Please Wait
11127
Taklid bermakna merujuk kepada seorang ahli dan spesialis untuk mendapatkan informasi tentang sebuah perkara. Dalil-dalil istinbâth para juris yang juga telah dijelaskan secara detil dalam kitab-kitab mereka. Adapun bahwa setiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya masing-masing tidak menjadi penghalang bagi kita untuk merujuk kepada orang berilmu untuk mendapatkan informasi dari hal-hal yang tidak diketahui. Dan yang dimaksud dengan ta’abbudi dalam masalah ini adalah menerima apa adanya (tanpa reserved) yang disampaikan para Imam Maksum bukan ta’abbudi terhadap pelbagai inferensi (istinbâth) para marja agung taklid karena kalau tidak demikian maka jalan istinbâth hukum terhadap masalah-masalah baru akan tertutup.
Pertanyaan Anda pada hakikatnya dapat dibagi menjadi beberapa bagian dan satu konklusi. Kekaburan pertama terkait dengan persoalan inti taklid. Kedua penunjukkan jalan-jalan istinbâth. Ketiga, pertanggung jawaban seluruh amal dan perbuatan dengan memperhatikan pada ayat-ayat yang Anda jelaskan. Keempat, dibangkitkannya orang-orang dengan para imam bukan dengan para marja dan sebagai puncaknya Anda mengambil kesimpulan bahwa taklid sebatas untuk mengetahui dan tidak ada unsur ta’abbudi di dalamnya.
Kini tiba gilirannya kami akan mengurai dan mengkaji pertanyaan Anda secara runut sebagai berikut:
1. Taklid (ikut-ikutan) dalam bahasa kita memiliki konotasi dan makna negatif. Makna negatif dari taklid ini mengikut tanpa adanya dalil.[1] Namun dalam terma fikih, taklid adalah merujuknya seorang non-ahli kepada seorang ahli dalam sebuah masalah keahlian yang merupakan sebuah masalah rasional. Terdapat beberapa ayat dan riwayat yang juga berada pada tataran menyokong masalah rasional ini. Jelas bahwa kendati masalah-masalah cabang (furu’) akidah dapat ditaklidi namun pada masalah pokok agama taklid tidak memiliki tempat. Artinya bahwa setiap manusia harus dengan usaha dan upayanya sendiri untuk memperoleh keyakinan terhadap pokok agama ini.[2] Adapun dari kandungan ayat-ayat[3] dan riwayat-riwayat[4] yang ada dapat disimpulkan bahwa kebanyakan manusia apabila ia bukan seorang mujtahid atau muhtâth maka dalam masalah cabang-cabang agama (furuuddin) hendaknya ia merujuk kepada seorang alim yang memiliki keahlian dan spesialisasi dalam melakukan istinbath hukum-hukum syariat dengan mengkaji dan menelusuri belantara ayat dan riwayat. Dan setelah memiliki kemantapan hati terhadap ketakwaan[5] dan penghambaannya kemudian ia menerima (beramal berdasarkan) ucapan-ucapannya dan saat itu ia akan memperoleh uzur (dapat berdalih) di hadapan Tuhan.[6] Akan tetapi harus diketahui bahwa inferensi (istinbâth) hukum-hukum di antara dalil-dalil standar tidak terkhusus pada sekelompok tertentuk masyarakat Islam dan semuanya dapat melenggang pada jalan ini serta melintasi tingkatan-tingkatan ilmu yang diperlukan untuk dapat memperoleh kemampuan ini. Dan menariknya kapan saja orang memiliki kemampuan seperti ini maka haram baginya untuk bertaklid kepada orang lain. Terkait dengan taklid, terdapat beberapa penjelasan pada Pertanyaan No. 975 (Site: 1078) pada site ini yang dapat Anda jadikan sebagai bahan telaah dan rujukan.
