Please Wait
9493
Mazhab Syiah, sepanjang sejarah perjalanannya,sebagaimana mazhab lainnya senantiasa diselingi dengan aliran ekstrem kiri (ifrath) dan ekstrem kanan (tafrith). Aliran ini muncul dengan ragam nama, seperti Ghulat, Muqasshirah, Nawashib, yang banyak menimbulkan kesulitan bagi orang-orang Syiah dan para imam mereka. Para Imam Syiah berupaya keras dan secara intens menjaga orang-orang Syiah dari aliran-aliran menyimpang ini. Mereka menguraikan kedudukannya sebagai imam dan nasihat untuk bersikap moderat dalam pelbagai urusan kepada kaum Muslimin khususnya para pengikutnya. Ulama Syiah dengan menetapkan pelbagai keramat (kemuliaan) dan tipologi bagi para imam,juga pada saat yang sama mengkafirkan kaum Ghulat dan menyalahkan pikiran-pikiran mereka.
Masalah “ghuluw” dalam kaitannya dengan para pemimpin agama (para nabi atau imam) merupakan salah satu sumber penyimpangan yang terjadi pada agama-agama samawi. Ghuluw(memposisikan manusia sebagai Tuhan) senantiasa memiliki borok besar yang berpotensi menggerusi asas agama, yaitu asas penyembahan kepada Tuhan dan tauhid. Atas dasar ini, Islam senantiasa bersikap tegas terhadap aliran Ghulat dan dalam kitab “Teolog” dan “Fikih” aliran Ghulat diperkenalkan sebagai seburuk-buruknya bentuk kekafiran.[1]
Ghuluw dalam agama sederajat dengan pengingkaran terhadap agama; karena kerugian yang ditimbulkan dari ghuluwsama dengan kerugian yang ditimbulkan dari penegasian dan pereduksian agama.
Terkadang sikap ghuluw dalam agama menyebabkan banyak orang menjadi murtad dari agama;karena fitrah suci mereka tidak menerima kontaminasi dan noda ghuluw.Lalu karena adanya penolakan dan pengingkaran atas pelbagai kontaminasi dan noda tersebut maka asas agama juga mendapatkan penolakan dan pengingkaran.
Misalnya sikap ghuluw kaum Kristiani terhadap Nabi Isa as yang menjadi sebab eskapisnya orang-orang terpelajar dan masyarakat umum.Efek tragisnya kemudian adalah berujung pada pengingkaran agama Kristen dan risalah Nabi Isa as; karena mereka dapatkan fitrah suci mereka menyatakan bahwa iman kepada ketuhanan manusia merupakan perbuatan orang-orang dungu.Karena itu, mereka lebih memilih kekufuran ketimbang menjadi dungu dan tidak menyusahkan diri mereka kecuali apabila khurafat (supertisi) ini dipisahkan dari agama.
Pengkajian terhadap ragam agama, dengan adanya sebagian pemikiran ghuluw dalam ajaran mereka, kita jumpai bagaimana al-Qur’an menyinggung masalah ini dan menganjurkan manusia untuk menghindari sikap ghuluw.[2]
Agama Islam sebagaimana agama-agama Ilahi lainnya juga mengalami petaka yang sama. Pasca wafatnya Rasulullah Saw, muncul ucapan pertama yang memuat pesan-pesan ghuluw terkait dengan Rasulullah Saw. Pada masa-masa tertentu, terdapat sebagian aliran di kalangan kaum Muslimin yang muncul dan mempropagandakan pemikiran-pemikiran ghuluw ini. Inti usaha sebagian kelompok ini adalah memberikan keunggulan adikodrati (super human) kepada beberapa orang dan pemimpin politik dan agama. Upaya-upaya ini dimotivasi oleh beberapa sebab dan dorongan yang akan disinggung di sini secara sekilas :
1. Dengan berkuasanya Dinasti Umawi dan permusuhan sengitnya terhadap Ahlulbait, mereka menciptakan sebuah aliran, dengan sokongan penuh, pada tataran perdebatan politik dan agama. Aliran ini, dari satu sisi, menganut pemikiran ghuluw terhadap para pemimpinnya,[3] dari sisi lain dengan ekspresi kebencian, cacian, laknat kepada para Imam Syiah khususnya Baginda Ali tidak mereka tinggalkan. Aliran ini, dengan sikap ekstremnya, sesuai dengan tuturan sejarawan Ahlusunnah, lebih dikenal sebagai Nawashib.[4] Sikap ekstrem Nawashib ini telah menjadi sebab munculnya reaksi di kalangan orang-orang Syiah. Sebagai kebalikannya, sebagian pecinta para imam juga memilih jalan ekstrem. Dengan mengemukakan ucapan-ucapan dalam membela para imam yang umumnya berada di bawah pengaruh pemikiran-pemikiran non-islami, mereka memposisikan para imam di atas kedudukan manusia.
