Please Wait
9694
Tidak seorang pun juris, fakih dan mujtahid yang memandang pandangan dan fatwa mereka terjaga dan terbebas dari kesalahan. Mereka berpandangan bahwa dengan memanfaatkan media-media untuk memperoleh pengetahuan dan makrifat agama seperti ijtihad maka kesalahan-kesalahan dapat diminimalisir. Dijadikannya fatwa-fatwa mereka sebagai hujjah baik bagi dirinya atau pun bagi para pengikut (mukallid) tidak mengindikasikan bahwa mereka telah sampai kepada hakikat dan kebenaran, melainkan fatwa-fatwanya dijadikan sebagai hujjah lantaran pertama mereka menggunakan metode-metode yang diterima agama dan juga yang diterima oleh syariat. Kedua, dengan memanfaatkan metode yang diterima ini, seluruh upaya dan usahanya dikerahkan untuk memamahi hukum-hukum agama, mereka dapat menjalankan fatwa-fatwanya. Apabila fatwa seorang mujtahid yang memiliki selaksa syarat keilmuan dan mempraktikan ijtihad, tidak sesuai dengan kenyataan, maka ia dan seluruh mukallidnya, mengikut teori takhtiah (teori yang menandaskan bahwa seorang mujtahid dalam usahanya menyingkap hukum Allah boleh jadi benar dan boleh jadi salah dan di sini kesalahannya dimaafkan) yang diterima dalam mazhab Syiah, akan dimaafkan dan mendapatkan ganjaran dari Allah Swt.
Agama dan Makrifat Agama
Pembicaraan ihwal agama disertai dengan makrifat agama dan penjelasan di antara keduanya serta pelbagai pengaruh yang bersumber darinya merupakan salah satu teori baru yang disebut sebagai teori kontraksi (qabdh) dan ekspansi (basth) syariat pada masa sekarang ini. Pilar utama teori ini adalah penegasan bahwa terhadap perbedaan antara agama dan makrifat agama. Dalam pembahasan teori ini, agama dipandang sebagai sesuatu yang sakral sementara makrifat agama merupakan perkara manusiawi dan profane (non-Ilahi). Konsekuensi teori ini adalah bahwa makrifat agama apabila ingin menyempurna maka ia harus disertai dengan disiplin ilmu dan pengetahuan manusiawi lainnya untuk dapat maju dan selaras dengan tuntutan perkembangan zaman. Dengan kata lain, makrifat agama harus bersifat spasial, periodikal dan situasional dan perkara-perkara agama harus senantiasa direinterpretasi dan dijelaskan pada setiap masa.”[1]
Salah Satu Hasil Teori Baru
Salah satu kaidah yang diterima secara pasti (musallam) oleh para juris Muslim adalah bahwa apabila mereka ingin memanfaatkan makna-makna dari ayat-ayat al-Qur’an atau riwayat, maka pertama-tama mereka harus menetapkan bahwa terdapat “ruang pemahaman” atas makna-makna seperti ini pada masa pewahyuan al-Qur’an disertai dengan penjelasan riwayat.[2]
Sebagai bandingan pandangan para juris kaum Muslimin ini terdapat teori kontraksi dan ekspansi syariat.[3] Para pemikir teori ini menyatakan bahwa “Makrifat para alim dan juris adalah makrifat manusiawi (human) yang menandaskan bahwa makrifat tesebut bukanlah agama melainkan makrifat dan pengetahuan agama”[4] Karena itu, apabila makrifat manusiawi ini diputus hubungannya dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya, maka ia akan kehilangan standarnya. Karena itu, seorang alim atau juris harus merupakan seorang alim terhadap zamannya (yaitu alim terhadap pelbagai pengetahuan yang berkembang pada masanya), dalam kondisi seperti ini pemahamannya akan menjelma sebagai sebuah pemahaman spasial, periodikal dan situasional dan dibandingkan alim dan juris lainnya pemahamannya akan lebih dekat kepada hakikat dan kebenaran.[5]
Definisi Agama dan Makrifat Agama dalam Teori ini dan Kritik Atasnya
Menurut teori ini, agama dan yang bermakna khusus agama Islam adalah himpunan kitab dan sunnah.”[6] Yang dimaksud dengan makrifat agama adalah makrifat atau pengetahuan yang terkait dengan agama. Dan yang dimaksud dengan pengetahuan di sini ini atau pengetahuan kaum Muslimin terhadap agama (yang pada sebagian redaksi teori ini makna inilah yang dimaksud) atau sebuah makrifat dalam bentuk “common dan general” terhadap agama dimana pengetahuan general ini berbeda di antara kaum Muslimin.”[7]
Kritik
“Apabila yang dimaksud sebagai agama adalah Kitab (al-Qur’an) dan Sunnah maka siklusnya dengan pandangan-pandangan yang mengemuka dalam ilmu Kalam, Ushul, Rijal dan Filsafat agama akan mengalami perubahan dan kemestian dari definisi ini adalah bahwa skop dan cakupan agama itu sendiri (dan bukan sekedar makifat agama) berada di bawah pengaruh makrifat-makrifat manusia. Dengan kata lain, apabila ktia menerima kontraksi dan ekspansi dalam makrifat agama dan menafsirkan agama sebagai Kitab dan Sunnah, kontraksi dan ekspansi ini tidak akan terbatas pada makrifat agama melainkan juga akan berpengaruh pada agama dan agama akan mengalami penambahan dan pengurangan. Benar apabila agama merupakan sebuah perkara tetap (tsâbit) dan merupakan sebuah nafs al-amr (hakikat), maka perkara-perkara yang terkait dengan teori ini dalam pembahasan penantian manusia terhadap agama dan pengaruh penantian-penantian ini atas ranah dan domain agama juga harus mengalami perubahan perspektif.”[8]
Hubungan Teori ini dan Pertanyaan Yang Diajukan
Salah satu konklusi dari teori ini bukan pada pembuktian kesalahan dan kekeliruan dalam pandangan dan fatwa para juris dan mujtahid. Adanya kesalahan dan kekeliruan pada pandangan-pandangan mereka bukan merupakan perkara yang tidak diketahui. Pada asasnya teori ini tidak memandang adanya penetapan kesalahan dalam fatwa para mujtahid karena masalah ini sebelumnya telah diterima oleh seluruh juris dan mujtahid.
Karena itu, terlepas bahwa apakah kita menerima atau menolak teori ini, adanya kemungkinan kesalahan pada pandangan dan fatwa para juris dan mujtahid dalam masalah agama merupakan sebuah perkara yang dapat diterima namun tentu saja dapat dibenarkan.
Esensi teori ini berbeda dengan apa yang telah Anda kemukakan dalam pertanyaan di atas dan telah Anda simpulkan bahwa hanya pandangan para maksum yang dapat disuguhkan terkait dengan masalah agama yang tentu saja sangat berpotensi mengalami pembanyakan dan penjamakan. Menerima teori ini tidak bermakna meliburkan dan menganggurkan pemahaman dan penafsiran agama, melainkan ingin menjelaskan bahwa pemahaman agama merupakan pemahaman spasial dan pada setiap zaman dan masa.
Mengingat bahwa seiring dengan adanya perubahan maka makrifat manusia juga akan mengalami perubahan asasi dan tidak mesti kita harus memahami makna-makna zaman pewahyuan untuk memanfaatkan dan menafsirkan agama.
Tentu saja banyak kritikan yang telah ditulis berkaitan dengan teori ini[9] namun dengan memperhatikan pertanyaan yang diajukan terkait dengan hujjiyah (argumentatifnya) ijtihad para juris dan mujtahid serta pelbagai perbedaannya dengan teori ini, jawaban terkait dengan pertanyaan ini akan diberikan sebagai berikut:
Jawaban Pertanyaan
1. Meski agama merupakan perkara sakral dan kudus namun makrifat agama juga bukan tidak sakral. Media-media untuk memperoleh makrifat agama dicapai dengan beristinbath dan memberdayakan ayat-ayat dan riwayat kemudian beramal berdasarkan media ini. Dengan demikian kita dapat memperoleh makrifat agama yang dapat diandalkan dan dibenarkan.
2. Tidak satu pun juris (fakih) dan mujtahid yang memandang pandangan ijtihadia dan fatwa-fatwanya terbebas dari kesalahan namun mereka meyakini bahwa dengan memberdayakan media-media yang digunakan untuk memperoleh pengatahuan dan makrifat agama di antaranya ijtihad maka hal itu akan menimalisir kesalahan yang mungkin ada.
3. Apabila fatwa-fatwa mereka dijadikan sebagai hujjah bagi dirinya dan para pengikut (mukallid) maka hal itu tidak mengindikasikan bahwa mereka telah sampai kepada hakikat dan kebenaran. Dijadikannya fatwa-fatwa para mujtahid sebagai hujjah lantaran pertama mereka menggunakan metode yang diterima agama dan juga metode-metode yang diterima oleh syariat. Kedua, dengan memanfaatkan metode yang diterima ini, seluruh upaya dan usahanya dikerahkan untuk memamahi hukum-hukum agama. Karena itu, fatwa-fatwa mereka adalah hujjah dan mereka dapat menjalankanya.