2. Terdapat ribuan kitab fikih penalaran (istidlâli) yang memuat penjelasan secara detil para alim tentang metode inferensi (istinbâth) dan dalil-dalil fatwa mereka.[7] Akan tetapi jelas bahwa untuk memahami pelbagai masalah yang terdapat pada kitab tersebut harus melalui beberapa pendahuluan dan mempelajari ragam pengetahuan. Hal ini tentu saja merupakan sebuah hal yang natural bagi setiap disiplin ilmu. Hasil usaha para alim tersebut merupakan hasil dari usaha tungkus lumus dan berjihad di jalan ilmu. Hasil pelbagai inferensi mereka terhimpun dalam kumpulan kitab-kitab ringkas dan dipersembahkan kepada masyarakat umum. Sekarang ini kumpulan kitab-kitab tersebut dikenal sebagai Taudhi al-Masâil dan semisalnya.
Apabila seseorang ingin mendapatkan dalil-dalil atas fatwa seorang fakih (juris) maka ia boleh memilih apakah ia harus sampai pada tingkatan spesialis sehingga ia mampu dengan merujuk pada kitab-kitab rinci dapat menyaksikan dalil-dalil inferensi (istinbâth) atau apabila ia tidak memiliki keahlian seperti ini, dan dari satu sisi juga sifatnya sangat rentan terkait dengan masalah-masalah khusus dan menuntut adanya pengkajian yang lebih akurat dan teliti terkait dengan masalah tersebut, maka ia dapat merujuk kepada orang-orang yang berada pada tingkatan medium keilmuan di Hauzah Ilmiah dan meminta mereka untuk menjelaskan lebih jeluk atas masalah-masalah yang dihadapi.
Atas dasar itu, apa yang Anda jelaskan bahwa para alim (fakih) tidak menjelaskan dalil-dalil istinbâth (inferensi) mereka tidak sesuai dengan kenyataan faktual. Adapun harapan bahwa setiap marja yang memiliki ribuan mukallid mengemban tugas untuk memberikan penjelasan atas ribuan fatwa yang disampaikan kepada masing-masing satu dari ribuan mukallid tersebut, secara terpisah dan rinci, mungkin sebuah harapan yang berada di luar kemampuan seorang marja dan pada hakikatnya sebuah hal yang mustahil. Sebagai contoh, para pasien biasanya tatkala merujuk kepada seorang dokter yang dipercaya, formula pembuatan obat yang dirumuskan oleh dokter bahwa obat-obatan bagaimana bekerja dalam badan manusia supaya ia menjadi segar bugar setiap saat, ia tidak akan banyak bertanya karena hal itu meniscayakan ia harus belajar ilmu medis untuk dapat memahami resep tersebut secara akurat.
3. Penafsiran Anda dari ayat-ayat al-Qur’an bahwa setiap orang masing-masing bertanggung jawab atas perbuatannya seratus persen benar. Namun harus dikatakan bahwa ayat-ayat tidak ada kaitannya dengan jenis taklid yang diterima dalam Islam. Lantaran tidak satu pun dari ayat ini menjelaskan untuk tidak merujuk kepada para alim yang bertakwa dan Anda yakini untuk memperoleh informasi tentang hukum-hukum agama. Kalau tidak mengikut model penalaran seperti ini maka bahkan kita tidak boleh merujuk kepada para rasul dan tidak boleh bersikap ta’abbudi terhadap sabda-sabda mereka dengan dalih firman Allah Swt melalui lisan Rasulullah Saw, “Untukku amalanku dan untukmu amalanmu.” (Qs. Yunus [10]: 41)
Harap Anda perhatikan bahwa taklid yang bermakna menerima secara membabi buta dan bersumber dari sikap fanatik tidak dibenarkan dalam Islam. Allah Swt dalam banyak ayat al-Qur’an mencela orang-orang musyrik dan kafir lantaran tidak mendengarkan ucapan hak dan mengklaim taklid kepada nenek moyang dan para pendahulu mereka.[8] Namun taklid kepada para alim (marja) yang menjadi obyek pertanyaan Anda, di samping merupakan sebuah tindakan rasional[9] juga lantaran manifestasi ketaatan kita terhadap sabda para Imam Maksum As. Dengan demikian, apabila seseorang berada pada tataran memberikan fatwa dan tidak menyandarkan fatwanya pada al-Qur’an dan sabda para Imam Maksum maka taklid kepadanya tidak dapat dibenarkan. Syaikh Hurr Amili dalam kitab Wasâil al-Syiah-nya, yang merupakan salah satu nara-sumber para juris, mengemukakan sebuah masalah dengan judul “Tidak dibenarkan taklid pada selain maksum (baca juris) yang menyampaikan sebuah pendapat tanpa menyandarkannya kepada sabda para Imam Maksum.”[10] Dan pada riwayat terkait, Syaikh Hurr Amili menyampaikan lebih banyak riwayat yang berkenaan dengan masalah ini.
