Please Wait
10219
Pernikahan temporer (mut’ah) adalah sebuah pernikahan yang terjalin di antara seorang pria dan wanita yang tidak memiliki halangan sama sekali untuk menikah dan dilangsungkan berdasarkan keridhaan kedua belah pihak, disertai mahar yang ditentukan hingga waktu tertentu. Nikah seperti ini tidak memiliki talak. Seiring dengan berakhirnya masa waktu nikah maka secara otomatis pasangan suami dan istri akan berpisah.[1]
Dalam pandangan Islam, keabsahan pernikahan permanen dan temporal memiliki syarat-syarat. Namun terkait dengan pernikahan temporal (mut’ah) terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi sebagaimana berikut ini:
1. Membaca formula akad (semata-mata rela dan ridha di antara kedua belah pihak, pria dan wanita tidak memadai melainkan harus disertai dengan ekspresi lafaz khusus).
2. Sesuai dengan ihtiyâth wâjib, formula akad harus disampaikan dalam bahasa Arab yang benar. Dan apabila pria dan wanita tidak dapat membaca akad dalam bahasa Arab dengan benar maka keduanya dapat (dibolehkan) membaca akad dengan bahasa mana pun dan tidak diwajibkan bagi mereka untuk mengambil wakil akan tetapi sedemikian ia berkata-kata sehingga makna “zawwajtu” (aku nikahkan) dan “qabiltu” (aku terima) dapat dipahami dengan benar.
3. Apabila wanita dan pria ingin membaca akad temporal (non-permanen), setelah menentukan masa dan mahar, dimana apabila wanita berkata, “Zawwajutka nafsi fi al-muddat al-ma’lumah ‘ala al-mahr al-ma’lum” (Aku nikahkan diriku dengan masa dan mahar yang telah ditentukan) dan setelah itu (segera) pria berkata, “Qabiltu” (Aku terima) maka pernikahan keduanya sah. Atau wakil pihak wanita berkata kepada wakil pihak pria, “Matta’tu muwakkilati muwakkilaka fi al-muddat al-ma’lumah a’la al-mahr al-ma’lum” (Aku mewakili [pihak wanita] melangsungkan nikah mut’ah dengan muwakkil Anda [pihak pria] dengan masa dan mahar yang telah ditentukan.” Dan wakil pria segera berkata, “Qabiltu limuwakkili hakadza” (Kuterima untuk wakilku demikian) dan pernikahan keduanya sah secara hukum.
4. Menentukan dan menyebutkan mahar tatkala membacakan akad.
5. Pria dan wanita atau wakil mereka tatkala membaca akad maka mereka harus menyatakannya dengan maksud imperatif (insyâ). Artinya apabila pria dan wanita sendiri yang membaca akad, pihak wanita dengan membaca “zawwajtuka nafsi” (aku nikahkan diriku) maka maksudnya adalah ia telah menjadikan dirinya sebagai istri baginya dan pria membaca “qabiltu al-tazwij” (aku terima nikahnya) maka maksudnya adalah ia menerima wanita tersebut sebagai istri baginya.
6. Orang yang melangsungkan akad (yang menikah) itu harus berakal dan berusia baligh.
7. Apabila wakil wanita dan pria ata wali mereka membaca akad maka mereka harus menentukan istri dan suaminya dalam akad.
8. Anak putri yang telah mencapai usia baligh dan rasyidah yaitu telah mampu mengidentifikasi kemaslahatannya apabila ia ingin bersuami. Jika ia seorang perawan maka ia harus meminta izin dari orang tuanya atau dari kakeknya (dari pihak ayah). Namun apabila ia tidak lagi perawan dan keperawanannya hilang lantaran pernikahan (sebelumnya) maka ia tidak lagi memerlukan izin dari ayah atau kakeknya (dari pihak ayah).
9. Wanita dalam proses berlangsungnya akad temporer (mut’ah), ia tidak terikat akad permanen (daim) atau temporer (mut’ah) dengan orang lain (bukan istri orang lain) dan juga tidak berada dalam masa iddah akad permanen atau temporer orang lain.
10. Pria dan wanita harus ridha dan rela atas pernikahan dan bukan karena terpaksa (atau dipaksa) sehingga keduanya menikah.[2]
11. Demikian juga wanita tatkala ingin melangsungkan akad dengan seorang pria, (hal itu dapat dilakukan) apabila ia telah melangsungkan akad lainnya dan telah mendapatkan talak atau masa akad mut’ahnya telah habis maka masa iddah juga telah ia lalui (iddahnya sudah habis).
12. Syarat lainnya adalah bahwa wanita yang telah menikah dan terikat dengan akad lainnya tidak melakukan zina dengan seorang pria yang ia niatkan untuk menikah dengannya; karena apabila seorang pria berzina dengan seorang wanita yang telah menikah maka wanita itu haram bagi pria tersebut untuk selamanya.[3]
Apa yang dikutip di atas adalah berdasar pada fatwa-fatwa Imam Khomeini Ra dan telah dikemukakan secara global terkait dengan syarat-syarat pernikahan mut’ah. Untuk telaah lebih jauh kami persilahkan Anda untuk merujuk pada kitab-kitab fikih dan Taudhih al-Masâil.[4] Dan apabila Anda tidak bertaklid kepada beliau kami persilahkan Anda menyebutkan marja taklid Anda dan melayangkan surat kembali kepada kami.[5]
Dengan mencermati syarat-syarat pernikahan temporal (mut’ah) sebagaimana yang disebutkan di atas dan dengan merujuk pada beberapa indeks yang telah disebutkan maka dapat disimpulkan bahwa pernikahan temporal diperbolehkan bagi siapa saja yang memenuhi syarat-syaratnya. [IQuest]
Indeks-indeks Terkait:
1. Syarat-syarat Pernikahan dengan Wanita-wanita dari Kalangan Ahlulkitab, Pertanyaan No. 1209.
2. Sebab Dibolehkannya Pernikahan Temporal Bagi Pria Beristri Tanpa Izin Istri, Pertanyaan No. 709.
[1]. Diadaptasi dari Jawaban Global Pertanyaan 844 (Site: 915) (Bolehnya Melangsungkan Pernikahan Temporal).
[2]. Taudhi al-Masâil Marâji’, jil. 2, 449-460; Tahrir al-Wasilah, jil. 2, hal. 701-707 dan juga hal. 734-736.
[3]. Diadaptasi dari Pertanyaan 961 (Site: 1099) (Pernikahan Kembali Pasca Pernikahan Temporal)
[4]. Ibid.
[5]. Diadaptasi dari Pertanyaan 574 (Pernikahan Temporal [Mut’ah] dan Syarat-syaratnya)