Please Wait
66148
Dalam beberapa riwayat tidur terbagi menjadi empat bagian dan bagian terbaiknya bagi orang beriman adalah tidur di atas pinggul kanan dan menghadap kanan.
Ali As bersabda, “Tidur terbagi menjadi empat jenis: Para nabi tidur terlentang, mata-mata mereka tidak tidur dan menantikan wahyu Ilahi dan orang beriman tidur di atas pinggul kanannya sembari menghadap kiblat. Raja-raja dan anak-anak mereka tidur di atas rusuk kirinya (membelakangi kiblat) sehingga apa yang mereka makan dapat terolah dengan baik. Sedangkan setan dan saudara-saudaranya serta setiap orang gila dan sakit tidur dengan cara telungkup.
Jenazah Menghadap Kiblat di Kubur
Imam Shadiq As bersabda Bara bin Ma’rur Anshari di Madinah dan Rasulullah Saw di Mekkah ketika Bara sedang mengalami sakaratul maut (pada masa ini Rasulullah Saw dan kaum Muslimin salat menghadap ke Baitul Muqaddas) menganjurkan supaya wajahnya di dalam kubur dihadapkan kepada Rasulullah Saw yang berada di Mekkah. Ia juga mewasiatkan sepertiga hartanya dan juga menjalankan sunnah ini; karena itu berdasarkan dalil-dalil lainnya fukaha juga memberikan fatwa bahwa “jenazah harus ditidurkan di atas rusuk kanan (miring ke arah kanan) sedemikian sehingga bagian depan badannya menghadap ke arah kiblat.
Pertanyaan ini dikemukakan dalam dua bagian dan kami juga akan menjawab pertanyaan tersebut dalam dua bagian.
Pada bagian pertama pertanyaan yang dikemukakan adalah tentang tidur dan istirahat menghadap kiblat.
Mengingat bahwa agama Islam merupakan agama terakhir yang diturunkan Allah Swt sebagai petunjuk dan kesempurnaan manusia[1] maka dari itu agama Islam adalah agama sempurna dan menyeluruh.[2] Dengan demikian seluruh kebutuhan umat manusia semenjak kecil hingga besar, mikro dan makro tercakup di dalamnya.[3] Di antara hal yang berbicara tentang tidur dari sudut pandang agama telah dikemukakan hukum-hukum yang tidak bersifat wajib, melainkan sunnah dan dianjurkan yang akan kami singgung sebagian dari riwayat tersebut.
Imam Hadi As bersabda, “Kami Ahlulbait tatkala tidur kami menjaga sepuluh hal: Bersuci, meletakkan tangan kanan di wajah, berucap tiga puluh tiga kali subhanallah, tiga puluh tiga kali alhamdulillah, dan tiga puluh empat kali Allahu Akbar, tidur menghadap kiblat sedemikian seluruh wajah kita menghadap kiblat, membaca surah al-Fatiha, ayat al-kursi dan ayat syahidaLlah...”[4] Barang siapa yang mengamalkan sepuluh hal ini maka ia telah memperoleh manfaat untuk dirinya pada malam itu.
Jenis-jenis Tidur
Dalam beberapa riwayat Syiah, tidur dibagi menjadi empat bagian dan sebaik-baik tidur orang beriman adalah tidur di atas pinggul bagian kanan menghadap kiblat.
Abdullah bin Ahmad bin Amir Thai meriwayatkan dari Imam Ridha As dari datuknya bahwa Husain bin Ali As bersabda, “Ali bin Abi Thalib sedang berada di masjid Kufah ketika seorang dari Syam (Suriah) berdiri dan bertanya kepadanya sebuah pertanyaan. Di antara pertanyaan-pertanyaannya adalah, Katakan kepadaku berapa macamkah tidur itu?” Imam Ali As menjawab, “Tidur terdiri dari empat macam: “Tidur terbagi menjadi empat jenis: Para nabi tidur terlentang, mata-mata mereka tidak tidur dan menantikan wahyu Ilahi dan orang beriman tidur di atas rusuk kanannya sembari menghadap kiblat. Raja-raja dan anak-anak mereka tidur di atas rusuk kirinya (miring ke kiri membelakangi kiblat) sehingga apa yang mereka makan menjadi dapat terolah dengan baik. Sedangkan setan dan saudara-saudaranya serta setiap orang gila dan sakit tidur dengan telungkup.”[5]
Namun dalam menjawab bagian kedua pertanyaan yaitu menguburkan jenazah menghadap kiblat harus dikatakan bahwa Islam pada seluruh tingkatan hidup manusia semenjak lahir hingga wafatnya dan bahkan untuk menguburkannya dan mengafaninya memiliki hukum-hukum yang akan kita singgung di sini sebagian darinya.