Karena itu, taklid pada masyarakat Syiah artinya bahwa setelah kita melakukan pencarian dan penelitian dalam masalah-masalah pokok agama dan beriman kepada Allah Swt dan Rasulullah Saw serta para Imam Maksum As, apabila kita berhadapan dengan sebuah masalah dan ingin mengetahui pendapat para Imam Maksum As dalam masalah itu, maka ia harus merujuk kepada seorang fakih yang telah terbukti[11] ketakwaan dan imannya sehingga melalui perantara mereka kita dapat memperoleh pendapat para Imam Maksum As.
Sekarang kami ingin bertanya apakah ada cara lain terkait dengan masalah ini?? Tentu saja, apabila mukallid setelah bertanya kepada mujtahid dan memperoleh jawaban namun tidak mengamalkannya maka mujtahid tersebut sama sekali tidak memikul tanggung jawab atasnya dan sebagai kebalikannya apabila seorang mujtahid berseberangan dengan ilmunya melakukan sebuah perbuatan yang tidak terpuji maka tanggung jawab atas perbuatan-perbuatan terdahulu tidak akan ditimpakan kepada para mukallidnya. Setelah ia mengetahui hilangnya ketakwaan pada mujtahid (marja) yang diikutinya maka ia harus merujuk kepada mujtahid lainnya terkait dengan masalah-masalah yang dihadapinya di masa mendatang.[12]
4. Tidak diragukan bahwa dalam masalah ini setiap manusia akan dibangkitkan dengan para imamnya masing-masing pada hari Kiamat. Namun sebagaimana yang dijelaskan bahwa menerima ucapan-ucapan ulama adalah kehendak para Imam Maksum kita dan persoalan ini menjadi dalih dan dalil bagi kita untuk merujuk kepada ulama (para marja).
Atas dasar itu, mengikuti para marja akan menjadi penyebab dihimpunkannya kita dengan para Imam Maksum dan dalam pada itu harus dikatakan bahwa dikumpulkannya kita dengan para Imam Maksum tidak menafikan perhimpunan kita dengan orang-orang yang setingkat derajatnya di bawah para Imam Maksum sebagaiman firman Allah Swt, “Dan barang siapa yang menaati Allah dan rasul-(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para shiddîqîn, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.“ (Qs. Al-Nisa [4]:69) Dan terdapat riwayat yang menjelaskan bahwa bahkan apabila manusia mencintai sebuah batu maka ia akan dikumpulkan dengan batu tersebut pada hari Kiamat.[13] Karena itu, boleh jadi manusia dihimpunkan dengan orang-orang munafik dengan syarat mereka seiring sejalan dan seia sekata dengan orang-orang munafik pada satu jalan.
5. Terkait dengan kesimpulan Anda juga harus dijelaskan bahwa sikap ta’abbud kita dalam menerima ucapan para marja semata-mata dengan dalil ta’abbud terhadap sabda para Imam Maksum As bukan semata-mata ta’abbud kepada ucapan para alim tersebut (ansich). Karena para marja ini hanyalah penjelas dan reflektor sabda-sabda para Imam Maksum As. Dan boleh jadi para juris ini tidak mengetahui falsafah sebagian hukum syariat. Satu-satunya dalil mereka bahwa fatwa tersebut diadopsi dari sabda-sabda para Imam Maksum As dan beramal atasnya kemudian menganjurkan para mukallidnya untuk juga beramal atas fatwa tersebut. Atas dasar inilah dalam mazhab Syiah, berbeda dengan mazhab Ahlusunnah, melarang praktik qiyas (analogi). Artinya mujtahid hanya harus mengikut sabda para Imam Maksum As dan bahkan semata-mata dengan dalil bahwa tatkala terdapat hukum pada satu masalah yang semisal maka ia tidak dapat menerapkan hukum tersebut pada masalah yang sebelumnya serupa dalam pandangannya.
Dengan demikian, sebagaimana yang Anda katakan, merujuk kepada marja hanyalah untuk memperoleh informasi. Namun tatkala kita mengetahui informasi dari para Imam Maksum melalui perantara mereka dan maksud kita adalah menaati para Imam Maksum As, kemudian secara ta’abbudi kita beramal terhadap masalah tersebut dan sikap ta’abbudi ini tidak menjadi penghalang untuk melakukan riset dan penelitian lebih jauh.
Atas dasar itu, para marja dan fukaha pada setiap masa, senantiasa berada pada tataran mengkaji, menelusuri dan mengkritisi para marja dan fukaha sebelumnya atau semasanya. Satu-satunya dalil mereka adalah bahwa marja yang meyakini persoalan tersebut tidak bersikap ta’abbudi terhadapnya bahkan terkadang mereka mengemukakan inferensi (istinbâth) baru atas persoalan yang sama. Anda juga dapat, sesuai dengan kemampuan Anda, menelaah dan senantiasa mengajukan pertanyaan dengan menggunakan pelbagai media yang ada termasuk mengajukan pertanyaan ke site ini apabila Anda berhadapan dengan sebuah persoalan khusus dan sifatnya masih kabur bagi Anda. Kami tunggu. [IQuest]
[1]. Syair Iqbal Lahore. Manusia bertaklid mengikut arah angin Semoga laknat terkirim untuk taklid seperti ini. Menyoroti makna negatif taklid (ikut-ikutan) dan contoh yang paling nyata adalah pada masa sekarang ini tindakan ikut-ikutan (copy-cat) orang-orang terhadap mode para selebriti dalam setiap ucapan, tindakan dan cara mereka berpakaian.
[2]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Indeks: Taklid dalam Masalah Ushuluddin, Pertanyaan 322 (Site: 1460).
[3]. Di antaranya adalah “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui (supaya kamu tidak heran bahwa nabi Islam juga termasuk salah satu dari orang-orang lelaki itu).” (Qs. Al-Nahl [16]:43); “Kami tiada mengutus para rasul sebelummu (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, (dan mereka juga berasal dari bangsa manusia). Maka kamu sekalian tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.” (Qs. Al-Anbiya [21]:7); “Mengapa tidak ada beberapa orang dari tiap-tiap golongan di antara mereka yang (diam di Madinah) untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepada kaum mereka itu? Semoga mereka itu takut (untuk menentang perintah Allah).”(Qs. Al-Taubah [9]:122).
[4]. Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 2, hal. 81-105, Muassasah al-Wafa, 1404 H.
[5]. Ruhullah Khomeini, Tahrir al-Wasilah, Masalah 3.
[6]. Sebagaimana yang telah dijelaskan (sebelumnya) bahwa hal ini merupakan persoalan rasional.
[7]. Dalam masalah ini Anda dapat merujuk software (Jami’ Fiqh Ahlulbait) yang dibuat oleh Markaz-e Tahqiqat Komputeri ‘Ulum Islami.
[8]. “Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul.” Mereka menjawab, “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (Qs. Al-Maidah [5]:104); “Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak mereka.” (Qs. Zukhruf [43]:23); “Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata, “Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.” Katakanlah, “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji. Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Qs. Al-A’raf [7]:28); “Mereka berkata, “Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya, dan supaya kamu berdua mempunyai kekuasaan di muka bumi? Kami tidak akan mempercayai kamu berdua.”(Qs. Yunus [10]:78); “Mereka menjawab, “Kami mendapati nenek moyang kami menyembahnya.” (Qs. Al-Anbiya [21]:53).
[9]. Artinya orang-orang berakal dalam urusan keahlian mereka merujuk kepada ahlinya.
[10]. Muhammad bin Hasan Hurr Amili, Wasâil al-Syiah, jil. 27, hal. 124, Muasassah Ali al-Bait, Qum, 1409 H.
[11]. Ruhullah Khomeini, Ibid, hal. 5, Masalah 3.
[12]. Ibid, hal. 8, Masalah 18 dan hal 10, Masalah 29.
[13]. Muhammad bin Hasan Hurr Amili, Wasâil al-Syiah, jil. 14, hal. 503, Riwayat 19694.