Advanced Search
Hits
14219
Tanggal Dimuat: 2012/05/15
Ringkasan Pertanyaan
Apakah kutukan menjadi kera adalah hukuman bagi orang yang pada hari Sabtu karena mereka butuh untuk menangkap ikan?
Pertanyaan
Pada ayat 65 surah al-Baqarah (2) disebutkan, “Dan sesungguhnya kamu telah mengetahui orang-orang di antara kamu yang melanggar (ketentuan Ilahi) pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka, “Jadilah kera-kera yang hina!” Mendapat kutukan menjadi kera adalah hukuman bagi orang yang pergi menangkap ikan pada hari Sabtu disebabkan adanya kebutuhan mencari nafkah hidup. Apakah keharaman bersikap malas dan menahan lapar pada hari Sabtu pada masa tatkala media-media wisata pada masa-masa tersebut belum lagi tersedia sebagaimana pada masa kini, lebih tinggi di sisi Tuhan daripada mencari mata pencarian hidup dan memenuhi waktu-waktunya yang kosong?
Jawaban Global

Pertama-tama  harus diketahui bahwa kutukan terhadap Bani Israel bukanlah semata-mata karena mereka mencari penghidupan dengan menangkap ikan; karena pekerjaan ini bukan hanya tidak berdosa dan berkonsekuensi masakh melainkan dalam logika Islam perbuatan ini termasuk sebagai ibadah. Imam Shadiq As bersabda, “Barang siapa yang mencari rezeki untuk menghidupi keluarganya maka ia seperti mujahid dalam medan perang berjihad untuk Allah Swt. Karena itu, sudah barang tentu sebab kutukan terhadap Bani Israel adalah sesuatu selain menangkap ikan dan hal itu adalah seperti yang disebutkan Allah Swt, “Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.”

Bukti lainnnya yang menegaskan klaim ini pada ayat-ayat yang menjadi obyek bahasan terkait dengan menangkap ikan kaum tersebut diungkapkan dengan frase “i’tadu (melanggar batas) dan “ya’duna” (melanggar batas) hal ini menunjukkan bahwa hukuman mereka disebabkan oleh dosa, membangkang dan melanggar aturan-aturan Ilahi dan tidak lulus dalam ujian-ujian yang digelar Allah Swt untuk mereka.

Tidak bekerja pada hari Sabtu (Sabbath) merupakan salah satu prinsip Yahudi yang tidak berubah dan dewasa ini juga mereka meyakini prinsip ini. Hal ini tidak bermakna adanya sikap malas dan menganggur dan istirahat secara total, melainkan dengan memperhatikan bahwa manusia selama seminggu (selain libur sehari) kebanyakan sibuk bekerja dan kurang melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti ibadah, kebersihan, keluarga dan lain sebagainya; karena itu ada baiknya sehari libur dalam seminggu untuk mengurus hal-hal yang kurang diperhatikan selama seminggu.

Di samping itu, pada hari ini, berada di tengah keluarga bisa menghasilkan semangat baru dan manusia dapat memulai pada hari pertama kerja dengan energi positif. Karena itu tidak bekerja pada hari-hari resmi kerja pada hari-hari libur tidak bermakna adanya sikap malas.

Jawaban Detil

Untuk menerangkan pembahasan ini kiranya kita perlu membahas beberapa poin penting sebagai berikut:

Pertama: Di samping ayat yang menjadi obyek pertanyaan tentang Ashhâb Sabt (Sabbath), demikian juga pada ayat 163 surah al-A’raf (7), Allah Swt berfirman tentang hal ini, “Dan tanyakanlah kepada Bani Isra’il tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air pada hari Sabtu, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.”

