Please Wait
15020
Secara lahir makna ayat-ayat yang menggunakan kata “burûj” adalah sesuai dengan firman Allah Swt, “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang di langit dan Kami telah menghiasi langit (matahari dan bulan) itu bagi orang-orang yang memandang(nya).”
Kata ini dalam makna lawasnya juga digunakan untuk burj dan benteng-benteng yang kokoh dan kuat yang juga dinyatakan dan digunakan dalam al-Qur’an, di samping itu digunakan dengan makna moderennya yang berarti menara-menara (burj) pencakar langit yang menjulang tinggi di seluruh dunia dengan keindahan khusus yang dimilikinya.
Kata bu-rû-j adalah bentuk jamak dari kata bu-r-j yang bermakna bangunan tinggi dan nampak secara lahir yang dibangun di keempat sudut benteng. Fungsinya untuk mengokohkan bangunan sehingga mampu menghadapi musuh pada benteng-benteng (burj) tersebut dan membuat mereka kabur. Asli makna kata ini adalah nampak dan kelihatan. Hal ini dapat disaksikan kalimat al-tabarruj bizzinat yang berarti menampakkan keindahan.[1]
Demikian juga bermakna segala sesuatu yang nampak dan terlihat. Apabila kata ini digunakan pada kebanyakan istana-istana indah, hal itu dimaksudkan supaya istana-istana ini nampak indah bagi yang menyaksikan dan melihatnya.[2] Dan demikianlah makna ayat Allah Swt yang menyatakan, “Wa laqad ja’alnâ fi al-samâ burûjan wa zayyanaha linnazhirin..”[3] dan ayat “Wa al-sama dzat al-burûj.” (Demi langit yang terpelihara[4] dengan gugusan bintang (matahari dan bulan)[5].” (Qs. Al-Buruj [[85]:1)
Karena itu, makna lahir ayat-ayat yang menggunakan kata burûj adalah “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang di langit dan Kami telah menghiasi langit (matahari dan bulan) itu bagi orang-orang yang memandang(nya).[6] Namun sebagian ahli tafsir memaknai burûj dengan burûj (bintang-bintang) terminologis dalam Astronomi.[7]
Ayat al-Qur’an yang menyatakan “ainamâ takunu yudrikum al-maut walau kuntum fi burûj al-musyaddah”[8] sejatinya merupakan tamsil dan al-Qur’an ingin menunjukkan sebuah contoh yang dengannya manusia terperlihara dan terjaga dari segala ancaman dan marabahaya. Hal ini bermakna bahwa kematian merupakan suratan takdir yang tidak dapat dielakkan dan tidak satu pun manusia yang terselamatkan darinya. Meski manusia berlindung dan berlari menuju tempat berlindung yang paling kuat sekalipun.[9] Namun tiada satu pun yang dapat menghalau datangnya kematian walau benteng-benteng kuat sekali pun. Dalilnya juga sangat jelas. Karena kematian, berkebalikan dari apa yang disangka kebanyakan manusia yang mengira berasal dari luar dirinya, melainkan galibnya bersumber dari dalam diri manusia. Karena pelbagai potensi anggota badan, suka atau tidak suka, terbatas dan segera akan binasa. Kematian-kematian yang tidak wajar (non-natural) mendatangi manusia dari luar (manusia), namun kematian wajar (natural) bersumber dari dalam.
Dengan demikian, benteng-benteng kukuh dan kuat sekalipun tidak akan dapat melindungi orang dari kematian. Benar bahwa benteng-benteng kuat dapat menghalau kematian non-natural, namun pada akhirnya selang beberapa hari kematian natural tetap akan mendatanginya.[10]
Pendeknya, kata ini dalam makna lawasnya digunakan untuk burj dan benteng-benteng yang kokoh dan kuat yang juga dinyatakan dan digunakan dalam al-Qur’an, di samping itu juga digunakan dengan makna moderennya yang berarti menara-menara (burj) pencakar langit yang menjulang tinggi di seluruh dunia dengan keindahan khusus yang dimilikinya. [iQuest]
[1]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, Penerjemah Persia Sayid Muhammad Baqir Musawi Hamadani, jil. 5, hal. 6, Daftar Intisyarat-e Islami, Qum, 1374 S.
[2]. Ibid, jil. 20, hal. 413.
[3]. “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang di langit dan Kami telah menghiasi langit (matahari dan bulan) itu bagi orang-orang yang memandang(nya).” (Qs. Al-Hijr [15]:16)
[4]. Terjemahan Persia al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 20, hal. 413.
[5]. Fakhruddin Tharihi, Majma’ al-Bahrain, Riset dan Koreksi oleh Sayid Ahmad Husaini, jil. 2, hal. 276, Nasyr Kitabpurusyi Murtadhawi, Teheran, Cetakan Ketiga, 1416 H.
[6]. Terjemahan Persia al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 12, hal. 202; Majma’ al-Bahrain, jil. 2, hal. 276.
[7]. Sayid Mahmud Alusi, Ruh al-Ma’âni fi Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhim, Riset oleh Ali Abdulbari ‘Athiyyah, jil. 15, hal. 294, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, Cetakan Pertama, 1415 H.
[8]. “Di mana saja kamu berada, kematian akan mengejarkamu, kendati pun kamu berada dalam benteng yang tinggi lagi kokoh” (Qs. Al-Nisa [4]:78)
[9]. Terjemahan Persia al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 5, hal. 6.
[10]. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 4, hal. 19, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Pertama, 1374 S.