Please Wait
23789
Lantaran pada ayat 31 surah al-Baqarah dijelaskan pengetahuan manusia terhadap seluruh nama-nama Tuhan yang menjadi rahasia mengapa ia dipilih sebagai khalifah. Allah Swt berfirman, "Allamah Âdama al-asma kulluha" (Dan mengajarkan Adam seluruh nama-nama). Dan nama yang mencakup seluruh nama dimana seluruh nama merupakan cermin dari nama "Allah". Manusia adalah khalifatullah bukan khalifaturrab. Karena Rabb merupakan salah satu nama Ilahi dan cermin dari nama Allah.
Mengingat yang dimaksud dengan nama-nama (asma) adalah realitas-realitas tinggi yang menjadi sumber seluruh realitas yang ada di alam semesta. Dan realitas-realitas alam semesta adalah mencakujp seluruh yang transendental atau imanen. Kedua, pengajaran (ta'lim) nama-nama bermakna penganugerahan nama-nama ini kepada manusia. Ketiga, realitas Ilahi menjelma dan memanifestasi pada nama-nama ini.. Karena itu, pada hakikatnya, manusia merupakan cermin dan manifestasi seluruh sifat Ilahi dan makhluk yang mengemban seluruh pekerjaan Ilahi dan khalifah sempurna Tuhan atas segala sesuatu selain Tuhan.
Pertanyaan di atas kami kemukakan sebagai berikut:
Nabi Adam As dan manusia adalah khalifah siapa? Dan mengingat bahwa khalifah sebagaimana ia khalifah dan pengganti harus memikul segala tugas dan pekerjaan orang yang digantikan (mustakhlifan 'anhu) dan memiliki sifat-sifat sebagaimana dirinya. Lalu seberapa besar Allah Swt menyerahkan kelayakan penyifatan terhadap sifat-sifat-Nya dan menyerahkan tugas-tugas-Nya untuk dipikul manusia? Seberapa jauh manusia dapat menjadi cermin Tuhan di muka bumi?
Manusia[1] khalifah siapa?
Dengan memperhatikan ayat-ayat 30 dan 31 surah al-Baqarah manusia adalah khalifah Allah Swt di muka bumi.
Pada ayat 30 redaksi "Inni jâ'ilun fi al-ardh khalifah.." (Sesungguhnya Aku ingin jadikan khalifah di muka bumi..) dan subyeknya dapat dipahami bahwa pembicara adalah Allah yang menetapkan khalifah bagi-Nya bukan untuk yang lain dan pada ayat yang lain Allah Swt menjelaskan rahasia terpilihnya manusia sebagai khalifah adalah pengetahuannya terhadap seluruh nama Allah.[2] Dengan kata lain, pada ayat pertama Allah Swt menjelaskan bahwa manusia adalah khalifah-Nya dan menerangkan pada ayat kedua kriteria khilafah-Nya dan keluasan khilafah yang diberikan serta cerminan Allah melalui nama-nama-Nya. Dengan menjelaskan dua persoalan, pertama nama-nama dan kedua pengajaran kepada manusia, maka menjadi jelas bahwa manusia khalifah siapa dan seberapa jauh ia dapat menjalankan tugas sebagai khalifah Allah Swt, menyifati sifat-sifat Allah, menjelmakan sifat-sifat dan nama-nama itu dalam dirinya.
Apa yang dimaksud dengan Asma?
Ism (kalimat tunggal dari asma) bermakna tanda. Ismi lafzi bermakna tanda dan petunjuk pemahaman-pemahaman mental. Konsep-konsep mental merupakan ism bagi realitas-realitas luaran dan realitas luaran baik yang bersifat trasendental atau imanen, adalah tanda dan ayat Sang Pencipta. Sekarang mari kita simak nama-nama Tuhan pada ayat ini yang diajarkan kepada manusia, bagian mana dari nama-nama ini. Apakah yang dimaksud ism itu adalah kata-kata, atau konsep-konsep mental atau realitas-realitas luaran?
Mengetahui semata lafaz-lafaz, atau konsep-konsep sehingga membuat Adam menjadi tempat sujud para malaikat tentu saja tidak memadai; karena "kesempurnaan pengetahuan dari lafaz-lafaz untuk mengakses seluruh maksud-maksud hati dan para malaikat untuk dapat memahami maksud-maksud hati tidak memerlukan lafaz-lafaz dan bahasa, melainkan tanpa media lafaz dan bahasa, mereka dapat mengetahui maksud-maksud hati.[3]
Semata-mata memahami konsep-konsep mental dan mencerap sebuah realitas adalah lebih rendah dari makam para malaikat; karena para malaikat memiliki hubungan dengan realitas-realitas semesta. Pemahaman mereka terhadap realitas-realitas semesta adalah pemahaman hudhuri bukan hushuli, kendati seluruh realitas semesta tidak disaksikan oleh mereka; karena itu dalil mengapa mereka sujud kepada Adam tentu saja bukan karena manusia memahami konsep-konsep realitas.