Kedua: Terdapat dua pendapat terkait dengan pergi berburu pada hari Sabtu atau menjala ikan dan pada hari Minggu mereka mengambilnya:

  1. Ikan-ikan yang mereka kumpulkan pada hari Sabtu, yang dipandang sebagai hari aman bagi mereka, banyak mereka kumpulkan dan kaum Yahudi menjalanya pada hari Sabtu dan mengambilnya pada hari Minggu.
  2. Mereka secara resmi berburu pada hari Sabtu dan memandang halal berburu pada hari Sabtu.[1]
  3. Kaum Yahudi karena mengkhianati Allah Swt dan rasul-Nya, dan merusak segala yang baik dalam agama mereka, kebanyakan dari mereka mendapatkan laknat Allah Swt. Sebagai hasilnya taufik iman dari dalam hati mereka dicabut, kecuali segelintir orang dari mereka. Allah Swt mengancam mereka apabila berlaku congkak dan membangkang tanpa satu pun dalil maka mereka akan mendapatkan azab yang pedih, mungkin berupa laknat atau kebinasaan (thams) yaitu azab yang menghantam mereka seluruhnya dan tidak menyisakan sesuatu apa pun dari mereka. Mereka terpuruk dengan laknat dan thams ini namun anehnya tanpa ragu mereka tidak pernah surut langkahnya dari perbuatan-perbuatan ini.[2]

 

Setelah membeberkan pendahuluan yang diperlukan kini mari kita kembali kepada pertanyaan di atas. Dengan memperhatikan bahwa komposisi pertanyaan berpijak di atas asumsi-asumsi keliru, maka dari itu dengan mengemukakan dan menganalisa persoalan ini secara tepat, kami akan menjawab pertanyaan tersebut. Apakah kutukan terhadap mereka menjadi kera disebabkan oleh adanya kebutuhan menangkap ikan?

Sejarah ini, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat-riwayat Islam, berhubungan dengan sekelompok masyarakat dari Bani Israel yang hidup di tepian pantai salah satu laut (nampaknya laut Merah yang terletak di daerah Palestina) pada sebuah bandar bernama Ailah (yang dewasa ini lebih dikenal dengan nama Bandar Eilat) dan Allah Swt, sebagai ujian dan cobaan, memerintahkan mereka untuk tidak mengambil ikan pada hari Sabtu. Namun mereka menentang perintah tersebut dan kemudian terjerembab hukuman yang pedih.[3] Karena itu, kutukan terhadap mereka bukanlah semata-mata karena mencari rezeki dengan menangkap ikan; karena pekerjaan ini bukan hanya tidak berdosa dan berkonsekuensi masakh melainkan dalam logika Islam perbuatan ini termasuk sebagai ibadah. Dalam hal ini, kami akan menjelaskan dua riwayat terkait dengan hal ini sebagaimana berikut:

  1. Amirul Mukminin Ali As bersabda, “Barang siapa yang membelikan sepotong daging untuk keluarganya maka ia seperti membebaskan seorang budak dari keturunan Ismail.”[4]
  2. Imam Shadiq As bersabda, “Barang siapa yang mencari rezeki untuk menghidupi keluarganya maka ia seperti mujahid dalam medan perang berjihad untuk Allah Swt.”[5]

 

Karena itu, sudah barang tentu sebab kutukan terhadap Bani Israel adalah sesuatu selain menangkap ikan dan hal itu adalah seperti yang disebutkan Allah Swt, “Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.” (Qs. Al-A’raf [7]:163)

Berdasarkan hal itu, dengan memperhatikan dan mencermati ayat-ayat dan riwayat-riwayat terkait dapat disimpulkan bahwa masalah ini sama seperti peristiwa penyembelihan Nabi Ismail oleh ayahnya Nabi Ibrahim,[6] demikian juga peristiwa pelarangan pasukan Thalut untuk tidak meminum air[7] yang dikeluarkan untuk menguji sekelompok Yahudi ini.  Namun kaum ini adalah kaum keras kepala, pembangkang, tamak dan pecinta dunia, dengan menuruti setan dan was-was hawa nafsu, mereka membangkang perintah Tuhan dan hasilnya terpuruk dengan kemurkaan Ilahi dan menjelma menjadi kera.