2. Adanya haus kekuasaan sebagian orang yang ada di sekeliling para imam, telah menjadi sebab orang-orang ini untuk menyiapkan posisi sosial bagi dirinya, dengan menjadikan media ghuluw kepada para imam untuk mencapai tujuannya ini; artinya mereka meyakini posisi Ilahi bagi para imam sehingga mereka sendiri menjadi wakil dan utusan baginya.
3. Agama Islam dengan mengemukakan seperangkat aturan dan hukum telah menjadi sebab adanya keterbasan bagi sebagian orang yang suka mewujudkan kebebasan tanpa batas dan ukuran. Untuk memperoleh kebebasan semacam ini maka hal itu meniscayakan keluarnya dari kerangka aturan yang disebutkan; karena itu bersikap ghuluw untuk sebagian orang dan memberikan sifat-sifat Ilahi kepada mereka telah menjadi ruang bagi teranulirnya syariat dan menjadi justifikasi kemunculan pelbagai aliran serba permisif.[5]
Demikian juga pembelaan keliru terhadap agama, memperoleh gaji dan mengais rezeki, kecintaan berlebihan, perusakan dalam agama dan penentangan pelbagai pemerintahan (khilafah) masa itu atas Syiah boleh jadi menjadi termasuk di antara dalil-dalil kemunculan ghuluw.
Di antara cara-cara yang digunakan Ghulat untuk sampai pada tujuannya adalah merekayasa riwayat-riwayat dan menyandarkannya kepada para imam.[6]
Untuk merealisir tujuan ini mereka menggunakan cara-cara khusus. Salah satu dari cara-cara khusus tersebut adalah membuat riwayat (palsu) dan memasukkannya ke dalam kitab-kitab riwayat Syiah dengan pelbagai cara dan manuver.
Di antara kaum Ghulat yang bersandar pada model seperti ini adalah Mughirah bin Sa’id yang merupakan salah seorang murid Imam Baqir As. Imam Shadiq As memberikan sinyalemen atas niat keji orang ini yang berupaya memasukkan riwayat-riwayat yang sarat dengan ghuluw dalam kitab-kitab para sahabat Imam Baqir As. Atas niat keji ini, Imam Shadiq mencela dan melaknatnya.[7]
Di samping itu, Imam Ridha As menyebutkan adanya rekayasa dan pembuatan hadis-hadis (palsu) oleh para Ghulat seperti Abul Khitab. Imam setelah mencela dan melaknat Abul Khitab, beliau menasihatkan untuk tidak menerima riwayat-riwayat semacam ini.[8]
Adanya aliran semacam ini merupakan dalih yang sangat baik bagi pemerintahan yang menentang para imam sehingga dengan bersandar pada ucapan-ucapan seperti ini dijadikan sebagai alasan dan pembenaran untuk menuding kafir dan syirik orang-orang Syiah serta mempersulit para imam dan memberangus orang-orang Syiah.
Para Imam Maksum As juga dengan memahami situasi yang berkembang di masyarakat ketika itu dan memperingatkan orang-orang Syiah untuk tidak mengikuti pemikiran seperti ini. Para Imam Maksum As senantiasa menentang fenomena penyimpangan ini dengan menggunakan pelbagai cara dan metode seperti mencela, melaknat[9] dan menolak[10] serta berusaha menutup jalan aliran Ghulat ini yang berusaha menyimpangkan jalan Syiah. Namun konfrontasi antara para imam dan Ghulat ini terkadang berujung pada keluarnya titah dari para imam untuk membunuh orang-orang Ghulat dimana kasus perintah yang dikeluarkan oleh Imam Hadi As untuk membunuh Faris bin Hatim dan memberikan jaminan surga bagi yang membunuhnya.[11]
Harus diperhatikan bahwa pandangan ghuluw terhadap para pemimpin agama-agama dan mazhab-mazhab lain dilakukan dengan berbagai model dan didorong oleh alasan yang berbeda-beda. Pandanganghuluw terhadap Khalifah Kedua (Umar) dengan mengemukakan pembahasan kesepakatan-kesepakatan Umar[12] dan pengutamaannya atas Nabi Saw[13] yang dapat dijumpai dalam literatur-literatur Ahlusunnah adalah salah satu contoh model ghuluw seperti ini.
Pandangan Para Imam tentang Ghulat
Apabila kita menelusuri riwayat-riwayat sahih Syiah dan sedikit merenungi ucapan-ucapan para Imam Maksum terkait dengan penyimpangan ini, maka tidak akan kita jumpai seorang pun yang menguraikan penyimpangan dan memerangi aliran menyimpang ini sekeras para Imam Syiah melakukannya.
Amirulmukminin Ali As bersabda: “Tuhanku! Aku berlepas diri dari Ghulat sebagaimana Isa berlepas diri dari orang-orang Kristen. Tuhanku! Jadikan mereka hina sepanjang masa dan tidak satu pun orang dari mereka yang Engkau menangkan.“Imam Shadiq As bersabda tentang Ghulat dan model pemikirannya, “Waspadalah jangan sampai anak-anak muda kalian terjerat oleh perangkap Ghulat.Sesungguhnya Ghulat merupakan seburuk-buruk makhluk Tuhan.Mereka mengerdilkan keagungan Tuhan dan memposisikan hamba-hamba Tuhan sebagai tuhan.”[14]
Pada kesempatan lain, Imam Shadiq As bersabda, “Hal paling kecil yang mengeluarkan manusia dari iman adalah tatkala manusia duduk di samping seorang Ghali sembari mendengarkan dan membenarkan omongannya.”Kemudian bersabda, “Ayahku menukil dari datukku Rasulullah yang bersabda, “Dua kelompok yang tidak mengambil keuntungan dari Islam, yaitu Ghulat dan Qadariyah.”[15]
Dalam sebuah riwayat yang berupa pertanyaan kepada Imam Ridha As terkait dengan Ghulat dan Mufawwidah (Muktazilah).Beliau bersabda, “Ghulat adalah kafir dan mufawwidah adalah musyrik. Barang siapa yang duduk bersama mereka atau makan dan minum bersama mereka atau menikahkan perempuannya dengan mereka atau menikah dengan perempuan dari mereka..atau mendukung mereka dengan satu kalimat maka ia telah keluar dari wilayah Allah, Rasul-Nya dan Ahlulbait Nabi Saw.”[16]
Pandangan Ulama Syiah tentang Ghulat
Untuk memahami pandangan dan perspektif ulama Syiah terkait dengan Ghulat, cukup kita merujuk pada kitab-kitab Rijal (Biografi) Syiah seperti Rijal Kasysyi, Najjasyi, Allamah Hilli, Ghadairi dan sebagainya untuk melihat bagaimana perlakuan dan sikap ulama Syiah terhadap aliran sesat dan menyimpang.
Syaikh Mufid salah seorang ulama besar Syiah dalam sebuah ulasan atas kitab Aqaid Syaikh Shaduq, menjelaskan beberapa makna “Ghuluw” dan “Tafwidh”.Adapun terkait dengan Ghuluw, Syaikh Mufid menulis, “Ghulat yang merupakan Islam secara lahir, memandang bahwa Amirul Mukminin dan para Imam Maksum dari keturunannya sebagai Tuhan dan nabi.Mereka berkata-kata tentang keunggulan Ghulat di dunia dan akhirat yang melampaui batas kewajaran.Orang-orang seperti ini adalah kafir dan sesat.AmirulMukminin As menitahkan untuk membunuh dan membakar mereka.Imam-imam lainnya juga menghukumi mereka sebagai kafir dan telah keluar dari Islam. “[17]
Para juris (fakih) Syiah dalam kitab-kitab dan risalah fikih dan amaliah mereka juga mempersoalkan masalah kesucian (thahara) kaum Ghulat.Para fukaha Syiah mengatakan kaum Ghulat sejajar dengan kaum Khawarij dan Nawasib, dan memberikan fatwa bahwa ketiga kaum ini adalah najis.[18]
Dengan memperhatikan apa yang telah disampaikan di atas dan dengan memanfaatkan sebagian riwayat yang telah disebutkan, pengaruh-pengaruh pemikiran yang bercorak ghuluw terhadap para imam dan memberikan dimensi Ilahiah kepada mereka sepanjang perjalanan sejarah disebabkan karena dalil-dalil yang telah disebutkan tersisa di kalangan kaum Muslimin. Akan tetapi dengan adanya riwayat-riwayat dengan beberapa kandungan seperti ini tidak mendapatkan dukungan dan sokongan para ulama Syiah. Atas dasar itu, ulama dalam menghadapi riwayat-riwayat semacam ini, yang membicarakan tentang keilahian para imam yang berseberangan dengan nash tegas al-Qur’an dan riwayat-riwayat yang dinukil dari para imam, memandang para penukilnya sebagai penganut aliran Ghulat.
Penegasan al-Qur’an dan Riwayat
Penegasan al-Qur’an dan riwayat yang menandaskan bahwa para nabi dan imam itu adalah manusia dapat kita jumpai pada beberapa ayat al-Qur’an.Al-Qur’an pada beberapa ayat yang berbeda memproklamirkan kemanusiaan para nabi dan menjauhkan kita dari sikap menuhankan (ghuluw) mereka.[19] Al-Qur’an memperkenalkan para nabi itu sebagai makhluk,[20] manusia[21] dan seperti yang lainnya.
Rasulullah Saw dan para Imam Syiah juga senantisa menegaskan atas sisi kemakhlukannya, ketidakmampuan dan adanya kebutuhan kepada Tuhan. Rasulullah Saw bersabda: “Kami adalah para hamba, makhluk dan peliharaan Tuhan. Kami menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya.”[22]
Imam Shadiq As dalam sebuah nukilan ihwal kondisi ayahnya, menuturkan demikian, “Setiap malam aku menyiapkan pembaringan ayahku dan menantikannya hingga beliau datang dan siap-siap untuk beristirahat.Tatkala ayahku menuju pembaringan, aku berdiri dan beranjak ke pembaringanku sendiri.Suatu malam aku menanti agak lama.Dengan perasaan kuatir aku pergi ke masjid dan aku tidak melihat siapa pun di masjid pada waktu itu, semuanya telah beristirahat.Tiba-tiba aku melihat ayahku di sudut masjid dalam keadaan sujud dan merintih, “Tuhanku yang Mahasuci!Engkaulah Tuhanku yang Hak.Aku datang bersimpuh pada-Mu, Junjunganku. Tuhanku! Ketaatanku tiada nilainya dan sedikit.Engkaulah yang menambahkan ganjaranku. Tuhanku! Pada hari Kiamat Engkau akan bangkitkan seluruh hamba-Mu, lepaskanlah aku dari azab-Mu. Tuhanku! Berdamailah denganku karena Engkau Maha Pengasih dan Maha Penerima Damai.”[23]
Demikian juga, Imam Shadiq As dalam menjawab pertanyaan seseorang yang memandangnya sebagai Tuhan (bersikap ghuluw), bersabda: “Kami adalah hamba dan makhluk Tuhan yang diciptakan untuk beribadah kepada Tuhan.”[24]Atau pada sabdanya yang lain, “Demi Allah!Kami adalah makhluk dan memiliki Tuhan yang kita sembah dan apabila kita tidak beribadah kepada-Nya, maka Dia akan mengazab kita.”[25]
Taqshir dan Hubungannya dengan Para Imam
Apa yang telah disebutkan hingga kini adalah ihwal ghuluw terhadap para imam dan penolakan model pemikiran seperti ini dalam pandangan para imam dan ulama Syiah. Adapun pandangan lainnya terkait dengan kedudukan dan martabat para imam lebih dikenal sebagai “Taqshir “ dan penganut aliran ini juga disebut sebagai Muqashhira. Keyakinan aliran ini berbanding terbalik dengan pandangan Ghulat.Mereka mendegradasi kedudukan dan martabat para imam sehingga dalam pandangan mereka imam sederajat dengan manusia biasa.Para imam dan ulama Syiah juga menentang pandangan ini, kendati bahaya pandangan Ghulat lebih berbahaya dalam pandangan mereka.[26]
Dalam mencela para musuhnya, mereka berupaya menggerusi wajah asli Syiah dan para Imam Maksum.[27]
Pandangan Orisinil Syiah terhadap Kedudukan Para Imam
Para Imam Maksum As senantiasa menganjurkan orang-orang Syiah dan pengikut mereka untuk bersikap moderat dalam pelbagai urusan khususnya pada masalah seperti ini.[28] Pada sebagian riwayat disebutkan tentang bagaimana kedudukan dan keutamaan para Imam Maksum As.[29] Ulama Syiah juga berdasarkan dalil-dalil rasional dan referensial, menetapkan tipologi para nabi dan imam dimana masing-masing dari tipologi ini merupakan keniscayaan kedudukan dan makam orang-orangnya. Seperti kemaksuman para nabi dan imam atau ilmu laduni mereka, yang mendapatkan penegasan dari al-Qur’an dan riwayat demikian juga akal.Dalam pandangan ulama Syiah, para imam memiliki karamah dan keunggulan atas manusia-manusia lainnya.Sebagian dari karamah ini disebutkan dalam literatur-literatur riwayat Syiah. Sumber-sumber Ahlusunnah juga menyebutkan keutamaan-keutamaan ini; seperti keutamaan-keutamaan yang disabdakan Rasulullah Saw untuk Ali bin Abi Thalib As dan Ahlulbait As.[30]
Poin yang penting untuk diperhatikan dalam pembahasan ghuluw adalah bahwa batas demarkasi antara keyakinan kaum Ghulat dan selainnya harus diperhatikan; artinya bilamana sesuatu kita dengar atau barangkali kita tidak mampu memahaminya atau bertentangan dengan model pemikiran kita maka tidak serta merta hal itu bermakna ghuluw.
Kebanyakan dari karamah boleh jadi pada pandangan pertama atau awam nampak tidak benar namun dengan sedikit perhatian dan renungan, kita dapat menjumpai pijakan rasional (aqli) dan referensial (naqli) atas pandangan tersebut .Karena itu, patut kiranya dalam mengemukakan masalah-masalah teologi dan keyakinan, kita harus menjauhi sikap fanatisme dan puritanisme yang bersumber dari ketergantungan mazhab atas berbaurnya pahaman kaum Ghulat terhadap para nabi dan imam beserta kemuliaan dan keutamaannya.
Atas dasar itu, harus diperhatikan bahwa apa yang menjauhkan kita dari sikap ghuluw (menuhankan) adalah perhatian pada poin ini, bahwa para Imam Maksum As dengan segala kedudukan dan martabatnya, mereka tetap sebagai hamba Tuhan dan dengan segala keutamaan, karamah dan derajatnya, tetap dengan izin Allah dan pada siluet dan pancaran perhatian-Nya. Sebagaimana mereka membutuhkan Tuhan dalam Zat-Nya, mereka juga membutuhkan Tuhan dalam sifat-Nya dan tidak berlepas dari-Nya. Karena itu, menetapkan kemampuan ini sama sekali tidak berseberangan dengan masalah tauhid , malah semakin mempertegas dan menyokong kebenaran tauhid. .[31][IQuest]
[1]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 25, hal.265, Software Jami’ al-Ahadits.
[2]. “Hai ahli kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya al-Masih, Isa putra Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan, “(Tuhan itu) tiga”, berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah sebagai pemelihara.” (Qs. Al-Nisa [4]:171)
[3]. Sulaiman bin Ahmad Thabarani, Al-Mu’jam al-Kabir, jil. 3, hal.41, 50, 56, 108, Maktabat al-‘Ulum wa al-Hukm, Mousel, Cetakan Kedua, 1404 H.
[4]. Zirkili, Khairuddin al-‘Alam, jil.3, hal. 180, Dar al-‘Ilm, Beirut, Cetakan Kedelapan, 1989 M; Ismail bin ‘Umar Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, jil. 8, hal.202, Beirut, Dar al-Fikr, 1404 H.
[5]. Muhammad bin Hasan Shaduq, ‘Ilal al-Syarâ’i, hal. 277, Intisyarat Haidariyyah, Najaf Asyraf, 1386 S.
[6]. Muhammad bin Hasan Hurr ‘Amili, Wasâil al-Syiah, jil. 16, hal. 181.
[7]. Muhammad bin Umar, Kasysyi, Rijâl Kasysyi, hal. 225, Intisyarat-e Daneshgah Masyhad, 1348 H.
[8]. Ibid, hal.224, Intisyarat-e Daneshgah-e Masyhad, 1348 H.
[9].. Muhammad bin Hasan Hurr ‘Amili, Wasâil al-Syiah, jil. 28, hal.348
[10]. Husain Nuri, Mustadrak al-Wasâil, jil. 12, hal.315, Husain Nuri, Mustadrak al-Wasâil, jil.12, hal. 315
[11]. Muhammad bin Hasan Hurr ‘Amili, Wasâil al-Syiah, jil. 15, hal. 124.
[12]. Ismail bin ‘Umar Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, jil. 1, hal. 952, Cetakan Pertama, 1419 H Beirut, Dar Kutub al-‘Ilmiyah, Mansyurat Muhammad ‘Ali Baidhawi.
[13]. Ismail Haqqi Burusawi, Tafsir Ruh al-Bayân, jil. 3, hal.37, Dar al-Fikr Beirut.
[14].Muhammad bin Hasan Thusi, Al-Âmali Li al-Thusi,hal. 650, Intisyarat-e Dar al-Tsaqafah, Qum, Cetakan Pertama, 1414 H.
[15]. Muhammad bin Ali Shaduq, Al-Khisâl, jil. 1, hal.72, Jame’e Mudarrisin Hauzah Ilmiah Qum, Cetakan Kedua, 1403 H.
[16]. Muhammad bin Ali Shaduq, ‘Uyûn Akhbâr al-RidhâAs, jil. 2, hal.203, Intisyarat-e Jahan, 1378 H.
[17]. Martin McDermott, terjemahan Ahmad Aram, Andisheh-haye Kalami Syaikh Mufid (Al-Mufid’s Notions of Kalam), hal. 153.
[18]. Allamah Hasan bin Yusuf Hilli, Qawâid al-Ahkam fi Ma’rifati al-Halâl wa al-Harâm, jil. 1, hal. 192, Daftar Intisyarat-e Islami berafiliasi pada Jame’e Mudarrisin Hauzah Ilmiah Qum, Cetakan Pertama, 1413 H.
[19]. “Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka, “Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya.” (Qs. Ibrahim [14]:11)
[20]. “Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, “Jadilah” (seorang manusia) , maka jadilah dia.”(Qs. Ali Imrah [3]:59)
[21].“Katakanlah, “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa.”(Qs. Al-Kahf [18]:110)
[22]. Muhammad bin Hasan Hurr ‘Amili, Wasâil al-Syiah, jil. 16, hal.181, Muassasah Ali Al-Bait li Ihya al-Turats, Qum, Cetakan Pertama, 1408 H.
[23]. Muhammad bin Ya’qub Kulaini, al-Kâfi, jil. 3, hal.323, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Keempat, 1365 S.
[24]. Quthbuddin Rawandi, Al-Kharâij wa al-Jarâih, jil. 2, hal. 637, Muassasah Imam Mahdi Ajf, Qum, Cetakan Pertama, 1409 H.
[25]. Muhammad Syahr Asyub, al-Manâqib, jil. 4, hal.219, Muassasah Intisyarat-e Allamah, Qum, 1379 H.
[26]. Muhammad bin Hasan Thusi, Al-Âmali Thusi, hal. 650, Intisyarat Dar al-Tsaqafah, Qum, Cetakan Pertama, 1414 H.
[27]. Muhammad bin Ali Shaduq, ‘Uyûn Akhbâr al-RidhâAs, jil. 1, hal. 303, Intisyarat-e Jahan, 1378 H.
[28].Muhamamd Baqir Majlisi, Bihar al-Anwar, jil. 8, hal. 70, Muassasah al-Wafa, Beirut, Libanon, 1404 H.
[29].Quthbuddin Rawandi, Al-Kharaij wa al-Jaraih, jil. 2, hal. 735, Muassasah Imam Mahdi Ajf, Qum, Cetakan Pertama, 1409 H..
[30]. Sulaiman bin Ahmad Thabarani, Al-Mu’jam al-Kabir, jil. 3, hal. 41, 50, 56, 108, Maktabat al-‘Ulum wa al-Hukm, Mousel, Cetakan Kedua, 1404 H
[31]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Qasim Tarakkhan, Negaresy Irfani, Falsafi wa Kalami be Syakhsiyat wa Qiyam Imam Husain As.