Please Wait
8227
Para juris yang memandang tidak boleh bertaklid kepada mujtahid yang telah meninggal dunia berargumen dengan dalil-dalil yang harus kita rujuk pada kitab-kitab fikih untuk mengetahui dalil-dalil tersebut. Namun pertanyaan ini dapat diajukan dalam bentuk yang lain bahwa apa manfaat hukum seperti ini dan sejatinya apa falsafah ketidakbolehan ini menurut sebagian juris tersebut? Dalam menjawab pertanyaan ini kami akan menyebutkan beberapa poin sebagai berikut:
1. Menuntut dan mempelajari ilmu bagi pelajar agama lainnya adalah sebuah keharusan untuk menggondol derajat ijtihad yang akan menyebabkan kelestarian hauzah ilmiah dan agama berikut kemajuannya.
2. Meski ulama besar yang telah mendahului kita telah banyak menjawab banyak persoalan dan problematika namun masih banyak persoalan yang tersisa yang harus dijawab oleh orang-orang yang hidup setelahnya.
3. Kaum Muslimin setiap hari, dalam kehidupan personal dan sosialnya, urusan internal dan eksternalnya di dunia, berhadapan dengan masalah-masalah baru dan mereka tidak mengetahui taklifnya dalam masalah ini. Dalam hal-hal seperti ini, diperlukan kehadiran para fakih dan juris yang melakukan ijtihad dan menjelaskan taklif kepada masyarakat.
4. Banyak persoalan dan subyek-subyek yang mengalami perubahan dan pergantian dan mujtahid yang masih hiduplah yang dapat mengidentifikasi perubahan subyek (maudhu’) tersebut, dengan memperhatikan kondisi ruang dan waktu, memberikan hukum atas subyek-subyek baru tersebut.
5. Kemajuan ilmu-ilmu Islam yang memiliki asas yang sama dengan ilmu-ilmu lain.
Sekelompok juris Syiah[1] berpandangan bagi mereka yang bertaklid untuk pertama kali (taklid ibtidâi) menginstruksikan supaya tidak bertaklid kepada mujtahid yang telah meninggal dunia. Mereka berkata, “Bertaklid kepada mujtahid yang telah meninggal hanya dapat dibenarkan supaya (muqallid) tetap bertaklid secara benar. Artinya bahwa orang-orang yang bertaklid kepada seorang mujtahid pada masa hidupnya setelah ia meninggal mereka tetap dapat bertaklid kepadanya dengan izin dan fatwa seorang mujtahid yang masih hidup.”
Adapun bahwa juris dan fukaha kita memandang bahwa salah satu syarat untuk menjadi marja taklid adalah (masih) hidup. Mereka memandang bahwa tidak boleh bertaklid kepada mujtahid yang telah meninggal dunia. Mereka memiliki dalil-dalil jurisprudensial yang dibahas dalam pembahasan teknis fikih dan bukan tempatnya di sini untuk mengurai dan menjelaskan dalil-dalil tersebut secara detil. Namun apa yang terlontar dalam pertanyaan dapat diajukan dalam bentuk yang lain. Misalnya apa manfaat hukum seperti ini? Pada hakikatnya apa falsafah ketidakbolehan ini dalam pandangan sebagian fukaha tersebut?
Karena itu, di sini kita berada pada tataran menjawab pertanyaan ini dan akan menyinggung sebagian dari manfaat hukum keharusan bertaklid kepada mujtahid yang masih hidup walau hanya sebagian sebagaimana berikut ini:
1. Pandangan ini akan menyebabkan lestarinya hauzah-hauzah ilmiah, booming dan kemajuan mereka setiap hari. Karena sesuai dengan pandangan ini, jalan ijtihad akan tetap terbuka dan dengan menggembleng ulama lainnya di pelbagai bidang, hauzah ilmiah akan mempersembahkan mujtahid-mujtahid dan marja-marja taklid baru ke tengah masyarakat.
2. Banyak persoalan dan problematika masa lalu telah dijawab dan diselesaikan oleh ulama terdahulu. Namun demikian, masih banyak persoalan yang tersisa yang harus dijawab oleh orang-orang yang hidup setelahnya. Bahkan pada pelbagai masalah yang telah dipecahkan, dengan memperhatikan kemajuan ilmu pengetahuan di dunia hari ini, boleh jadi terdapat jawaban yang lebih baik dan lebih inklusif dari jawaban yang telah diberikan oleh ulama terdahulu dapat disodorkan kepada masyarakat.
3. Dengan memperhatikan pengajaran dan pelajaran ilmu-ilmu Islam seperti Tafsir, Fikih, Ushul dan lain sebagianya dalam pelbagai bidang keilmuan, ilmu-ilmu ini telah mengalami kemajuan dan kesempurnaan.
4. Kaum Muslimin setiap hari dalam kehidupan personal dan sosialnya, urusan internal dan eksternalnya di dunia, berhadapan dengan banyak masalah baru dan mereka tidak mengetahui taklifnya dalam masalah ini. Dalam hal-hal seperti ini, harus terdapat para fakih dan juris yang melakukan ijtihad dan menjelaskan taklif masyarakat. Sejatinya, alasan dan rahasia mengapa kita harus merujuk kepada para mujtahid sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat adalah untuk keperluan ini. Imam Mahdi Ajf bersabda, “Hendaklah kalian merujuk kepada para perawi hadis kami (mujtahid) atas pelbagai persoalan yang terjadi (hawâdits al-wâqia’h).”[2] Pelbagai persoalan yang terjadi (hawâdits wâqia’h) adalah persoalan-persoalan baru atau kontemporer yang terjadi setiap masa, setiap abad, setiap tahun bahkan setiap hari dan seterusnya. Hanya mujtahid dan juris yang hidup dan mengenal dengan baik masanya yang dapat menjawab persoalan-persoalan ini. Dengan menelaah kitab-kitab fikih menunjukkan bahwa secara gradual dan berdasarkan pelbagai kebutuhan masyarakat, banyak masalah dan persoalan baru masuk dalam pembahasan fikih dan para juris (fukaha) menjawab persoalan tersebut. Dan juga terdapat banyak kemajuan dalam bidang ilmu Fikih, sepanjang tahun, yang dilakukan oleh para fakih masanya.
5. Banyak persoalan dan subyek-subyek yang mengalami perubahan dan pergantian dan mujtahid yang masih hiduplah yang dapat mengidentifikasi perubahan subyek tersebut, dengan memperhatikan kondisi ruang dan waktu, mereka memberikan hukum atas subyek-subyek baru tersebut dengan melakukan inferensi (istinbâth) dari dalil-dalil (ayat dan riwayat).[3] [IQuest]
[1]. Menurut hemat kami pertama, taklid untuk pertama kalinya kepada mayit dibolehkan dan apabila mayit tersebut lebih pandai (a’lam) maka hukumnya adalah wajib. Kedua, dalam urusan-urusan sosial harus bertaklid hanya kepada Rahbar (Supreme Leader) dan dalam urusan-urusan non-sosial maka dibolehkan bertaklid kepada selain Rahbar (Supreme Leader).
[2]. “Waamma al-hawadits al-waqia’ah farji’u ila ruwati haditsina.” Ihtijâj Thabarsi, jil. 2, hal. 283.
[3]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Dah Guftâr Syahid Muthahhari Ra, Guftâr Ashl-e Ijtihâd dar Islâm.