Bukti lainnnya yang menegaskan klaim kami pada ayat-ayat yang menjadi obyek bahasan terkait dengan menangkap ikan kaum tersebut diungkapkan dengan frase “i’tadu (melanggar batas)[8] dan “ya’duna” (melanggar batas)[9] hal ini menunjukkan bahwa hukuman mereka disebabkan oleh dosa, membangkang dan melanggar aturan-aturan Ilahi dan tidak lulus dalam ujian-ujian yang digelar Allah Swt untuk mereka.

 

Apakah tidak bekerja pada hari-hari libur bermakna malas?

Libur pada hari Sabtu merupakan sesuatu yang wajib menurut Taurat, bahkan menjadi slogan dan kehormatan kaum Yahudi. Libur pada hari Sabtu ini menjadi lebih penting dari kewajiban-kewajiban lainnya. Mereka berkata, “Allah menyelesaikan penciptaan dunia pada hari Sabtu dan beristirahat pada hari tersebut. Bani Israel keluar dari Mesir pada hari ini dan terbebas dari orang-orang Mesir. Pada hari ini Yahudi harus berhenti bekerja apa pun pekerjaan itu dan mengurusi syiar-syiar agamanya.”[10]

Karena itu tidak bekerja pada hari Sabtu merupakan salah satu prinsip Yahudi yang tidak berubah dan dewasa ini juga mereka meyakini prinsip ini. Hal ini tidak bermakna adanya sikap malas dan menganggur dan istirahat secara total, melainkan dengan memperhatikan bahwa manusia selama seminggu (selain libur sehari) kebanyakan sibuk bekerja dan kurang melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti ibadah, kebersihan, keluarga dan lain sebagainya; karena itu ada baiknya sehari libur dalam seminggu untuk mengurus hal-hal yang kurang diperhatikan selama seminggu.

Di samping itu, pada hari ini, di tengah keluarga bisa memperoleh semangat baru dan memulai hari pertama dengan energi positif. Karena itu tidak bekerja pada hari-hari resmi kerja pada hari-hari libur tidak bermakna adanya sikap malas.

Tentu saja agama tidak menentang acara-acara berlibur yang sehat, bahkan pada sebagian hal, agama memotivasi umatnya untuk pergi berlibur. Namun demikian, agama juga tidak menganjurkan bahwa hari-hari libur khusus untuk bersenang-senang saja. Kaum Yahudi yang menjadikan hari Sabtu sebagai hari libur, memiliki tugas untuk tidak bekerja pada hari Sabtu dan pergi menangkap ikan dan meluangkan waktu untuk beribadah pada hari tersebut. Namun pada kenyataannya mereka menginjak-injak titah Ilahi ini.[11]

Boleh jadi terdapat pertanyaan lain dalam masalah ini mengingat bahwa Bani Israel pada hari Sabtu tidak menangkap ikan secara langsung sementara mereka sebenarnya dilarang untuk berburu pada hari Sabtu. Atas dasar itu mengapa tetap terjadi kutukan?  Sudah barang tentu bahwa mereka melanggar aturan dan hukum Ilahi dan mereka mengumpulkan banyak ikan pada hari Sabtu yang mereka pandang sebagai hari aman, orang-orang Yahudi mengurungnya dan pada hari Minggu mereka mengambilnya (secara teknis melakukan apa yang disebut dalam fikih sebagai hilah syar’i [menggunakan trik untuk mengecoh]) sementara perbuatan ini merupakan pelanggaran lantaran mengurung adalah memburu itu sendiri mengingat bahwa hal tersebut seperti Anda menangkap ikan dari laut dan kemudian melemparkannya ke sebuah kolam yang Anda miliki lalu Anda ambil keesokan harinya.

