Please Wait
9314
Dalil-dalil ayat-ayat dan riwayat-riwayat dalam bab kehalalalan dan keabsahan pernikahan temporal sedemikian banyak sehingga tidak seorang pun yang dapat mengingkar dan memandangnya sebagai hadis buatan, namun dari sekumpulan riwayat dapat disimpulkan sedemikian bahwa pernikahan temporal sehubungan dengan orang-orang yang tidak dapat melangsungkan pernikahan permanen atau tidak dapat menjangkau istrinya dan boleh jadi terjerembab dalam kubangan dosa hukumnya mustahab dan dianjurkan untuk melangsungkan pernikahan sementara, akan tetapi terkait dengan mereka yang telah menikah secara permanen dan istrinya juga bersamanya dan tidak membutuhkan pernikahan temporal kemustahaban dan anjuran untuk melakukannya tidak dapat ditetapkan. Untuk memperoleh jawaban detil dan demikian juga pandangan Hadhrat Ayatullah Mahdawi Hadawi Tehrani (Semoga Allah Swt memanjangkan keberkahannya) kami persilahkan Anda untuk merujuk pada jawaban detil.
Untuk menjelaskan masalah ini kita harus membahas dua persoalan:
1. Boleh dan mubahnya pernikahan temporal menurut ayat-ayat al-Qur’an dan riwayat.
Untuk menerangkan persoalan ini pertama-tama kita harus membahas ayat-ayat al-Qur’an kemudian riwayat yang terkait:
A. Al-Qur’an dan pernikahan temporal
Untuk menetapkan keabsahan dan kebolehan pernikahan temporal kita dapat berdalil dengan ayat ini, “Maka istri-istri yang telah kamu nikahi secara mut‘ah di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah dosa bagimu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Al-Nisa [4]:24) Allamah Thabathabai dalam menafsirkan ayat ini menuturkan, “Tanpa ragu bahwa yang dimaksud istimta’ pada ayat ini adalah pernikahan mut’ah dan mengingat bahwa ayat ini diturunkan di Madinah dan juga termaktub pada surah al-Nisa, yang diturunkan pada pertengahan pertama pasca hijrah yang kebanyakan ayatnya memberikan kesaksian terhadap pernikahan ini, dan pernikahan itu adalah pernikahan mut’ah atau pernikahan temporal. Pada penggalan waktu tersebut merupakan suatu hal yang lumrah bagi kaum Muslimin melakukan praktik pernikahan ini, dan pada masa itu juga tidak terdapat keraguan. Karena itu inti keberadaan pernikahan semacam ini terdapat pada masa Rasulullah Saw, dan tiada keraguan di hadapan beliau, dan juga tiada keraguan pada masa itu terkait dengan nama model pernikahan ini dengan nama (mut’ah) dan mereka tidak menyebut pernikahan seperti ini kecuali dengan sebutan mut’ah. Karena itu, tidak ada alternatif lain bahwa redaksi kalimat, “famastamta’tum bihi minhunna” kita maknai atas model pernikahan ini dan dari kalimat ini kita memahami pernikahan mut’ah ini. Hal ini dapat kita saksikan dalam tradisi dan sunnah yang dikenal pada masa pewahyuan al-Qur’an dimana ayat-ayat al-Qur’an dimaknai dengan maknanya yang dimaksud. Misalnya apabila sebuah ayat diturunkan berkenaan dengan satu hukum yang berkaitan dengan salah satu nama tersebut maka nama tersebut akan disetujui atau ditolak dan disalahkan. Atau diperintahkan tentangnya atau dilarang. Tiada jalan lain bahwa nama-nama atau gelar-gelar tersebut dimaknai atas makna-makna popularnya. Sekali-kali tiada sejarahnya bahwa dengan adanya ruang bagi nama dimaknai atas makna leksikalnya – yang pada waktu itu telah diabaikan – seperti kalimat “haji” dan kalimat “bai’”, dan “riba”, dan “ribh” dan “ghanimat”, dan kalimat-kalimat lainnya semisal dengan hal ini yang memiliki satu makna leksikal dan satu makna popular di kalangan para ahli zamannya. Misalnya kalimat “haj” yang secara leksikal bermakna bermaksud, namun makna popularnya di kalangan masyarakat Arab bermakna ziarah Ka’bah (rumah Tuhan), dan tidak mungkin ada orang yang mengklaim bahwa dalam al-Qur’an kalimat “haji” itu berarti bermaksud. Demikian juga titel-titel al-Qur’an lainnya dan juga ungkapan-ungkapan dan titel-titel dalam lisan Rasulullah Saw yang disebutkan untuk beberapa persoalan; seperti kalimat “shalat”, dan “zakat” dan “haji tamattu’” dan semisalnya yang secara leksikal memiliki makna tertentu namun dalam lisan syariat, penggunaannya untuk makna lainnya dan memiliki obyek dan contoh tertentu bagi maknanya yang telah digunakan di tengah masyarakat. Seperti kalimat shalat yang aslinya secara leksikal bermakna doa dan Syari’ Muqaddas menggunakannya pada obyek tertentu dari doa yaitu dalam shalat. Penggunaan ini sedemikian berkembang sehingga kapanpun kalimat shalat didengarkan maka yang melintas dalam benak setiap orang adalah makna sembahyang bukan makna doa. Dan dengan terealisirnya dan digunakannya penamaan ini maka tidak lagi tersisa ruang bagi kita untuk memaknai lafaz-lafaz ini dan selainnya yang disebutkan dalam al-Qur’an dengan makna leksikalnya.”[1]
B. Kumpulan Riwayat dan Mut’ah
Kumpulan riwayat Syiah dan di antaranya adalah Kutub al-Arba’ah Syiah yang merupakan bagian utama sumber-sumber riwayat Syiah. Masing-masing dari kitab ini mencakup sebuah bab dengan judul mut’ah dan kebolehannya. Seperti:
1. Kitâb al-Kâfi.[2]
2. Kitâb Man La Yahdhuruhu al-Faqih[3]
3. Kitab al-Ishtibshâr[4]
4. Wasâil al-Syiah[5]
Dan kitab-kitab lainnya yang membahas masalah ini yang tidak dapat diingkari.
