ابْنِ سِنَانٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ شِمْرٍ عَنْ جَابِرٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع قَالَ الْحِكْمَةُ ضَالَّةُ الْمُؤْمِنِ فَحَيْثُمَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ ضَالَّتَهُ فَلْيَأْخُذْهَا »
«سَهْلُ بْنُ زِيَادٍ عَنْ بَكْرِ بْنِ صَالِحٍ عَنِ ابْنِ سِنَانٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ شِمْرٍ عَنْ جَابِرٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع قَالَ الْحِكْمَةُ ضَالَّةُ الْمُؤْمِنِ فَحَيْثُمَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ ضَالَّتَهُ فَلْيَأْخُذْهَا »
Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar