Please Wait
10662
Dengan pengutusan Nabi Saw dan penyebaran Islam, di samping menciptakan perubahan besar pada dunia di masanya hingga kini, juga meninggikan kedudukan dan derajat serta peran wanita di keluarga dan masyarakat, sedemikian sehingga tingkatan tersebut tidak dapat dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.
Pada masa-masa sebelum kedatangan Islam, pada masyarakat-masyarakat pra-Islam atau di luar Islam, wanita sekedar dipandang sebagai media pelampiasan syahwat, pekerja di rumah, alat reproduksi keturunan, pemberi ASI, pekerja yang tidak memiliki kehendak dan pilihan di rumah dan tidak satu pun hak-hak kemanusiaan diterapkan baginya dan seterusnya dimana dengan berpindahnya satu dengan yang lain, pada akhirnya nasibnya diperlakukan sebagai warisan; pekerja rumah yang kelak menjadi barang warisan.
Dengan kedatangan Islam, wanita yang tadinya tertutup pandangannya, terdeprivasi hak-haknya, kini sederajat dan sekedudukan dengan pria, dari sisi kepribadian dan kemuliaan. Islam membebankan nafkah dan mahar wanita kepada pria dan memandangnya sebagai mitra bagi pria dalam mengarungi samudera kehidupan, dimana wanita tidak hanya tidak menjadi warisan bagi pria, namun ia juga mendapatkan warisan dan sebagiamana pria ia dapat memainkan perannya dalam bidang keagamaan, kebudayaan dan bahkan militer dan perekonomian dengan menjaga kedudukan dan kemuliaannya, berguna dan meniti jalan menuju kesempurnaan.
Contoh nyata dari peran ini, kehadiran dua puan Islam, Sayidah Zahra dan Zainab (As) pada pebagai bidang sosial, keluarga dan kemasyarakatan.
Pemerintahan Imam Mahdi As juga sebagaimana masa pengutusan (bi'tsat) Rasulullah Saw yang membawa sebuah perubahan besar. Di antara perubahan besar tersebut adalah nasib kaum perempuan dewasa ini yang dengan corak dan pernak-pernik modernitas, secara sistemik kembali kepada masa jahiliyah, kelak akan memasuki tingkatan baru dengan meraih kemuliaan dan kepribadian.
Adapun terkait dengan aktifitas dan tanggung jawab di pemerintahan yang kelak akan dipikul kaum perempuan yang laik dan professional, merupakan perkara yang harus kita lihat nanti tatkala menyaksikan tegaknya pemerintahan Imam Zaman Ajf, karena memberikan penilaian terhadap perkara partikular semacam ini merupakan sebuah pekerjaan yang rumit; karena ilmu dan pengetahuan terkait dengan pelbagai peristiwa dan kejadian di masa tersebut terlaksana dengan merujuk kepada ayat dan riwayat. Sementara riwayat-riwayat terkait hal-hal partikular semacam ini tidak sampai ke tangan kita.
Kaum perempuan dunia dewasa ini pada tingkatan tertentu secara perlahan dan sistemik berjalan menuju ke masa jahiliyah. Dengan pelbagai titel yang mengecoh seperti persamaan hak dengan kaum pria, kebebasan, hak untuk memilih, hak-hak azasi manusia dan sebagainya, kaum perempuan telah menjadi pekerja murahan dan alat permainan tanpa tujuan kaum pria dan politikus. Dan kondisi seperti ini telah membentangkan jarak yang menganga antara sosok perempuan dan nilai-nilai kemanusiaannya. Perempuan yang berperadaban hari ini, apabila ia berhasil mencapai kedudukan dan status sosial, ia tetap menjadi alat permainan kaum pemilik modal dan para penguasa (politikus). Kepribadian dan kemuliaan perempuan hari ini, tidak satu pun yang lolos dan selamat dari tangan-tangan setan dan penyalahgunaannya.
Dengan terdegradasinya kaum perempuan, keluarga juga turut memikul akibatnya dan akar kemasyarakatan berada di ambang kejatuhan. Oleh itu, diperlukan sebuah revolusi sebagaimana revolusi yang diusung oleh Nabi Saw sehingga manusia, utamanya kaum perempuan kembali kepada derajat kemanusiaannya dan meraih kemuliaan, kemajuan sejati dan hakiki.
Mazhab Syiah, semenjak dulu hingga kini, dengan kemunculan pemerintahan berkeadilan Imam Mahdi, senantiasa menantikan terealisirnya janji-janji al-Quran dan Nabi Saw semenjak masa awal kedatangan Islam. Sebuah revolusi yang merubah seluruh dunia dan sebagai hasilnya kondisi kaum perempuan bukan seperti kondisi dan degradasi yang dialaminya di masa kini.
Nabi Saw memberikan kehidupan baru kepada wanita dan memperkenalkannya sebagai sekedudukan dengan pria yang memiliki hak-hak. Sebuah kehidupan yang tidak didapatkannya di masa jahiliyah dimana dia tidak dipandang sama sekali sebagai manusia dan terdeprivasi dari hak-hak kemanusian. Terkadang keberadaannya dipandang sebagai sebuah kesialan, matanya belum lagi terbuka tatkala lahir, ia dikubur hidup-hidup. Wanita di masa itu dipandang sebagai bagian dari harta pria, dihadiakan kepada orang lain atau sebagai warisan dipertukarkan di antara anak-anak. Nabi Saw datang menganugerahkan hak kepada mereka untuk memiliki harta dan hak-hak yang harus dijaga dihormati.
Sedemikian tinggi Islam membawa kedudukan kaum perempuan sehingga mereka memiliki hak untuk memberikan baiat kepada Nabi Saw. Mereka dapat bertempur di medan laga melawan kaum kuffar. Turut serta secar aktif dalam proses belajar dan mengajar atau menjadi perawat orang-orang terluka dan pemberi semangat kepada kaum pria untuk menolong Nabi Saw dan membina orang-orang untuk berjihad di jalan Allah dan kemanusiaan. Kaum perempuan dalam Islam adalah orang yang menghidupkan syariat dan menjaganya pada setiap dimensi kehidupan dan melalui jalan ini ia mampu melesakkan dirinya mendaki tangga kesempurnaan dan melesak terbang melebihi malaikat dan bidadari; lantaran pada seluruh dimensi ini kepribadian, kemuliaan, dan kesucian keluarga juga terpelihara.
Dari sisi lainnya, peran perempuan melebihi peran pria dan dia adalah manusia yang menciptakan manusia dan membina manusia. Menyitir Imam Khomeini, “melalui pangkuannya kaum pria melesak mikraj kepada kesempurnaan.”
Akan tetapi seiring dengan perjalanan waktu, tidak hanya pada masyarakat non-Islam, pada masyarakat Islam sendiri pada tingkatan tertentu kaum perempuan terdeprivasi dari hak-hak kemanusiannya. Sebagian menawan mereka pada sangkar keluarga dan menahan laju mereka untuk menyempurna dan mengembangkan pemikiran, kebudayaan dan perekonomiannya dan sebagainya. Sebagian memisahkan mereka dari rumah dan keluarga menempatkan mereka di belakang kemudi mobil dan pesawat, dan menerjungkan mereka pada lembah tambang dan di balik alat-alat berat pabrik dan sebagianya lainnya memperlakukan mereka dengan bentuk lain.
Revolusi semesta Imam Mahdi Ajf, sebagaimana yang nampak jelas dari nama dan janji-janjinya, akan menciptakan perubahan besar pada semesta dan menempatkan seluruh alam di bawah panji Islam sejati dan ajaran-ajaran yang memberikan kehidupan dimana sebagai hasilnya komunitas perempuan yang tidak terkecualikan dari perubahan besar ini dan kembali kepada kedudukan sejati mereka.
Penilaian dan pengetahuan kita terkait dengan pelbagai peristiwa pada masa itu terinspirasi dari pelbagai riwayat yang terdapat pada bidang Mahdawiyat (Mahdiisme) yaitu pelbagai indikasi dan bukti-bukti sejarah semenjak awal kemunculan Islam. Dari satu sisi, perubahan yang terjadi di Iran dan di dunia pasca revolusi Islam yang dipimpin oleh Imam Khomeini Ra dan pelbagai perubahan yang signifikan pada masyarakat perempuan di Iran setelah tegaknya pemerintahan Islam Iran, dapat menjadi contoh kecil dan sederhana dari perubahan-perubahan dunia dan masyarakat wanita pasca revolusi semesta Imam Mahdi Ajf.
Terkait dengan pelbagai riwayat ihwal kaum perempuan pada masa kemunculan Imam Mahdi Ajf, kami mengajak Anda untuk menelaah riwayat-riwayat berikut ini:
Ja'far Ju'fi menukil dari Imam Baqir As bahwa beliau bersabda: "Mahdi Ajf akan bangkit….dan bersamanya akan berkumpul 313 orang dimana 50 dari 313 orang tersebut adalah kaum perempuan." Tanpa ada perjanjian sebelumnya yang diikat bersama, seperti awan-awan yang bertebaran kemudian berhimpun menjadi satu dan sebagian lainnya akan datang setelah itu dan demikianlah penafsiran ayat (128 surah al-Baqarah) dimana Allah Swt berfirman: " Di mana pun kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." Mereka memberikan baiat kepada Imam Mahdi di antara rukun dan makam (Ibrahim) dan bersama Imam Mahdi Ajf keluar meninggalkan Makkah."[1]
Abdullah bin Bukair salah seorang sahabat Imam Baqir As menukil dari beliau yang bersabda: "….Pada masa pemerintahannya sedemikian ilmu dan hikmah tersebar sehingga perempuan di rumahnya menghukumi sesuatu berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw."[2]
Ghalibnya hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah Imam Mahdi (Mahdawiyat) pada bidang-bidang penetapan dan pembuktikan imamah (kepemimpinannya), pelbagai peristiwa dan kejadian sebelum kemunculannya dan perubahan pada masa kemunculannya dan setelahnya. Riwayat-riwayat sedemikian tidak membeberkan hal-hal partikular terkait dengan pembagian tugas dan kewajiban di antara para sahabat Imam Mahdi Ajf dan termasuk genital status mereka apakah wanita atau pria dan kebanyakan persoalan lainya. Akan tetapi, sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya bahwa pelbagai perubahan pasca Revolusi Islam Iran dapat menjadi contoh kecil dan sederhana dari pelbagai perubahan pada masa kemunculannya. Dan secara natural peran kaum perempuan pada Revolusi Islam dan keberlanjutannya hingga pada tingkatan tertentu dapat menjelaskan tugas dan peran perempuan pada masa awal-awal kemunculan Islam dan pada masa atau setelah kemunculannya. Imam Khoemini Ra dalam masalah ini mengemukakan: "Islam menghendaki pria dan wanita mencapai kesempurnaan, Islam datang menyelamatkan kaum wanita, hanya Tuhan yang tahu betapa besar pelayanan Islam terhadap kaum perempuan yang tidak didapatkannya pada masa jahiliyah. Anda tidak tahu bahwa pada masa jahiliyah bagaimana kondisi perempuan dan bagaimana setelah kedatangan Islam."[3]
Pada kesempatan lain, Imam Khomeini menuturkan, "Kaum Syiah tidak hanya tidak meminggirkan peran wanita pada pentas kehidupan sosial, melainkan memberikan kedudukan tinggi kemanusiaan kepadanya. Kita akui pelbagai kemajuan yang dicetak oleh dunia Barat, akan tetapi kita menolak dengan tegas pelbagai kerusakan yang ditimbulkan dimana mereka sendiri mengeluhkan masalah ini."[4]
Imam Khomeini berkata: Kaum perempuan dalam pandangan Islam memiliki peran penting dalam membangun masyarakat Islam. Islam menaikkan derajat kaum perempuan sedemikian tinggi sehingga mereka dapat meraup derajat kemanusiaan di tengah masyarakat dan keluar dari demarkasi "barang". Dan sejalan dengan kesempurnaan seperti ini mereka mampu memikul tanggung jawab pada bangunan pemerintahan Islam."[5]
Arsitek Revolusi Islam berkata: Kaum perempuan Iran memiliki pandangan keagamaan dan juga politik. Dan apa yang menghadang kalian (wahai kaum perempuan) dari aktifitas keagamaan dan politik ini kini telah tersingkirkan. Dan saya berharap bahwa kalian akan segera sampai pada satu tingkatan dimana kalian dapat membina sebagian orang."[6]
Dari seluruh peran ini dari satu sisi dan peran seorang ibu dari sisi lain, "Satu anak baik yang kalian persembahkan kepada masyarakat adalah lebih baik bagi kalian dari seluruh alam beserta isinya. Apabila kalian membina seorang manusia maka sedemikian mulia kalian sehingga saya tidak mampu menjelaskannya. Pangkuan para ibu adalah sebuah pangkuan dimana manusia akan menjadi baik dan beres."[7]
Oleh itu, sebuah bangsa dengan kemampuannya berada pada barisan terdepan memajukan tujuan-tujuan Islam, maka bangsa ini tidak akan mengalami kegagalan, sebuah bangsa yang dengan kemampuannya dapat menghadapi pelbagai negara adidaya dan berhadapan dengan pelbagai kekuatan setani, hadir sebelum kaum pria di medan ini, akan mencapai kemenangan. Sebuah bangsa yang mempersembahkan syahid di jalan Islam dari kalangan perempuan dan juga dari kalangan pria. Dan kaum perempuannya menuntut syahid demikian juga kaum prianya, maka bangsa ini tidak akan mengalami kejatuhan."[8]
Apabila aturan logis pelbagai matlab yang dinukil dari pemimpin dan arsitek pembangun Negara Islam diterapkan, proses peran kaum perempuan pada satu perubahan Islam dan setelahnya dapat digambarkan dan dengan berdirinya pemerintahan Imam Mahdi Ajf akan semakin terlihat nyata.[]
[1]. Bihâr al-Anwâr, jil. 52, hal. 223, bâb ‘Alâmât Zhuhurihi, hadis ke-87.
[2]. Ibid, bab Sairihi wa Akhlâqihi, hal. 352, hadis ke-106.
[3]. Shahife-ye Nur, jil. 3, hal. 82.
[4]. Ibid, jil. 3, hal. 159.
[5]. Ibid, jil. 3, hal. 211
[6]. Ibid, jil. 3, hal. 101.
[7]. Ibid, jil. 7, hal. 76
[8]. Ibid, jil. 13, hal. 31.