Contoh dari hadis-hadis
Di samping al-Qur’an, terdapat hadis-hadis dalam bab mut’ah dan anjurannya sedemikian banya sehingga tidak tersisa lagi keraguan tentangnya yang akan disinggung sebagian darinya berikut ini:
1. Imam Baqir As menukil dari Imam Ali As bahwa beliau bersabda: “Apabila Umar tidak datang sebelumnya (dan tidak mengharamkan mut’ah) maka tidak akan berzina seseorang kecuali orang yang celaka dan keras hati.”[6]
2. Salah seorang sahabat Imam Musa Kazhim As berkata, “Saya berkata kepada Imam Musa bahwa saya senantiasa melakukan pernikahan temporal dan kemudian memandangnya sebagai perbuatan keji dan orang-orang karena perbuatan itu menyalahkanku. Atas dasar itu, saya telah mengikat janji dengan Tuhanku di antara rukun dan makam (Ibrahim di Ka’bah) bahwa saya tidak akan lagi melakukan pernikahan temporal lagi! Namun setelah itu saya merasakan sangat berat dan menyesali ikatan janji yang telah saya nyatakan. Akan tetapi saya juga tidak memiliki kemampuan untuk melangsungkan pernikahan permanen (daim). Imam Musa As bersabda, “Apakah engkau mengikat janji dengan Tuhan supaya engkau mentaati-Nya?” Demi Allah! Apabila engkau tidak menaati-Nya maka pastilah engkau akan memaksiati-Nya.”[7] Dengan memperhatikan apa yang telah dijelaskan dengan definitif dapat diambil kesimpulan bahwa inti keberadaan mut’ah dan hukum mustahabnya merupakan masalah yang tidak terdapat keraguan di dalamnya. Meski ada kemungkinan bahwa terkait dengan mut’ah terdapat beberapa riwayat-riwayat gadungan yang dibuat oleh sebagian orang.
Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Indeks: Bolehnya Pernikahan Temporal, Pertanyaan 844 (Site: 915)
2. Batasan Pernikahan Temporal
Sehubungan dengan batasan pernikahan temporal dan bilangan wanita yang dapat dinikahi secara temporal (mut’ah) pada satu masa maka harus dikatakan bahwa meski terdapat hadis-hadis standar tidak ada batasan bilangan dalam pernikahan temporal[8] namun dengan memperhatikan sumber pengeluaran riwayat semacam ini (mansyâ al-shudur)[9] dan juga menyimak sekumpulan riwayat dalam masalah ini dapat dikatakan bahwa pernikahan temporal memiliki syarat dan batasan. Hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut bahwa dalam kitab-kitab hadis terdapat sebuah bab dengan judul “Makruhnya Mut’ah Bila Tidak Diperlukan.” Artinya seseorang yang tidak memerlukan mut’ah dan memiliki istri yang telah dinikahi secara permanen (daim) maka hukumnya makruh untuk melakukan mut’ah dan pernikahan temporal. Di antaranya disebutkan dalam kitab al-Kâfi karya Muhammad bin Ya’qub Kulaini yang merupakan litetarur utama Syiah juga menyebutkan beberapa bab dalam masalah ini. Telah memadai bagi kita dengan menyebut satu riwayat dari kitab tersebut yang akan disebutkan sebagai contoh di sini.