Dengan demikian yang dimaksud dengan nama-nama (asma) adalah seluruh realitas luaran dari satu sisi dan dari sisi lain dimana para malaikat tidak mampu memikulnya dan tidak kuasa untuk terbang hingga puncaknya, dan sesuai dengan ayat-ayat lainnya, nama-nama (asma), adalah realitas-realitas trasendental alam semesta; karena pada ayat 33, Allah Swt berfirman, "Bukankah sudah Kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi?" (Qs. Al-Baqarah [2]:33) sesuai dengan pandangan sebagian penafsir, tuntutan konteks ayat-ayat 30 sampai 33 surah al-Baqarah adalah bahwa rahasia ini tidak lain adalah nama-nama yang telah diajarkan kepadanya. Dan selain masalah-masalah yang tidak menjadi sorotan bukan pada "Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Artinya apa yang kalian tidak ketahui dan hanya berada pada kekuasaan ilmu-Ku, telah aku ajarkan kepadap Adam.
Karena itu, nama-nama realitas-realitas trasendental yang berada di atas pemahaman eksistensial para malaikat yang nota-bene di atas alam materi dan memiliki tingkatan gaib. Dan ilmu yang diajarkan kepada manusia adalah realitas-realitas tinggi yang merupakan sumber segala realitas alam semesta dan termasuk seluruh realitas alam baik yang trasendental atau pun imanen.[4]
Makna Taklim (Pengajaran)
Dengan memperhatikan persoalan yang disebutkan di atas dan penyampaian nama-nama oleh Nabi Adam tanpa perantara[5] dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan taklim (pengajaran) adalah Pertama, penganugerahan ilmu syuhudi dan hudhuri terhadap nama-nama bukan sekedar pengetahuan tentang pemahaman nama-nama tersebut. Kedua, ilmu laduni dan penyampaian langsung Allah Swt. Dan mengingat ilmu adalah sesuatu yang dimiliki, baik yang dimiliki itu adalah pengetahuan dan hakikat segala sesuatu, atau sesuatu itu sendiri, dua tipologi ini yang disebutkan sebagai makna pengajaran Ilahi (syuhudi dan laduni). Hal ini menunjukkan bahwa Allah Swt menjadikan Adam dan manusia memiliki hakikat luaran nama-nama indah (asma al-husna) – sesuai dengan makna yang telah disebutkan sebelumnya – ayat dan tanda seluruh nama-nama-Nya.
Karena itu, dengan memperhatikan persoalan yang dijelaskan di atas dan juga karena ayat menegaskan pada pengajaran seluruh nama-nama yang mencakup seluruh nama-nama dan seluruh nama yang menjadi cerminan nama Allah. Manusia khalifatullah bukan khalifaturrab. Karena rabb merupakan salah satu nama Ilahi dan manifestasi dari nama "Allah." Pada hakikatnya, manusia merupakan cerminan sempurna Ilahi, manifestasi seluruh sifat Ilahi dan pelaksana seluruh perbuatan Tuhan bagi segala sesuatu selain Tuhan.[]
Untuk telaah lebih jauh:
1. Tafsir al-Mizan, terkait ayat-ayat 30-34, surah al-Baqarah.
2. Tafsir Tasnim, Jawadi Amuli, jil. 3, hal. 317-321.
[1]. Dari salah satu dalil penafsiran yang lain terkait dengan ayat ini dipahami bahwa khilafah tidak terkhusus bagi Nabi Adam dan seluruh manusia memiliki potensi dan kapasitas untuk menjabat khalifah Ilahi. Atas dasar ini, kami mengemukakan pembahasan secara global bagi manusia dan tidak terkhusus bagi Nabi Adam As. Silahkan lihat, Tasnim, jil. 3, hal. 41 dan 293. Indeks terkait: Mishdaq Khalifatullah dalam Perspektif Al-Qur'an, Pertanyaan 1984 (Site:2023).
[2]. "Wa 'allama Âdama al-Asmâ'a kullaha tsumma 'aradhahum 'ala al-malaikati faqâla anbiuni biasmâi haulâi inkuntum shâdiqhîn." (Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (dan rahasia ciptaan para makhluk) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat, lalu berfirman, “Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama mereka itu jika kalian memang orang-orang yang benar,” (Qs. Al-Baqarah [2]:31)
[3]. Silahkan lihat, al-Mizan, jil. 1, hal. 116-117.
[4]. Silahkan lihat, Tasnim, jil. 3, hal. 169.
[5]. Redaksi "allama" pada ayat 31 merupakan kalimat berita yang menafikan adanya perantara para malaikat.