Imam Shadiq as bersabda, “Apabila seseorang sukar dan pelik pada waktu sakaratul maut maka hendaknya ia harus dipindahkan ke tempat salatnya.” Dan pada sebuah hadis lainnya, Imam Shadiq As bersabda, “Apabila seseorang sedang mengalami sakaratul maut dan proses kematiannya sangat susah maka hendaknya ia dipindahkan ke tempat salatnya atau tidurkan di atas sajadah salatnya.”[6]
Terkait dengan menghadapkan seseorang ke arah kiblat tatkala meregang nyawa (sakaratul maut), Imam Shadiq As bersabda, “Apabila salah seorang Syiah sedang berada dalam sakaratul maut maka tariklah kakinya ke arah kiblat dan tutuplah jasadnya.” Demikian juga – tatkala dimandikan, dihadapkan ke kiblat, galikan kuburan dan letakkan papan di atasnya, dalam kondisi kaki dan wajah jenazah menghadap kiblat.”[7]
Sehubungan dengan meletakkan jenazah menghadap kiblat di kubur, terdapat banyak riwayat yang disebutkan dalam kitab Wasâil al-Syiah, sedemikian sehingga memiliki bab tersendiri. Riwayat-riwayat ini menjelaskan bahwa jenazah sedemikian harus diletakkan dalam kubur sehingga direbahkan pada bagian tangan kanan dan wajahnya dihadapkan ke arah kiblat. Di antara riwayat itu adalah yang berikut ini:
Imam Shadiq As bersabda, “Bara bin Ma’rur Anshari di Madinah dan Rasulullah Saw di Mekkah ketika Bara sedang mengalami sakaratul maut (pada masa ini Rasulullah Saw dan kaum Muslimin salat menghadap ke Baitul Muqaddas) menganjurkan supaya wajahnya di dalam kubur dihadapkan kepada Rasulullah Saw yang berada di Mekkah. Ia juga mewasiatkan sepertiga hartanya dan juga menjalankan sunnah ini;[8] karena itu berdasarkan dalil-dalil lainnya fukaha juga memberikan fatwa bahwa “jenazah harus ditidurkan di rusuk kanan (miring ke kanan) sedemikian sehingga bagian depan badannya menghadap ke arah kiblat. [9] [iQuest]
[1]. Dalam hal ini kami persilahkan Anda untuk merujuk pada Indeks, “Kepamungkasan Akhir Risalah,” No. 24874 (site: fa5511) yang terdapat pada site.
[2]. Dalam hal ini kami persilahkan Anda untuk merujuk pada indeks, “Kesempurnaan dan Tidak Berubahnya Agama, No. 781 yamg terdapat pada site.
[3]. Apabila terjadi masalah-masalah baru, para fakih besar Syiah dengan memanfaatkan prinsip-prinsip universal yang dimiliki, mereka melakukan inferensi hukum dari sumber-sumber agama.
[4]. (Qs. Ali Imran [3]:18)
[5]. Ustad Wali Husain, Sunan wa Rawesy Raftâri Payâmbar Gerâmi Islâm, hal. 80, Intisyarat-e Payam Azadi, Teheran, Cetakan Ketiga, 1381 S.
[6]. Syaikh Shaduq, al-Khisâl, jil. 1, hal. 262, Intisyarat Jami’ah Mudarrisin Qum, 1403 H; Syaikh Shaduq, ‘Uyûn Akhbâr al-Ridhâ As, jil. 1, hal. 510, Nasyr Jahan, Teheran, Cetakan Pertama, 1378 S.
[7]. Kulaini, al-Kâfi, jil. 3, hal. 127, Cetakan Keempat, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 S.
[8]. Syaikh Hurr ‘Amili, Wasâil al-Syiah, jil. 3, hal. 231, Muassasah Alu al-Bait As, Qum, 1409 H.
[9]. Taudhih al-Masâil (al-Muhassyâ lil Imâm al-Khomeini), jil. 1, hal. 339, Masalah 615.