 

Poin: Harap diperhatikan bahwa dalam Taurat pada Keutamaan-keutamaan Bani Israel disebutkan, peristiwa ini seperti kebanyakan peristiwa lainnya tidak disebutkan sebagaimana apa yang disebutkan dalam al-Quran. Terdapat banyak perbedaan kejadian yang dikisahkan dalam al-Quran dan dalam Taurat.[12] [iQuest]

 

 

 


[1]. Fadhl bin Hasan Thabarsi, Majma’ al-Bayân fi Tafsir al-Qur’an, Terjemahan Persia, jil. 1, hal. 204 dan 205, Instisyarat Nashir Khusruw, Teheran, Cetakan Ketiga 1372 S.

[2]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân, Penerjemah Persia, Sayid Muhammad Baqir Musawi Hamadani, jil. 4, hal. 584, Daftar Intisyarat Islami Jamiah Mudarrisin Hauzah Ilmiah Qum, Qum, Cetakan Kelima, 1374 S.

[3].  Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 6, hal. 418, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Pertama, 1374 S.

[4]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 75, hal. 32, Muassasah al-Wafa, Beirut, Libanon, 1404 H.

[5]. Kulaini, al-Kafi, jil. 5, hal. 88, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 S.

[6]. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab, “Hai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (Qs. Al-Shaffat [37]:102)

[7]. “Tatkala Thâlût (telah dinobatkan menjadi raja dan) keluar membawa tentaranya, ia berkata, “Sesungguhnya Allah akan mengujimu dengan sebuah sungai. Maka barang siapa di antara kamu meminum airnya, ia bukanlah pengikutku. Dan barang siapa tidak meminumnya, kecuali menciduk seciduk tangan, maka ia adalah pengikutku.” Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thâlût dan orang-orang yang beriman bersamanya[ ] telah menyeberangi sungai itu, (melihat sedikitnya jumlah pasukan) mereka berseru, “Pada hari ini kami tidak memiliki kesanggupan untuk melawan Jâlût dan bala tentaranya.” Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata, “Betapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Qs. Al-Baqarah [2]:249)

[8].  “Dan sesungguhnya kamu telah mengetahui orang-orang di antara kamu yang melanggar (ketentuan Ilahi) pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka, “Jadilah kera-kera yang hina!” (Qs. Al-Baqarah [2]:65)

[9].  “Dan tanyakanlah kepada Bani Isra’il tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu.” (Qs. Al-A’raf [7]:163)

[10]. Sayid Mahmud Thaleqani, Partu az Qur’ân, jil. 1, hal. 186, Syerkat Sahami Intisyar, Cetakan Keempat, Teheran, 1362 H.

[11]. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune (dengan sedikit perubahan), jil. 6, hal. 419.

[12]. Sayid Mahmud Thaleqani, Partu az Qur’ân, jil. 1, hal. 186.

 

 

Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar
Jumlah Komentar 0
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
contoh : Yourname@YourDomane.ext
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
<< Libatkan Saya.
Silakan masukkan jumlah yang benar dari Kode Keamanan