4. Apabila fatwa seorang mujtahid yang memiliki selaksa syarat keilmuan dan mempraktikan ijtihad, tidak sesuai dengan kenyataan, maka ia dan seluruh mukallidnya, berdasarkan teori takhtiah yang diterima dalam mazhab Syiah, dimaafkan dan mendapatkan ganjaran dari Allah Swt. Takhtiah adalah sebuah teori yang merupakan kebalikan dari tashwib. Secara leksikal takhtiah bermakna penyandaran adanya kesalahan terhadap seseorang. Secara teknis bermakna adanya kemungkinan kesalahan yang dilakukan seorang mujtahid dalam mengakses hukum wâqi’i (ril dan nyata), artinya bahwa kesalahan itu muncul lantaran sasaran mujtahid tidak mengena pada hukum wâqi’i. Ulama Syiah meyakini bahwa Allah Swt menetapkan setiap realitas dengan sebuah hukum ril (wâqi’i) yang bersifat tetap dan permanen pada lauh mahfuzh – dimana alim, jahil, muslim dan kafir di sini adalah sederajat. Kita semua memiliki taklif di hadapan hukum wâqi’i ini dan dalil-dalil lahiriyah (amarat) juga merupakan jalan untuk sampai pada alam ril (wâqi’). Namun istinbâth mujtahid terkadang sesuai dengan hukum waqi’i dan mushib (benar) dimana dalam hal ini hukum waqi’i bagi mujtahid dan para mukallidnya telah tertunaikan. Terkadang juga pendapat mujtahid tidak sejalan dengan realitas dan kenyataan (wâq’i). Mujtahid yang pendapatnya tidak sesuai dengan kenyataan ini disebut sebagai mukhthi’ dimana para mukallidnya ma’dzur (dimaafkan) dan ia juga apabila ia telah melalui tingkatan-tingkatan istinbath dan pendahuluan-pendahuluan yang diperlukan untuk menginferensi satu hukum, maka ia tidak hanya tidak akan mendapatkan hukuman melainkan sebaliknya ia akan memperoleh ganjaran pahala atas upayanya menginferensi sebuah hukum. Terdapat sebuah hadis yang disandarkan kepada Rasulullah Saw yang menyokong teori ini. Kandungan hadis tersebut menyatakan bahwa “man ijtahâda faashaba falahu ajrân wa man aktha’a falahu ajran wahid.”[10] Barang siapa yang melakukan ijtihad dan sampai kepada kenyataan maka ia akan mendapatkan dua pahala dan barang siapa yang melakukan ijtihad kemudian hasilnya tidak sesuai dengan kenyataan maka ia akan mendapatkan satu ganjaran pahala.”[11] [IQuest]
[1]. Bâwar-hâ wa Pursesy-hâ, Mahdi Hadawi Tehrani, al. 123, Intisyarat-e Khane-ye Kherad, Qum, 1380.
[2]. Bâwar-hâ wa Pursesy-hâ, Mahdi Hadawi Tehrani, hal. 319, Intisyarat-e Khane-ye Kherad, Qum, 1381.
[3]. Sesuai dengan pandangan ini ruang pemahaman pada masa sekarang adalah standar dan kriteria kebenaran makna dan validitas insitnbâth meski dengan asas ini ruang pemahaman pada masa pewahyuan juga merupakan salah satu mizan diterimanya makna dan validitas istinbath. Silahkan lihat, Mabâni-ye Kalâmi Ijtihad, hal. 322.
[4]. Intizhar-e Basyar az Din (Barrasi Didgâh-e dar Din Syinâsi Ma’âshir), Abdullah Nashri, hal. 194, Muassasah Farhanggi Danesy wa Andisyeh Ma’ashir, Teheran, 1378.
[5]. Bâwar-hâ wa Pursesy-hâ,, hal. 119.
[6]. Makna ini ihwal agama sifatnya debatable dan tidak dapat diterima.
[7]. Mabâni-ye Kalâmi Ijtihâd, hal. 328 dengan ringkasan.
[8]. Bâwar-hâ wa Pursesy-hâ,, hal. 136 dan 137 dengan sedikit ringkasan.
[9]. Silahkan lihat, Mabâni-ye Kalâmi Ijtihâd, hal. 329 dan seterusnya; Demikian juga Dargah-e Pasukhgui Andisyeh Qum; Kitâb Ma’rifat-e Dini, karya Hujjatul Islam wa al-Muslimin Larijani.
[10]. Al-Shirath al-Mustaqim, Ali bin Yunus Nabathi Bayadhi, jil. 3, hal. 236, Kitab Khane Haidariyah, Najaf, 1384 H.
[11]. Diadaptasi dari Pertanyaan 9134 (Site: 9609).