Diriwayatkan dari seseorang yang bernama Fath bin Yazid bahwa ia bertanya kepada Imam Musa Kazhim ihwal mut’ah. Imam Musa As bersabda, “(Hukumnya adalah) Mubah dan halal bagi seseorang yang belum menikah secara daim (permanen). Oleh itu, atas alasan ini untuk menjaga kemuliaan dan kehormatan maka ia boleh melakukan mut’ah. Namun apabila ia telah menikah secara daim (permanan) maka mut’ah baginya hanya dibolehkan apabila istrinya tidak berada di sisinya. (Misalnya ia bepergian dan istrinya tidak ikut serta bersamanya dan di tempat itu ia takut jangan-jangan terjerembab dalam kubangan dosa).[10]
Dari riwayat ini menjadi jelas bahwa pernikahan temporal menemui maknanya sebagai pengganti pernikahan daim. Artinya apabila seseorang tidak dapat melangsungkan pernikahan permanen atau berada di suatu tempat yang membuatnya tidak dapat menjumpai istrinya ketika ia inginkan maka untuk menghindar dari perbuatan dosa ia boleh melakukan pernikahan mut’ah. Adapun bahwa hukumnya mustahab dan dianjurkan dan dorongan untuk melakukan mut’ah bagi orang yang telah menikah secara permanen tidak dapat ditetapkan. Mengingat istrinya juga berada di sisinya karena itu ia tidak memerlukan mut’ah. Dengan kata lain, tidak mustahab baginya melangsungkan pernikahan mut’ah apabila istrinya berada di sisinya.
Jawaban Ayatullah Hadawi Mahdawi Tehrani (Semoga Allah Swt Memanjangkan Keberkahannya):
Dalam pernikahan temporal tidak ada batasan dari sisi bilangan namun hal ini tidak bermakna tiadanya syarat dalam model pernikahan seperti ini. Dan salah satu syaratnya adalah tidak timbulnya kerusakan (mafsadah) akibat perbuatan tersebut. [IQuest]
[1]. Al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, Sayid Muhammad Husain Thabathabai, jil. 4, hal. 271 & 272, Daftar Intisyarat-e Islami Jame’e Mudarrisin Hauzah Ilmiah Qum, Qum, Cetakan Kelima, 1417 H.
[2]. Al-Kâfi, Tsiqat al-Islam Kulaini, jil. 5, hal. 448 – 465, Edisi 8 jilid, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 H.
[3]. Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqih, edisi 4 jilid, Syaikh Shaduq, jil. 3, hal. 458-467, Intisyarat-e Jame’e Mudarrisin, Qum, 1413 H.
[4]. Al-Istibshâr, edisi 4 jilid, Syaikh Thusi, jil. 3, hal. 141 – 155, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1390 H.
[5]. Wasâil al-Syiah, edisi 29 jilid, Syaikh Hurr Amili, jil. 21, hal. 5 – 81, Muassasah Ali al-Bait As, Qum, 1409 H.
[6]. Mustadrak al-Wasâil, edisi 18 jilid, Muhaddits Nuri, jil. 14, Abwab al-Mut’ah, hal. 447, Muassasah Ali al-Bait As, Qum, 1408 H.
[7]. Mustadrak al-Wasâil, edisi 18 jilid, Muhaddits Nuri, jil. 14, hal. 453.
[8]. Al-Kâfi, Tsiqat al-Islam Kulaini, jil. 5, hal. 451, Edisi 8 jilid, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 H.
[9]. Untuk telaah lebih jauh kami persilahkan Anda melihat Jawaban 3320 (Site: 4098), Indeks: Mengkaji Hadis tentang Mut’ah.
[10]. Al-Kâfi, Tsiqat al-Islam Kulaini, jil. 5, hal. 453, Edisi 8 jilid, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 H.
- 1- عَلِیُّ بْنُ إِبْرَاهِیمَ عَنْ أَبِیهِ عَنِ ابْنِ أَبِی عُمَیْرٍ عَنْ عَلِیِّ بْنِ یَقْطِینٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا الْحَسَنِ مُوسَى ع عَنِ الْمُتْعَةِ فَقَالَ وَ مَا أَنْتَ وَ ذَاکَ فَقَدْ أَغْنَاکَ اللَّهُ عَنْهَا قُلْتُ إِنَّمَا أَرَدْتُ أَنْ أَعْلَمَهَا فَقَالَ هِیَ فِی کِتَابِ عَلِیٍّ ع فَقُلْتُ نَزِیدُهَا وَ تَزْدَادُ فَقَالَ وَ هَلْ یَطِیبُهُ إِلَّا ذَاکَ.
2- عَلِیُّ بْنُ إِبْرَاهِیمَ عَنِ الْمُخْتَارِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُخْتَارِ وَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَسَنِ الْعَلَوِیِّ جَمِیعاً عَنِ الْفَتْحِ بْنِ یَزِیدَ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا الْحَسَنِ ع عَنِ الْمُتْعَةِ فَقَالَ هِیَ حَلَالٌ مُبَاحٌ مُطْلَقٌ لِمَنْ لَمْ یُغْنِهِ اللَّهُ بِالتَّزْوِیجِ فَلْیَسْتَعْفِفْ بِالْمُتْعَةِ فَإِنِ اسْتَغْنَى عَنْهَا بِالتَّزْوِیجِ فَهِیَ مُبَاحٌ لَهُ إِذَا غَابَ عَنْهَا.