Klasifikasi Topik

Pertanyaan-pertanyaan Acak

Populer Hits

  • Ayat-ayat mana saja dalam al-Quran yang menyeru manusia untuk berpikir dan menggunakan akalnya?
    261189 Tafsir 2013/02/03
    Untuk mengkaji makna berpikir dan berasionisasi dalam al-Quran, pertama-tama, kita harus melihat secara global makna “akal” yang disebutkan dalam beberapa literatur Islam dan dengan pendekatan ini kemudian kita dapat meninjau secara lebih akurat pada ayat-ayat al-Quran terkait dengan berpikir dan menggunakan akal dalam al-Quran. Akal dan pikiran ...
  • Apakah Nabi Adam merupakan orang kedelapan yang hidup di muka bumi?
    246319 Teologi Lama 2012/09/10
    Berdasarkan ajaran-ajaran agama, baik al-Quran dan riwayat-riwayat, tidak terdapat keraguan bahwa pertama, seluruh manusia yang ada pada masa sekarang ini adalah berasal dari Nabi Adam dan dialah manusia pertama dari generasi ini. Kedua: Sebelum Nabi Adam, terdapat generasi atau beberapa generasi yang serupa dengan manusia ...
  • Apa hukumnya berzina dengan wanita bersuami? Apakah ada jalan untuk bertaubat baginya?
    230104 Hukum dan Yurisprudensi 2011/01/04
    Berzina khususnya dengan wanita yang telah bersuami (muhshana) merupakan salah satu perbuatan dosa besar dan sangat keji. Namun dengan kebesaran Tuhan dan keluasan rahmat-Nya sedemikian luas sehingga apabila seorang pendosa yang melakukan perbuatan keji dan tercela kemudian menyesali atas apa yang telah ia lakukan dan memutuskan untuk meninggalkan dosa dan ...
  • Ruh manusia setelah kematian akan berbentuk hewan atau berada pada alam barzakh?
    214963 Teologi Lama 2012/07/16
    Perpindahan ruh manusia pasca kematian yang berada dalam kondisi manusia lainnya atau hewan dan lain sebagainya adalah kepercayaan terhadap reinkarnasi. Reinkarnasi adalah sebuah kepercayaan yang batil dan tertolak dalam Islam. Ruh manusia setelah terpisah dari badan di dunia, akan mendiami badan mitsali di alam barzakh dan hingga ...
  • Dalam kondisi bagaimana doa itu pasti dikabulkan dan diijabah?
    176298 Akhlak Teoritis 2009/09/22
    Kata doa bermakna membaca dan meminta hajat serta pertolongan.Dan terkadang yang dimaksud adalah ‘membaca’ secara mutlak. Doa menurut istilah adalah: “memohon hajat atau keperluan kepada Allah Swt”. Kata doa dan kata-kata jadiannya ...
  • Apa hukum melihat gambar-gambar porno non-Muslim di internet?
    171602 Hukum dan Yurisprudensi 2010/01/03
    Pertanyaan ini tidak memiliki jawaban global. Silahkan Anda pilih jawaban detil ...
  • Apakah praktik onani merupakan dosa besar? Bagaimana jalan keluar darinya?
    168090 Hukum dan Yurisprudensi 2009/11/15
    Memuaskan hawa nafsu dengan cara yang umum disebut sebagai onani (istimna) adalah termasuk sebagai dosa besar, haram[1] dan diancam dengan hukuman berat.Jalan terbaik agar selamat dari pemuasan hawa nafsu dengan cara onani ini adalah menikah secara syar'i, baik ...
  • Siapakah Salahudin al-Ayyubi itu? Bagaimana kisahnya ia menjadi seorang pahlawan? Silsilah nasabnya merunut kemana? Mengapa dia menghancurkan pemerintahan Bani Fatimiyah?
    158148 Sejarah Para Pembesar 2012/03/14
    Salahuddin Yusuf bin Ayyub (Saladin) yang kemudian terkenal sebagai Salahuddin al-Ayyubi adalah salah seorang panglima perang dan penguasa Islam selama beberapa abad di tengah kaum Muslimin. Ia banyak melakukan penaklukan untuk kaum Muslimin dan menjaga tapal batas wilayah-wilayah Islam dalam menghadapi agresi orang-orang Kristen Eropa.
  • Kenapa Nabi Saw pertama kali berdakwah secara sembunyi-sembunyi?
    140940 Sejarah 2014/09/07
    Rasulullah melakukan dakwah diam-diam dan sembunyi-sembunyi hanya kepada kerabat, keluarga dan beberapa orang-orang pilihan dari kalangan sahabat. Adapun terkait dengan alasan mengapa melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi pada tiga tahun pertama dakwahnya, tidak disebutkan analisa tajam dan terang pada literatur-literatur standar sejarah dan riwayat. Namun apa yang segera ...
  • Kira-kira berapa usia Nabi Khidir hingga saat ini?
    134029 Sejarah Para Pembesar 2011/09/21
    Perlu ditandaskan di sini bahwa dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara tegas nama Nabi Khidir melainkan dengan redaksi, “Seorang hamba diantara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Qs. Al-Kahfi [18]:65) Ayat ini menjelaskan ...